35. PERAYAAN
"Saga! Hei!"
Juan melepaskan genggaman tangan kami. "Hei! You guys already here!" Dia berpelukan dengan beberapa kawannya yang baru pertama kali ini gue lihat.
Kayaknya mereka bukan siswa dari SMA kami juga.
"Iyalah. Udah lama kita nggak ketemu karena elo selalu aja ngaku lagi sibuk selama lebih sebulanan ini. Even when you got into an accident, you didn't allow any of us to have a visit. Sampe kita semua ngira elo udah punya pacar lagi," ucap seorang pemuda dengan wajah super bersih. Kulit putihnya bikin silau mata. Kayaknya kalo mati lampu pun dia tetap bisa ditemuin dengan mudah.
Si Bangsat tersenyum. Mengerling gue yang sedari tadi hanya bisa memperhatikan, sesudah itu menarik gue ke rangkulannya. "Ya, emang. Gue udah punya pacar. Nih, orangnya," ungkapnya kalem seperti selalu dan tanpa beban pertimbangan.
Dasar bule kampret! Lihat itu. Tampang kawan-kawannya berubah shock kayak habis disuguhi badan telanjang Mimi Peri.
"Euh, you mean, a boyfriend?"
Juan mengangguk menanggapi tanya dari kawan berbaju hitam garis-garisnya. Alis dia yang nyaris menyambung mengernyit dan bikin keliatan menjadi satu.
"So, you like ... guy?"
"Since middle school, for your information. But the one beside me is my first boyfriend. I'm serious with him. That's why I want to introduce him to all of you." Juan mempererat rangkulannya. "Nama dia Feryan. Dia satu sekolah sama gue. Ervano dan Dyas juga udah lebih dulu tau soal hubungan kami ini."
Mereka berlima tampak saling beradu pandang dan berbagi anggukan.
"Okay, then." Si baju garis-garis mendadak menggaet tangan cowok bersweater merah muda dari ujung kiri. "It's time for another confession. Gue dan Jofan juga pacaran."
Si cowok berkulit putih berangkulan dengan pemuda berkemeja biru langit di sebelahnya. "Kami juga."
Si kurus bertudung jaket yang berada di sisi paling kanan mengangkat tangan. "I'm straight and I'm still single, okay?"
Yakin nih saat ini gue pasti sedang memasang tampang bloon yang bisa dimasukkan ke Guiness world record sebagai pemilik muka terkonyol di dunia.
Sementara si Bangsat selaku temen mereka justru terlihat biasa-biasa aja. "Kalian pikir gue berani coming out karena nggak tau bahwa kalian berempat juga saling pacaran?" Ucapannya semakin menambah keterkejutan di antara kami semua. "You guys are so easy to read all this time. I'm not stupid, okay?" Pacar gue ini terkekeh.
"You never change, Saga. Still arrogant and ..."
"Bangsat." Gue tanpa sadar menimpali. Setelah itu mundur dan bersembunyi di balik punggung Juan yang wangi ketika malah diperhatikan oleh mereka. "S-sorry."
Anehnya, ini orang-orang malahan ketawa. "Pacar elo lucu, ya." Si kulit putih mengulurkan tangan. "Gue Arnando. Dan ini pacar gue, Julian."
Gue menyalami Arnando dan Julian bergantian dengan agak sungkan.
Si cowok berbaju garis-garis gantian buka suara. "Gue Arima. Dan ini Jofan."
Jofan dan Arima pun gue salami. "Feryan."
Si kurus membuka tudung jaket, memperlihatkan kepalanya yang plontos. "Gue Ajay." Dia nyengir sesudah menjabat tangan gue. "Di SMP kami dikenal dengan sebutan J3A3. Jajaja. Temen se-band sama Saga dulu. Dia keyboardist sekaligus backing vocalist." Kemudian berbisik, "Elo pasti belum pernah nonton penampilan dia, kan? Mau liat nggak?"
"Jangan deket-deket."
Teguran Juan gue tanggapi sorot risih. "Apa, sih. Gue kepo tau."
