41. PENINGKATAN

"I'm in love with the shape of you. We push and pull like a magnet do. Although my heart is falling too, I'm in love with your body. Last night you were in my room, and now my bedsheets smell like you. Every day discovering something brand new. I'm in love with your body!"

Juan mengakhiri nyanyian yang serupa lagu yang dibawakan pada penampilannya di laptop yang tengah gue tonton dengan kecupan di pipi. Sontak aja muka gue kerasa tambah panas, Bangsul! Mana dia keliatan keren dan ganteng banget lagi pas nyanyi sambil mainin piano gitu. Rambutnya yang lebih pendek sewaktu masih SMP pun bikin dia keliatan makin seksi.

AAAAA. PACAR GUE!!!

"Ajay kenapa digundulin segala?" tanya gue penasaran sebab heran. Dia menurut gue pantes-pantes aja dikasih model rambut soalnya. Tetapi, kenapa malah milih jadi gundul pacul?

Di sebelah gue dengkusannya terdengar. "Kenapa elo mau tau tentang Jay? Jangan bilang elo tertarik sama dia?"

Gue memutar bola mata. Ini orang kalo cemburu nggak bisa ngebaca suasana dikit aja apa?

"Gue pengin kepo soal temen lo wajar kali, Bangsat! Kayak; kenapa elo sama anak band Jajaja nggak satu sekolah bareng? Terus, dari mana elo tau Arnando Julian dan Arima Jofan pacaran? Lalu kalian ngebentuk band latar belakang ceritanya gimana? Dan lain-lain, dan sebagainya, dan blablabla!" ujar gue panjang lebar.

Saat gue melirik, si Bangsat keliatan menyipitkan mata kayak yang nggak yakin. Duh, enak kali kalo gue nonjok mukanya. Sayang, udah PW tengkurap sembari nonton.

Lantas melanjutkan, "Lagian, nggak mungkin segampang itu juga kali buat gue demen ke cowok lain saat gue udah tergila-gila sama elo, kan? Tapi, lupain aja apa yang barusan gue bilang soalnya muka sumringah elo bikin enek."

Dia terkekeh dan mencubit pipi gue gemas. "Iya, iya. Oke. I'll tell you everything," balasnya yang sesudah itu betul-betul menceritakan semuanya. Menjawab kekepoan gue yang seolah nggak ada habisnya. Yang meski jelas ngebuat dia capek dan gregetan selama menjelaskan, tapi tetap aja dilanjutkan demi memuaskan gue yang selalu aja dihantui rasa penasaran. "Vano dan Dyas daftar sekolah di SMA yang sama dengan gue karena emang kegiatan ekstrakulikuler di sini asik dan sarana olahraganya enak. Mereka yang paling klop dan punya banyak hobi yang sama kayak gue. Itulah kenapa kami ke mana-mana sering barengan. Beda sama anak-anak Jajaja lain, mereka nggak daftar ke SMA ini karena sekolah ini kegiatan bermusiknya minim dan lebih banyak fokus ke seni sastra juga lukis. Well, mungkin karena persyaratan masuk ke sekolah ini juga agak menyangkut nilai, sedangkan isi otak mereka biasa-biasa aja. Nyaris sama kayak elo!"

Yeee, sialan. Ujung-ujungnya gue juga yang kena.

Juan lalu menggumam seakan tengah memikirkan sesuatu. "Iya, juga. Kok elo bisa daftar masuk SMA kita sedangkan fungsi otak elo lemot dan begonya bener-bener perlu dipertanyakan?"

Ini bule semprul antara mau nanya dan emang sengaja mau ngerendahin gue. Tck.

Gue mendengkus sebelum menjawab, "Gue usahalah, Kampret! Jangan remehin kekuatan omelan mamah dan nenek yang ngebet kepengin gue masuk ke SMA ternama supaya bisa memperbaiki masa depan dan juga prestasi. Ngebul hasilnya otak gue gara-gara kebanyakan nginget materi pelajaran pas ujian. Hasilnya, begitu mulai masuk SMA, makin menjadi-jadi aja kebegoan gue akibat stres."

