42. PENERIMAAN

______

Semenjak tau bahwa melakukan seks ternyata menyenangkan, gue jadi suka kebayang-bayang gimana asiknya jika Juan dan gue mampu mempraktekkan adegan yang sepenuhnya belum legal bagi gue itu berulang kali. Meski masih sakit, nyeri bahkan ngilu, tetap aja gue doyan andaikan Juan mulai menjilati lubang pantat gue, bahkan menyodoknya. Nggak kapok juga belajar jadi top sekalipun diri ini belum sanggup menandingi teknik Tuan Bangsat Juan yang sentuhannya selalu sukses ngebuat gue seolah melayang. Apalagi ketika gue dapat jatah disodok dari belakang. Berasa mules sampe mau ngompol gue saking keenakan.

Kampret emang punya jiwa nafsuan yang hampir setara levelnya sama pacar.

Iya, hampir. Soalnya Juan jelas jauh lebih mesum walau gue udah mulai berani juga menggerayangi dia dan ngajak ngewe duluan. Tentunya, dengan terlebih dahulu menciptakan keributan di antara kami berdua.

"Bangsat, ke kamar skuy!" bisik gue ragu ketika mendadak sange melihatnya yang tengah fokus membaca buku.

Wajah gantengnya pas lagi serius gitu asli bikin nggak nahan.

Buku diturunkan. "Mau ngapain?" Lalu mata sipitnya menatap curiga. "Pantat lo gatel, ya?"

Sialan. Peka aja ini cowok otak selangkangan.

"Hm, dikit," jawab gue, nggak berani menatapnya langsung.

Dia mengangguk-angguk, meletakkan buku ke meja, kemudian menepuk-nepuk pangkuannya. "Oke. Sini, biar gue garukin pake Minnions!"

Buseettt. Gampangnya. "Emm, Minnions elo nggak kepengin gue bikin enak dulu?" tanya gue seraya melirik bagian tengah celananya yang udah aja menggunduk.

Gercep emang si Minnions. Padahal baru digoda sedikit.

Juan menggeleng cepat. "Nggak perlu. Hisapan lo juga gak enak-enak amat."

Tentu aja gue dongkol mendengar responsnya. "Anjing!" maki gue sembari melayangkan tendangan ke kakinya.

Sialnya, si Bangsat sigap menjauh. Tawanya yang pelan terdengar puas. "Gue lapar, Sayang. Kita makan dulu, yuk!" ajaknya merayu.

Gue antara kesel dan nggak kesel, nih. Soalnya selain ngajakin gue makan, dia juga manggil gue sayang. Huh. Mana udah capek gue protes terus-menerus mengenai panggilan sayang noraknya. Dan akhirnya memilih bersikap bodo amat beneran. Yah, daripada marah-marah, mendingan makan ajalah.

"Heh, Bego! Ambilin pisau itu."

Gue mengambilkan pisau paling besar yang nyaris seukuran layar tablet punya Juan.

Kontan aja dia menatap malas. "Lo pikir gue mau mutilasi orang? Ambil yang kecil aja."

Gue cekikikan, pisau besar ditaruh balik, gantian mengambil yang paling kecil serupa jari telunjuk.

Kali ini, dia mendecakkan lidah. "Gue punya pacar gak guna amat, ya."

Mendengar komentarnya gue ngakak. Memperhatikan paprika hijau dan kuning, wortel besar, daun bawang, daging sapi dan bawang merah-putih yang berserakan di meja dengan jiwa rakus yang mulai ngiler. "Elo mau masak apa, nih?" Sekarang gue baru ngasih pisau berukuran sedang, tetapi tajamnya setara omongan kejam si Bangsat.

Dia mengangkat bahu. "Seadanya bahan aja. Daddy kan malam ini mau pulang."

Tubuh gue membeku seketika mengetahui hal yang dikatakannya. Mata melotot, lantas terkesiap. Apa, kenapa, gimana? KOK BISAAAAAA!!!