Dia mencubit pipi gue. "Kalo elo mau liat, nanti gue bisa kasih tonton lewat laptop di kamar."
"Janji, ya?"
"Iya."
Asik. Gak sabar gue mau nonton si Bangsat nyanyi sambil main piano. PASTI GANTENGNYA MANTUL.
"Kalian beneran keliatan serasi, ya," komentar Jofan dengan nada malu-malu. "Udah berapa lama pacaran?"
"Jalan tiga minggu."
"Nyaris satu bulan."
Gue dan Juan melirik satu sama lain lantaran memberi jawaban yang nggak kompak. Kontan aja kami jadi bahan tertawaan.
"Beneran serasi." Arima menggeleng takjub.
"Saga! Happy birthday!" Sosok perempuan dengan badan tinggi parah mendadak datang dan menubruk badan Juan. Memeluknya gemas sambil cekikikan. "Oh my God! Finally you're officially become seventeen now!" Rambut hitam cowok gue yang udah rapi bahkan diacak-acak gemas.
"Thanks," balas Juan dengan senyum riang yang tulus. Tanpa protes.
Dan di sini, gue cuma bisa menonton dengan muka pasrah. ANJRIT. Model internasional nyasar dari mana lagi ini cewek? Mantan dia yang lain, kah? Atau siapanya?
"Itu kakak gue." Kalimat Vano yang tahu-tahu terdengar dari belakang punggung bikin gue tercenung. Selanjutnya, dia dan Dyas yang seperti biasa saling menempeli kayak cicak dan tembok menyapa kawan-kawan SMP Juan.
"Is it him?" Sekarang kakak Vano berdiri di depan gue. "Your Feryan?"
Hah? Dia kenal gue?
"Yes, it's him."
Tepat setelah si Bangsat menjawab, tiba-tiba kedua belah pipi gue dicubit. "He's so cute. Ya ampun, gemesnya! Mau nggak jadi adik-adikan lain dari kakak Armetta ini? Mau, ya? Mau, ya? Mau, kan? Harus mau pokoknya!" Lalu gue dipeluk dan bikin dadanya yang tampak terbuka menubruk dagu polos gue. Anjrit. "Nice to meet you, Feryan. Saga udah cerita banyak tentang kamu ke kakak. Kue yang kemarin hari dia bawain ke kamu, apa kamu suka?" tanyanya.
Gue mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari sesuatu yang penting di sini. OH IYA, BENER. Ini kakak si Vano yang seorang pemilik toko kue enak yang lebih sedap dari kue bikinan Juan itu, kan?
Langsung aja gue mengangguk. "Iya, Kak. Kue buatan Kakak beneran enak. Asli lebih enak dari kue buatan Juan. Mantul pokoknya!" Gue memberi acungan jempol. Bikin Juan tertawa geli menangkap reaksi konyol gue.
Kak Armet membetulkan letak rambut bergelombangnya yang pirang seraya terkekeh. Kalo senyum, dia jadi nyaris mirip kayak si Vano. "Thank you. Lain kali, minta aja Saga beliin kamu kue dari toko kakak lagi. Gak usah segan," bisiknya menggoda. Dia lantas mengembuskan napas panjang. "Huh. Kakak seneng saat tau bahwa akhirnya Saga menemukan orang yang dia suka. He's so lucky. Sedangkan kakak yang udah nyaris kepala tiga ini masih jomblo, dong. Sebel."
Mendengar curhatannya gue jelas aja melongo. DIA NGAKU NYARIS KEPALA TIGA? GUE KIRA DIA BEDA DUA-TIGA TAHUN DOANG DARI KAMI. Sebab wajahnya nggak menampakkan fakta demikian.
Wajah punya orang kaya emang ajaib. Perawatannya pasti mahal betul.
"Saga, it's about time." Vano tampak memeriksa mikrofon yang tengah dipegangnya. "Test! Test! Satu, dua, tiga, empat!" Gema suara dia yang nge-bass terdengar dari sound system yang diletakkan pada sudut ruang dekat pintu menuju kolam. "Good evening, everyone! Welcome to Juanda Andromano Saga Fransiskus birthday party. Are you guys ready?"
