29. PENGHASUTAN
"Mulut elo kenapa, njir?" Suara Setya yang nggak santuy seketika menarik seluruh perhatian murid di kelas untuk menatap wajah gue yang pasti keliatan ngenes saat ini. "Itu banci mukul elo?"
Gue meringis. Berniat duduk ke kursi dan mendapati ada kertas yang ditempelkan di sana untuk menutupi coretan yang mengotorinya. "Ini elo yang nutupin?" Gue malah balik nanya, yang bikin kawan gue ini melotot gemas. "Gak usah dipikirin. Dan elo gak usah nyebut si Zyas pake sebutan begitu. Gak enak tau didenger."
Dia mendelik gak suka. "Dia udah bikin elo malu, ngehajar elo dan elo masih aja ngebela dia. Beneran bego ya elo ini."
Euh, ya terus gue mesti gimana? Kalo bisa sih mau aja gue kata-katain dan hajar balik si Zyas anjrit itu. Cuma takutnya nanti karma berbalik dan semakin menambah panjang deretan masalah yang lagi gue hadapi.
"Gusi lo pasti bengkak nanti."
Sewaktu Setya menyentuh mulut gue, tiba-tiba bunyi serta cahaya jepretan kamera muncul entah dari mana. Gue dan temen sebangku gue ini menoleh cepat, mencari-cari sumbernya. Tetapi anak-anak di kelas pinter banget berakting seolah lagi nggak melakukan apa pun. Nggak lama setelahnya, HP di tangan gue bergetar.
Ada telepon dari Juan.
Memastikan jika sakit di mulut ini nggak akan bikin susah ngomong, gue lantas menjawab panggilan darinya. Belum juga buka mulut, suara Juan di seberang sana terdengar lebih dulu. "Elo kenapa? What happened?"
Gue memandang Setya heran, ngebuat dia balik ngeliatin gue penasaran.
Duh. Maksud si Juan apa coba nanya begitu? Perasaan gue belum cerita apa pun ke Dyas, Vano bahkan dia. Kok mendadak ini cowok kayak yang tau dan langsung minta konfirmasi?
Seakan-akan menyadari kebingungan gue, si Bangsat meneruskan, "Barusan ada nomor gak dikenal ngirimin foto elo yang dipegang-pegang Setya--said about how you guys have an affair behind me which I don't give a shit. And gue liat ada luka di bibir lo. Siapa yang ngelakuin itu? Bilang ke gue sekarang!"
ANJRIT. Rupa-rupanya foto yang diambil barusan itu dikirimin langsung ke Juan, toh. Dasar para penghuni biadab di kelas ini. Gara-gara siapa pun dia, sekarang gue jadi nggak tau harus ngasih jawaban apa. Mau ngasih jawaban jujur, nggak enak sama Dyas selaku kembaran si Zyas. Andai ngejawab bohong pun, gue nggak ahli berbohong dan gak pengin ngebohongin Juan, tuh.
"Apa Zyas?" Gue sontak terkesiap mendengar tebakan Juan yang tepat sasaran. "Again?" Dia gue dengar mengumpat, "That shitty motherfucker." Kemudian panggilan ini diputuskan gitu aja.
Setya gue lirik dengan tatapan 'udah gak tau lagi deh gue mesti ngapain' level parah. "Juan tau. Makin pening kepala gue, Set!"
Cowok berkepala cepak di depan gue ini menggeleng masygul, lalu menyerahkan selembar kertas untuk gue. "Semoga lo nggak makin pening. Tapi tadi, ada cewek-cewek yang nyariin elo juga. Dan mereka minta gue ngasih elo ini pas lo balik."
Ragu-ragu gue menerima kertas itu. Membuka lipatannya dan otomatis mengembuskan napas lesu membaca beberapa kalimat di sana.
PADA JAM ISTIRAHAT PERTAMA NANTI, KAMI TUNGGU KAMU DI BELAKANG GEDUNG KANTIN! KALAU MERASA DIRI KAMU JANTAN DAN BUKAN HOMO BANCI, TEMUI KAMI.
Setya yang ikut membaca isinya berdecak kesal. "Apa gue perlu ikut?"
Gue tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Gak usah. Ini masalah gue. Jadi, biar gue selesaikan sendiri." Lalu nyengir yang lebar meski sedikit perih. "Kan gue bukan banci, Set."
.
