28. PERMASALAHAN

"Juan, foto ciuman lo sama gue kok bisa ..." Gue nggak sanggup melanjutkan kalimat. Jemari gue yang gemetaran terpaksa memutuskan panggilan, menyimpan HP ke kantong celana seragam, setelah itu menarik lepas foto yang terpajang di depan gue ini dibarengi perasaan campur aduk gak keruan.


Mengabaikan bisik-bisik yang jelas nggak nyaman didengar, lantas foto yang bentuknya langsung gue bejek-bejek ini dibawa menuju kelas. Langsung disambut sorot jijik dan nggak suka sebagian murid di sini, terutama dari para siswi.

Gue duduk ke kursi, menjejalkan foto ke kolong meja kemudian mulai dihantui bermacam pikiran yang mengganggu isi kepala.

Bukannya ini foto yang waktu itu Dyas ambil? Kenapa bisa sampe nyasar di mading coba? Gue yakin bukan Dyas yang melakukan ini. Masalahnya kalo bukan Dyas pun, siapa dong? Apalagi yang tau mengenai hubungan gue dan Juan juga cuma temen-temen deket kami yang mana mereka juga nggak saling mengenal.

Arrgggh! Kacau. Bisa-bisa reputasi si Juan berubah jelek dan tercoreng. Kalo gue sih bodo amat, ya. Mau gue homo atau bukan, orang-orang nggak akan terlalu ambil peduli. Masalahnya ini Juan yang terlibat. Dia famous, pintar, anak seleb super keren yang disukai banyak orang. Gimana nasibnya habis ini?

"Feryan!"

Gak cuma gue yang menoleh atas panggilan itu, anak-anak lain di kelas juga. Di ambang pintu, Vano dan Dyas berdiri melambaikan tangan.

"Come here. We need to talk."

.

"Ini ulah kembaran gue."

Oke. Ada dua fakta yang bikin kaget di sini. Pertama, tentang Dyas yang ternyata punya kembaran. Kedua, juga mengenai si kembaran Dyas yang rupanya dalang di balik penyebaran foto norak gue dan Juan.

Vano menjatuhkan foto-foto lainnya yang seketika membuat gue tercengang. "Sisanya udah bantu kami ambilin."

Buset! Berapa cetakan sih yang disebar sama kembaran si Dyas ini? Niat amat dia majang foto cipokan orang lain di mana-mana.

Dyas menaikkan kacamata. "Sorry. Ini semua terjadi gara-gara gue lupa ngehapus foto kalian waktu itu. Jadi saat Zyas minjem HP, gue nggak kepikiran dia bakalan ngubek-ngubek galeri dan ngambil foto ini."

Gue garuk-garuk kepala, gak habis pikir. "Kenapa kembaran lo ngelakuin ini semua?"

Vano yang menjawab, "Isn't it obvious? Karena dia suka jugalah ke pacar elo."

Eh, seriusan? "Huh? Bentaran dulu. Jadi, kembaran elo cewek?"

"Cowoklah!" Dyas dan Vano menyahut serempak

Malah mereka yang udah macam kembar sebab setiap ngomong bisa gitu terus-terusan kompak. Meski fakta soal kembaran cowok si Dyas yang suka ke Juan pun cukup mengejutkan.

Kepala gue kali ini manggut-manggut. "Oke. Ternyata cowok-cowok di sekolah ini juga pada banyak yang demen Juan, ya. Gue kira dia disukain cewek-cewek doang." Eh, tapi gue juga cowok dan suka ke dia, tuh.

"Cara pikir elo terlalu naif. Andaikan cowok-cowok di sekitar Saga teriak-teriak juga sama pesona dia, yang ada langsung ketauan dong kedok mereka? And because now they know about this, siap-siap aja elo bakalan dapat saingan." Vano ini emang ahlinya kalo soal memapar.

"Saingan?" Gue bertanya gak mengerti.

Vano menghela napas. "Nih, ya. Para homo terselubung di sekolah ini pasti akan mulai berusaha misahin elo dan Saga. Dengan tujuan buat ngerebut Saga dari lo. Probably."

Mendengar itu entah kenapa nggak bikin gue khawatir sama sekali. Yang ada malahan lega. "Ada untungnya juga Juan kecelakaan."

"Maksud lo gimana?" Dyas yang gantian buka suara.

Gue nyengir. "Ya, iya. Seenggaknya gue jadi bisa ngehadapin masalah ini sendirian tanpa dia."

Vano dan Dyas sama-sama tercekat. "Hah? Lo nggak ngerasa takut atau apa gitu?" tanya cowok super jangkung di depan gue keheranan.