"Woohoo!"
"We're ready!"
Wow. Berada di tengah suasana perayaan ini nggak ayal mendatangkan euforia yang gak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Seru juga ternyata.
Kue dengan tiga tingkat dibawa ke tengah ruang utama pesta oleh Kak Armet. Desainnya benar-benar ... sederhana, tapi tetap terkesan mewah. Keliatan apik banget gitulah. Lilin angka 17 di situ warnanya kuning serupa krim-krim yang memenuhi bolu di tingkat satu dan tiga. Bolu tingkat kedua dibiarkan dengan warna putihnya. Sementara ada boneka plastik kucing oren yang diletakkan di depan bolu tengahnya, tampak memegangi papan 'Happy Birthday Juan Saga!'. Lucu.
Dyas bergabung bersama Yellow di gendongan ketika Juan mulai berdiri di depan kue ulang tahunnya. Sementara para tamu undangan lain mulai berdiri mengerumuni sesuai arahan dari Vano selaku MC.
"Gak usah basa-basi, deh. Ayo, kita mulai nyanyiin lagu happy birthday untuk Saga."
Kami semua ngikik lebih dulu karena bule jelmaan tiang listrik menggunakan nada malas saat berbicara, lantas secara serempak menyanyikan lagu selamat ulang tahun dibarengi tepukan meriah.
"Happy birthday, Saga! Happy birthday, Saga! Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Saga!"
Gue bagian tepuk tangan sama angguk-angguk kepala doang kayak si Juan soalnya sadar suara fals kalo coba-coba nyanyi lagu bahasa asing. Nyanyi lagu selamat ultah dengan gaya lokal aja jelas gak sedap didengar.
"Thank you, everyone!" ucap Juan lalu membungkuk ke depan. Dia memejamkan mata sebentar untuk berdoa, lalu meniup si lilin 17 miliknya.
Sorak-sorai dan tepuk tangan kian riuh memenuhi ruang pesta ini.
"Well, now. Kita taulah potongan kue pertama akan Saga berikan pada siapa!"
"Cieeee." Nyaris seluruh tamu undangan kompak menyoraki ucapan Vano barusan sambil melirik ke arah gue.
Kampret. Hidung gue megar jadinya.
Apalagi sewaktu si Bangsat mulai memotong kue di bagian teratas dan meletakkannya ke piring, dan selanjutnya, kue itu benar-benar disodorkan untuk gue. "For you," ucapnya dengan senyuman manis yang bikin jiwa baperan gue jejeritan.
KEREN MAMPUS DIA, BAMBANG!
Gue menerima kue dengan lagak malu-malu. "Thanks."
"Now, guys! It's time for ngomporin! Cium!"
"Cium! Cium! Cium!"
YEEE, DASAR KUMPULAN ORANG-ORANG USIL INI.
Juan menatap gue seakan-akan minta persetujuan. Sedangkan gue langsung mengambil satu langkah mundur. "Awas aja kalo elo berani nyium gue di sini. Kue ini bakalan gue lempar ke muka lo, ya," ancam gue mendesis sambil mengangkat kue di piring mungil.
Dia terkekeh. "Oke. Gue gak akan nyium elo." Setelah itu mulutnya mendarat dengan cepat ke pelipis gue. "Di bibir," terusnya dengan kedipan mata genit.
ARRGHHH! BULE BANGSAT!
"AWWWW!" Mana para tamu undangan malah makin keras aja suaranya.
Di sini tuh kebanyakan anak-anak satu sekolah yang datang, bangsul. Anjrit. Nggak berani lagi deh gue nunjukin muka. Rasa-rasanya ini kue kepengin gue lemparin ke wajah sendiri yang sekarang panasnya udah kayak habis digosok setrikaan. MALUUUU!
"UUUH. SO SWEET!"
