36. PENDERITAAN

KROK!

Gue tersentak, langsung celingukan ke kanan dan kiri sewaktu mendengar suara kodok entah dari mana. Anjir. Mana di sini gelap banget. Di mana sih gue? Kenapa gue bisa sampe ke sini?

KROK! KROK!

TAKUT GUE, BAMBANG!

Seketika mengambil jurus langkah seribu dan berlarian entah ke mana arah tujuannya. Hingga kemudian mata gue menangkap sosok tinggi serta penampakan punggung dari seseorang yang sangat gue kenali.

"Juan!" Gue menubruk punggungnya dengan perasaan riang gembira. "Tolongin gue. Gue dikejar-kejar siluman kodok, nih!" adu gue seraya menengok ke sana-kemari memastikan itu makhluk nggak ngejar-ngejar lagi.

KROK!

HEH. Kok ... itu suara kodok malah kedengeran makin dekat dan keras, sih?

Perlahan, gue mendongak. Sontak aja mendelik ngeri mendapati wajah ganteng pacar gue yang malah berubah menjadi tampang kodok.

"FERYAN? KROK!"

"ARRRGGHHH!" Jeritan histeris gue sukses menyadarkan diri sendiri. Napas sampe ngos-ngosan kayak baru aja lari dari kejaran penagih hutang.

SILUMAN KODOK SETAN. KAMPRET. BANGSUL. Dia niat ngebunuh gue apa? Dasar mimpi sialan.

Eh, bentar. Ini juga, ada di mana? Kenapa ruangan di sini sepi dan didominasi warna putih? Apa jangan-jangan sebebasnya dari itu jelmaan kodok Juan, gue kini masuk ke dalam mimpi jadi-jadian lainnya?

Hiii. Nggak mau, Bambang! Gue mau pulang!

"Fery!"

Gue menoleh mendengar suara Nenek. Melihatnya berjalan dari balik pintu berwarna biru kayak pintu pada kamar mandi kebanyakan. Eh, apa itu emang pintu kamar mandi? Gue lagi nggak mimpi, nih?

Nenek memegangi dahi dan leher gue bergantian setibanya di dekat gue. "Kamu sudah ngerasa baikan? Ada yang sakit?"

Jelas aja gue mengernyit ditanya begitu. Sakit gimana? "Nggak kok, Nek. Fery baik-baik aja." Mengangkat tangan dan melotot melihat pergelangan gue dicocoki selang infus. "Loh, Nek? Fery kenapa? Ini di mana, sih?" Lalu serta-merta terkesiap saat sadar ini merupakan tempat yang gak asing. "Ini di rumah sakit, ya?"

Nenek mengangguk sambil membelai ujung kepala gue. "Iya. Nak Saga dan Setya bilang, tadi malem kamu pingsan."

GUE KENAPA?

"Kata dokter, kamu kecapekan. Kurang istirahat, ada gejala anemia. Pokoknya, kamu harus istirahat." Posisi selimut gue Nenek rapikan. "Nak Saga yang tadi malam bawa kamu kemari. Terus Setya dan temannya yang tinggi banget itu yang ngejemput nenek dari rumah," jelasnya tanpa gue minta. Mungkin karena ekspresi pada muka bloon penuh kekepoan gue kentara. "Kamu beruntung punya teman sebaik Nak Saga, Fery. Semua biaya perawatan dan berobat pun, dia yang bayar. Dia bilang, ini salah dia karena bikin kamu begini. Nenek nggak mengerti, sih. Tapi nenek cuma bisa bilang terima kasih terhadap Nak Saga." Sekali lagi, kepala gue dibelainya. "Jangan sakit-sakitan begini, Nak. Nenek bener-bener cemas."

Gue memegangi tangan Nenek, nggak tega menangkap sorot sedih yang diperlihatkannya. "Fery nggak apa-apa kok, Nek. Fery pasti nanti sembuh." Gue tersenyum kecil. "Nenek jangan khawatir ya, Nek."

Nenek menyeka sudut matanya yang berair. "Iya. Sekarang Fery makan dulu, ya. Nenek suapin?"

