43. PENGISAHAN




________

"Senin nanti ulangan akhir semester kalian dimulai, kan?"

Gue dan Juan mengangguk kompak menanggapi pertanyaan dari Om Julius. Untuk kesekian kali, secara sungkan melahap makanan yang berada di sendok lantaran bergabung dalam acara makan malam ini benar-benar di luar rencana gue. Maksudnya, ya jelas malulah anjir! Apalagi sewaktu gue dengan sengaja mengambil porsi makan lebih sedikit di awal-awal, tahu-tahu si Bangsat goblok malah berkomentar,

"Tumben makan elo dikit. Yakin cukup?"

Kemudian Om Julius menimpali, "Iya, Feryan. Makan yang banyak kalo mau. Gak apa-apa, gak usah sungkan." Setelah itu beliau menambahkan lagi dua centong nasi ke piring gue.

ARRGHHH! Muka gue panas sampe-sampe rasanya kepengin jadi Yellow aja yang kebagian makan daging cuma satu piring kecil. Kampret bin sialan. Si Juan ini cerita juga apa ke ayahnya perihal gue yang jatah makannya nyaris saingan sama porsi kuli? Gila asli. Emang gak di mana-mana dia tuh paling seneng ngeliat gue kehilangan muka. Mentang-mentang dia pikir gue nyaris nggak punya malu.

Pacar rasa belek kucing dasar.

Namun, ingin berlagak kurang nafsu makan juga gue toh gak yakin mampu. Sebab hasil masakan Juan di meja ini nggak kalah mantulnya dari yang kemarin-kemarin. Ada daging sapi dicampur sayur wortel, paprika, brokoli juga sawi yang dibumbui lada hitam dan kecap. Ditambah kentang goreng balado. Terus lagi, ayam bakar bumbu cabai hijau yang katanya merupakan kesukaan si Om. Sama kulit ayam krispi yang sekarang lagi gue kunyah. Gurih-gurih asin maknyus.

Kalo nanti ada sisa, mau gue minta bawa pulang, ah.

"Feryan malam ini mau menginap, kan?"

Makanan di mulut tertelan seketika begitu gue ditanya begitu. "Euh ..." Melirik ke pacar gue sebentar, lantas memberi gelengan. "Ng-nggak, Om. Feryan nanti pulang. Soalnya Juan mau belajar."

Om mengernyit mendengar jawaban gue. "Bukannya lebih bagus jika kalian belajar sama-sama?"

Gue baru mau menyahut ketika Juan mendahului bicara, "Dad, cowok malas macam dia mana ngerti yang namanya belajar."

Duh! Tahan, Feryan. Gak boleh ngatain. Dosa ngumpat di depan orang tua.

Cengiran alhasil gue berikan. "Feryan lebih enak belajar sendirian, Om. Sedikit-sedikit aja ngehapalin materi buat ulangannya. Kalo barengan sama Juan, bisa-bisa sampe tengah malam juga acara belajarnya gak kelar-kelar. Capek," balas gue beralasan.

Di seberang gue si Bangsat memutar bola mata. Awas aja. Bakalan gue tarik satu jembutnya sebagai pembalasan nanti.

Om Julius tersenyum. "Semoga nanti kamu dapat nilai yang bagus ya, Feryan," ucapnya sungguh baik hati dan mulia.

Gak kayak anaknya.

Sekali lagi, gue nyengir. "Aamiin, Om. Siapa tau nanti Feryan bisa dapat nilai yang lebih besar dari Juan."

"Ngayal!" cibir seseorang yang nggak terima.

Tuh, kan!

Si Om tertawa pelan melihat ekspresi sebal di wajah gue yang pasti kentara masamnya. Huh.

Selesai dengan hidangan makan malam, kami bertiga lanjut menikmati mini cake rasa Oreo ala chef Juan. Nyamnyam. Kepengin jugalah ini gue bawa pulang.