Gue membalikkan badan perlahan begitu menangkap seruan heboh dari belakang. Otomatis meringis mengetahui rupanya itu berasal dari barisan para mantan si Juanda Andromax.
Kacau bener, deh. Pesta ulang tahun ini udah macam ajang yang berniat mempermalukan gue sampe ke akar-akarnya. Nasib anak tertindas.
"Potongan kedua ini seharusnya gue kasih ke Yellow, sih. Sayang, dia nggak suka rasa makanan manis dan creamy, jadi mau nggak mau ini gue kasih buat elo aja." Kue kedua Juan serahkan kepada Vano yang mendelik padanya. "Terima atau gue tonjok muka lo?"
Mendengar ancaman itu kami semua ngakak.
"Okay, okay. Thank you, Brada!" Vano lebih dulu memeluk Juan sebelum mengambil jatah kuenya. "Happy birthday."
Berikutnya, Juan memberi potongan kue ketiga kepada Dyas. Gue menyaksikan momen itu sambil iseng-iseng mulai mencicipi kue ulang tahun ini. Detik itu juga, indra perasa gue menari-nari kegirangan.
JIWA RAKUS GUE TERKEJUT. Gila ini kue enaknya, mantapnya, maknyus parah. Buseet. Sedikit, gue berharap itu kue nanti ada sisa buat gue habisin sendiri. Aaaaaa. Sialan. Mau gue lahap sekaligus takut bikin malu si pacar yang punya acara.
Sontak berandai-andai kepengin bisa punya kakak kayak kak Armetta. Pasti asik, deh. Jadi iri gue sama si Vano. Huhuhu. Sayang disayang, setengah jam kemudian, kue ultah di meja hanya tersisa lilin dan papan kucingnya doang.
Jiwa rakus gue pun menangis. Malang bener emang nasib diri ini.
.
Alunan musik yang menggema menyebar ke setiap sudut ruang kediaman Juanda Saga. Gue yang tengah membasuh tangan di kamar mandi pun masih mampu menangkap dengar suaranya dari dalam sini. Dasar pesta orang kaya. Nggak cukup diadakan satu atau dua jam aja. Nggak ada capeknya apa mereka, ya? Besok kan kami tetap harus berangkat ke sekolah.
"Ferdinan!"
Gue terlonjak dan refleks mematikan air keran mendengar panggilan Vano barusan. "Apa, sih? Lo ngagetin gue aja!"
Tiba-tiba aja dia, Ajay dan Jofan menyeret gue keluar. "Saatnya basah-basahan!"
Basah-basahan? Apa maksudnya, woi?
"Nah, itu dia! Pacarnya datang!"
Juan gue lihat cuma bisa berdiri pasrah dipegangi oleh Julian, Arnando serta Dyas. Gue bertanya melalui tatap mata, dan dia sekadar mengerling ke kolam.
Mata gue melotot dong. Jangan bilang kami mau diceburin?
"Saatnya berenang!"
Bener aja. Badan gue melayang ke kolam tanpa sempat melakukan perlawanan.
BYUURR!
Aduh. Hidung gue kemasukan air! Dingin gila. Sekujur tubuh basah kuyup seketika.
Gue memunculkan kepala disambut suara tawa dan siulan ledekan dari orang-orang. Tahu-tahu, dari belakang kaki gue ada yang menarik ke bawah, membuat gue tenggelam ke dalam air lagi. Saat tau ternyata itu perbuatan Juan, refleks aja gue mendorong badannya menjauh.
"Ohok! Ohok! Kampret kalian semua!" umpat gue yang udah aja menggigil. Mereka pasti nggak tau bahwa gue paling lemah berurusan dengan suasana dingin.
Di tepian, beberapa orang gue lihat mengeluarkan ponsel, dompet serta melepas aksesoris yang mereka kenakan sebelum akhirnya ikut terjun ke kolam. "YUHUUU!"
BYUUURRRR!