An to the jrit. Gila. Ini cewek-cewek bakal model dan aktris di masa depan apa gimana? Mereka jelas bukan para siswi biasa dari ini sekolah. Dari dandanan, aksesoris, gaya rambut sampai cara berpakaiannya udah menunjukkan bahwa mereka ini ... elegan. Terus, apakah yang para murid cewek elegan ini inginkan dari gue?
Gue hitung-hitung, total mereka ada sekitar 17 orang. Meskipun gue cowok nih, ya. Andaikan mereka ada niat gak baik semacam mau ngeroyok atau ngajakin gue baku hantam, udah pasti gue bakalan tetap kalah. Apalagi kuku mereka panjang-panjang kayak jelmaan Mak Lampir. Serem.
"Jadi, kamu yang namanya Feryan?" tanya seorang cewek dengan bulu mata lentik super.
"Kamu bener pacaran sama Juanda?" seorang gadis berambut hitam dikuncir ke samping menimpali.
"K-kalian beneran ... h-homo?" cewek dengan rambut sebahu tergagap turut bertanya.
Gue berdeham beberapa kali sebelum memberanikan diri untuk balik menanyai. "Eum, kalian ini ... siapa?"
"Kami semua mantan pacarnya Juanda."
Jawaban serempak itu nyaris bikin mulut gue menganga. ANJRIT PART DUA. GILA DEH SI JUAN. Mantan-mantan dia bentukannya kinclong dan sejenis super model begini. Gue yang burik dan biasa aja sebagai pacarnya sekarang bisa apa selain ngerasa tambah minder.
"Sekarang, gantian dong kamu yang jawab pertanyaan kami!" Cewek rambut hitam kuncir samping buka suara lagi.
Bibir gue sedapatnya memperlihatkan senyum alami. "Iya, gue Feryan. Dan iya juga, gue pacaran sama Juan, mantan kalian." Gue nggak perlu ngucapin salam kenal, kan?
Mendengar respons gue membuat mereka semua bereaksi secara bersamaan; terkesiap kaget.
"I know it. He's gay."
"Pantesan aja dia nggak pernah ngajakin aku ngewe meski sering aku goda."
"Ternyata dia ngejadiin kita pacar demi nutupin kehomoan dia."
"Cowok bangsat ini minta dihajar!"
"Seharusnya kalo dia nggak suka ke kita, gak perlu diterima segala, kan?"
"Iii. Rasanya aku mau jambak dan injak kaki Juanda sekarang juga."
"Enaknya Juanda nih dibuang ke planet Mars aja. Dasar cowok kontol!"
"Kesel, ih. Kok sekarang dia pacarnya cowok, sih?"
"Mana pas pacaran kita dibikin menderita dan malu sama dia. Ih, bangsat!"
Woi. Kalian sadar nggak sih lagi ngata-ngatain mantan kalian tepat di depan gue selaku pacarnya sekarang?
Gadis dengan kuku berwarna biru langit bertepuk tangan keras-keras. Membuyarkan segala omongan serta komentar yang nggak sedap didengar. Di antara belasan cewek lain, dia ini yang paling menarik perhatian lantaran tingginya yang gue perkirakan nyaris setara Vano.
Tiang listrik berjalan versi cewek.
"Elo serius pacaran sama dia? I mean, that jerk Juanda."
Gue mengangguk dua kali dalam jeda yang beda. "I-iya. Bentar. Kalian di sini nggak ada niat mau balas dendam atau gimana kan ke gue?" tanya gue dan menelan ludah jelas gelisah.
Cewek dengan bando hitam di kepala mendengkus. "No way, stupid! Pemikiran kamu terlalu dangkal. Justru kami ke sini untuk menyadarkan kamu sebelum kamu tersakiti lebih jauh oleh sisi brengsek Juanda sialan itu."
Hah? Menyadarkan gimana maksudnya, Bambang? Beneran gak paham gue sama jalan pikiran cewek-cewek.
Si kuncir samping menimpali, "Bener. Kalo emang kamu homo, aku yakin di luar sana ada cowok yang lebih pantas untuk kamu dapatin." Matanya yang kecil menyipit sinis.
"Siapa pun, selain Juanda!" Gadis tiang listrik menegaskan.
"Dia itu egois!"
"Sombong!"
"Tukang ngatur!"
"Merasa sok paling sempurna!"
Euh, gue udah tau tuh soal itu semua. Terus?
