34. PEMBERIAN

"Permisi!"

Gue meletakkan gagang sapu begitu mendengar suara salam dari arah depan. "Ya, Pak?" tanya gue pada sosok pria yang nggak gue kenali. Ada perlu apa nih dia ke sini?

Sampai ketika dia menyerahkan sebuah kotak berlapis plastik dengan merk dari situs belanja online, barulah gue tau bahwa ini paket yang gue pesan. "Dengan Mas Feryan, kan?"

Gue mengangguk sambil menerima paket ini dengan hati-hati. "Iya. Ma-makasih, Pak."

Woaaah. Cepet juga sampenya. Baru 3 hari pesan udah dikirim. Mantul. Eh, tapi kado yag satunya kemarin malahan udah sampe duluan, sih.

"Tolong tanda tangan di sini sebagai bukti terima."

Gue memberi tanda tangan pada ponsel si Mas pengirim paket, bilang makasih padanya sekali lagi sebelum dia pergi. Setelah itu berlari ke sofa untuk duduk dan membuka paketnya. Lah, anjir! Ini paket tebel dan erat amat lakbannya sampe nggak kuat tenaga gue buat meretelin. Alhasil gue menggunakan gunting, deh. Tetep, harus hati-hati. Kalo sampe bikin lecet isinya, duit Rp. 1.500.000 gue bisa melayang sia-sia.

Nah, udah kebuka. Sekarang kotak ini aman. Tinggal gue taruh lagi ke dalam kardus agak gedean sebelum dibungkus rapi. Special untuk Juan seorang.

Gak sabar gue mau ngasih kado ini buat dia. Dan yakin, dia akan keliatan ganteng dan keren banget pas make benda pemberian gue ini. Cuma berharap dia suka, sih. Kalo nggak, bisa-bisa nangis celengan plastik gue karena udah dibongkar, eh malah nggak kepake duit hasil simpanannya selama tiga tahunan ini.

Selesai menyapu, ngepel dan menjemur baju, gue langsung berjalan ke kamar dan membaringkan badan. Capek. Tinggal tunggu nasi matang, terus beli lauk makan. HP yang lagi dicas gue cabut untuk diperiksa dan melihat ada banyak pemberitahuan chat masuk.

Pertama, gue buka chat dari Juan dulu. Pacar kan prioritas, ya.

[Udah ngebabunya?]

Dih. Dasar cowok sialan. Gue bersihin rumah sendiri dikata ngebabu.

Akhirnya nomor si Bangsat gue hubungi. Gak sampe setengah menit, telepon ini dijawab. "Gue laper!" kata gue sebelum dia sempat bersuara.

"Euh, okay?"

HAH. KOK BUKAN SI BANGSAT YANG NGEJAWAB PANGGILAN INI?

"Ini siapa?" Jangan bilang si Juan selingkuh di belakang gue. Hiks. Hiks.

"Masa elo gak ngenalin suara gue?"

Suaranya emang gue kenal, sih. Cuma kaget aja, tumbenan amat HP dia dipegang orang lain. "Juan mana?"

"Lagi mandi. Katanya, nanti kalo ada telepon dari lo minta tolong dijawab dulu."

Lagi mandi? "Terus, elo ngapain nemenin dia mandi?"

"Siapa juga yang nemenin dia mandi, Ya Tuhan. Gue duduk di ruang santai di depan kamarnya pun bareng si Vano. Gak usah jealous, okay? Gue gak nafsu juga ke Saga."

"Oh, ya udah, deh," ucap gue pasrah setelah itu memutuskan panggilan. Gampanglah. Palingan nanti Juan nelepon balik.

Gue bangun dari pembaringan, berjalan ke lemari, lalu mengambil paket yang sampai lebih dulu dari kotak yang tadi. Selanjutnya membuka laci, menarik keluar kertas kado warna kuning, lem, gunting serta solasi mini yang udah dipersiapkan sejak beberapa hari lalu ketika berbelanja keperluan ultah Juan barengan Setya.

"Saatnya membungkus kado untuk si Bangsat!"

.

"Elo lebih suka kue rasa strawberry, pandan, cokelat atau vanila?"

"Vanila."

"Oke. Warnanya? Biru, kuning, pink, ungu, merah atau pelangi?"

Gue mendecak. "Yang ultah nanti elo ya, Bangsat! Ngapain tanya-tanya ke gue."

Juan tertawa. "Kan nanti elo orang pertama yang dapat kue dari gue. Daddy masih sibuk, cuma bisa ngirimin kado."

"Gak kasian lo sama Yellow?"