Kepala gue anggukan pelan. Dan anjrit, rasanya kok nyut-nyutan. Baru keingat tadi malam gue kedinginan sampe kayak yang meriang, sampai tiba-tiba ... nggak tau apa lagi yang terjadi. Apa itu yang namanya pingsan, ya?

"Ini jam berapa, Nek?" tanya gue setelah menelan suapan makanan rumah sakit yang kelima. Nggak sedap. Lebih enak masakan Juan. "HP Fery mana, ya?"

Nenek menunjuk jam dinding yang ada di atas posisi kepala ranjang. "Sudah nyaris subuh. HP kamu mah, nenek nggak tau ada di mana. Yang baru itu, kan? Nggak ngeliat nenek."

Waduh. Jangan-jangan saat gue pingsan ada yang mencopetnya lagi? Eh, tapi mana mungkin, kan? Yang ngehadirin acara ultah Juan kan ... LOH, IYA. ACARA ULTAH SI BANGSAT GIMANA LANJUTANNYA ITU? GARA-GARA GUE PASTI JADI KACAU DONG SEMUANYA!

Akh. Malah mual sial. Mendadak aja isi perut gue kayak yang bergejolak minta dikeluarkan lagi. Gak enak. Alhasil sendok yang Nenek arahkan ke mulut, gue dorong menjauh. "Udah, Nek. Fery kenyang. Mau muntah rasanya."

Nenek meletakkan piring ke nakas, setelah itu berdiri. "Ya sudah. Fery tunggu di sini. Nenek keluar sebentar mau manggil Nak Saga supaya dia datangin dokter buat meriksa kamu, ya."

Penuturannya bikin gue melongo. "Ju--Saga ada di sini?"

Nenek mengangguk. "Iya. Tapi dia nunggunya di luar area rumah sakit, sebab katanya nggak betah diem di dalam. Nak Saga bilang, kalo kamu udah sadar, minta tolong supaya dia dikasih tahu." Seusai berkata begitu, Nenek lenyap di balik pintu.

Aduh. Rasanya makin mual dan nggak enak badan gue sekarang. Hhhh. Kapok. Gak mau lagi-lagi deh diterjunin ke kolam malam-malam, apalagi setelah ditambah nggak makan seharian saking antusias pengin nyicipin semua menu di acara ulang tahun si Juan. Mulai sekarang, jiwa rakus gue harus dikasih peraturan baru. Meski nanti bisa makan enak banyak-banyak, tetapi makan tepat waktu jangan pernah lupa.

Berselang belasan menit kemudian, pintu terbuka. Memunculkan satu orang dokter beserta perawat, disusul Juan yang membawa Nenek dalam rangkulan. Wajah si Bangsat ... keliatan lesu. Padahal seingat gue, beberapa jam lalu dia tengah dalam suasana hati semringah parah.

Apa dia marah dan kesal ke gue, ya? Duh, gawat.

"Apa ada sesuatu yang Dek Feryan rasakan?" tanya Pak Dokter sesudah memeriksa, perut, dada dan mulut serta temperatur badan gue. Perawat di sebelah juga mengotak-atik kantong infus untuk menggantinya.

"Emm, mual, Dok. Perut kerasa nggak enak. Sama kepala yang sedikit pusing dan nyut-nyutan."

"Tapi tadi sudah makan?"

"Sudah, Dok. Masuk cuma sedikit," timpal Nenek turut memberi informasi.

Pak Dokter mengangguk-angguk. "Kalau begitu, Dek Feryan bisa meminum obat dulu. Suster Ajeng, tolong antar Bu Rusni ke bagian farmasi untuk menebus obat, ya," ujarnya seraya menuliskan sesuatu di kertas. "Ini resep obatnya." Selanjutnya, kertas itu diserahkan kepada Nenek yang berjalan keluar bersama Mbak Perawat yang sudah selesai mengganti infusan gue. "Semoga lekas sembuh ya, Dek Feryan. Mas Saga, jika butuh apa-apa, bisa panggil saya kapan saja."

