32. PERNYATAAN

"Eh, itu si Juan sama cowoknya, kan?"

"Masa sih beneran mereka pacaran?"

"Mustahil, sih. Perbandingannya jauh."

"Bakalan lebih cocok kalo Juan pacaran sama Vano atau Dyas kan daripada cowok yang namanya Feryan itu?"

Di samping gue, Juan memasang ekspresi kepengin muntah yang nyaris bikin ngakak mendengar perkataan yang satu itu.

"Orang-orang ini harus belajar memperbaiki isi kepala mereka lebih dulu sebelum berkomentar sembarangan," ucap si Bangsat yang sekarang berjalan sendiri menggunakan kruknya. Sebenarnya dia masih kepengin gue rangkul. Cuma gue capek karena rangkulannya udah macem minta gendong. Berat. "Yang, kaki gue pegel, nih. Istirahat bentaran dong."

Gak cuma gue yang terkesiap, tetapi juga sebagian besar murid yang tengah berlalu lalang dan berdiri di sekitar koridor ini setelah si Juan kampret menyuarakan kalimat norak barusan.

Kedua mata gue melotot. "Manggil apa elo ke gue? 'Yang'? 'YANG'?" komentar gue dengan lebay. "Elo pikir gue kuyang apa!"

Respons gue itu disambut tawa dari beberapa orang yang menangkap dengar.

Sementara si Bangsat memperlihatkan ekspresi masam. "Dasar bego lo. Gak bisa diajak akting dikit."

"Gue gak ada bakat jadi tukang drama ya, Bangsat."

"Iya. Soalnya lo lebih ada bakat jadi tukang perusak suasana."

"Bodo!"

"You indeed are stupid, though."

"Asshole."

"Pfft! Itu apaan yang barusan elo sebut? Risol?"

Akhirnya lengan dia gue cubit. "Bacot lo!"

Juan ketawa puas. Sebelah tangannya bergerak mengacak-acak rambut gue agak kasar. "Gak usah keras-keras. Kita sekarang jadi bahan tontonan."

Sontak aja gue mengedarkan pandangan. Mendapati beberapa orang sebisa mungkin mengalihkan perhatian mereka dari gue dan Juan. Anjir. Lupa gue sekarang kami ada di mana. Habisnya ribut sama ini cowok asik, sih. Bikin nagih.

"Kelas si Zyas ada di mana, sih?" tanya gue akhirnya, nggak sabar pengin cepet sampai dan menyelesaikan urusan.

"Dia ada di sebelah kelas gue, kok."

Waduh. "Nggak apa-apa?"

"Apanya?"

"Lo nggak akan macem-macemin Zyas, kan?"

"Nggaklah. Gue mau ngasih dia sedikit pelajaran aja."

"Lo nggak ngerasa gak enak sama Dyas?"

"Why? Ini urusan gue sama Zyas, kok. Dyas nggak ada sangkut pautnya sama permasalahan yang Zyas bikin untuk kita berdua."

Duh. Entah kenapa ngedenger penjelasannya malah ngebuat gue makin was-was. Terlebih lagi saat akhirnya kami tiba di area kelas Juan setelah menaiki tangga secara susah payah. Kedatangan gue dan dia di wilayah kelas 11 IPA ini disambut banyak tatapan terkejut dari para murid. Berbisik-bisik menggunakan bahasa Inggris sembari melirik enggan dan risih. Lebih kepada gue.

"Shameless!"

"I guess Juanda has the worst type of choosing boyfriend."

"Damn faggot!"

"Disgusting."

Mendadak aja Juan menghentikan langkah. Perlahan membalikkan badan, lalu memandang satu per satu orang di dekat kami dengan sorot sinis dan geram. "Say it right in front of me if you dare. All of you!" gertaknya yang malah bikin gue merinding. Mood jelek dia asli nyeremin. "RIGHT NOW!"

Gue terlonjak kaget bersamaan dengan para siswa-siswi lain setelah menangkap suara bentakan Juan yang menggelegar. Meneguk ludah lantaran takut sembari mundur satu langkah. Beberapa orang lain pun gue lihat malah berlagak nggak tau apa-apa dan mengalihkan perhatian. Bisikan-bisikan nggak jelas pun kini nggak lagi terdengar.

