37. PEMULIHAN

Gue melepaskan sabuk pengaman begitu mobil yang Juan kendarai berhenti di tepi jalan depan rumah. Sementara dia buru-buru turun sesudah mematikan mesin, untuk lantas membukakan gue pintu.

Gue mendecak risih. "Gue bukan tuan putri ya, Bangsat!" keluh gue lalu memijakkan kaki ke bawah. Sialnya, sewaktu berdiri kepala malah mendadak pusing yang bikin gue nyaris kehilangan keseimbangan.

Juan pun sigap memegangi. "Tuh, kan. Sok kuat, sih," omelnya sembari meletakkan sebelah tangan gue ke bahunya.

"Gue bisa jalan sen--"

"Shut up! Biar gue bantu elo jalan sampe ke kamar. Gak usah bawel!"

Yeee, kena omel lagi. Susah emang ngelawan jiwa over-protektif Juan Saga kampret ini. Pasrah ajalah gue. Hitung-hitung sekalian menikmati aroma badannya yang wangi.

Nenek menguak pintu utama lebih lebar menyambut kedatangan kami. Selanjutnya, melangkah cepat ke arah pintu kamar gue dan membukakannya juga. Membiarkan Juan memapah gue hingga ke ranjang yang untungnya sudah dirapikan. Kamar juga udah keliatan lebih pantas disebut kamar. Soalnya, yang terakhir gue ingat ruangan ini ditinggal dalam kondisi acak-acakan dikarenakan gue yang kelimpungan nyiapin segala hal sebelum berangkat menghadiri acara ultah Juan. Asiknya punya sosok nenek super pengertian.

"Nak Saga, mau nenek buatkan minuman apa?"

Juan menggeleng cepat selepas mendudukkan gue di ranjang. "Gak usah, Nek. Gak usah repot-repot."

Nenek tersenyum. "Ah, lebih repot mana membawa pulang Fery sampai ke rumah dibanding bikinin minum?" Serta-merta Nenek melangkah keluar dari kamar, meninggalkan si Bangsat yang belum sempat merespons kalimatnya.

Jaket hasil pinjaman ini gue lepaskan, setelahnya diserahkan kembali pada pemiliknya. "Nih, jaket lo."

Juan menerima jaket dari tangan gue dan malah menaruhnya di ranjang. "Gak apa. Biar di sini aja. Gue kasih itu buat elo."

"Gue gak nerima barang bekas, ya." Pengecualian buat HP gue, sih. Soalnya emang butuh. Ehehehe.

"Ya udah, elo simpan aja. Buat kenang-kenangan."

Gue sekadar menaikkan bahu. Gak mau lagi melawan perkataannya.

Kepala gue tahu-tahu diusap Juan pelan. "Elo lapar, kan? Mau makan?"

Cengiran gue muncul ditanyai demikian. "Gue pengin makan masakan elo, nih. Kangen."

Emang udah lama sejak terakhir kali gue nyicipin masakan dia. Nyaris dua minggu penuh.

Dia terkekeh. "Oke. Kalo gitu gue bakalan masak."

Jiwa rakus gue bersemangat!

"Serius? Jadi, elo mau pulang dulu, terus nganterin gue makanan lagi ke sini?"

Mendengar pertanyaan gue, bikin dia mengernyit. "Ngapain gue harus pulang dulu? Emangnya di rumah elo ini gak ada dapurnya?"

Gue menggumam sebentar. "Ya ada, sih. Tapi kan dapur gue kecil." Ukurannya cuma setengah seperempat dari dapur milik si Bangsat pula.

Juan mengangkat bahunya enteng. "No problem. Selama ada bahan makanan yang bisa dimasak, mau berada di dapur mana pun, gue pasti bisa nyiptain menu," ujarnya seraya mulai menggulung ujung kemeja hingga ke bawah siku. "Elo tunggu di sini, sementara gue masak dulu. Oke?"