Suara ketawa Juan terdengar tepat dari belakang. Dia menarik lagi badan gue lebih merapat ke dekatnya sembari tangannya yang ada di dalam air menggerayangi perut gue yang nggak tertutupi baju lantaran kemejanya mengambang.
"Geli!" Dia gue sikut.
"Mau megang dikit aja masa nggak boleh?" Bisikan Juan anehnya terasa hangat. "Suka nggak sama pestanya?"
Gue tertawa mendapati Vano yang berusaha kabur akhirnya kecebur juga. Mampus tuh bule kambing. "Gue suka. Ini pertama kali gue ngehadirin pesta kayak gini, sih," jawab gue jujur. Jemari si Bangsat di perut gue dipegangi. "Gue seneng bisa jadi bagian dari pesta meriah ini." Gue lalu nyengir.
Dia menyipitkan mata. "Jangan senyum kayak gitu kalo nggak mau gue cipok di sini."
Alhasil gue segera berenang menjauhi si Bangsat. Terkikik melihat Setya yang sedang berkacak pinggang nggak tau mau ngapain di kolam ini. Habisnya sesek dan nyaris penuh, sih. Semua orang saling menyipratkan air. Bahkan ada yang dengan santuy saling bersulang. Gue doangan apa yang di sini ngerasa kedinginan?
Eh, bentaran. Gue meraba kantong dan menyadari HP masih ada di dalam. MAMPUS!
Buru-buru gue berenang ke tepi dan naik ke daratan. Duduk di salah satu kursi santai sesudah mengeluarkan HP, mengklik layar kunci dan serta-merta mengembuskan napas lega mengetahui HP ini rupanya masih berfungsi. Keren emang kalo punya gadget canggih. Akan tetapi, dingin. Ini udah hampir jam 10 malam dan pesta belum jelas kapan selesainya.
"Juan, gue naik duluan ke kamar lo, ya. Gak kuat dingin gue!"
Juan merespons permintaan gue dengan anggukan pelan. "Duluan aja sana. Sementara ganti aja dulu pakai baju gue."
"Cieeee."
Gue mendengkus menanggapi sorakan rese mereka. "Cieee, cieee. Mata kalian gue cakar, baru cieee, deh. Awas aja kalo gue sampe masuk angin. Bakalan gue tagih biaya berobatnya ke kalian semua satu per satu," ujar gue dengan suara parau karena tambah menggigil, kemudian beranjak dari sini.
Eh, sialan. Setibanya di bagian dalam rumah, sensasi dinginnya malahan makin parah lantaran semburan udara AC. Kaki dan tangan gue terasa gemetaran semua. Bangsul. Asli paling nggak kuat gue kalo mulai kedinginan begini. Nyiksa.
Gue akhirnya berhenti untuk duduk di bagian paling bawah tangga sembari semakin kencang memeluk badan sendiri. Nggak sanggup melangkah lagi karena badan gue kayak yang lemas seketika. Detak di jantung gue pun seolah-olah makin lemah aja, sesak.
Ah. Coba aja gue bisa terbang atau minimal dikasih bukaan pintu Doraemon untuk mempercepat proses masuk menuju kamar Juan. Soalnya kepala gue mulai pening dan nyut-nyutan sekarang. Serius, nggak nguatin.
"Nenek," sebut gue nyaris merengek.
"Feryan!" Seseorang gue dengar berlari mendekat. Dari suaranya, gue perkirakan ini Jofan. Eh, apa Julian? Sebab penglihatan gue kini pun memburam. "Ya Tuhan, muka lo pucat banget. Sebentar, gue panggilin Sa--"
"G-gak usah," sela gue cepat dengan bibir gemetar. "Nanti pestanya gimana?"
"Are you stupid? Kondisi lo kayak gini masih aja mikirin pesta!" Seusai mengomeli gue, langkahnya bergerak menjauh lagi.
Nggak lama setelahnya, samar-samar gue mendengar nama akrab Juan dipanggil-panggil dari arah luar.
"Saga ..." Gue turut memanggilnya lirih sebelum penglihatan gue yang buram berubah gelap seluruhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top