Juan yang sedari tadi memperhatikan dalam diam akhirnya berbicara, "Terima kasih banyak, Dokter Ilham." Seraya memasang senyum, yang bagi gue, tampak dipaksakan.

Sepeninggalan semua orang, gue dan Juan beradu pandang selama beberapa detik. Baru hendak bersuara, ketika tiba-tiba dia melangkah cepat mendekat dan memeluk tubuh gue erat. Jelas aja gue tersentak.

"Elo bikin gue takut, Bego!" Tangan Juan yang berada di belakang kepala gue terasa gemetaran. "Gue bener-bener minta maaf. Gara-gara segala urusan untuk acara ultah gue malah bikin elo jadi sakit. Gak nyangka sama sekali bahwa akibatnya bisa sampe begini. So sorry."

Ini bule lagi ngeracauin apaan, deh. Gak paham gue.

Pundaknya gue tepuk sekencang yang mampu gue lakukan. "Lo ngomong apa sih, Bangsat?" balas gue risih. "Gue tuh sakit begini karena emang gak kuat dingin, tauk! Terus, karena gue seharian kemarin juga sengaja nggak makan supaya bisa makan puas di acara ultah lo!"

Mendengar penjelasan itu, dia langsung aja melepaskan pelukan dan memandang gue heran. "What?"

Gue terkekeh malu. "Habisnya kan di acara ultah orang kaya pasti banyak makanan enak, tuh. Makanya gue sengaja puasa."

Ekspresi cemas di wajah si Bangsat berubah kesal. Kemudian, dia mencubit hidung gue sekuat tenaga. "Dasar bego! Elo nggak tau secemas apa gue tadi malam sewaktu nemuin badan elo terbujur lemas di bawah tangga. Dasar cowok tukang ngerepotin!" Kepala gue bahkan dipukulnya.

ANJRIT. "Woi. Gue lagi sakit, ya!"

"I don't care anymore! Elo sakit juga akibat salah sendiri." Dia mendengkus, lantas melipat kedua tangan di depan dada. "Gue beneran khawatir setengah mati tau, nggak. Tapi bisa-bisanya elo malahan ngasih gue alasan konyol dan unbelievable macam itu. Now, I'm mad." Jakunnya bergerak naik turun. "Elo sama sekali nggak tau kondisi elo tadi malam itu ngingetin gue ke bayang-bayang mommy saat dia masih hidup dan sakit-sakitan dulu. Tau-tau pingsan, dibawa ke rumah sakit kemudian ... ninggalin gue gitu aja," ungkapnya dengan suara yang semakin lama kian pelan. "I'm really scared, Ryan." Dia menatap gue, kedua bola matanya nggak disangka justru berkaca-kaca. "I'm so scared you'll leave me like my mommy did." Setelahnya, dia mengusap mata sembari melangkah keluar dari ruangan ini.

Meninggalkan gue yang hanya dapat tercenung mencerna setiap kata-kata darinya. Ekspresi sedih dan terluka di wajahnya benar-benar asli menyakitkan. Dada gue sesak dan nyeri sendiri cuma dengan melihatnya. Sepertinya, gue terlalu menganggap remeh masalah gue sendiri padahal di lain sisi Juan beranggapan sebaliknya.

Ah, kampret. Dasar bego! Bukannya minta maaf atau apa, yang ada gue malah ngebuat Juan marah dan sedih. Pacar gak guna emang gue, nih.

.

"Duh, HP ke mana, sih?"

Udah nggak kehitung kali gue menggerutu, tetapi misteri yang satu itu jawabannya gak kunjung ketemu. Kalo begini terus mana bisa gue ngehubungin Juan. Mana Nenek sekarang lagi gue suruh pulang karena dia nggak akan bisa istirahat di ruangan tanpa kasur, lah kelupaan pula minta nenek untuk bawain HP jadul gue nanti. Sebenarnya gue nyaranin nenek supaya tidur aja di ranjang, sementara gue tidur di sofa pun bisa. Eh, malahan kena marah. Ditambah, gue belum boleh balik ke rumah sebelum ada izin dari Juan. Halaaah.