Kepalanya miring sesudah mendengar seluruh perkataan gue. "Alasan. Kalo udah bego, ya bego aja. Gak usah kebanyakan ngeles."

"Anjing!" Pipinya akhirnya gue tampar pelan.

Dia mengelus-elus pipi kirinya dengan raut geli. "Iya, pacarnya anjing!" Sehabis itu nyengir. "Meski gitu, gue seneng karena elo dan gue satu sekolah. Kalo nggak, gimana kita bisa ketemu dan saling kenal, kan?" komentarnya gue beri anggukan setuju. "Tapi, kira-kira tahun depan elo bakalan lulus nggak, tuh?"

Dih. Si Bangsat malahan ngasih pertanyaan yang paling ngebuat proses bersekolah gue nggak tenang. "Harus bisa lulus, dong! Kalo nggak, nanti gue bisa-bisa diomelin sampe keriput kali sama mamah. Atau mungkin, digetok pake kunci Inggris punya papah." Ngebayanginnya aja langsung merinding sekujur badan.

"Papah lo segalak itu?"

"Dia keras orangnya. Kalo galak sih, galakan mamah. Papah lebih sering bertindak pakai tangan ketimbang omongan." Gue ketawa mendapati ekspresi cemas di wajah ganteng Juan. "Gak usah dipikirin. Tadi itu kemungkinan buruk yang sering nakut-nakutin gue aja."

Tangan dia bergerak untuk membelai kepala gue penuh sayang. "Kalo ada sesuatu yang buruk yang ortu lo ucapkan dan perbuat ke elo, janji lo harus cerita ke gue. Oke?" pintanya tampak serius.

Gue mengangguk tiga kali.

"Janji sama gue!" tuntutnya belum puas.

Adedeu. Gregetlah kalo sikap protektif dia mulai nongol. "Iya, Tuan Juan. Saya berjanji." Gue mencium hidungnya. "Makasih udah khawatirin gue."

Dia tersenyum lembut. "Karena gue sayang sama lo, Bego. Bagi gue, elo itu penting. Dan elo, harus paham hal itu!"

____

BOOL GUE NYERI, BAMBANG.

Gila. Susah banget berusaha jalan dengan langkah yang normal tanpa ngangkang kelebihan dan nggak terpincang-pincang. Alhasil, gue melangkah pakai cara yang selow selama menuju ke kelas. Mengabaikan tatapan heran serta bisik-bisik yang para murid lain berikan, dan cuma mampu meringis tertahan di setiap pijakan yang gue ambil. Bodo amat, deh. Mau nyalahin Juan, toh gue juga keenakan. Jadi mendingan pasrah ajalah sama keadaan.

Saking lamanya gue berjalan, di kursi kami, Setya udah keliatan duduk aja padahal biasanya gue yang sampai lebih dulu ke kelas. Sekadar tersenyum masam sewaktu anak-anak di sini meledek langkah gue yang lucu. Bahkan si Febri curut aja memandang geli begitu gue mendaratkan pantat ke kursi.

"Elo kenapa?"

Halah. Pura-pura nggak ngerti apa berlagak polos ini setan? "Kayak elo nggak pernah aja!" sembur gue dan merintih sakit. "Gue yakin, lo sama Hannesnya elo itu lebih banyak pengalaman," bisik gue meneruskan.

Dia mengernyit, memasang pose berpikir khas yang kali ini tampak ngeselin. "Pengalaman apa maksud lo? Pacaran sambil baku hantam?" Kedua bahunya dinaikkan. "Gue dan Hannes nggak kayak lo sama Juanda, ya. Gaya pacaran kami selalu kalem dan penuh keseruan."