Duh elaah. Sekalian aja sekulkas punya Juan gue gondol pulang. Jiwa rakus ini beneran nggak kenal yang namanya kenyang.

Om yang selesai dengan potongan kue pertamanya menaruh sendok ke meja. "I forget to tell you something." Beliau berdeham. "Saga, Jess said next week he will come to visit us."

Kata-kata itu anehnya malah bikin Juan keselek.

Wah, anjir. Bisa diulangin nggak, ya? Baru pertama kali ini gue ngeliat si Bangsat keselek langsung gitu. Mana keras banget. Momen langka, tuh.

"What the hell! I don't want to see him, Dad. How many times should I told you?"

Hm, kenapa dia kayak yang nggak suka? Ada apa, nih?

"But, he said he missed you. And well, he still your cousin anyway."

Eh, apaan itu? Miss you, miss you segala.

"I don't care! Once I said I don't wanna, it means I hate it! Just make sure he wouldn't come. Or else I'm going crazy."

Hmmm. Makin ngebul isi kepala gue.

"Then, you say it to him. Directly. Stop ignoring his message, his call or even his letter. Jess is not that bad, you know."

Jess. Jess ini nama orang atau kata dalam bahasa Inggris, ya? Kepo gue. Tapi mau nimbrung gak berani!

Juan malah mendengkus keras mendengar penuturan itu. Ngebuat Om Julius tampak menghela napas panjang.

"Don't give me that attitude. I'm your dad!"

Si Bangsat kena marah. Cihuy! Tahan. Gak boleh ngetawain.

"Whatever."

BANGSUL. Dasar anak songong. Jurus putaran bola mata ngeselin aja dia pakai juga ke ayahnya. Andai dia anak gue, udah dikutuk kali jadi daki sapi. Atau upil sapi. Eh, tai sapi lebih cakep, deh.

Om menggeleng-geleng lesu. "Kamu ini benar-benar. Dasar Laura versi bocah."

Ucapan Om itu seketika menaikkan level kekepoan gue. "Euh, Om. Boleh tanya sesuatu nggak?" Mengabaikan sorot judes yang gue dapat dari si Bangsat.

"Iya, Feryan. Mau tanya apa?" respons Om tetap bersahabat. Nggak kayak anaknya.

Gue berdeham terlebih dahulu sebelum bertanya, "Juan bilang, katanya sifat jel--maksud Feryan, sifat ngeselin dia itu nurun dari mommy-nya. Emangnya bener ya, Om?"

Om tampak menahan ringisan. "Yah, andai om bisa menyangkalnya. Sayangnya, itu memang benar."

Sontak aja gue melotot kaget. Lebih kaget dari saat anaknya yang bilang. "Hah? Serius, Om? Tapi kan, mendiang tante Laura keliatan ... kayak bidadari. Masa sih dia ngeselin macam anaknya?" Asli nggak bisa ngebayanginnya gue.

Om mengerling sang putra tunggal. "Kamu lihat, Saga? Memang dalam sekali pandang bisa keliatan bahwa dia sebetulnya menyebalkan?"

Gue dan Juan beradu pandang cukup sengit. "Euh, buat Feryan sih iya, Om," balas gue yang lalu menjulurkan lidah, meledek Juan yang memutar bola mata lagi.

Si Om justru ketawa. "Hahaha. Jika kamu mau tau, tanya aja pada Saga karena--"

"Hell no!" Si Bangsat memotong cepat. "Saga nggak mau meladeni kekepoan dia yang pasti nggak akan ada habisnya. You're the one who start this conversation, Dad. So, you also the one who should give him explanation. About everything. Or worse, he will come to me later," paparnya seraya lanjut memakan kue.

Mengetahui hal itu bikin Om tercenung sesaat, lalu dia mengangguk pelan. "Oke, deh. Well, om agak bingung harus mulai menjelaskannya dari mana. Intinya sih, Laura itu memang tipe wanita yang bersikap semau sendiri. Karena dia sudah nggak ada, om maklum jikalau Feryan nggak mampu membayangkannya, tapi ..."