"Elo kenapa nggak bilang-bilang soal ayah lo yang mau pulang?" tanya gue resah.

Anjir. Jiwa panik gue langsung memunculkan gambaran macam-macam yang mengerikan.

Juan mengerling sembari mulai mencincang bawang. "Kenapa? Lo takut? Dia kan udah tau kita pacaran."

Suara ketukan pisau di atas talenannya seirama detak jantung gue. "Gue malu, Bangsat! Mana belum pernah ketemu sama beliau. Kalo gue ditampar gimana?"

Kampretnya, ini cowok malah terkekeh. "Pemikiran elo selalu aja kejauhan. Santai aja. Daddy gue orangnya baik, kok."

Namun, siapa yang bisa menerka segala hal yang mungkin terjadi, kan? Juan ini terlalu mudah setiap kali menghadapi masalah. Zyas aja yang bukan siapa-siapaya pernah nampar gue kapan hari itu. Lah, gimana ayahnya? Andaikan kena tendang, bisa melayang kali gue sampe ke Sabang.

"Hhhh. Tapi ayah elo tuh selalu main jadi tokoh antagonis di film, Juan. Gak mau gue kalo nanti malah kena pelototan atau bentakan mautnya." Asli gue makin was-was, Bambang.

Kini, bayangan wajah sangar Om Julius di beberapa serial film terbersit di ingatan. Hiii. Ngeri. Nakutin. Nyaris serupa kayak muka BT anaknya. Nyeremin.

Juan meletakkan pisau. Tangan dia beralih merangkul bahu untuk membawa gue ke dekatnya. "It's okay. Kalo emang nanti daddy berniat ngelakuin sesuatu ke elo, atau kita, elo kan nggak sendirian. Di sini, ada gue. Kita hadapi daddy sama-sama, bicara berdua sama dia. So, berhenti khawatir. Gue nggak akan ngebiarin hal yang nggak-nggak terjadi sama elo juga, kan?" ujarnya menenangkan dibarengi senyuman. Menyusupkan perasaan lega yang ngebuat detak jantung gue menjadi lebih adem.

Duh, pas lagi manis begini dia juga paling-palingnya bikin gak nahan. Lihat deh senyum cakep di wajah ganteng dia. Sikap serius serta pengertiannya yang selalu aja bersedia mikirin gue apabila ada persoalan nggak baik yang mungkin terjadi juga bikin meleleh. Tanpa bisa ditahan, akhirnya mulut dia gue cium penuh nafsu. Jiwa mesum gue meronta-ronta kembali lantaran tersentuh oleh kalimat serta pesonanya.

(Iya, iya. Alasan doang kok itu. Gue emang aslinya masih sange)

Juan memegangi pinggang gue sewaktu bibirnya mulai gue hisap. Lidah kami menari bersama, sementara tangan gue bergerak-gerak di atas selangkangan dia. Sesuai dugaan, si Minnions udah ngaceng total. Mantul, deh.

Gue memundurkan kepala, lantas menelan ludah sesudah menghentikan sesi ciuman. Nyengir lebar dengan paras yang memanas sewaktu gue melorotkan celana Juan serta sempaknya sampai ke lulut, lalu lanjut berjongkok di hadapan Minnions.

"Seks di dapur? Hm, menarik juga. Ayolah, kita coba!" Si Bangsat berkata begitu saat gue mulai memasukkan Minnions ke mulut.

Masih aja menuhin kayak biasanya. Namun, yang sekarang jangan sampe ngebuat gue kesedak seperti yang dialami beberapa hari lalu. Saking semangatnya ngasih layanan nakal, tau-tau ujung mulut kesodok kencang. Keselek jadinya gue, setan!