"Fucking coward!" umpat si Bangsat dan lanjut melangkah. Di belakangnya, gue membuntuti. "Orang-orang goblok macam mereka itu kalau nggak dilawan dan dikasih peringatan nggak bakalan ada kapoknya. Elo juga seharusnya belajar marahin orang. Nggak cuma beraninya ngamuk dan protes ke gue doang."

Nyelekit amat kata-kata dia, Bambang. Jiwa lemah gue yang terdalam tersentil sampai ke ginjal rasanya. Dipikir semua orang di dunia ini berani kurang ajar tanpa tau posisi dan kondisi kayak dirinya apa?

Pintu kelas yang bersebelahan dengan kelas si Juan ini dibuka kasar secara sengaja. Suara berisiknya kontan menarik atensi nyaris semua murid di dalamnya. Dan salah satu murid di situ ada yang gue kenali.

Zyas.

Menatap Juan dengan sorot kaget bercampur senang.

Apa dia pikir kedatangan Juan kemari demi untuk memberinya hadiah atau gimana?

"Oh, good. Elo ada di sini," sapa si Bangsat yang melambaikan tangannya pada posisi Zyas berada. "Ke sini sebentar bisa? Gue mau bicara." Sehabis itu dia membisikkan sesuatu ke salah satu murid di belakangnya, entah apa.

"Juanda, welcome back!" Zyas berlari girang menghampiri kami yang sedikit bikin gue geli lantaran wajahnya yang mengingatkan pada sosok Dyas yang kalem. "Kamu udah baikan? Kaki kamu udah mendingan dong sekarang?"

Pertanyaan itu cuma ditanggapi jurus putaran bola mata. Kemudian, Juan tersengih. "Gue nggak mau basa-basi, oke. Ada dua hal penting aja yang mau gue sampaikan ke elo. Right here, right now." Dia berdeham seraya membetulkan letak kruk supaya lebih nyaman dipegang.

"Oh, ya? Apa itu?" Senyum Zyas tersungging lepas.

Kampretnya. Kehadiran gue seolah-olah nggak dianggap sama cowok berperawakan ramping ini, padahal gue berdiri tepat di sisi Juan. Sebegitu nggak sukanya kali dia ke gue, ya. Tck.

"Well, first, gue mau berterimakasih. Karena berkat elo, anak-anak satu sekolahan tau mengenai hubungan gue dan Feryan sekarang. Mereka jadi tau gue gay dan udah punya pacar." Juan melirik gue sebentar. "Jadi, gue nggak perlu repot-repot mikirin enaknya kapan gue mesti mengakui perihal kehomoan kami. Ya kan, Yang?"

Yee, kutu badak. Dia dan sebutan noraknya kedengeran lagi. Hadeuh.

Namun, mendengar ucapan Juan terang aja nggak bikin Zyas keliatan senang. Senyumnya raib digantikan raut jengkel yang kentara. "Kamu bahkan nggak ingin menyangkal?" tanyanya dengan kedua tangan terlipat di dada.

Sebelah alis tebal Juan naik. "About what? Hubungan gue dan Feryan? Ngapain? Toh, gue dan dia udah dua mingguan lebih pacaran." Pernyataan lain darinya disambut bisik-bisik kian gaduh.

Enteng bener emang dia kalo ngomong. Udah kayak bernapas. Sama sekali nggak ada beban atau pertimbangannya.

Suara decakan keluar dari mulut Zyas. Tangannya menunjuk ke gue disertai roman muak yang alami. "Tapi Juanda, kamu sadar kan cowok ini nggak cocok bersanding dengan kamu. Lihat dia baik-baik, dong! Mukanya aja je--emmh!"

Gue memekik kaget serupa Zyas yang kini mulutnya diremat keras oleh sebelah tangan Juan. Membungkam dia serta kata-katanya yang belum selesai diutarakan. "Apa pun yang mau elo katakan, sebaiknya jangan sampe gue mendengarnya, Zyas Farghanda Rizawijaya." Sorot mata cowok gue berubah galak total. "Gue paham apabila kebencian elo ke Feryan muncul andaikan dia ada salah sama lo atau apa. But, elo melampiaskan marah dan benci elo ke dia hanya gara-gara gak terima gue sekarang menjadi pacarnya. That's absurd. And crazy. Gara-gara elo dan ketololan lo, dia jadi korban bully dan caci maki banyak orang. And worse, elo berani-beraninya melayangkan tangan elo ke wajah dia sampe bikin bibirnya luka." Kepalanya yang masih sedikit terluka menggeleng terheran-heran. "You know, satu-satunya kelebihan elo di sini adalah elo berhasil bikin gue sangat marah dan kesal. Setelah sekian lama."