Mendengar jawabannya yang ada gue heran. "Maksud gue bukan itu, Setan, tapi ..." ANJIR. Mesti gue ucapin gitu? "Euh, ya ... itu. Gitu-gituan, loh. Emm, gimana, ya?"

Bangsul. Mau ngomong soal seks ke kawan aja udah macam berniat ngakuin tindak kriminal pada pihak berwajib.

Suara Setya sangat kecil saat mengatakan, "Ngewe?"

"IYA!" seru gue membenarkan dan kekencengan. Lalu buru-buru menutup mulut sendiri. "Tuh, elo ngerti, Set!" Kali ini mendesis.

Senyum biadabnya muncul. "Oh, jadi elo udah sampe ke tahap ngewe sama Juanda. Nggak heran, sih. Udah gue duga kalian sama-sama bejad," komentarnya, kemudian ketawa tertahan.

Dih, goblok. Panas bool dan muka gue, nih.

"Gak usah ngomong seolah elo sama si Vano gak pernah begitu juga," balas gue sambil menunjuk tepat ke bibir tebalnya.

Bibir yang pasti udah keseringan ngisap kontol itu bule jelmaan kelapa.

Namun, gelengan Setya ngebuat gue tambah kebingungan. "Gue sama Hannes belum pernah ngewe. Boro-boro ngewe, kami megang penis satu sama lain aja nggak pernah."

Mata gue seketika melotot. Yang bener aja! "Kalian pacaran udah lama, kan? Lebih setengah tahun. Kalo nggak pernah nge--gitu-gituan, selama pacaran kalian ngapain, dong?"

Wajah dia memerah mendengar pertanyaan gue. "Kissing. Cuddling. Playing games." Matanya melirik ke arah lain sembari bicara hal yang gak gue pahami semuanya.

Hidungnya gue tabok pake jari telunjuk. "Gak usah berlagak bule deh lo!"

Sohib gue ini menutup kedua matanya. "Cipokan, pelukan, main game doangan. Udah," ucapnya mengaku dengan wajah yang keliatan malu.

"Selain itu?"

"Nggak ada."

"Sama sekali?"

Gue masih nggak bisa percaya gitu aja ya, Bambang. Ada gitu orang yang pacaran tanpa ngeseks di zaman sekarang?

Matanya membuka dan menyipit. "Euh, ya, gue pernah mandi bareng sama dia, sih. Di bathtub."

"Tanpa ngapa-ngapain?"

Bibirnya bergerak kecil, "Ci ... pokan, sih."

"Nggak sange atau kegoda gitu elo pas ngeliat badan telanjang dia? Gue aja cuma diliatin badan atas Juan yang kebuka udah ngiler." Ngebayanginnya doang sukses bikin deg-degan.

Setya tersengih. "Jelaslah sange," balasnya, lalu melanjutkan, "Tapi, gue udah berkomitmen sama Hannes bahwa gue mau terus pacaran sama dia tanpa ngelakuin hal-hal yang menyangkut perihal kepuasan seksual. Dan dia untungnya setuju. Hannes bilang, dia pacaran sama gue juga karena sukanya murni cinta tanpa ada pikiran ke arah sana. Percaya atau nggak nih, dia nggak sekali pun gue liat pernah ngaceng selama kami pacaran atau mojok. Meski gak heran juga. Kan dia emang bukan gay." Kepalanya menggeleng-geleng, seakan takjub sendiri.

Apa dia nggak curiga si Vano bisa aja impoten karena nggak pernah ngaceng? Ah, lupain ajalah soal itu.

Gue berdeham. "Terus, kalo elo sange, kenapa nggak kepengin nyoba nge--ya, itulah."

Anjrit. Asli susah blak-blakan tentang ngentot dan ewe kalo bukan sama pacar sendiri dan lewat ucapan.

"Karena takut," jawabnya cepat.

Wah? "Kontol dia gede, ya?" tebak gue. Mengingat si bule bangsat yang badannya gak jauh beda sama gue aja punya ukuran kontol yang luar biasa. Lah, apalagi sahabat jelmaan tiang listriknya, kan?