Om lantas mulai bercerita mengenai awal pertemuannya dengan mendiang sang istri yang terjadi 24 tahun yang lalu pada salah satu kota di negara Inggris itu. Berawal dari beliau yang datang ke kampus sebagai murid pindahan yang menghentikan aksi pem-bully-an yang ternyata dilakukan oleh tante Laura terhadap seseorang. Sejak hari itu, target bully mommy si Juan pun berganti pada Om Julius. Namun, sekalipun di-bully dan Om mengakui bahwa sikap tante Laura sungguh keterlaluan, dirinya justru merasa karena semua hal itu kehidupan berkampusnya menjadi lebih berwarna.

"Laura pernah satu kali mendorong om jatuh sampai lengan om terluka dikarenakan tergores papan besi. Menariknya, malah dia sendiri yang berakhir khawatir dan mencaci-maki om. Katanya, bukannya protes atau melawan, kenapa kamu malah diam aja? Kamu ini di depan aja keliatan pintar, aslinya kamu tuh pasti tolol, kan? Kemudian kepala om lanjut kena pukul lantaran om malah tertawa mendengar omelannya." Tatapan riangnya tiba-tiba berubah sendu. "Om akan selalu mengingat semua hal itu. Tentang Laura. Sifat cerewetnya yang menyebalkan, sisi keras kepalanya yang sering kali meremehkan orang lain sebab merasa dirinya yang paling benar dan selalu benar. Salah satunya, ketika om mulai berpikir untuk terjun ke dunia seni peran. Dia yang mendorong om untuk ikut tanpa pikir panjang sambil berkata, 'Di masa depan nanti, aku yakin kamu akan jadi aktor hebat yang terkenal. So, jangan kecewakan harapan dariku. Coba dulu saja daripada kamu tidak melakukan apa-apa', dan hasilnya, sesuai apa yang diucapkannya."

Gue menyeka sudut mata mendengar kisah yang om tuturkan. Bukan cuma karena sedihnya, tapi juga gara-gara si Juan yang matanya tampak berkaca-kaca sembari mengelus-elus Yellow di atas meja selama turut mendengarkan cerita.

"Satu tahun setelah om memulai karir berakting, om berkunjung ke kediaman Laura. Nggak mengajaknya berpacaran, nggak juga mengatakan bahwa om jatuh cinta padanya. Hanya langsung memberikan cincin sembari memintanya untuk bersedia menjadi pendamping hidup om. Di luar dugaan, Laura marah besar. 'Dasar laki-laki brengsek tolol sialan. Seharusnya kamu melakukan ini dua bahkan tiga tahun lebih awal. Apa-apaan? Nyaris saja seluruh rambutku beruban karena terlalu lama menunggu kamu', dan mau nggak mau, om membungkam protesnya dengan ciuman. Dan setelah itu, dia menangis. Meminta om untuk nggak pergi jauh terlalu lama, bahwa dia ingin om selalu ada untuknya, berkata tentang betapa dia mencintai dan membutuhkan om lebih dari segalanya." Kedua mata Om Julius berkaca-kaca dengan suara yang kian parau, membuat Juan secara sigap memegangi sebelah tangannya. "Kelahiran Saga adalah puncak kebahagiaan om dan Laura selanjutnya. Laura menangis histeris begitu suara tangisan anak ini terdengar memenuhi ruang bersalin. Karena kondisi kandungannya yang lemah, Saga terlahir prematur. Kami benar-benar bersyukur Saga terlahir sehat tanpa kurang satu apa pun--menepis diagnosis dokter yang semula mengatakan tentang kemungkinan selamat bagi bayi kami saat itu yang sungguh kecil. Meski Laura sendiri yakin sekali bahwa Saga nggak akan kenapa-kenapa. Dia, selalu benar."