Suara desahan Juan yang samar terdengar seiring dengan pergerakan mulut gue di sepanjang batang kerasnya. Aroma sabun lemon yang berpadu dengan bau khas dari kejantanannya tercium. Duh, salah satu aroma favorit gue, nih. Jelas aja makin horny.

"Ryan ... A-ah..." Mata Juan memejam dengan bibir yang digigit sedikit, tampak sangat menikmati hisapan dari gue yang tadi dibilangnya nggak enak-enak amat.

Dasar pacar tukang bacot.

Mana desahan dia meningkatkan nafsu di diri gue yang mau banget secepatnya disodok. Eh, atau hari ini bisa jadi giliran gue yang nyodok dia, ya?

Gara-gara hanyut dengan dunia milik sendiri, gue dan Juan sama sekali nggak menyadari masalah apa yang selanjutnya justru terjadi kepada kami. Tiba-tiba aja gue mendengar suara seseorang memekik, disusul bunyi benda yang jatuh ke lantai. Membuat gue seketika menghentikan hisapan dan mematung dengan debaran di jantung yang kumat lagi detakan kencangnya. Perlahan, gue mendongak hanya untuk mendapati si Bangsat melotot dengan jakun naik-turun gak keruan.

"Euh, eum ... this is ..." Dia menatap ke depan dengan lirikan yang bergerak gak tentu arah, beralih ke gue sembari membetulkan letak celana--menutupi Minnios yang langsung kehilangan semangat tempur. "Eum, sorry, Daddy. I mean, we're sorry."

ANJRIT. NYEBUT APA DIA BARUSAN? Daddy? DADDY DIA BILANG? INI GUE NGGAK SALAH DENGAR, KAN? Katanya ayah dia datangnya malam, tapi kenapa malah udah muncul aja sekarang? Ini pasti mimpi, kan? Iya, kan?

"You, stupid! Stand up!" bisik Juan seraya melotot gemas ke gue yang masih berusaha mencerna keadaan.

Kepala gue gelengkan secara lesu saking lemasnya. Gak mau, ah. Gak berani. Gak niat. OGAH POKOKNYA GUE BERDIRI.

"Bangun!" Si Bangsat malah menarik tangan serta bahu gue sekuat tenaga, bikin gue akhirnya berdiri juga.

Kampret! Gue malu bukan kepalang. Badan gue berasa lagi demam akibat panas yang menerpa paras gue serta debaran di jantung yang kian kencang. Mau nggak mau, gue memberanikan diri menoleh ke depan. Mendapati wajah aktor senior yang selama ini cuma bisa gue lihat di layar televisi kini muncul di depan mata. Sialnya, dia malah melihat gue untuk pertama kali saat gue lagi menghisap kontol anak tunggalnya.

Kacau!

ARRRGHH! HARRY POTTER, GUE BUTUH JUBAH MENGHILANG ELO SEKARANG. KALO NGGAK DIKASIH, GUE KUTUK ELO JADI SILUMAN KODOK, YA.

Gue mesti ngapain sehabis ini? Ngerasa sedih, malu, bingung, kecewa, panik, juga mau nangis nih gue. Semuanya campur aduk nggak beraturan.

Duhlah. Siapa pun, bunuhlah gue sebelum gue dibunuh sama ayah dari pacar gue. Mana tatapannya yang membulat bikin kaki gue gemetaran. Takut beneran gue sekarang. Sampe tahu-tahu panas aja ini bola mata.

Om Julius tampak meneguk ludah. "You guys ..."

MAMPUS!

Buru-buru gue menginterupsi kalimatnya, "ADUH! Ampun, Om! Gue mohon, jangan bunuh gue atau nyuruh gue putus dari Juan. Gue gak bakalan ngelakuin ini lagi. Gue nggak akan macam-macamin anak Om lagi! Jadi tolong, jangan marah ya, Om! Maaf, Om! Ampun!" Sambil menyatukan kedua tangan bak tengah memohon ampunan, gue meracau parau dengan muka yang dibasahi tangisan.