Begitu rematan pada mulut itu dilepaskan, Zyas mengeluarkan suara batuk-batuk kecil. Raut kesal di wajahnya bukannya hilang setelah diperingati oleh Juan, yang ada justru bertambah seram nggak keruan. Ngebuat cowok Bangsat di dekat gue ini mendecak kasar.

"Elo atau gue yang harus turun tangan?"

Pertanyaan yang diajukan Juan ke gue itu gue tanggapi penuh kebingungan. "Apaan?"

Dia menaikkan bahu nggak acuh. "I guess, it's better if I'm the one who do it." Senyumnya tampak dipaksakan. "Nah, Zyas. This is the second one. Say sorry to him. To Feryan for what you did to him." Mata Juan mengerling gue. "Do you mind?"

Zyas gue lihat malah memutar bola matanya. "No fucking way! Aku nggak sudi minta maaf ke sosok homo jelata kayak dia, ya! Najis!"

Oke. Sesuatu di dalam hati gue kayak baru aja dipukul oleh benda yang nggak kasat mata. Perih, cuy.

Juan mengembuskan napas panjang. "Oke. Karena itu pilihan elo." Gue mengernyit mendapati tangan kirinya mengepal erat. "Take this!"

BUGH!

Seketika aja reaksi heboh terdengar dari berbagai arah menyambut adegan yang barusan terjadi. Kalo gue sih, cuma bisa menonton dengan perasaan ngeri sendiri.

ANJRIT. Gila. Si Zyas kena hajar oleh tonjokan si Bangsat yang jelas nggak sebanding dengan pukulan yang gue dapat kemarin. Tangan kirinya bener-bener bertenaga dan kuat sampe berhasil bikin cowok glowing itu terhuyung mundur hingga menabrak meja dari salah satu siswa yang sigap berdiri. Untuk selanjutnya jatuh ke lantai, memegangi bibir dia yang berdarah. Sakit sangat pasti itu, Bambang. Makin jadi tontonanlah keributan yang kami lakoni di sini.

"Juan, elo--"

"Everybody here, please listen to me!" Kalimat protes yang berniat gue layangkan terpotong oleh perkataan Juan yang disuarakan keras-keras. "Jika kalian merasa keberatan dengan hubungan yang gue dan Feryan jalani, feel free to protest. Right now, in front of me. SAY IT! Ungkapin semua hinaan serta cacian yang ingin kalian layangkan tanpa sungkan. Gue nggak akan marah. Jangan cuma bisanya bisik-bisik di belakang punggung orang kayak kecoa kotor yang nggak mau kecium busuknya. Don't be such a fucking coward! Sebab gue nggak akan terima gimana pun alasannya, jika hubungan yang gue miliki dengan seseorang yang gue pacari secara serius dicampuri dan dikomentari dengan rentetan kalimat nggak pantas." Juan mendengkus dengan gaya angkuh. "Atau kalian akan berakhir seperti banci tukang ikut campur yang ada di bawah sana. And for you ..." Dia menunjuk Zyas menggunakan jari tengah. "Kalo elo berani nyari masalah lagi sama gue atau Feryan, yang berikutnya nggak hanya mulut elo yang luka. Tetapi bisa jadi tangan, bahkan kaki lo. Elo nggak lupa kan gue ini bisa taekwondo?" ancamnya jelas nggak main-main. "Elo mau bilang sesuatu juga nggak ke dia?"

Gue yang sedari tadi dibuat tercengang oleh sikap berani si Bangsat akhirnya tersentak dibisiki pertanyaan darinya. "A-apa?" balas gue bertanya, lagi-lagi nggak terlalu paham.

"Elo nggak mau bilang sesuatu ke mereka, atau bahkan itu banci?"