Gue berkacak pinggang. "Khawatir kenapa? Sejak awal gue sama sekali nggak punya reputasi, prestasi, ataupun kelebihan yang bisa dibanggakan atau dipertahanin, tuh. Ketauan homo sama anak-anak satu sekolahan juga jelas bukan hal besar buat gue. Mau bully atau ngatain gue? Silakan aja. Siapa takut. Hahaha." Lalu ketawa dipaksain supaya lebih meyakinkan mereka berdua.

"You're indeed unusual." Vano menggumam.

"Or more like ... weird." Dyas menimpali.

"Bodo! Gue gak ngerti kalian ngomong apaan."

Vano dan Dyas hanya mampu saling pandang mendengar respons gue.

"Gue mau balik ke kelas aja sekarang karena seenggaknya gue udah tau siapa dalang di balik ini semua. Makasih buat bantuannya. Foto ini tolong buang aja ke tong sampah, deh. Bakar kek sekalian," ujar gue seraya menendang-nendang berlembar-lembar foto yang berserakan di lantai atap gedung ini.

Kedua bola mata Vano mendelik. "Elo nggak sayang? Ini foto ciuman kalian, loh."

Ya, terus kalo ini foto ciuman kami kenapa? Harus gue musiumkan atau masukin ke peti harta karun gitu?

"Apaan. Cuma foto gak penting gini. Lagian ya, cipokan itu ada buat dipraktekan, bukan buat diabadikan." Menyadari ucapan gue yang norak sontak bikin gue merinding sendiri. "Dih, najis. Lupain aja deh omongan gue. Dah, ah. Gue balik ke kelas sekarang." Gue membalikkan badan menuju pintu.

"Okay. See you. Kalo lo ada masalah atau apa, datangin aja kita-kita. Sementara Saga gak ada, lo bisa bergantung ke kami."

Gue menoleh pada dua sahabat Juan setelah mendengar pesan dari Vano itu. "Siap!"

.

Menghela napas panjang dan mengembuskannya lagi gue lakukan sebelum mulai melangkahkan kaki ke kelas. Berjalan cepat menuju ke kursi dan nggak serta-merta dapat duduk lantaran kursi ini malah dicoret-coret.

HOMO LO ANJING!

Yaelah. Kerjaan siapa sih ini! Dan sejak kapan pula gue berubah wujud jadi anjing? Seharusnya dia nulisin 'HOMO LO MANUSIA!'.

"Fer, gue kira elo pulang!"

Mendengar suara Setya bikin gue sigap menduduki kursi demi menutupi coretan di situ. Melambaikan tangan padanya sambil memasang senyuman gugup. "Ngapain gue pulang?" tanya gue lantas melepaskan tas. Mengeluarkan HP, melihat ada satu chat masuk di pemberitahuan. Gue membuka WhatsApp, agak shock mengetahui gue dikeluarkan dari GC kelas ini. Apa udah saatnya untuk gue mengatakan wow?

Selanjutnya, gue membuka chat dari Juan.

[Kalo lo ada masalah apa-apa di sekolah, tinggal datangin Vano atau Dyas aja. They will help.]

Bisikan Setya mengalihkan perhatian gue. "Kok bisa sih foto elo sama Juanda kesebar?"

Belum sempat gue ngejawab, ucapan anak-anak di kelas malah lebih dulu terdengar.

"Ahem! Set, elo nggak takut gitu duduk deket-deketan sama si Feryan?"

"Iya, ih. Ngeri. Nggak nyangka gue selain jelek, dia rupanya homo juga."

"Awas, Set. Nanti elo ketularan."

"Iya. Kan elo nggak tau kalo--"

BRAKKKKK!!!

Gue terlonjak sesaat setelah Setya berdiri dan menggebrak meja sekuat tenaga, terang aja mengejutkan seluruh kawan di kelas dan memotong segala omongan mereka tentang gue.

"BACOT ELO SEMUA! Suka-suka guelah mau gue punya temen homo kek, siluman kek. Urusannya sama kalian apa, monyet!" cerca Setya dengan kedua sorot mata bulatnya yang memancarkan aura murka yang asli nyeremin. Dia ini walau anaknya santuy, kalo marah jangan berani dilawan.

Gue meringis. Menarik lengan seragam kawan gue ini dan memintanya duduk lagi. "Gak apa-apa. Gak usah ladenin mereka. Gue udah siap kok nerima risikonya sejak foto itu kesebar," ujar gue dan mulai menjelaskan situasi. "Kata Dyas, ini kerjaan kembarannya."

Setya mendecak dan mendengkus. "Zyas anjrit. Gue tau itu banci punya kepribadian nggak sehat."

Eh, kok? "Lo kenal Dyas dan kembarannya?"

"Kenal-lah. Siapa coba murid di sekolah ini yang gak kenal Zyas dan gaya mencoloknya?"

Gue terkekeh hambar. "Gue nggak kenal, tuh."

Dia mencibir. "Gak heran kalo elo nggak kenal. Juanda yang segitu femesnya aja sempet gak elo kenali. Heran gue di sekolah kerjaan elo ngapain aja."