Hanya anggukan kepala yang mampu gue berikan. Berusaha mengondisikan rasa lapar dan menyuruhnya bersabar sewaktu Juan mulai melangkah keluar.

"Airnya taruh di meja aja, Nek. Saga mau izin pakai dapurnya. Boleh, ya?"

"Eh, mau apa? Nak Saga mau minta dimasakin air?"

Tawa cowok gue terdengar. "Bukan. Feryan mau makan masakan Saga, katanya."

"Loh, Nak Saga memangnya bisa masak?"

Setelah pertanyaan itu disuarakan, obrolan mereka nggak lagi kedengaran dari sini.

Mungkin ini saatnya gue untuk menunggu.

Namun, sewaktu baru hendak berbaring, tiba-tiba aja Nenek masuk kemari dengan langkah yang kurang santuy. Ada apaan? Jangan-jangan gas kami abis malam-malam begini.

"Fery, Fery!" seru Nenek dan duduk di samping gue.

"Apaan sih, Nek?"

Tangannya menunjuk-nunjuk ke luar. "Itu, loh. Nak Saga. Nak Saga!"

"Iya. Kenapa sama dia?"

"Dia bisa masak!"

Oke. Isi kepala gue dipenuhi pertanyaan unfaedah sekarang. "Ya terus, kenapa kalo dia bisa masak?"

Nenek mendecak gemas. "Loh! Itu kan keren. Anak cowok, masih muda, tapi sudah bisa masak. Salutlah nenek. Coba deh, kamu juga belajar dari dia."

Boro-boro belajar masak ke si Juan. Lah, diajarin masak sama nenek sendiri aja gue ogah-ogahan. "Maleslah, Nek."

Mendengar jawaban gue, Nenek menggeleng masygul. "Kenapa? Padahal kalo kamu belajar masak dari dia, siapa tau kamu juga nanti bisa kecipratan gantengnya."

KECIPRATAN GANTENG DARI MANANYA, ELAAAH? YANG ADA KECIPRATAN MINYAK KALI, NEK. Ada-ada aja si Nenek. Untung aja nenek sendiri. Kalau ini nenek orang lain, udah gue getok kali kepalanya pake wajan.

"Orang belajar masak tuh supaya pinter masak, ini malah biar ketularan ganteng. Hadeuh," komentar gue heran, tapi maklum.

SIAPA SIH ORANG TUA DI LUAR SANA YANG NGGAK KEPENGIN PUNYA ANAK SERBA BISA KAYAK PACAR GUE?

Nenek tertawa pelan. "Terus, minumnya? Fery mau apa?"

"Es!"

Paha gue ditepuk agak keras. "Jangan bandel. Baru juga mendingan, sudah kepengin minum es. Nenek bikinin wedang jahe aja, ya?"

Jiwa rakus gue nggak tertarik sama sekali pada minuman yang satu itu. "Yah, Nek. Wedang jahe mah minuman bapak-bapak atuh. Selera orang tua. Buat Fery nih, mending dikasih minuman zaman sekarang. Kayak Chatime, Starbucks, atau bubble tea."

Mendengar semua jenis minuman yang gue sebutkan, Nenek tampak berpikir keras dengan raut kebingungan. "Itu minuman apa? Emang ada tetangga kita yang jual? Kayak Aqua, ya? Atau Teh Pucuk?"

Aduh. Gue lupa lagi ngajak bicara sosok yang lahir pada zaman Soeharto baru dilantik jadi presiden. "Lupain ajalah, Nek. Fery minta dibikinin teh manis anget aja. Anget ya, Nek. Bukan panas."

Nenek mengangguk sambil mengusap kepala gue, lantas berdiri dan berjalan keluar. Sepeninggalan beliau, aroma masakan yang tercium dari dapur mulai menggelitik hidung gue.

Kampret. Makin lapar jadinya.

Nah, sabar, sabar. Orang sabar perutnya makin lebar. Jadi, nantinya bisa makan dengan porsi yang tambah barbar.