Dia gue lihat mengernyit. "Ya, anggap aja itu salah satunya--kan gue belum pernah ngeliat Hannes ngaceng. Alasan lainnya sih, gue nggak mau aja kesakitan hanya demi ngerasain keenakan sesaat. Apalagi setelah ngeliat kondisi elo yang begini. Makin nggak kepengin gue nyobainnya lah. Ngeri. Pasti sakit banget, kan?"

Enaknya gue jawab gimana, nih? "Sakit, Set. Tapi enaknya juga mantul, bikin nagih. Gak bohong gue," respons gue sembari memasang ekspresi semeyakinkan mungkin.

Anehnya, Setya malah meringis. "Iya, deh. Tetep ya, gue nggak akan tertarik." Kepalanya menggeleng-geleng lagi, kali ini lebih kayak yang prihatin.

Oh, iya. Gue jadi ingat sesuatu. "Eh, Set, kenapa kalian nggak coba tukar posisi aja? Biar elo nggak kesakitan."

"Tukar posisi gimana?"

"Ya, elo yang nusuk si Vano."

Matanya mendelik. "Anjir. Gila ya lo? Elo pikir gue seegois apa sampe tega nyakitin dia saat gue sendiri nggak mau kesakitan," komentarnya dongkol.

Loh, salah ya saran gue? Padahal kan yang gue dengar dari Juan hubungan ganti-gantian macam itu udah banyak yang mempraktekkan.

"Euh, tapi, gimana menurut elo andaikan gue bilang, bahwa si Juan nggak keberatan kalo gue nusuk dia juga? Supaya adil katanya," ujar gue bercerita pada akhirnya.

Semoga Juan nggak akan bersin-bersin dan mengamuk tanpa sebab di mana pun dia berada.

Pendelikannya digantikan sorot kagum. "Bagus, dong! Berarti dia bener-bener mikirin perasaan lo juga. Nggak cuma mau enak sendiri."

Mendengar komentar itu, terang aja menumbuhkan perasaan lega. "Ah, gitu, ya?"

Dia tersenyum lebar. "Iyalah. Tapi nggak disangka Juanda elo sekeren itu. Gak heran elo kegila-gila dan jadi homo gara-gara dia, deh."

Senyumnya menular ke gue. "Iya, kan? Sekeren itulah pacar gue."

YEEE, KAMPRET. Emang paling susah nyembunyiin rasa bangga saat pacar gue keliatan lagi baik-baiknya.

Setya mengacungkan dua jempol. "Mantap. Langgeng teruslah kalian. Hannes juga selalu ngedoain yang terbaik buat elo berdua sejak gue ceritain tentang kalian yang mulai pacaran."

Hm, kekepoan gue bertambah lagi. "Emangnya sejak kapan dia tau soal gue dan Juan?"

"Sejak hari pertama elo cerita bahwa kalian jadian."

ANJRIT. RUPA-RUPANYA. "Dasar bule kambing. Dan dia berlagak shock parah sewaktu Juan ngenalin gue sebagai pacar kapan hari itu."

Pacar dari itu kambing nyengir. "Maklumin aja. Hannes kan emang paling jagonya untuk urusan akting nggak tau apa-apa."

Iya, deh. Dibela terus. Wong mereka selama ini aktingnya barengan.

Gue mendecak. "Nah, elo sendiri, sejak kapan suka ke si Vano?"

Semburat merah di mukanya malah muncul lagi. "Gue suka dia sejak ngeliat badan jangkungnya di hari pertama masuk sekolah. Ditambah, Hannes ini putih dan ganteng keren gitu, kan. Dia tuh beneran tipe gue. Paling idaman bangetnya," ungkapnya dengan rona berseri-seri dan senyuman bahagia yang kentara.