"Yellow mana doyan kue, Bego!"

Bisa dibayangkan di seberang sana dia pasti sedang memutar bola mata. Gue terkikik. "Kuning, deh. Kan itu warna kesukaan elo."

"Oke. Yellow colour, with vanilla flavour. Age 17. And also with orange cat holding my birthday card. Could you do it?"

Pesanan yang disebutkannya direspons oleh suara seorang cewek. "Elo lagi di mana, sih?"

"Di toko kue punya kakak Vano. Mesen kue buat acara. Soalnya kalo nggak diminta dari sekarang, keburu penuh nanti daftar tunggunya. Elo tau toko kue terkenal Johannes White Cake? Itu kakak Vano yang punya."

Euh, itu apaan? Baru denger gue. Biasanya gue mentok beli kue di warung deket sini, sih.

Di sana Juan terdengar menghela napas panjang. "Elo pasti gak tau, ya? Ya udahlah. Lupain aja."

Gue hanya mampu terkekeh.

"Elo udah makan? Dyas bilang tadi elo ngadu lagi lapar."

Anjir. Gak usah diingetin segala, kek. Malu nih gue. "Udah makan. Barusan gue beli semur jengkol balado."

"Ew. Elo suka makanan bau itu?"

Yeee, sembarangan aja dia ngatain makanan favorit gue. "Bau-bau gitu enak, ya. Orang kaya macam lo mana paham sensasi nikmatnya jengkol."

"Gue pernah nyobain satu kali karena penasaran. And seketika menyesal soalnya gara-gara makanan itu kamar mandi gue mendadak jadi gua beracun yang busuk."

Penjelasan itu menimbulkan ide jahil ke otak sableng gue. "Asik. Nanti kapan-kapan sehabis makan jengkol gue pipis yang banyak di kamar mandi elo, ah."

"Silakan. Sebagai gantinya elo wajib ngebersihin baunya sampe gak bersisa sedikit pun. Masih berani?" balasnya telak.

Gagal deh rencana bikin busuk kamar mandi si Juan. Dia mah kalo ngancam mana pernah main-main. Kesel gue. "Huh. Ya udah, deh. Gak jadi. Oh ya, Juan?"

"Apa, Sayang?"

Hiii. Merinding gue sebadan-badan. Ini cowok bisa nggak sih berhenti nyebut gue dengan panggilan demikian? Sensasinya asli nggak enak banget begitu mulai dicerna telinga dan pikiran. "Elo kenapa nggak bikin kue ultah sendiri?"

"Repot. Males. Lagian kue buatan kak Armet lebih enak dari resep kepunyaan gue."

JIWA RAKUS GUE MEMBERONTAK.

"Serius? Gue mau nyoba!" Gila aja. Kue buatan Juan yang udah seenak itu ada yang menyaingi. Gimana nggak ngiler dan mupeng gue?

"Elo mau? Nanti gue minta antar si Vano buat mampir ke rumah lo kalo gitu. Sekalian ngasih buat nenek juga. Dia sukanya kue rasa apa?"

Aaaa. Makin sayanglah ke pacar bangsat gue ini. "Nenek sih asal kuenya gampang dikunyah dia mau. Tapi dia paling suka rasa pandan. Gue sih rasa apa aja bakalan dimakan, kok."

"Oke. Nanti gue beli. Lo tunggu aja, oke? Sementara gue mau kelarin urusan sama kak Armet dulu di sini."

"Iya, iya. Sip. Good luck!"

Dia ketawa menangkap nada fals berbahasa asing gue. "Bye."

HP gue peluk-peluk. Ah, gak sabar gue mau makan kue enak itu. Rasa kenyang di perut pun seakan-akan langsung hilang digantikan lapar lainnya. Susahnya jadi orang rakus.

Eh, bentar. Nanti sebagai ganti terima kasihnya gue perlu nyium si Juan nggak, ya? Mana mulut gue bau busuknya parah. Sikat gigi dululah sebagai persiapan. Entah cipokan atau nggak kami nantinya, yang penting jangan sampe ada bau nggak sedap gitu, kan.

"Nih, kue buat elo. Yang ini buat nenek. Gue gak bisa mampir lama-lama karena Vano gantian ada urusan sama so called yayang Febri dia. So, nikmatin aja kuenya, oke?"

Yah, gitu deh. Sepertinya kami nggak akan sempat cipokan.

Gue menganggukkan kepala. "Iya. Makasih banyak."