"Juanda ini selalu banyak maunya, tapi nggak pernah sedikit pun berusaha bertanya mau kami apa."
"Bajingan tengik yang pernah nyuruh aku nyuci motornya dan ninggalin aku pergi main."
"Make up aku dibilang mirip riasan Annabelle."
"Body-ku disebut-sebut kurang gizi dan bikin jijik."
"Mata sipitku dianggap aneh dan menakutkan."
"Dia pernah nurunin aku di tengah jalan karena risih dengan ukuran dadaku yang gede."
"Dia bilang wangi badanku mirip aroma kremasi."
"Katanya kucing dia bahkan suaranya lebih enak didengar ketimbang suaraku."
"Warna rambutku dibilang kotor dan nggak cocok. Mendingan aku botakin aja, he said."
"Gaya berpakaianku dikatai mirip orang yang gak pernah nyobain baju sebelumnya."
"Dia neriakin aku bitch di hadapan publik!"
"Aku dianggap ngerepotin cuma karena minta dia ajari materi yang nggak aku ngerti terus membuang buku aku gitu aja. Padahal ada tugas penting yang udah aku kerjain semalaman di sana."
"Dia meludah setelah ciuman sama aku."
"And worse, dia nyuruh aku masak makanan buat dia lalu menghina masakan itu sebagai sampah."
"Mulutku dibilang bau got sehabis aku nyium pipinya. Dipikir aku nggak akan ngerasa tersinggung?"
"For me, dia berkata bahwa tinggi badan gue bikin dia jengah dan setiap jalan bersama, dia meminta gue untuk membungkuk dan menekuk kaki."
"Dan dia nggak pernah minta maaf atas semua hal menyebalkan yang dilakukannya itu. Pacar kamu tuh cowok paling tengik dan goblok di dunia."
Mampus. Soal itu semua gue baru tau, tuh. Gila emang si Juan ini bangsatnya, ya. Orang tuh ninggalin kenangan sama mantan berisi keindahan masa pacaran. Eh, ini justru dipenuhi omongan nggak menyenangkan.
"Makanya kami datang ke sini untuk memperingati. Daripada kamu nanti tersakiti dan bernasib kayak kami, mendingan kamu jauhin aja Juanda mulai sekarang. Sebab cowok macam dia itu pantasnya nggak dapat cinta dan kasih sayang sama sekali. Menghargai perasaan orang lain aja dia gak bisa."
"Iya, bener. Juanda itu cowok sialan. Berani suwer aku! Huh!"
Mendengar semua hasutan itu, bikin gue teringat janji yang udah gue ucapkan dua hari yang lalu pada Juan. Menerawang sebentar, memikirkan tentang apa yang sebaiknya gue katakan pada mereka semua.
Gue berdeham. "Kalian tau, gue udah berulang kali disebut kampungan tuh sama Juan." Senyum gue mengembang. "Dia pun pernah ngejorokin gue pas kaki gue luka. Nyuruh gue bolak-balik dari jalanan ke rumah buat nemuin dia, masih diprotes pula setelahnya. Terpaksa ngehabisin makanan bikinannya yang nggak gue suka sama sekali. Nendang gue dari sofa di luar kamarnya buat nyuruh gue buang sampah, habis itu diminta nyapuin rumahnya sampe nyetrika dan bilang hasil gosokan gue lebih bagus dijadiin keset. Beberapa kali ngatain gue miskin, gak tau malu, ngerepotin, bawel dan disebut nggak punya kelebihan apa-apa pula. Bahkan dia aja manggil gue bego dan gak berguna kadang-kadang. Anehnya, gue masih tetap betah tuh jadi pacarnya."
Seluruh kalimat yang gue utarakan bikin mereka semua tercengang.
"Dia udah ngegituin kamu selama ini dan kamu masih aja betah pacaran sama dia?"
Anggukkan gue berikan secepat kilat.
"Kamu bego banget, sih!"