Tidur. Jajan. Tidur. Jajan. Belajar seperlunya. Batin gue menjawab. Sekarang sih ditambah chatting dan ketemu diem-diem sama pacar. Ehehehe.

"Zyas ini mukanya mirip nggak sama si Dyas?" Jiwa kepo gue mulai bergejolak.

Setya mengangguk. "Mirip. Kecuali di bagian kacamatanya. Dan menurut gue, badannya lebih kurus." Dia memandang gue. "Elo bakalan tau kok kalo udah ketemu sama dia."

Apa boleh gue katakan bahwa gue nggak ada keinginan buat ketemu dengan sosok bernama Zyas ini? Namun kampretnya, nggak berselang lama setelah gue membicarakan mengenai sosok kembaran Dyas ini, mendadak muncul suara familiar dengan nada yang amat halus.

"Apa cowok yang namanya Feryan ada di sini?"

Gue dan Setya secara kompak menengok ke pintu. Mendelik mendapati sosok Dyas dalam balutan gaya yang feminin dan tubuh lebih ramping. Gaya rambutnya tampak rapi, berkulit bersih yang gue yakini rajin dia luluri. Apalagi bibirnya anjrit. Glowing dan anggun parah.

"Nah, tuh. Si Zyas."

Gue dan kedua bola mata Zyas yang gue pastikan memakai lensa kontak itu beradu tatap.

"You, come with me!"

Mampus gue.

.

"Kamu ini nggak tau malu, ya?"

Hah? Maksud dia apaan coba? Datang-datang ngajak gue ngikutin dia, terus tiba-tiba ngatain gue gak tau malu.

"Aku itu udah nyebarin foto ciuman kamu dan Juanda di mana-mana. Sekarang satu sekolahan tau kalian pacaran. Kamu dan dia itu homoan. I mean, kamu homo. Harusnya kamu itu malu, dong."

Oke. Beneran gue nggak ngerti maksud dari semua omongannya.

"Ih, kamu tuh bego, ya! Maksud aku, mumpung masih sempat, seharusnya kamu tuh sadar diri. Kamu homo, it's okay. Tapi sebagai homo yang tau diri, nggak pantas kamu tuh macarin Juanda yang levelnya jauh sama kamu. Masih nggak ngerti?" Dia menyilangkan tangan di depan dada dengan gaya angkuh.

Gue menggelengkan kepala dengan cepat.

Kedua bola matanya berputar. "Dasar homo jelata. Kamu ngancam Juanda pakai apa sih sampe dia jadi mau-maunya macarin kamu? Atau sebetulnya kamu ini budaknya, kan? Mustahil dia macarin kamu tanpa sebab dan tujuan."

Oke, deh. Kali ini gue nggak bisa diem. "Iya. Emang ada tujuannya kok dia macarin gue."

"I know right!" Dia tersenyum lebar.

Gue balas tersenyum. "Dia mau pacaran sama gue karena dia cinta tuh sama gue. Jadi, nggak ada alasan buat gue malu berpacaran dengan cowok yang gue sukai dan yang juga suka ke gue. Iya, kan?"

Mendengar jawaban itu, seketika raut wajah si Zyas yang bening berubah bengis. Tanpa mampu gue hindari, pukulannya secara telak mengenai sisi mulut gue. Anjrit. Nyeri banget gigi dan ini bibir.

"Kamu bener-bener nggak bisa mikir, ya!" Kepala gue lanjut dipukulnya keras. "Juanda itu nggak pantas jadi pacar kamu, tolol. Putusin hubungan kalian secepatnya karena sampe kapan pun aku nggak akan pernah terima andaikan Juanda lebih milih cowok kayak kamu dibanding aku. Aku aja yang segini cakepnya masih sering ngerasa kurang pantas untuk dia. Eh, kamu yang jelek, dekil, norak dan jelas nggak punya kelebihan apa-apa, berani-beraninya nempel di dekatnya sampe nyium-nyium." Dia lalu meludah. "Homo kurang ngaca. Jijik aku sama kamu." Sesudah itu Zyas melenggang pergi dengan langkah mencak-mencak.

Meninggalkan gue yang masih mengusap mulut, mengecap sensasi asin dari darah di dekat bibir. Mendecak, ngerasa takjub soal betapa hebatnya pukulan Zyas yang bisa bikin gue kesakitan gini. Sampai kemudian, gue gantian mengusap kedua mata. Menyingkirkan jejak basah yang menitik sedikit di sudutnya. Karena dibanding pukulan ini, kata-kata yang Zyas ucapkan berkali lipat lebih menyakitkan. Padahal gue emang sadar atas setiap hal yang dia ucapkan. Sialnya, nyeseknya tetap nggak bisa gue tahan-tahan.

Hah. Andaikan permasalahan ini bisa langsung selesai. Capek gue.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top