Mata gue terang aja membelalalak mengetahui itu. Anjir parah. Juan nggak pernah nyeritain itu semua sebelumnya ke gue.

"Satu-satunya hal yang salah yang Laura pernah perbuat adalah dengan menjadi pura-pura kuat. Sejak usia Saga tiga tahun dan kami mulai menetap di sini, om tahu dia sering mengeluh kesakitan di bagian dada. Batuk-batuk, sesak napas. Hingga ketika dia semakin disibukkan dengan kegiatan mengurus rumah, mengantar Saga ke sekolah dan bekerja, barulah tubuhnya mencapai batas. Dia pingsan. Lalu dokter, mendiagnosis Laura mengidap kanker paru-paru yang sudah cukup parah. Tapi tetap aja, dia optimis. Yakin bahwa dia akan sembuh. Dia pasti bisa melawan semua penyakitnya. Berjanji untuk sembuh agar Saga dan om nggak khawatir lagi. Apabila kami menunjukkan kesedihan, seperti selalu Laura bakal marah-marah. Mengeluarkan sumpah serapah dan caci maki yang diucapkan dari bibir pucatnya sebab dia nggak suka dianggap lemah dan seolah akan terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya. Akhirnya, dia meminta kami untuk percaya padanya. Yah, tentunya kami percaya. Sayangnya, kami terlalu mempercayainya sampai nggak sadar bahwa rasa sakit yang menderanya sudah menjalar jauh lebih dari yang kami mampu duga." Om Julius mengusap kepala Saga pelan. "Pesan terakhir yang Laura sampaikan juga cukup sederhana, 'Pastikan Saga selalu sehat. Entah akan jadi apa Saga di masa depan nanti atau apa pun pilihan yang dijalani dan diambilnya, cukup terima saja. Selama itu bisa membuat putra kita bahagia, jangan pernah halangi. Tolong katakan padanya bahwa aku sangat menyayanginya. Dan maaf, karena aku tidak bisa menepati janjiku pada kalian berdua, terutama putra kita. Sebagai gantinya, aku minta kalian yang giliran membuat janji kali ini. Untuk selalu hidup bahagia meski aku tak lagi ada. Berjanjilah, Julius? Demi aku. Ya?' "

Tangisan Juan pecah bersamaan dengan air mata gue yang menetes jatuh. Sementara Om Julius masih keliatan tegar sekalipun matanya udah sangat merah.

"Laura pergi meninggalkan kesedihan yang teramat dalam bagi Saga. Karena, dia adalah wanita terbaik dalam hidupnya, Feryan. Bagi om juga. Jadi, kamu sekarang pasti bisa lebih paham, kan? Seburuk apa pun Saga, toh kamu jelas sadar bahwa dia juga mempunyai sisi baik dalam dirinya serupa yang dimiliki sang mommy. Wanita yang hingga detik ini masih om dan dia tetap cintai." Sang putra dipeluk sembari pundaknya diusap berulang-ulang. "Sssh, don't cry, Son. You have me."

Kemudian gue berdiri. Menghampiri posisi Juan berada untuk turut memberinya pelukan. "Elo juga punya gue, Bangsat. Dan gue janji, gue nggak akan pernah ninggalin elo." Beralih menatap Om seraya tersenyum sedih. "Feryan janji, Juan akan Feryan buat bahagia, Om. Dan semoga, mendiang tante Laura juga ikut mendengar hal ini. Karena jika bukan berkat beliau, belum tentu Feryan bisa punya kehidupan seindah yang sekarang sedang Feryan jalani dikarenakan kehadiran Juan. Putra kalian memberikan Feryan banyak hal. Dan Feryan sangat bersyukur untuk itu," ungkap gue bersungguh-sungguh.