Buseeet. Tajem bener itu hinaan kalo cewek yang ngucapin. "Ya, emang. Gue bego. Makanya gue mau-maunya jadi pacar dari cowok bangsat kayak Juan. Karena gue nggak pernah mengharapkan hal apa pun dari dia, sih. Biar sekeren dan seganteng apa juga, dia toh cuma manusia biasa. Punya kekurangan, bisa ada salah dan sifatnya nggak selalu bisa nyenengin. Berlaku juga bagi gue. Dibandingin sama Juan, emang gue ada kelebihan apa selain rasa sabar yang gue punya?" Mendadak aja, gue ketawa. "Tapi, gue bahagia. Serius bahagia bisa jadi pacarnya meski sering dibikin kesel dan kesiksa beberapa kali. Dia ngatain gue bego, tapi buktinya mau aja tuh si bangsat macarin cowok bego model gue. Gak apa-apa dianggap kampungan, asalkan dia juga bersedia nunjukin perhatian dan kebaikannya buat sosok kampungan macam gue. Gak ada kelebihan apa-apa gak jadi masalah selama Juan juga masih sudi nemenin gue." Lantas menghela napas. "Yang terpenting, gue tau bahwa dia tulus cinta ke gue. Bagi gue, itu lebih dari cukup dibandingkan hal lainnya."
"Nggak peduli meskipun dia bajingan tengik yang ngeselin banget?"
Kepala gue menggeleng dengan yakin menjawab tanya si cewek kuncir samping. "Soalnya menurut gue, namanya suka dan mengagumi sosok orang lain terutama mereka yang belum kita kenal secara baik adalah tentang pengertian dan kesabaran. Gue suka dia sebelum sempat mengetahui banyak hal tentangnya. Jadi, begitu mulai tau dan hasilnya gak sesuai ekspektasi, gue nggak mungkin bisa nyalahin dia gitu aja, kan? Toh, yang memutuskan untuk memulai semuanya adalah diri gue sendiri."
Mereka tercenung sesaat lalu saling pandang seusai mendengar semua hal yang gue utarakan. Selanjutnya berbagi anggukkan kepala seolah setuju mengenai sesuatu.
"Itu artinya, kamu akan tetap pacaran sama Juanda, kan?" Cewek dengan kacamata pink bertanya dengan raut sungkan.
Gue berkacak pinggang "Iya, dong! Masa gue bakalan mutusin dia cuma karena tau semua hal yang tadi kalian bilang?" Wajah gue nggak ayal mendadak panas. "Cinta gue untuk Juan nggak sedangkal itu. Sorry," gumam gue agak menerawang. Berpikir, akan seperti apa jadinya apabila saat ini gue dan dia sedang bersama menghadapi mereka semua.
"Juanda benar-benar beruntung bisa ngedapatin kamu."
"Kalo itu pilihan lo, kami gak bakalan ikut campur lagi, deh."
"I blessed for your guys relationship."
"Kalo Juanda sampe berani selingkuhin atau nyakitin kamu berlebihan, santet aja dia. Nanti aku bantu."
"Walaupun aneh sih ngeliat hubungan antar cowok, tapi aku terima deh asal kalian sama-sama suka."
"Good luck buat kamu dan Juanda ya, Feryan!"
Perasaan lega yang teramat besar timbul di lubuk hati gue. Sedapatnya menahan tangis akibat haru, gue hanya mampu nyengir sebab bahagia. "Makasih. Untuk dukungan kalian."
Ah, bersyukur banget gue. Ada hikmahnya juga masalah kampret yang tengah gue jalani. Mengetahui ternyata cewek-cewek ini nggak seberbahaya yang gue kira.
"Eum, maaf. Aku mau nanya satu hal lagi. Di antara kalian, siapa yang jadi top dan bottom-nya?"
Pandangan heran dan jengah para cewek beralih sepenuhnya pada si gadis berkacamata pink. Sementara gue cuma bisa mendelik tanpa mampu berkata apa-apa lagi.
RALAT DEH. CEWEK ITU TERNYATA EMANG BERBAHAYA.
.
Di sepanjang koridor yang gue lalui bersama Setya, berulang kali terdengar cercaan dari beberapa orang yang ditujukan kepada gue. Nggak ada capeknya asli mereka. Padahal gue yang cuma ngedengernya aja bosen. Itu mulut nggak ngerasa pegel apa, yak?
Yah, dibodo amatin aja, deh. Sejak dulu gue udah biasa dapat perlakuan nggak menyenangkan, bahkan oleh pacar gue sendiri hingga sekarang. Kalo pun kabar ini jadi viral atau nanti laporannya sampe kedengeran guru, gue tinggal bilang bahwa itu foto editan semata. Sebab zaman sekarang kan teknologi makin canggih. Iya, nggak?