Gue menyuap menu rumah sakit yang rasanya lebih enak dari makanan yang gue cicipi pagi tadi. Lumayanlah. Sepiring berhasil gue habisin sebab kondisi badan udah ngerasa jauh lebih baik.

LAPAR GILA GUE, BAMBANG. Seharusnya jika ada HP, bisa gue gunain buat mesen makanan via GoFood, kan? Itu juga andai pihak rumah sakit ngizinin, sih.

Semua obat gue teguk dengan penuh nafsu. Lalu berkumur-kumur, menelannya, sesudah itu memakan buah semangka sebagai menu cuci mulut. Segar.

Alhamdulillah.

Mendongak, melihat jarum pendek yang menunjuk pada angka 11. Yah, masih ada 2-3 jam lagi sebelum Juan pulang sekolah. Padahal gak sabar gue mau ketemu sama dia lagi. Itu juga kalo dia pengin ke sini. Huhuhu. Galau gue.

"Excuse me!" Gue sedikit terlonjak sewaktu mendengar suara dari balik pintu, disusul kemunculan tas putih yang digoyang-goyangkan dari luar. "Halo!" Sosok sang penyapa akhirnya memunculkan wajah.

Terang aja gue sumringah. "Kak Armet!"

Dia agak membungkuk ketika mulai berlari kecil menggunakan high heels-nya. Anjirlah. Badan udah setara tiang pun masih aja pake sepatu hak tinggi.

Tas yang dia bawa diletakkan di belakang punggung. "Coba tebak, kakak bawa apa?"

JIWA RAKUS GUE MENJERIT-JERIT.

"Kue, kan?" tebak gue penuh harap.

"Seratus!" seru Kak Armet girang sambil menyodorkan tas untuk gue. "Ini. Oleh-oleh dari kakak. Dimakan, ya. Biar kamu cepet sembuh," ujarnya sembari mengusap-usap rambut gue setelah kuenya gue terima.

"Gue udah sembuh kok, Kak," kata gue lantas mulai mengeluarkan wadah mungil dari dalam. "Ke sini sama siapa, Kak?"

"Sendiri, dong! Kakak kan bisa nyetir."

Ah. Air liur gue menetes melihat kue super mini bertingkat dua berwarna ungu muda ini. "Kayaknya kue ini enak banget, Kak."

Kak Armet mengambilkan sendok. "Nih."

"Makasih, Kak." Lalu gue mulai melahap kue ini. Sensasi lembut dari cream rasa blueberry langsung memenuhi lidah. Enaknya gila. Gak akan bosen gue makan kue buatan kakak si Vano ini sepanjang gue hidup di bumi. "Hmm." Gak sanggup berkomentar, jadi gue cuma memberi acungan jempol untuk wanita berusia 28 tahun ini.

Kak Armet terkekeh sembari balas memberi tanda oke menggunakan jemarinya. "Saga ke mana?"

Mendengar pertanyaan itu sontak aja gue tersedak. Buru-buru Kak Armet mengambilkan gelas berisi air dari meja. "D-dia di sekolah lah, Kak. Masih jam segini." Gelas gue letakkan kembali sehabis minum.

Anehnya, Kak Armet justru mengernyit mendengar jawaban gue. "No, no, no. Saga hari ini libur sekolah, Adik kecil. Ervan yang bilang. Makanya kakak kira dia nemenin kamu. Jadi, dia gak ada di sini?" Berdeham, setelah itu melanjutkan, "Yah, mustahil juga Saga betah diem di rumah sakit, sih. Rumah sakit itu kan salah satu fobianya." Tanpa perlu ditanya, kakak-kakakan gue ini menjelaskan, "Saga benar-benar punya rasa takut yang besar pada hal yang berkaitan dengan kehilangan seseorang, Feryan. Apa kamu tau?"

"Euh, apa ini, ada hubungannya sama mendiang mommy dia?"