Juan mengusap pipi gue pelan, kemudian berbalik kembali ke mobilnya yang dikemudikan Vano dengan langkah yang masih agak pincang. Padahal seharusnya dia makek kruk miliknya ke mana-mana. Dasar manusia ogah ribet.

Namun, setelah ngebuka pintu belakang mobil, dia bukannya masuk malah balik lagi kemari sambil membawa dua tas belanja. Apaan lagi itu?

"Gue lupa mau ngasih elo ini." Tas yang Juan pegang disodorkan pada gue.

Lebih dulu gue meletakkan dua kotak berisi kue ke kursi plastik sebelum menerima pemberian lain dari dia. Langsung mengintip isinya dan seketika melotot mengetahui apa yang ada di dalamnya. "Ini buat apaan? Gue nggak ngerasa minta elo beliin baju dan celana baru tuh," komentar gue jelas kaget. Gila aja. Ini baju dan celana bermerk mahal pasti. Duit semua.

"Iya. Elo emang gak minta, tapi gue yang kepengin beliin. Berhubung elo selalu ngerasa kurang PD dan sering mikir panjang mengenai penampilan sendiri, gue sengaja ngasih itu supaya bisa elo pake di acara ultah nanti. Entah mau dipake ataupun nggak, semua balik lagi ke elo. But, gue yakin elo bakalan keliatan manis banget dengan semua setelan itu."

Penjelasan yang Juan ungkapkan bikin gue nggak tau mesti berkata apa lagi. Nggak menyangka dia akan memikirkan gue sejauh ini. Duh, mampuslah jiwa baperan gue. Makin terpesona gue sama kebaikannya. Gak tahan gue jadinya.

"Euh, elo bisa ikut masuk sebentar nggak?" Lengan kemeja dia ditarik untuk gue bawa masuk. Berdiri di balik daun pintu yang membuka, lantas mengajaknya berciuman.

Untungnya, Juan seolah mengerti hasrat yang gue miliki dan membalas dengan imbang. Bahkan dengan sengaja merapatkan bagian depan tengah celana kami yang agak bereaksi sampe bikin gue sedikit mendesah. Sampai ketika suara klakson dari luar terdengar, barulah gue dan dia mengakhiri keintiman.

"Hello, gays! Gue paham kalian mau you-know-what-I-mean, but gue juga udah ditunggu Yayang Febri, okay? Kalo sampe dia marah, gue ngamuk nih, ya!"

"Bule kambing itu udah bersuara. Sana deh, elo pulang." Gue nyengir. "Makasih buat kue dan bajunya."

Cowok gue ini balas mengecup pipi. "Sama-sama. Kalo gitu, gue pulang dulu, ya."

Juan berjalan keluar sampai ke mobilnya dan duduk pada kursi penumpang bagian depan. Gue melambaikan tangan begitu mendengar Vano membunyikan klakson, sesudah itu melirik bergantian antara tas belanja di tangan juga kotak kue di kursi.

Hehehe. Tinggal tunggu nenek pulang, terus kami bisa makan kue enak sama-sama.

Tahu-tahu HP di kantung celana gue berbunyi. Ada chat masuk baru dari Juan. Hm, kenapa lagi nih?

[Btw, elo sikat giginya masih kurang bersih.]

DASAR PACAR BANGSAT! ARRGHHH!

____

Sip, deh. Ternyata jam segini tamu undangan masih sedikit. Saatnya menjalankan rencana.

Naik ke lantai dua sambil terus celingukan ke kanan dan kiri. Sepi. Gak ada orang, ya. Bagus. Oke, lanjut. Mundur selangkah demi selangkah ke arah pintu kamar Juan, lalu membukanya dan masuk. Hm, bau lemon khas yang gue rindukan. Andai lagi gak ada keperluan, kayaknya gue mau gegulingan dulu di atas kasurnya.

Nah, sekarang. Enaknya ini kado gue taruh di mana supaya aman, ya?

Lemari penyimpanan setelan Juan gue datangi sebagai pilihan pertama. Sayangnya, gue malah dibikin takjub sendiri karena bau pakaian, celana dan segala aksesoris yang terletak di dalam sini beraroma uang semua. Lacinya yang berjumlah ... satu, dua, tiga, hmmm ... ada enam laci yang terbuka. Topi, jam tangan, sepatu, ikat pinggang dan dasi, aksesoris berupa gelang dan kalung hingga parfum dapat jatah tempatnya masing-masing. Kemeja dipisah. Kaus dipisah. Jaket, jas dan seragam juga letaknya beda. Celana pendek dan panjang pun demikian. Pokoknya setiap baris tersusun rapi dan keren dengan jenis serta model pakaiannya masing-masing.