Santuy aja pokoknya. Selama hubungan gue dan Juan akan tetap baik-baik aja, nggak ada masalah yang perlu dikhawatirkan. Yah, kecuali kalo nanti si Zyas berulah lagi. Cuma jangan sampelah, ya. Udah cukup gara-gara ketauan homo gini bikin gue menjadi bahan ghibah nomor satu di sekolah.
Iya. Untungnya gue doang yang kebanyakan jadi korban penghinaan, bukannya Juan.
"Udah bego, jelek, homo lagi."
"Pasti Juanda jadi korban guna-guna sampe mau jadiin dia pacarnya."
"Lebih pantas dia jadi babu Juanda daripada pacarnya, kan?"
"Iya. Liat aja mukanya. Bikin pengin nyakar."
KALIAN YANG NGEBUAT GUE NUNJUKIN MUKA NGESELIN GINI, BAMBANG! Gue kutuk jadi bakteri jembut baru tau rasa. Kampret emang semuanya.
Di samping gue, Setya hanya mampu mendengkus dan geleng-geleng prihatin mendengar semua isi caci-maki yang juga mengganggu telinganya. Nasib emang.
HP yang sedari tadi gue klak-klik dimasukkan ke tas. "Gue disuruh pergi ke rumah Juan lagi hari ini," ucap gue pada Setya setibanya kami di pelataran sekolah, tengah berjalan menuju gerbang.
Dia manggut-manggut. "Apa perlu gue anterin lagi?"
Baru aja mau gue jawab, tau-tau suara klakson yang sangat heboh kedengeran dari belakang. Menarik perhatian banyak orang, termasuk gue dan Setya yang sontak terlonjak lantas menoleh bersamaan. Mendapati Dyas dan Vano yang tengah mengendarai motor mereka masing-masing menuju ke arah kami. Vano dengan motor Satria biru-putihnya, sementara Dyas mengendarai motor matic warna hitamnya.
Ini cowok berkacamata terobsesi banget sama warna hitam apa, ya? Beda sama kembaran jahatnya yang dikelilingi ke-glowing-an nan cetar.
"Elo mau ke rumah Saga, kan? Butuh tumpangan?" tanya Vano begitu menghentikan motornya tepat di depan gue dan Setya. "Tapi kalo mau numpang naiknya sama Dyas aja. Soalnya takut yayang Febri gue cemburu." Kedua alisnya dinaik-naikkan dengan kurang kerjaan.
Dari sudut penglihatan gue, si Setya tampak memutar bola matanya. Mungkin karena aura nyebelin ini bule udah tercipta sejak dirinya lahir. "Eh, tapi yayang Febri itu siapa?" Kekepoan gue lagi-lagi kumat.
Dyas tumben lebih dulu buka mulut. "Percaya atau nggak, dia ngaku itu pacarnya."
Gue otomatis menahan tawa. "Oh. Ternyata bule sialan macam elo laku juga, ya. Gak nyangka gue."
Untuk pertama kalinya gue menangkap raut kesal di wajah si Vano. Mau ngakak, tetapi justru keduluan si Setya yang cekikikan kayak tikus kejepit lemari. Dasar ini cowok satu suka aja tiap ngedenger ada orang kena nyinyiran.
Merasa sedang diperhatikan, bikin dia buru-buru berdeham. "Ya udah, mendingan elo pergi sama mereka. Nanti gue bantu bilangin ke nenek lo bahwa elo masih ada urusan."
Mendadak aja Vano mencondongkan badannya lebih ke depan Setya. "Butuh tumpangan nggak?" tawarnya dengan memasang ekspresi ... entah gimana gue ngejelasinnya. Aneh?
Lagian dia bilang barusan katanya takut yayangnya cemburu, lah kenapa malah ngajakin Setya boncengan sekarang?
Namun, sohib gue ini langsung menggelengkan kepala dengan senyum tipis. "No, thanks. Bye, Fer," responsnya kemudian berpamitan.
Setelah puas melihat Setya yang melangkah kian jauh, Vano dan Dyas pun menyalakan kembali mesin motor mereka. "Ayo, cepetan naik. Tuan Saga udah nunggu elo di rumahnya." Dyas berkata sambil melirik jok belakang.
Gue mendesah pasrah. "Oke, deh."