Bahunya gue tepuk keras-keras. "Dia punya nama. Gue gak suka cara elo melabeli dia begitu." keluhan gue dibalas putaran bola mata nyebelin. Kemudian gue mulai membalas enggan setiap tatap dari orang-orang yang sedari tadi menyaksikan penyelesaian kurang damai ini. Menghela napas, mengembuskannya pelan sebelum buka suara, "Gue cuma mau bilang, maaf." Dari sudut mata, gue menangkap si Juan tengah mendelik saat ini. "Maaf kalo fakta yang kalian ketahui mengenai hubungan kami, yang pasti sebagian dari kalian anggap nggak normal, cukup mengganggu dan bikin jijik. Demi sumpah apa pun, gue sama sekali nggak bermaksud. Gak pernah ada maksud untuk ngebuat kalian jijik apalagi terganggu karena gue sendiri sadar bahwa menjadi homo itu bukanlah hal yang wajar. Tapi ..." Gue menggeser posisi berdiri gue lebih ke dekat Juan. "Gue cuma pengin minta supaya kalian nggak coba-coba menghasut atau merendahkan ikatan berpacaran kami. Sebab gue serius sama Juan. Nggak peduli walau gue jelas nggak keliatan cocok jadi pasangannya atau bahkan dianggap lebih pantas jadi babunya dan lain-lain. Satu hal yang pasti ... gue sayang ke dia. Gue nggak mau pisah atau putus darinya. Dan gue harap, kalian ngerti. Jadi, maaf sekali lagi."

Hening seketika mengisi suasana kelas ini. Hanya suara rintihan dari Zyas yang masih nggak kunjung bangun dari bawah sana yang terdengar. Hingga tiba-tiba suara tepuk tangan heboh dari satu orang mengagetkan kami semua, disusul bunyi siulan melengking.

"Wohooo! Bravo! I blesses for your guys gayness! Cheer up! Woohoohoo!"

Yeee, kambing. Rupa-rupanya itu kelakuan si Vano yang nongol dari luar jendela kelas. Dasar bule rese sialan.

Namun, Juan malah terkekeh. Menatap gue dengan sorot berseri-seri, sesudah itu mengusap sisi kepala gue lembut. "You doing great, Ryan. I'm so proud of you."

Gue nyengir. "Artinya apaan tuh?"

Bukannya menjawab, si Bangsat malah ketawa ngakak. Bikin anak-anak yang melihatnya menjadi shock untuk kesekian kali. "Huh. I really like you." Satu tangan gue lantas digenggamnya. "Ayo, kita balik sekarang. Gue capek berdiri terus, mau duduk."

Genggaman tangan kami gue pelototi. "Gak usah pake acara pegang-pegangan juga, kali. Norak lo."

"Bawel!"

Setelah keluar dari area kelas si Zyas yang entah akan bernasib bagaimana ke depannya, gue dibikin malu nggak kepalang lantaran orang-orang yang berkumpul di luar pintu jumlahnya jauh lebih banyak dibanding para murid di dalam sana. Mampus. Mau ditaruh di mana muka gue sehabis ini?

Sebuah tepukan pelan mengejutkan gue. Ketika menoleh, gue mendapati Dyas yang sedang berdiri santai sambil bersandar di tembok. "Congrats!" ucapnya nggak tau untuk apa. "Dia pantas kok dibegituin. Zyas, maksud gue."

Ebuset. Ini orang nggak pedulikah pada nasib sang kembaran yang kena hajar sahabatnya? "Elo nggak ada niat mau nolongin kembaran lo atau gimana gitu? Kasian loh dia."

Pertanyaan gue malah ditanggapi suara cekikikan Vano dan putaran bola mata Juan--yang nggak tau udah keberapa kalinya hari ini ditunjukkan.

Cowok berkacamata ini menggeleng mantap. "Gak perlu. Toh, itu merupakan risiko dari tindakan lancang yang dilakukannya. Dan apa yang Saga kasih ke dia, terhitung sepadan," ungkapnya diselipi senyum tipis. "Bahkan menurut gue, Zyas seharusnya dihajar dengan pukulan yang lebih keras lagi."

Anjrit. Gue nggak salah dengar apa? Dyas ini diam-diam ternyata berbahaya juga, ya? Parah.

Dada Juan dipukul Dyas pelan. "Elo payah, Saga. Pake berlagak nahan diri ngasih pukulan. Padahal adegan tadi bagusnya dijadiin bahan ancaman buat si Zyas andai dia berniat macam-macam ke gue." HP mahalnya dikeluarkan, memperlihatkan adegan hajaran di dalam tadi yang ternyata dirinya rekam. "Tapi ini juga lumayan, sih." Senyum puasnya pun muncul. Ditambah sorot di balik kacamatanya yang bergelora aneh.