Aaaah. Ini ada baju kuning si Juan yang dia pakai di hari jadian kami waktu itu. Mau cium. Endus-endus dulu.

Dih, najis. Gue lagi ngapain, sih? Udah kayak kucing jablay aja lagaknya.

Hadiah pun akhirnya gue batal taruh di mari. Habis harganya jadi kalah saing. Takutnya nanti isi di dalamnya menangis dan meratapi nasib, sebab merasa nggak sebanding disandingkan dengan yang lain-lain yang ada di sini. Kan kasian kado modal celengan gue.

Gue membalikkan badan, berniat kembali ke bawah dan memekik saat malah mendapati sosok Juan yang udah aja berdiri di ambang pintu lemari. Melipat kedua tangan di depan dada sembari menatap gue curiga.

Kado secara sigap gue sembunyikan ke belakang punggung. "Ehehehe. Ini nggak seperti yang elo pikirin," ucap gue takut dikira mau maling harta bendanya.

Lagipula serakus dan seserakah apa pun jiwa bokek gue, anti ya jadi bocah tukang maling. Toh, kalo nanti ada apa-apa pasti nenek yang dianggap gak becus mendidik bocah baik, nggak sombong dan rajin menabung macam gue ini.

Si Bangsat menyipitkan mata dan mulai melangkah mendekat. Melewati gue gitu aja hingga melongok ke belakang punggung pada bekas tas belanja darinya tempo hari yang kini gue bawa. "Itu apa?"

Helaan napas lesu bercampur kecewa gue keluar lantaran gagal pengin ngasih kado ketika acara bubar. Mau nggak mau, tas di pegangan gue sodorkan pada Juan yang menatap bingung. "Juan, selamat ulang tahun, ya. Hehehe. Mau gue nyanyiin lagu?" ucap gue akhirnya.

Cowok yang telah genap berusia 17 tahun ini menyahut cepat, "Gak. Suara elo bagusnya cuma pas mendesah doang."

Kado gue tarik lagi dan beralih memukuli dadanya saking gregetan. "Dasar goblok!"

"Aw, aw! Gue lagi ultah bukannya disayang malahan dipukul," protes dia, menahan sebelah tangan gue.

Gue mendengkus. "Habis elo kayak gak pernah ada manis-manisnya."

"Gue bukan sirup Marjan, tuh."

Bodo amat, deh. Gak bakalan ada habisnya adu bacot sama dia. "Hhh. Nih, ambil." Lalu menaruh tali tas di atas tangan Juan untuk ganti dipeganginya.

Dia mengernyit. "Apaan ini? Racun tikus?"

Ampun, Bambang. Sekali aja ini cowok gak bikin gue jengkel gak bisa apa?

"Itu kado ultah dari gue ya, Bangsat! Banyak bacot lo."

Kedua mata sipitnya membulat. "Elo? Ngado? Wow. Keajaiban dunia macam apa ini?"

Gue refleks menadahkan satu tangan mendengar komentar usilnya. "Kalo elo nggak kepengin, sini balikin."

Dia terkekeh sembari mengacak-acak rambut gue. "Iya, iya. Gue terima. Gue buka, ya."

"Mau lo makan juga silakan kalo bisa," balas gue ketus, masih ngerasa agak dongkol.

Juan lebih dulu mengambil bungkusan kado pertama yang merupakan hadiah utama dari gue untuknya. Perlahan merobek kertas kado berwarna kuning, lantas terkesiap mengetahui apa yang ada di baliknya. Kotak dari kardus dikeluarkan, selanjutnya dia buka pelan, dan sontak mendelik melihat model jam tangan yang ada di dalamnya.

"Hm? Ini ... elo ngerampok bank mana sampe bisa ngebeliin gue jam tangan ini, Ryan?" tanya Juan, tampak gak percaya setelah jam tangan putih itu diambil dari bantalannya.

"Enak aja ngerampok. Gue makek duit tabungan yang gue simpen sejak SMP buat beli itu, tauk!"

"Hah?" Juan balas merespons kaget.

