27. PERTEMANAN
"Selama gak bisa bebas gerak gini, siapa yang nanti bakal ngurusin elo?"
"I can take care myself just fine. Kan ada kruk buat gue pake jalan ke mana-mana. Kalo butuh apa-apa gue bisa ngehubungin salah satu asisten daddy, bahkan elo, kan?"
"Asistennya cewek atau cowok?"
"Dia cowok."
"Hmm."
"Gak usah jealous. Dia bukan tipe gue."
"Siapa juga."
Juan memutar bola matanya sembari lanjut mengunyah pizza rasa daging ini. "Temen-temen gue juga pada mau ke sini."
Potongan pizza yang lagi gue nikmati seketika tertelan setelah mendengar hal itu. "Kalo gitu gue pulang, ya!" ujar gue buru-buru berdiri.
"Ngapain?" Tangan kiri dia memegangi tas, menahan gue agar nggak jauh-jauh darinya.
Gue coba memikirkan penjelasan yang sekiranya dapat diterima. "Kita kan pacaran diem-dieman, Bangsat. Pas nanti kawan-kawan elo datang dan gue masih di sini, bisa-bisa mereka curiga dong. Dilihat dari mana pun udah jelas nggak wajar andaikan elo punya temen orang kayak gue gini." Lantas menggumam, "Kecuali andai elo ngejadiin gue babu."
Dia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali. "I don't mind. Biarin aja mereka tau."
Gue otomatis terlonjak. "What? Gila lo, ya! Nanti elo bisa kena bully, dijauhin temen-temen, bahkan reputasi elo juga bisa hancur karena ketauan homo," tutur gue sedapatnya menyadarkan dia dan dunia santuynya itu.
Seperti selalu, bangsat ini cuma menaikkan bahu. "I don't care as long as you stay with me. As my lover. Hei, dengerin gue. Kalo emang mereka nanti jadi benci dan ngejauhin gue hanya karena gue pacaran sama lo dan homo, ya udah. Itu artinya mereka bukan bener-bener temen gue. Lagian elo punya Setya yang bisa nerima lo, siapa tau di gue berlaku juga."
Lidah gue mendecak menangkap perkataannya. "Gak semua orang di dunia ini goblok kayak Setya, tauk."
Semoga Setya nggak bakalan bersin-bersin apalagi mencret di mana pun dia berada sekarang lantaran gue omongin
"Gue harap dia denger itu."
Yeee, malah cengengesan dia. "Gue serius, Juan!" kata gue dengan nada ngotot.
"Ya, gue juga. So, shut up. You stay here. Jangan ke mana-mana." Dia menarik gue untuk balik duduk di tepi ranjang. "Habisin tuh pizza!"
Gue mau nggak mau hanya mampu mematuhinya sambil mencibir. "Hhhh. Bangsat kampret." Mengambil satu lagi potongan pizza sebelum bertanya, "Temen lo yang mau datang ada berapa?"
"Cuma dua. Dyas and Vano. Elo inget nggak ada dua cowok yang barengan sama gue pas pertama kali kita ketemu waktu itu? Mereka orangnya."
Seketika gue coba mengingat-ingat. Sayangnya, gak ada secuil pun gambaran yang muncul di kepala kecuali bagian gue marah-marah ke si Juan. Jadi, pada akhirnya gue hanya mampu menggeleng. Membuat cowok di sebelah gue ini memutar bola matanya untuk kesekian kali.
"Well, nanti elo juga tau kalo udah ngeliat mereka." Dia mengambil botol air mineral yang udah dibuka dan meminumnya.
Selesai Juan minum, gue gantian meneguk isinya. "Mereka anak seleb juga?" jiwa kepo gue mulai bangkit.
Si Bangsat mengernyit. "Bukan. Dyas sih anak sepasang dokter hewan. Sedangkan Vano calon model kayak bundanya atau bisa jadi bakal pemain basket ternama macam ayahnya. Badan dia 13 centimeter lebih tinggi dari gue, loh."