Suasana pun berubah lebih mencekam dan hening dibanding tadi. Apa ini tanda-tanda bahwa ajal gue sungguhan telah dekat?

"Euh ... Pfft!"

"Hahaha!"

Gue melongo dengan ingus yang nyaris keluar.

Huh? Hah? Apaan, oi? Kenapa? KOK GUE MALAH DIKETAWAIN, SIH? Nggak tau apa gue di sini lagi dalam pikiran apa besok gue bisa tetep menghirup napas ataukah nggak? Bangsul!

Juan mengusap air mata di pipi gue. "Gak usah nangis, deh. Lo jadi tambah jelek." Tapi bibirnya masih berkedut menahan tawa.

Minta diinjek nih kontolnya. Pacar biadab.

"Wow, Saga. Your boyfriend is so funny," komentar Om Julius seraya berusaha berhenti dari tawanya. Dia pun berdeham. "Ayo, kita ngobrol di ruang tengah." Beliau berjalan duluan meninggalkan dapur sehabis mengambil kembali plastik-plastik serta tas kerja yang tergeletak di lantai.

Gue menelan saliva setelah sosok tingginya lepas dari pandangan. "Ayah lo gak akan ngebunuh gue, kan?" bisik gue bertanya cemas.

Juan menyipitkan mata. "Mungkin dia bakalan ... motong Banana buat dijadiin jatah makan Yellow."

ANJIR. GAK BISA. BANANA GAK BOLEH SAMPE KENAPA-KENAPA.

"Gue pulang lewat jalan belakang aja," pamit gue sambil menyusut ingus.

Namun, si Bangsat malah menahan, memeluk gue sembari tertawa puas. "Gue bercanda, Bego. Percaya aja lo sama setiap omongan gue."

Gue kutuk pacar sendiri supaya jadi kumis kucing boleh nggak, sih?

Dadanya gue pukul. "Keterlaluan lo! Gue serius panik tau nggak, sih. Habis dia mergokin tadi, maksud gue ... gimana gue bisa ngehadap si Om, Bangsat!" Gue menutupi wajah, meraung-raung lirih di balik tangan. "Gue malu sampe rasanya mau mati."

Dia mengecup puncak kepala gue dan lanjut memberikan belaian lembut. "Gue ngerti, kok. Sorry. Elo nggak bakalan kenapa-kenapa oke? Kan kayak yang gue bilang barusan, kita akan menghadapi daddy sama-sama. Lo nggak sendirian. Jadi, jangan mikir yang macam-macam. Everything is gonna be fine!"

Lalu, di sinilah gue dan Juan sekarang. Duduk bersebelahan, menghadap Om Julius yang berada di seberang sofa yang kami tempati. Beliau tampak tersenyum tenang, tapinya yang ada malah ngebikin gue makin tegang. Jantung gue jedar jedur kayak mau meleduk ini.

Juan memegangi tangan gue, mengusap bagian punggungnya sambil memberi senyuman menenangkan. Yah, seenggaknya itu berhasil sedikit memudarkan panik di dalam diri gue.

"Ahem!"

Suara dehaman itu bikin gue berjengkit di sofa dan refleks memandang ke depan.

"Jadi, ini Feryan? Pacar Saga yang selama ini sering dia bicarakan?" tanya Om sambil menatap gue lurus.

Ah, gue harus bilang apa, nih?

"Heh, elo ngomong!" desis Juan. Punggung gue ditepuk-tepuk dari belakang.

Gue meneguk ludah lebih dulu. Mencoba berani membalas pertanyaannya, "S-salam kenal, Om. Maaf, anak Om jadi homoan sama sa ... eh, gue. Emm, s-sorry. Maksudnya, iya. G-gue ini pacar Juan, eh, Saga. Euh, aduh!"

BANGSUL. Gak bisa apa gue ngomong bener sepatah kata aja?