Gue mengembuskan napas panjang sebelum mulai berkata panjang lebar, "Gue sejak kelas 2 SMP sering nyisihin uang jajan buat dimasukin ke celengan--ada yang Rp. 2000, Rp. 5000, seribu bahkan beberapa lembar puluhan ribu. Tadinya sih, itu duit mau gue beliin HP baru. Tapi ya, karena elo udah lebih dulu ngasih HP keren buat gue, semua uang hasil celengan gue pake aja supaya bisa ngasih lo kado. Sekali seumur hidup, gue pikir mau gak mau gue harus bisa ngasih elo sesuatu yang ada harganya." Jam tangan di tangannya gue tunjuk. "Gue beli itu di online shop. Demi elo. Jadi, berhenti mikir macem-macem atas kado pemberian gue." Selanjutnya melirik isi di tas yang tersisa. "Di dalam situ juga ada kado satu lagi, isinya apron warna kuning. Biar setiap elo masak makek itu apron, elo nggak akan lupa ngasih gue jatah makanan juga. Hihihi."

Si Bangsat tercenung sesaat seusai mendengar semua penjelasan gue. Senyumnya lalu mengembang, dan pipi gue dicubitnya pelan. "Secinta itu elo sama gue, Bego. Terharu gue."

"Bacot lo!"

Dia kemudian melepaskan jam tangan yang sekarang dikenakan, lantas mengarahkan jam tangan pemberian gue ke gue lagi. "Pakein dong!"

Pintanya itu gue respons dengan decakan. "Manja lo, ya."

Namun, tetap aja gue menuruti kemauannya untuk memasangkan jam tangan ini. Hati-hati, jangan sampe salah pencet apalagi dijatuhin dan bikin pecah. Kalo langsung rusak, gak bakal sanggup gue beliin lagi.

Juan memperhatikan jam tangan di pergelangannya dengan sorot senang yang jarang-jarang gue lihat. Tiba-tiba, badan gue dipeluk. "Makasih banyak. Ini pertama kalinya gue ngerasa seneng banget dapatin kado setelah sekian lama."

Pengakuannya berhasil ngebikin muka gue kerasa panas. Malu bercampur bangga bercampur nih jadinya. "Iya, iya. Sama-sama. Tapi, ngapain elo meluk-meluk segala?"

Juan berbisik, "Pengin aja. Gue tau ini kedengeran norak, tapi gue beneran seneng punya elo sebagai pacar dan orang yang cinta ke gue, Ryan. Gue sayang banget sama lo. Dan hadiah ini akan gue gunakan serta jaga sebaik mungkin."

Jika si Bangsat nunjukin sisi semanis ini, mana sanggup gue nolak. Jadi, akhirnya pelukan ini gue balas. "Hmm, iya. Gue juga seneng bisa jadi pacar lo. Dan gue juga sayang sama lo, Juanda Andromano Saga Fransiskus."

Dia melerai pelukan dan memandang gue. "Boleh nyium?"

Gue menjawab pertanyaan itu melalui tindakan. Mencium bibir Juan, mengajak mulutnya saling memcumbu. Kedua tangan gue lingkarkan ke lehernya, sementara dia meletakkan kedua tangan di masing-masing sisi pinggang gue.

Kampret! Detak di jantung gue masih aja berdebar-debar kayak baru pertama kali ini cipokan. Sensasi setiap kali bibir bawah gue kena gigit, terusap lidah Juan yang lihai, hangat dan panjang selalu berhasil mengalirkan sengatan nikmat ke sekujur badan.

"Saga, are you there?"

Suara seseorang dibarengi ketukan yang terdengar dari luar pintu kamar ngebuat gue dan Juan terlonjak bersamaan. Bikin kegiatan berciuman ini langsung kami sudahi.

"Yes, I'm here!"

"The guests are looking for you. Hurry up and get out soon. Okay?"

"Okay!"

Juan terkekeh. "Nah, gimana? Elo mau lanjut cipokan atau kita mulai acaranya dulu?"

Gue membetulkan kerah jas kemeja yang dia pakai, lalu memberi kecupan sekali lagi ke bibirnya. "Kita kelarin acara elo dululah, Bangsat. Ayok!" Punggungnya gue dorong-dorong menuju ke luar. "Apron itu jangan lupa elo pake nanti, ya." Gue mengingatkan.

"Padahal belum juga gue buka."

"Nanti lagilah, gampang!"

Setibanya kami di luar pintu kamar, Juan terlebih dahulu merapikan rambut dan kemeja gue. "Nah, you look good."

Setelah itu, Juan menggenggam tangan gue erat, seolah-olah sengaja mau memamerkan gue pada seluruh tamu undangan yang menghadiri acara ulang tahunnya. Gue nggak keberatan, sih. Hanya merasa sedikit ... malu. Akan tetapi, berhubung dia ada di dekat gue sekarang, sepertinya nggak ada yang perlu dikhawatirkan.

Selamat ulang tahun, Juan Bangsat gue tersayang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top