Gue mendelik takjub membayangkannya. "Kayak tiang listrik berjalan kali, ya."
Juan tertawa mendengar komentar gue.
"Siapa yang tiang listrik berjalan?"
Tawa cowok gue terhenti. Detak jantung gue pun seolah ikut hilang sementara mendapati suara dari arah pintu. Perlahan menoleh, lantas kedua mata gue melotot beradu dengan dua pasang mata yang juga sama-sama membulat. Kaget.
Anjir. Gue sih tau siapa mereka. Ini kan dua cowok yang ke mana-mana selalu barengan sama Juan setiap gue merhatiin dia dari kejauhan. Ternyata mereka toh Dyas dan Vano.
Cowok yang badannya super tinggi dengan setelan kemeja dan celana kotak-kotaknya tersenyum kikuk. "Well, guess what you have here, Saga"
Di sebelahnya, cowok berkacamata yang menggunakan pakaian serba hitam menyebut nama gue. "Feryan?" Dia yang pasti adalah Dyas dan cowok tinggi yang gue yakini si Vano lalu saling pandang. "Gue gak tau bahwa kalian berdua ... em, temenan?" Dyas menyimpulkan ragu-ragu.
Gue bingung mesti bilang apa ke mereka. Mikir keras tentang alasan apa yang sebaiknya diutarakan. Apakah bahwa gue bantuin Juan mandiin Yellow? Atau berniat ngebersihin kolam renangnya? Dan lain sebagainya.
Hingga sosok si Bangsat membuka suara. "We're not friends."
Mendengar jawaban dari kawannya itu, bikin Dyas dan Vano terkekeh canggung. "Guess so." Dan merespons kompak.
"But we are boyfriend."
Kekehan mereka raib digantikan ekspresi shock yang asli parah banget. Aduh, kacau. Gimana ini? Gimana ini? Jantung gue deg-degan tegang, woi. Walau gue bego English, gue paham bahwa si Juan baru aja ngaku pada temen-temennya.
"Boy ... what? You mean, you guys ..." Vano menunjuk gue dan Juan secara bergantian dengan gerakan tangan yang aneh. "Kalian pacaran?"
Gue memandang Juan, melihatnya tersenyum sembari meremas tangan gue di bawah selimut. Akhirnya, gue mengembuskan napas pasrah. "Kenalin, gue Feryan. Pacar temen bangsat kalian ini. Salam kenal." Cara gue ngenalin diri malah menambah suasana awkward di antara kami berempat.
Dyas berdeham seraya membetulkan letak kacamata lantas berkacak sebelah pinggang. "Well, at least I won the bet here."
MULAI!
Vano terlihat menggeram. "No fucking way, you damn nerd. I won't accept it."
Terserah kalian aja, deh. Gue gak mau tau.
"Wait. What are guys talking about?"
Dih. Si Bangsat malah ikut-ikutan! Ini mereka lagi ngadain konferensi pers internasional dadakan apa? Puyeng kuping gue nangkepnya.
Vano yang terlebih dahulu menjelaskan. "Dyas curiga sejak lama about what if elo ini ... gay. Dan gue nggak percaya karena pacar elo kan selama ini cewek semua. Makanya ..."
Dyas meneruskan, "Vano ngajak gue taruhan. Isinya, kalo suatu hari kebukti bahwa elo emang gay, dia bakalan ngebayarin semua jatah jajan gue di sekolah selama setahun penuh. Dan gue bakalan ngisiin kuota internetnya. And look who's the winner!" Sorot matanya yang ada di balik kacamata itu tampak berapi-api saking bahagia.
GUE BOLEH IKUT DAPAT JATAH DARI TARUHANNYA NGGAK, WOI. ENAK AMAT.
Vano berjalan mendekat dan nyaris ngagetin gue. "So, please tell me it's a lie, Saga. Help me?"