Karena sekarang gue emang lagi kangen banget sama si Bangsat. Meski gue sendiri yang bilang bahwa gue bersyukur dia lagi sakit dan gak ikut menghadapi masalah di sekolah, tapi sisi lain diri gue juga nggak bisa menyangkal bahwa akan lebih baik apabila dia justru berada di sini. Menemani gue.
.
Pintu gue buka, lantas ditutup kembali setelah kaki gue mulai memasuki area bagian dalam rumah. Berjalan dengan lesu; lupa melepaskan sepatu, nggak membersihkan luka di mulut yang tambah sakit apalagi berlagak memasang ekspresi baik-baik aja. Jadi, saat masuk ke kamar Juan yang sigap merentangkan tangan menyambut kedatangan gue, terang aja gue berlari untuk menyongsong tubuhnya. Menumpahkan air mata, seluruh badan gue gemetaran lantaran merasakan sakit yang nggak kasat mata.
Dihina, direndahin, dijelekin, udah perihal biasa yang gue alami. Namun, ternyata gue nggak sekuat yang gue duga. Mengingat gak ada orang yang bisa gue jadikan tempat bersandar atau mengadu bikin semuanya semakin runyam. Gampang emang untuk Vano dan Dyas menawarkan bantuan, tapi gimana caranya bisa leluasa minta bantuan pada orang yang baru gue kenal tanpa segan, kan?
"It's okay. You doing great." Dia mengecup sisi kepala gue. "Sorry, gue nggak bisa ada di samping lo hari ini dan bikin elo dapat semua bebannya."
Pelukan gue di tubuh ini bertambah erat. "Nggak. Gue malahan bersyukur elo sakit. Jadi elo nggak perlu ikut ngetawain dan ngejelekin gue bareng yang lain. Gak ada bedanya sebetulnya apakah gue dapat bully-an dari mereka atau elo. Cuma bedanya, gue tau mereka mem-bully dengan maksud yang serius dan bersungguh-sungguh. Makanya gue sakit hati," terang gue dengan isak parau dan lesu.
Yang hari ini gue alami nyatanya emang berbeda dari segala peledekan yang pernah gue dapatkan sejak dulu-dulu. Pelakunya nggak cuma segelintir pihak, tetapi banyak. Kawan di kelas aja seolah mengganggap gue jelmaan kotoran yang mau banget dibasmi tanpa sisa. Tatapan, bisik berisi makian serta cibiran mereka nyaris gak ada jeda disuarakan. Bikin gue nyaris teriak,
'Salah gue apa sih sama kalian?',
Sayangnya, gue nggak memiliki nyali lantaran nggak tau menahu mengenai apa yang selanjutnya mampu mereka perbuat pada gue, bahkan Juan. Toh, gue sadar ini terjadi gara-gara gue yang nyatanya nggak normal dan diam-diam menghanyutkan. Lagaknya bego, eh di balik itu rupanya homo.
Juan lantas melepaskan pelukan. Tiba-tiba menjilat sisi bibir gue yang perih gak pake bilang-bilang. "Banci itu bakalan ngebayar harga yang mahal buat luka dan masalah yang dia buat ini. Gue janjiin elo hal itu," bisiknya kedengaran geram.
Bibir luka yang jadi lembab gue usap pelan bersamaan dengan basah di wajah. "Elo gak perlu repot-repot. Gue males berurusan lebih panjang lagi sama dia."
Dia mendecak. "Ini bukan cuma urusan antara elo dan dia, tapi juga gue, elo dan dia. Dia mungkin nyari kesempatan nyerang kita, terutama elo sewaktu gue lagi nggak ada. Itu banci mana tau bahwa berurusan sama gue nggak akan bisa diselesaikan dengan cara yang mudah-mudah aja. Dia lupa kali gue ini siapa." Hidungnya mendengkus keras.
Mendengar hal itu, membuat gue teringat pada para mantan Juan yang siang tadi gue temui dan ajak bicara. "Ada bagusnya sedikit, sih. Tau nggak, mantan-mantan lo siang tadi ngajak gue ketemuan dan berujung ngasih restu ke hubungan kita berdua."
Mata sipit Si Bangsat melotot kaget. "What?"