"Hahaha!" Om Julius ketawa keras sampe bahunya berguncang. "Santai aja, Feryan. Kan kamu sudah dengar cerita dari Saga bahwa Om tahu Saga sukanya laki-laki sejak dia SMP. Jadi, Om juga nggak terlalu kaget saat dia bilang bahwa sekarang pacarnya laki-laki," terangnya, lantas mengembuskan napas. "Om justru merasa lega karena sekarang Saga berkenan membuka hatinya untuk orang lain. Kamu tau, sejak dulu disebabkan sifatnya yang kurang ajar dan agak kasar, nggak banyak orang yang bertahan lama jadi--"

"Agak?" Gue memotong cepat.

Bisa gue rasakan mata Juan mendelik kemari. Bodo amat. Isi kalimat yang diucapin ayahnya emang ada yang perlu dikoreksi, kok.

Si Om tercenung sesaat, kemudian terkekeh. "Ya, Saga memang ... sangat kasar anaknya. Kadang, sih. Nggak selalu, kan? Tapi, yang Om lihat, sepertinya kamu mampu mengimbangi dia."

Senyuman gue timbul sebab baru dapat merasa lega setelah berbicara seperti ini dengan beliau. "Ehehe. Iya, Om. Habisnya gue suka banget sama anak Om ini," aku gue jujur.

Kening pria yang gue ketahui berusia 42 tahun itu mengernyit. "Apa Om boleh tahu alasan apa yang membuat kamu menyukai Saga hingga sekarang?"

Isi kepala gue langsung aja berputar-putar. Menampilkan berbagai gambaran di antara gue dan Juan selama ini. Dari mulai kami bertemu, saling kenal, PDKT-an, sampai kami jadian, bahkan cipokan dan menciptakan momen panas di ranjang. Mengingat satu demi satu pengalaman yang bagi gue nggak akan pernah bisa terlupakan. Terutama, alasan kenapa gue menyukai dia.

"Juan baik, Om. Dia cowok yang baik. Iya, dia ngeselin. Bangsat pula. Mes--maksud gue, kalo bertingkah suka nggak keduga-duga dan bikin gue gak tau harus gimana. Yang gue tau, dia malah ngejadiin gue bahan hiburan pribadinya," ungkap gue dengan cengiran. "Tapi, anak Om punya sikap pengertian yang besar. Perhatiannya pun nggak setengah-setengah. Pokoknya, Juan ..." Sosok di samping gue ini gue tatap selekat mungkin. "Yang Bangsat ini yang paling gue sayang."

Senyum lebar Juan luntur perlahan-lahan digantikan ekspresi gemas. Alhasil, pipi gue dia beri cubitan.

"Aw, aw, aw! Sakit, woi!" protes gue seraya menyingkirkan tangannya.

"Keliatannya, kamu sudah cukup mengenal Saga dengan baik," komentar Om Julius bikin perhatian gue beralih lagi padanya. "Om harap, kamu bisa terus menemani Saga. Bukan hanya sebagai pacar, tapi sekaligus teman, kakak, dan teman bercerita. Seperti yang kamu ketahui pula, dikarenakan sibuk, om nggak bisa meluangkan banyak waktu untuknya. Maka dari itu, om minta bantuan kamu, Feryan. Apa kamu bersedia?"

Gue mengangguk tanpa ragu. "Meski Om nggak minta, gue pasti bakalan ngelakuin semua itu. Jadi, Om tenang aja. Feryan di sini nggak keberatan nemenin Juan selama apa pun," balas gue penuh keyakinan.

Om Julius menghela dan mengembuskan napas sebelum berdiri. Melangkah mendekat kemari, untuk lalu mengusap kepala gue pelan bagai tengah mengasihi anak sendiri. "You're really adorable, Feryan. No wonder my son could fall in love with you. He's so lucky."