Nggak sampai setengah jam, Juan kembali ke kamar membawa nampan plastik yang ditaruhi makanan yang masih tampak mengepul. Bahkan teh manis hangat yang gue minta ke nenek juga dibawakan sekalian olehnya.

Nampan diletakkan ke meja, bikin gue akhirnya mampu mengintip menu yang si Bangsat masak. Ada piring mungil yang diisi sayuran hijau-hijau. Itu apaan, ya? Bayam atau kangkung? Kok dicampurinnya sama telur dadar? Di sebelah piring ini, ada sup. Mana kuah supnya keliatan bening banget. Ada tahu, kentang, wortel serta sedikit seledri di dalamnya. Aromanya sih nggak usah diraguin lagi. Cuma gue belum pernah aja mencoba makanan model begini. Terlalu sederhana, tapi tetap menggugah selera.

"Nih, makan," ujar Juan begitu gue duduk lagi ke sisi ranjang. "Atau perlu gue suapin?"

Gue meringis. "Sungguh tidak perlu, Tuan Saga. Saya bisa makan sendiri."

Dia tersenyum geli mendengar jawaban sok formal gue. "Selamat menikmati kalau begitu, Bego gue tersayang."

Kuah sup di mangkok mendadak berasa nyiprat semua ke muka. "Norak lo. Kalo sampe nenek denger dan kena serangan jantung, awas aja."

Dia melirik ke pintu tanpa khawatir. "Nenek lo lagi nonton sinetron, kok. So, calm down. Gue nyuruh dia buat santai dan nyerahin semua urusan ke gue." Posisi nampan dihadapkan ke arah gue. "Cepetan elo makan."

Terlebih dahulu gue membaca doa, kemudian mulai mencicipi kuah sup yang bening ini. Nggak kayak hasil masakan nenek yang kadang bikin ada bawang atau cabe keliatan, ini mah kuahnya terdiri dari sayuran dan tahu doang. Jelaslah gue heran.

EH, BUSET. Ini kuah sup mantul parah. "Gak nyangka dapur gue bisa ngehasilin masakan seenak ini."

Juan duduk di samping gue lantas berkomentar, "Makanan itu, mau diracik di dapur sekecil apa pun, andaikan yang memasaknya memang becus masak, hasil akhirnya pasti bakalan jadi enak. Berlaku sebaliknya. Orang kalo gak bisa masak, mau mereka masak jungkir-balik sampe ngancurin dapur sekali pun, hasilnya tetap belum tentu layak dimakan."

Gue mengangguk-angguk paham, lalu ganti melahap dadar telur campur sayur hijau. GURIH ASIN PEDAS MANTAP. Padahal ini nggak ada cabainya. Dan sayur hijau ini ternyata bayam.

"Keren, ya. Masakan buatan elo tuh selalu aja enak. Kesel gue."

"Kenapa?"

"Karena gara-gara makanan elo ini, gue jadi ketagihan," ungkap gue jujur sambil nyengir.

"Gak apa-apalah. Malah bagus kalo elo suka. Gue juga gak akan keberatan bikinin elo makanan berapa kali pun," balasnya dengan memasang senyum super tampan.

Megar deh mulut gue, menyuap satu sendok nasi dengan telur dadar campur bayam. "Elo nggak ikut makan? Mau gue suapin?" Menyadari kalimat gue yang terdengar norak, buru-buru gue meralat, "Euh, mendingan elo ambil sendok lagi deh sana. Kita makan bareng."

Kedua alisnya naik. "Nanti elo nggak akan kenyang kalo gue ikutan makan."

Hadeuh. Tau aja ini upil kuda. "Ya, elo ambil nasi lagi lah!"

Dia ketawa. "Gak usah. Gini-gini gue masih konsisten menjalani program diet, ya." Pipi gue ditepuk-tepuk. "Elo aja makan yang kenyang, cepet sembuh. That's enough to makes me happy."

Ini cowok sekali muncul bangsatnya, ngeselinnya kebangetan. Pas lagi baik, manisnya bikin gak nahan. Duh, makin sayang.