Beneran, ya. Bucin mampus asli Setya ini ke si Vano. "Oke, deh. Gue percaya. Ekspresi lo udah cukup buat ngebuktiin semuanya."

Setya cengengesan, sedangkan gue hanya mampu mengembuskan napas pasrah. Seusai berbagi cerita sedemikian rupa dengannya, barulah gue paham bahwa memang cara berpacaran setiap orang itu berbeda-beda. Yang mana artinya, gue dan Juan yang tahap bercintanya udah sampe ke ngeseks dan segala macamnya itu bisa disimpulkan memiliki peningkatan tersendiri, dong?

Peningkatan, hm. Istilah yang gue ambil ketinggian nggak, sih? Bukan bermaksud ngeremehin hubungan Setya dan si Vano yang menurut gue terlalu wow saking 'kalemnya', ya. Di sini, gue juga sadar bahwa ikatan yang terjalin di antara dua insan itu terbilang cocoknya bukan sekadar dilihat melalui cara mereka berbagi sentuhan atau menciptakan pengalaman di ranjang. Tetapi juga, perihal membangun interaksi. Berusaha lebih mengenal satu sama lain dengan mempertahankan apa yang selama ini terus mereka pegang. Janji, rahasia, hingga rasa terdalamnya. Asli mantul, kan?

Jadi gue berharap, Juan dan gue juga seterusnya bisa terus-terusan memiliki peningkatan pada hubungan yang kami jalani. Entah sampai kapan. Yang jelas, gue mau kami selalu mempunyai satu atau dua hal yang bisa dilakukan setiap tengah berduaan. Nggak melulu soal seks tentunya, ya.

Sayang disayang, keinginan untuk ngeseks lagi dengan si Bangsat nggak bisa ditahan-tahan. Gue berencana menagih kesiapan dirinya yang bilang bersedia untuk gantian disodok, dong.

"Oke. Kalo elo kepengin nyoba secepatnya. Let's do it," jawab Juan enteng ketika gue mengajaknya ketemuan di kantin dan menanyai niat gue tanpa basa-basi. "Mau di mana?" Dia menyedot es kopi cappucino kesukaannya.

"Di rumah gue aja. Sehabis sholat Jumat di rumah sepi, soalnya nenek bakalan ikut pengajian."

"Oke. Nanti gue ke sana."

YES! ASEEEEK! Gue bakalan membobol juga keperjakaan dari seorang Juanda Saga. Gue, dari semua cowok ganteng dan punya kontol lebih gede di dunia. Hahahahaha! Di rumah gue sendiri pula. HOREEEEE!

Namun, hasilnya sama sekali nggak sesuai ekspektasi. Gue ... gagal. Baru juga masukin Banana ke lubang bool si Juan, eh tau-tau muncrat aja kontol pendek gue.

ARRGHHH! KAMPRET!

Kontan aja si Bangsat ketawa puas. Dia pun sampe meringkuk sambil memegangi perut saking puasnya ngakak. Bahkan gue liat sedikit air matanya ikut keluar. "Damn! Minnions gue sakit, pantat gue nyeri, perut gue juga elo bikin kaku. Dasar bego!" ucapnya di sela-sela tawa.

Gue mendengkus seraya melepaskan kondom, lanjut membetulkan kembali posisi berbaring Juan untuk membaluri Minnions dia yang setengah tegang menggunakan pelumas yang ada di meja. Seketika tawa dia raib, ekspresinya tampak heran sekarang.

"Elo mau apa?" tanya dia, tercekat melihat gue yang memanjat ke atas badannya.

Wajah gue panas, pun jantung berdebar kencang saat Minnionsnya yang udah berdiri tegak gue pegangi sembari diarahkan ke lubang pantat gue yang sedang menjerit-jerit menginginkan sodokannya. "Menurut lo?" balas gue, lantas perlahan menurunkan pinggul untuk mulai menaiki Minnions.