Entah apa arti keseluruhannya, yang jelas gue tau bahwa gue baru aja dapat pujian. Asik. Ngembang hidung gue kayak adonan roti yang dipanggang.

Juan tahu-tahu merangkul gue mesra. "I told you so!"

Om kini gantian mengacak-acak kepala putranya. "You should take good care of him. Don't bully him too much. You heard me?"

Si Bangsat mengangguk-angguk. "I always take good care of you. Right, babe?"

Njir, geli. Beb, beb. "I'm not bebek tuh, Bangsat!"

Respons itu kembali mendatangkan tawa bagi ayah pacar gue. "Ah, I like you so much, Feryan. I'm glad you're the one who being my son's boyfriend." Sekali lagi, kepala gue mendapat usapan.

Duh. Iri gue sama si Bangsat. Enak banget dia bisa punya ayah sebaik dan sepengertian si Om. Sekarang gue paham deh asal semua sifat baiknya itu dari mana. Nah loh, kalo gitu dia ngambil sifat jeleknya dari siapa, dong?

"Oh, iya. Daddy lupa!" Om Julius berbalik untuk mengambil salah satu plastik yang dibawanya. Memeriksa isinya terlebih dahulu sebelum berjalan mendekat lagi dan menyodorkannya pada gue. "Oleh-oleh dari Singapura. Sengaja om siapkan untuk kamu. Saga, sisanya yang di sana itu untuk Dyas, Ervano dan juga Metta. You know which one from their favourite color, right?"

"Yes, Dad. I'll give it to them later."

Gue mengambil benda paling besar dan berat dari dalam plastik yang ternyata merupakan kotak ... IPAD MINI ANJIR. Ini nggak salah apa?

"Om, bentar. Ini Om nggak salah ngasih Feryan oleh-olehnya? M-masa ini, iPad. Merk apel digigit lagi. Kan ini mahal banget, Om!" tanya gue jelas keheranan dan memasukkan kotak kembali ke dalam.

Yang menanggapi justru anaknya. "Elo baru satu kali dapat oleh-oleh begitu. Liat tuh kolong laci gue. Sampe bosen gue dikasih oleh-oleh sama Daddy."

Apa itu artinya semua HP miliknya merupakan hasil oleh-oleh seluruhnya? Gilaaaa. Oleh-oleh mah makanan, lah ini gadget.

"Itu cuma oleh-oleh sederhana."

iPad Apple sederhana darimana aduh, Om!

"Om sengaja mencari yang sekiranya dapat bermanfaat bagi kamu. iPad kan bisa kamu gunakan untuk belajar, main game, atau sekalian coba-coba mengolah kreatifitas."

Lagi-lagi, anak kurang ajarnya yang buka suara. "Dia punya kreatifitas apaan sih, Dad. Saga yakin buat ngatur iPad ini aja dia nggak akan becus!"

"Saga!"

"Bangsat!"

Gue dan Om membentaknya secara kompak sampe bikin Juan menutup sebelah telinga. "Damn! Okay, whatever. I won't say anything anymore."

Om menggeleng-geleng masygul. "Kalau begitu, Daddy mau istirahat dulu," ujarnya sembari melangkah menuju ke tangga.

"Daddy nggak mau makan malam bareng?" Juan dan gue sigap berdiri.

"Oh, iya. Saga sedang masak, ya?" Saat putranya ini mengangguk, Om menunjukkan senyuman lebar. "Okay, then. Nanti setelah masakannya sudah matang, panggil aja. Daddy mau mandi. And please, jangan lanjutin kegiatan tadi. At least, not in the kitchen. Sebab dapur nggak seharusnya jadi lokasi melakukan kegiatan semacam itu. Oke?"

Aduh, malu. Pake segala diingetin. Hasilnya, gue sekadar mengangguk pelan.

"You talk as if you never do it in there in the past, Dad."