Sedangkan gue cuma bisa melongo. Nggak tau lagi deh mesti bereaksi kayak gimana. Temen-temen Juan ini nggak ada yang beres satu pun kayaknya.

"Dyas dan Zyas itu meski kembar, hubungan mereka jauh dari kata akur. Elo udah tau, kan?"

Gelengan kepala pelan gue berikan pada Vano yang baru aja memberitahu fakta tadi.

Dia manggut-manggut. "Sip. Yang penting kan sekarang elo udah tau." Acungan jempol Vano lalu diarahkan ke gue. "Dan yang paling penting, Zyas nggak akan pernah punya nyali lagi buat macem-macemin kalian. Berani taruhan deh gue."

"Yakin?" tanya gue meragukan.

Vano tersenyum usil. "Gak percaya? Kalo dugaan gue salah, nanti gue bakalan ngebayarin semua jatah jajan lo di kantin, deh. Tapi kalo gue bener, elo yang harus selalu ngisiin saldo di akun belanja online gue setiap bulan. Gimana?"

Seketika gue angkat tangan menjawab tawaran taruhan gila darinya. "Oke, oke. Gue percayain aja apa yang lo bilang," komentar gue pasrah. Sedikit kecewa, karena siapa tau gue bisa menang gitu. Tetapi di sisi lain, kalo gue kalah pun ruginya bisa jadi bikin harta benda gue raib nggak bersisa.

Bule super jangkung ini mendecak nggak puas. "Yah, Saga. Pacar elo nggak asik. Gak bisa diajak taruhan," adunya pada Juan yang cuma mesam-mesem memperhatikan.

"Saldo buat ngisi akun lo itu setara duit jajan dia selama satu dekade kali. Mana berani dia ngambil taruhan," ungkap si Bangsat yang serta-merta menimbulkan pening di kepala.

Susah emang berhadapan sama orang kaya yang berak aja seakan-akan ngeluarin duit dan bukannya ampas. "Gue, balik ke kelas aja deh sekarang."

Vano dan Dyas langsung melambaikan tangan merespons pamit gue. "Oke, Farhan. TT DJ."

"His name is Feryan!" koreksi Juan kepada sahabat jelmaan tiang listriknya gak bosan-bosan. "Oke. Lo balik ke kelas aja. Kalo ada apa-apa, bilang dan jangan cuma diem. Itu mulut gunanya apa kalo nggak elo pake ngomong. Paham?" ucapnya dalam mode serius.

Gue mengangguk patuh sambil tersenyum. "Baiklah, Tuan Juan. Saya mengerti. Perintah Anda akan saya laksanakan nanti. Dah." Setelahnya segera berbalik dan berlari menjauhi kerumunan ini.

Mengabaikan setiap bisikan yang masih terdengar. Apalagi tatapan nggak biasa dari orang-orang yang menangkap keberadaan gue. Yang jelas, sekarang gue merasa lega. Berpikir bahwa ke depannya, nggak perlu ada hal lain lagi dari permasalahan yang terjadi di sekolah yang mesti gue khawatirkan atau pusingkan. Apa yang ingin gue katakan udah tersampaikan. Sebagian yang mau banget gue suarakan pun telah diwakilkan oleh suara Juan. Hanya tinggal menjalani apa yang sepatutnya gue lakukan setelah ini. Sebagai murid SMA kelas dua yang gak ada prestasi apa-apa, tapi harus mampu menunjukkan bahwa gue nggak sekadar bukan siapa-siapa.

Setibanya di kelas, gue disambut Setya yang tumbenan udah lebih dulu duduk di kursinya. Bukti bahwa gue menghabiskan waktu yang lumayan lama demi mengatasi dua persoalan sekaligus. Fyuuh. Namun, mendengar pertanyaan darinya bikin gue batal duduk dengan leluasa.

"Elo kok bawa tas dua? Itu satunya punya siapa?"

Sontak aja melirik ke bawah, dan mengembuskan napas lelah menyadari gue belum sempat mengembalikan tas ini kepada pemiliknya. Anjir. Apa ini artinya gue mesti balik lagi ke kelas Juan setelah berlarian macam orang dikejar-kejar setan sampe kecapean?

ARRRGGHHH! DASAR PACAR BANGSAT. NAMBAH-NAMBAHIN KERJAAN GUE AJA ITU ORANG!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top