Om Julius tersenyum lega sambil turut membelai kepala gue. "Andaikan Laura dapat bertemu dengan kamu ya, Feryan. Dia pasti berpikir hal yang serupa. Terima kasih karena kamu bersedia dengan tulus menyayangi putra kami, Saga."

.

Ada fakta baru yang gue ketahui tentang Juan, nih. Dia ini sekalinya nangis serius rupanya susah berhentiin air matanya.

"Udah deh elo nangisnya! Jelek tau nggak muka lo jadinya!" Gue mencubit kedua pipi si Bangsat dan menggoyang-goyangkannya. "Sorry. Gara-gara kekepoan gue, elo jadi sedih begini." Air di sudut matanya gue usap lembut.

Juan menggeleng. Menyusut hidungnya yang memerah seraya memegangi satu tangan gue. "It's okay. Just, kehilangan mommy emang bener-bener pengalaman paling menyakitkan yang pernah gue terima. Itulah kenapa, gue pasti ngerasa selalu sedih setiap ngingatnya. Gue cengeng, ya?"

Gue gantian menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan itu. "Nggak, kok. Kalo gue ada di posisi elo, bisa jadi gue nangisnya lebih parah. Sambil guling-guling dan manggil-manggil namanya malah."

Tawa tertahan pacar gue keluar. Bikin gue tersenyum lega. "Thank you." Dia memeluk gue. "Seenggaknya, sekarang elo tau bahwa gue betul-betul nggak akan kuat menghadapi kehilangan lain dari sosok penting dalam hidup gue, terutama elo, Bego!"

Gak akan ada bosennya dia mengingatkan hal yang satu itu kayaknya. "Iya, iya. Kan udah gue bilang beberapa kali, gue nggak akan pergi ke mana-mana. Jadi, jangan mikirin yang macem-macem, deh." Bahunya gue usap-usap.

"Hm."

Namun, mendengar langsung kisah masa lalu om Julius serta mendiang tante Laura asli nggak ngenakin. Membayangkan perasaan mereka berdua ditinggal sosok yang paling dikasihi setelah berusaha yakin tentang kesembuhan yang akan tante Laura dapatkan. Sayangnya, malah berakhir menyakitkan dan berujung duka yang sampai detik ini sedihnya seolah-olah nggak kunjung hilang. Mengetahui inti cerita, lalu membandingkan dengan kejadian cukup detilnya jelas aja meninggalkan kesan yang berbeda bagi gue. Meski tetap sama-sama nyeseknya.

Duh. Jika gue yang mengalami itu semua, entah akan jadi bagaimana diri gue yang sekarang, deh. Walau yah, gue juga gak sepenuhnya kepikiran mengingat mamah gue orangnya macam apa. Boro-boro perhatian ke anak beliau mah. Ngasih ucapan ultah ke gue dan ngarepin sesuatu yang baik-baik pun cuma pas lagi mendesak kayak saat reputasi dia takut terancam. Hhh. Nasib.

Juan melepaskan pelukan, lantas mengecup bibir gue pelan. "Elo mau mandi? Atau mau langsung pulang? Atau malah, mau nginep?" tanyanya dengan kedua alis terangkat.

Gue balas mencium bibirnya, lebih lama. "Gimana kalo kita ngelanjutin yang barusan ketunda di dapur?" bisik gue sembari menaruh tangan ke bagian tengah celananya.

Kedua matanya menyipit genit. "Ide bagus. Ayo, kita ke ranjang!"

Terlalu larut dalam perasaan sedih tentang kisah yang gue dengar hingga berlanjut melakukan sesi percintaan di kamar Juan, gue nggak menyadari telah melupakan sesuatu yang seharusnya juga gue pertanyakan. Akan tetapi, seperti yang banyak orang sering katakan; penyesalan itu datangnya belakangan.

Badai pun kadang muncul tanpa ngasih pengumuman dulu, kan? Sekalipun ada yang bisa memprediksi. Nah, manusia biasa macam gue bisa apa, sih?

_____


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top