Komentar Juan entah kenapa membuat wajah Om Julius agak merona. "Saga, you little ... watch how you speak to your parents!" gertaknya tampak lelah, lantas benar-benar berlalu dari hadapan kami.

Sepeninggalan beliau, gue mengembuskan napas panjang. Bersyukur sebab nyawa gue masih utuh. Nggak pergi ke mana-mana. Alhamdulillah. Ditambah, gue nggak disuruh putus atau apa-apa lainnya dan malah dimintai untuk menemani Juan seterusnya. Gue dapat mengartikan ini sebagai restu serta penerimaan dari Om Julius, kan?

"Dasar Daddy. Gak pernah berubah," kata Juan yang lalu terkikik.

Gue mengintip isi plastik lebih teliti. Ada kotak dan bungkusan cokelat, topi, kotak jam tangan, jaket, dan eh, KAUS-KAUS BERLOGO KHUSUS DARI PARA TOKOH UTAMA ONE PIECE DONG. Jiwa wibu gue menjerit! Apa sekarang gue justru bakalan mati karena bahagia?


"Elo setiap ngobrol sama om ngomongin apa aja sih soal gue?" tanya gue heran. Habisnya itu bapak-bapak berasa udah tau semua mengenai gue, bahkan sampe segala isi obrolan gue dan putranya.


Dia mengernyit. "Euh, semua ... eh, no, no. Nyaris semuanya. Karena daddy seneng setiap denger curhatan gue. Kan gue anak satu-satunya. Andai gue nggak banyak cerita ke dia, gimana interaksi kami bisa bertambah?"

Penjelasannya ngebuat gue makin iri. "Gue anak satu-satunya juga, tapi papah gak pernah nanya apa pun ke gue, tuh."

"Itu karena papah elo emang busuk sifatnya."

Yah, betul, betul, betul juga, sih. Oh, iya, jadi keinget lagi guenya.

"Bicara soal kebusukan, nih. Gue bingung deh, Juan. Ayah elo punya sifat sebaik itu, gue paham lah dari mana asalnya setiap sikap elo yang baik-baik, kan. Nah, yang kepengin gue tau, sifat-sifat jelek elo itu munculnya dari mana? Apakah tercipta dengan sendirinya atau gimana?" tutur gue, mengungkapkan kekepoan seperti biasa

Juan malah memutar bola mata. "No way ini tercipta sendiri. Semua sifat buruk gue itu menurun dari mommy."

Jawabannya udah jelas bikin gue tercekat seketika. "APAAA???"

Huh? Apa gue nggak salah dengar? Dari mommy dia? Mommy dia! Mendiang sang mommy yang cantiknya kayak bidadari itu?

Kepala gue ditepuk-tepuk. "Udah, gak usah banyak tanya. Mendingan kita lanjut masak sekarang. Gara-gara elo gue tambah lapar, nih!"

Mendadak gue jadi tersengih mendengar omelannya. "Kok gara-gara gue?"

Juan mendelik. "Ya, iya. Yang tadi sange duluan siapa?" sahutnya tepat sasaran.

Hadeuh, kacau! "Elo ngebacot kayak lo sendiri nggak kepengin aja. Heh, gue masih butuh jawaban soal sifat jelek lo itu, ya," ujar gue menuntut sambil berkacak sebelah pinggang.

Dia mengangkat bahu gak acuh seraya melangkah menuju dapur. "I don't care. Gue lapar. Kalo mau berisik terus-terusan, mendingan elo pulang aja sana!"

Anjir. Gue diusir. "Baiklah, Tuan Juan. Saya diam." Daripada ngelewatin kesempatan gak bisa makan masakan Juan.

Dia tersenyum puas. "Good. Now, help me. Bikinin gue jus wortel buat pengganjal perut, dong!"

Yeee, dasar Bangsat! Ujung-ujungnya kena lagi gue. Untungnya sayang. Jadi, pasrah ajalah.

______


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top