Dadanya gue pukul. "Tapi elo tuh beneran anjing, ya! Cowok sialan! Sadar nggak elo udah sering nyakitin perasaan cewek-cewek yang suka ke elo? Gue sempet mikir, dengan terbongkarnya hubungan kita, mereka berniat ngegunain itu untuk ngejatuhin elo dengan cara manfaatin gue. Eh, gue malah salah. Mereka datang cuma untuk minta gue mutusin elo karena mereka bilang, cowok yang lebih baik di luar sana selain elo banyak. Dan seharusnya gu--"
"Mereka emang benar," potong Juan dengan sorot mata menyesal. "Cowok yang lebih baik dari gue untuk elo, bahkan mereka banyak. Sayangnya, yang mereka bahkan elo sukai justru gue. Cowok brengsek kayak gue yang bisanya cuma nyakitin orang lain dan bertindak semena-mena." Napasnya berembus panjang. "Sadar kok gue selama ini selalu nyakitin perasaan setiap gadis yang ngejadiin gue pacar mereka. Kan emang gue ngelakuin itu dengan sengaja. Sebagai pengujian. Apakah mereka bakalan tahan? Apa mampu mereka tetap nerima gue meski Juanda Saga ini sebenarnya seorang asshole." Tangannya menyentuh jemari gue. "Karena gue pikir, seenggaknya gue bisa nemuin satu aja orang yang tulus sayang ke gue. Tanpa memandang gue sebagai sosok cowok super perfect without no mistake or even lack. Seperti cara elo memandang gue." Penjelasan itu diakhiri dengan senyuman.
Gue memeluknya lagi sembari menepuk-nepuk pundaknya cukup keras. "Iya, gue paham. Elo tenang aja. Gue nggak ada niat mau putus atau minta elo putusin cuma gara-gara sisi bangsat yang elo punya. Kan gue udah bilang sejak hari pertama kita jadian. Dan elo juga pasti tau bahwa gue nggak sebaik yang elo kira."
Daun telinga gue diterpa embusan napas Juan yang hangat dan bikin merinding. "Tapi elo emang cowok baik, Ryan. Itulah kenapa gue sayang banget sama lo. Dan gue minta maaf andaikan selama ini gue malah jadi cowok yang payah. Di waktu elo ngebutuhin, gue malah nggak ada dan cuma bisa diem di rumah. Tanpa bisa ngelakuin apa-apa." Kepala gue yang sigap menggeleng dia belai-belai. "Besok, ayo kita selesaiin masalah ini sama-sama supaya nggak ada yang berani macam-macam sama lo lagi. Gimana?"
Kekehan gue timbul. Menatap matanya sambil memberi anggukan penuh antusiasme. "Gue gak sabar kalo gitu. Dengan adanya sosok Juanda Andromax di samping gue, siapa yang tau apa yang bakalan terjadi besok?" Dan nyengir, pertanda bahwa gue udah ngerasa jauh lebih baik.
Juan lalu mempertemukan kedua mulut kami. Sontak gue mendesah tertahan sebab entah kenapa, kali ini hasrat yang mendatangi gue seolah lebih besar ketimbang hari-hari biasanya. Secara agresif mengisap bibir bagian atas Juan yang tipis, bahkan mengulum lidah panjang dan hangatnya dengan agak beringas hingga meneguk saliva kami yang bercampur. Gue melepaskan kedua sepatu yang masih dipakai untuk lanjut bergerak naik ke pangkuannya. Menduduki Minnions di balik celana dia yang udah ngaceng. Serupa pisang tanpa nama gue yang menyenggol perutnya.
Anjir. Gue sange. Terkutuklah jiwa perjaka gue yang kebelet pengin diajak ngewe, tapi masih dilanda ragu-ragu dan takut sakit.
Tangan Juan menyusup ke dalam seragam, meraba punggung dan bergerak ke bawah untuk meremas pantat. Seketika aja gue meringis dan menjauhkan bibir. "Bangsat! Lo bikin gue kaget!" keluh gue sembari menutupi wajah dengan sebelah tangan, merasa sedikit jengah.
Dia menjilat bibirnya sendiri sebelum bertanya, "Elo mau?"
Siluman Kodok! Lemah deh gue. Kalo si Bangsat nanya ke gue dengan gelora penuh nafsu begitu, mana bisa gue nolak secara cuma-cuma, kan?
Gue menghela napas banyak-banyak, lalu mengembuskan perlahan supaya mampu sedikit menenangkan debaran di jantung dan perasaan tegang gue saat ini. Setelah itu memberikan senyum segan gak segan. "Gue belum terlalu yakin, sih. Tapi, bolehlah kita coba dulu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top