Kak Armet mengangguk cepat. "Exactly!" Dia lantas duduk di tepi ranjang. "Tadi malam, dia betul-betul panik begitu ngedengar Jofan teriak minta tolong sambil nyebut nama kamu. Dan sempat, how should I say it, kehilangan kendali diri? Dia cuma teriak-teriakin nama kamu, mukul-mukul wajah kamu seakan ingin memastikan bahwa kamu masih bisa bangun. Sampai Ervan dan yang lain menyadarkan Saga supaya membawa kamu ke rumah sakit aja. Cause, your body, I mean, badan kamu panas banget malam tadi. Jangankan Saga, kami aja sangat khawatir ngeliat kondisi kamu yang drop sekaligus begitu." Wajahnya mendadak berubah muram. "He's crying. Saga menangis selama memeluk kamu di pangkuannya. Meracau tentang minta kamu untuk nggak ninggalin dia, jangan ke mana-mana, bahkan memohon ke mendiang tante Laura agar kamu nggak ikut dibawa pergi oleh mommy dia itu. He's messed up. Very!"

Nafsu makan gue langsung nggak bersisa sesudah mendengarkan semua cerita barusan. "Kak Armet, tau dari mana soal itu semua?"

"Udah jelas karena kakak yang mengantar kalian ke rumah sakit, kan? Karena Ervan, dimintai teman kamu Setya untuk menjemput nenek kamu ke rumah sesuai titah Saga. Sedangkan Dyas yang mengambil alih acara setelahnya." Kak Armet mengelus pipi gue lembut. "Saga benar-benar sayang ke kamu, Feryan. Baginya, kamu adalah pusat dunianya saat ini. Poros yang dia jadikan tujuan hidup. Tanpa kamu, kakak nggak yakin Saga bisa bertahan dari penderitaan untuk kedua kalinya." Dia menghela napas sebelum meneruskan, "Setelah kehilangan mommy-nya."

.

"Nih!" HP milik gue Juan lemparkan ke sisi badan. "Gue tau elo pasti BT banget diam di sini tanpa bisa mainin apa-apa, makanya gue bawa HP elo kemari. Kalo kondisi lo udah baikan, sore atau malam nanti elo bisa langsung pulang. Biar Vano yang gue suruh jemput dan ngantar lo ke rumah." Dia mengembuskan napas panjang. "Gue mau balik lagi sekarang."

Buru-buru gue menahan tubuh si Bangsat. Memeluk sebelah lengannya, yang sesuai dugaan gue, kini tengah gemetaran. Anjir. Apa setiap kali berada di rumah sakit dia kayak begini, ya?

"Kenapa? Ada hal lain yang mau elo minta?"

Gue mengangguk menjawab tanya bernada lirih itu. "Gue mau minta maaf, Juan. Gue beneran nggak bermaksud bikin elo khawatir atau keinget sama bayang-bayang kepergian mendiang mommy lo. Gue nggak tau bahwa kehilangan mommy lo ternyata nimbulin luka dan kesedihan yang amat mendalam. Sorry. Maaf. Gue janji, kalo gue ada keluhan di badan atau ngerasa sakit, gue bakalan bilang duluan sama lo. Gue janji, gue nggak akan ngulangin kebegoan macam ini lagi. Dan gue janji, gue nggak akan ninggalin elo kayak yang pernah mendiang mommy lo lakuin. Jadi, tolong, berhenti marah sama gue, ya!" ungkap gue menumpahkan semuanya.

"Elo janji?"

"Iya, gue janji. Gue janji, Bangsat! I pramis kan kalo bahasa Inggrisnya?"

Kekehan Juan keluar. Dia membalikkan badan perlahan untuk membawa tubuh gue ke pelukannya. "Thank you."

Gue membalas pelukan sambil mengusap-usap bahunya yang berguncang. "Gue yang seharusnya bilang makasih."

Karena hanya demi sosok kayak gue, dia rela bersedih saking nggak rela kehilangan. Sekarang, gue paham sepenuhnya pada maksud dari perkataan Juan, Vano bahkan Dyas semingguan lebih lalu. Yah, walau bagaimanapun, nggak cuma si Bangsat ini yang bakalan ngerasain penderitaan apabila dihadapkan pada kenyataan ditinggal oleh orang yang paling disayang.

"Gue juga. Gue nggak pernah mau kehilangan atau ditinggal sama lo, Bangsat! Secinta itulah gue sama lo!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top