"Alhamdulillah," ucap gue setelah menghabiskan semua makanan dan minuman. Bersih. Gak ada yang tersisa.

Kecuali wadah-wadahnya, ya. Gue kan bukan kuda lumping.

"Kenyang?"

Kepala gue mengangguk menanggapi pertanyaan Juan. "Makanan penutupnya ada nggak?" balik gue bertanya.

Mata sipit si Bangsat menyipit aneh. "Mulut lo aja gue tutup pake ciuman. Gimana?"

Gue mendelik, sontak melirik ke pintu dan berbalik memelototi Juan lagi. "Elo tuh kalo ngomong disaring bisa nggak, sih?"

Dia mencubit pipi gue. "Nenek elo kan agak tuli juga. Santuy aja."

Decakan gue keluar. "Masalahnya, setiap omongan yang elo ucapin tuh lancar-lancar aja didenger kuping budeg nenek gue!" Nampan gue angkat dan disodorkan pada si Bangsat. "Nih, mending elo bawa balik ke dapur sana."

Dia tercenung sebentar sebelum menyahut, "Tega sekali Anda memperlakukan pacar bagai budak sendiri."

Seketika gue meradang. "NGACA, BANGSAT!"

Dia malah ngakak. Nampan di tangan gue diambil alih. "Besok elo sekolah?"

"Sekolah lah. Bentar lagi ulangan akhir semester juga. Kebanyakan libur bisa-bisa gue tambah ketinggalan materi."

"Dan makin bego!"

Respons itu gue hadiahi tonjokan. "Anjing!"

"Iya, pacarnya anjing." Dia nyengir. "Perlu gue jemput elo besok?"

Gue menggeleng cepat. "Nggak usah! Gue mau naik angkot aja kayak biasanya."

Juan manggut-manggut paham. "Oke, deh. Sampe ketemu besok di sekolah."

Loh? "Emangnya elo mau pulang sekarang?" Anjir. Jelas banget gue kedengeran nggak relanya.

"Iya. Ada tugas yang harus gue kerjain. Kan hari ini gue absen, sedangkan ada tugas yang harus dikumpulin tadi siang. Mau gue usahain nyusul ngumpulin biar nggak kehilangan nilai."

Penjelasan itu bikin gue mendesah lelah. Duh, mikirinnya aja udah pening ini kepala. Susah emang menyaingi pemikiran cowok pintar.

"Ya udah, deh. Sana, elo pulang."

"Kenapa? Elo masih kangen sama gue? Mau gue nemenin elo agak lamaan lagi?" tanya Juan menggoda.

Kalo gue jawab 'iya', dia pasti kesenangan. Andai bohong pun, yakin juga dia gak akan percaya. Jadi, gue mengangguk patah-patah.

Dia secara cepat mengecup mulut gue. "Gue bakal nemenin elo sampe tidur aja, deh. Nggak apa-apa, kan?"

Yah, daripada nggak sama sekali, kan?

Namun, susah emang berhadapan sama cowok bangsat.

"Kasur elo sempit amat, sih. Kayak ranjang semut!" Keluhan itu ngebuat kantuk gue berkurang.

Dasar sialan. "Kampret! Gak usah banyak bacot. Gue mau tidur."

"Heran gue elo bisa tidur nyenyak di ranjang sekecil ini."

Mata gue mendelik geram. "Mulut lo minta disumpel pakai kaus kaki gue, ya?"

Ancaman itu ditanggapi kekehan. "Mendingan elo sumpal pake cipokan."

Udahlah. Males gue. Mendingan diem dan merem.

"Tapi meskipun sempit begini, gue sebenarnya ngerasa nyaman, sih." Bisa gue rasakan tatapan Juan tertuju ke arah gue. "Karena gue jadi bisa desak-desakan sama lo."

ARRRGHHH! BENERAN GAK ADA ABISNYA NGELADENIN INI ORANG.

"UDAHLAH. ELO MENDING PULANG AJA SANA!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top