Desahan gue dan Juan menyahut dalam waktu yang hampir bersamaan. "Damn, Ryan!" umpatnya, menatap gue penuh gelora. Banana yang sekarang ngaceng lagi dielusnya. "Nggak langsung muncrat lagi, nih?"

"Bentar lagi mungkin. Kalo prostat gue ditubruk berulang-ulang sama Minnions lo." Gue mengerang seraya bergerak ke bawah, membawa Minnions yang telanjang lebih ke dalam.

Ah. Makin nyeri aja ini lubang bool. Sialnya, gue pun kegelian dan ngerasa nyaman, ditambah rasa penuh dan agak mulasnya. Untung aja sebelum Juan datang gue udah melakukan persiapan maksimal.

"Elo nggak apa-apa? Gak usah maksain diri andai masih sakit," desisnya khawatir.

Gue tersenyum, menyeka peluh yang kian banyak membasahi muka. "Nggak apa-apa. Gue pengin, dan elo juga mau. Jadi, tolong sodok saya sampe keenakan ya, Tuan Juan."

Seperti itulah kira-kira situasi bagaimana sesi percintaan kami yang berikutnya terjadi. Berakhir saling bertindihan dengan badan yang lengket di ranjang kecil ini. Pun, Juan nggak ada hentinya membelai-belai kepala gue yang terbaring di dadanya.

"Lain kali, elo masih bisa nyoba jadi top lagi, kok," katanya, memecah keheningan.

"Boleh?"

"Iyalah. Kenapa nggak?"

"Tapi yang tadi gagal, Bangsat." Suara gue nyaris merengek.

Asli sedih, tauk! Apa ini artinya gue nggak ada bakat untuk dapat menjadi seorang top?

"Elo ingat momen kita having sex untuk pertama kali? Gagal juga, kan?" Dia mengecup dahi gue. "Gagal itu hal yang biasa. Jadi, elo gak perlu putus asa," terusnya justru menyemangati.

Duh. Ini cowok Bangsat manisnya tambah mempesona aja makin hari.

Gue menggumam sebelum merespons, "Sebenarnya sih, lebih enak jadi bottom daripada top. Gue nggak perlu banyak gerak, tinggal nunggu kontol masuk, terus nanti keenakan tanpa repot maju-mundurin pinggul."

Juan malah ketawa sampe ngebuat kepala gue goyang-goyang. "Lupa ya tadi elo juga naik-turunin pinggul cukup lama? Emangnya nggak capek?"

Eh, iya juga, ya. Alhasil, gue nyengir. "Capek, sih. Tapi tetap enak." Gue jadi gemas sendiri dan mulai memainkan puting dada si Bangsat. "Yah, gitulah. Pokoknya gue jadi top kapan-kapan lagi ajalah, kalo udah mulai nambah pengalaman dan pengetahuan. Sisanya, biar kita sering-sering ngeseks kayak tadi "

"Oke, oke. Apa pun yang menurut lo baik, gue setuju aja," balasnya, lalu mengembuskan napas hingga mengenai rambut gue. Adem. "Yang jelas, gue senang bisa ngelakuin seks gimanapun caranya sama lo. Selama gak terlalu aneh dan macam-macam." Kemudian, dia menahan tangan gue. "Puting gue geli, Sayang."

Anjir. Kumat noraknya si Bangsat!

"Berhenti manggil gue pake sayang-seyeng, deh. Elo tau gue nggak suka!" omel gue secara serius.

"Iya, Sayang!"

"Lo budeg, ya?"

"Iya, Sayang!"

"Arrrghhh! Capek gue, Bangsat!"

"Itu derita lo, Sayang!"

Dasar bule sialan. Duh. Risiko punya pacar bangsat gini, ya. Dibodo amatin ajalah mendingan.

BODO AMAT UDAH!

"Udah ngambeknya nih, Sayang?"

"MOHON ANDA SEGERA PULANG, TUAN JUAN. SAYA MERADANG!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top