"Should I?" Juan kemudian menarik wajah gue ke arah mukanya dan memberikan ciuman mesra.
Gue membeku sekian detik. Sampai ketika suara jepretan kamera terdengar, barulah gue tersadar. Sontak aja wajah si bangsat kampret gue pukul. "ANJING! Otak lo makin rusak ya gara-gara jatuh kemarin?" Lalu mengusap-usap bibir gue sambil menunduk. Nggak sanggup melihat dua orang saksi adegan norak tadi.
Juan mendecak sembari mengelus wajahnya pelan. "That's the truth. Accept it or leave it."
"Damn!" Makian Vano terdengar.
Dyas tersenyum miring sambil memperhatikan isi HPnya penuh tatap aneh. "Seenggaknya ada bukti di sini. Don't try to run away from your responsibilities," ujarnya lebih kepada Vano begitu berjalan kemari.
Gue meringis. "Juan, temen lo si Dyas itu tadi ngambil foto cipokan kita," bisik gue risih.
Mendengar hal itu kedua mata cowok gue mendelik. "Dyas, kirimin foto tadi ke gue juga."
YEE, SI DEMPUL VALAK. "Anjing. Elo bener-bener gak ada pengertiannya," protes gue makin gregetan dan menyerangnya dengan cubitan-cubitan pelan. Ngebuat tawa puasnya muncul.
Dyas dan Vano agak tertegun melihatnya.
Cowok pemakai kacamata itu duduk ke sofa dengan kaki yang dilipat. "Nah, Saga. You don't mind explaining about all of this? Oke, gue paham tentang kemungkinan elo yang gay. Cuma untuk punya tipe cowok kayak gini, that part is which I couldn't understand. I though you like one of us."
Mendadak seluruh tubuh si Juan bergetar nggak nyaman. "You guys? From all of people on this earth? Never." Dia memutar bola mata yang dua kali lipat lebih nyebelin bentuknya.
Jangan tanya gue. Udah males gue sama obrolan mereka semua.
Vano menggaruk-garuk hidungnya yang bangir. "I dunno apakah mesti marah atau seneng dengernya. But, whatever. As long as you don't force anything to us, neither you're gay or even transgender, I don't really think that's a bad thing." Kemudian bergabung duduk dengan Dyas. "Elo bisa ambilin minum buat kami, euh, Fernan?"
"Feryan!" koreksi Juan dan Dyas bersamaan.
APA SIH. GAK TERIMA BANGET KAYAKNYA GUE PUNYA NAMA KEREN. ANAK-ANAK ORANG KAYA SONGONG.
Vano manggut-manggut. "Oke, deh. Feryan, please, bring a water here for us. I'm thirsty."
Gue baru hendak berdiri ketika si Bangsat malah berkata, "Dia tuh bego. Gak usah ngomong bahasa Inggris sama cowok ini. That's useless."
Alhasil gue lebih dulu menjewer telinga dia sebelum beranjak dari sini. "You shithead!" cerca gue yang meski fals, seenggaknya memuaskan jiwa barbar gue.
Dia nggak tau aja gue udah banyak mempelajari kata makian berbahasa Inggris. Dan perihal bring water apalah itu gue pernah baca di salah satu soalan bahasa Inggris dulu, sampe sekarang untung masih hapal.
Ah, asiknya gue disuruh ngebawain air buat mereka. Bisa sekalian ngubek-ngubek isi kulkas. Nah, kan. Ada kue dan juga camilan lainnya. Tapi pizza di kamar belum habis. Sayangnya, jiwa rakus gue belum puas kalo sekadar disuguhi satu jenis makanan. Hm, bimbang.
Ya udah, deh. Gue cukup bawa air aja sementara ini. Camilannya toh gak akan ke mana-mana.
"So, that means ..."
"Yes, I'm serious about him. We've been dating for about two weeks now, you know."
"What?"
Suara seruan kaget dari dua kawan si Juan menghentikan langkah gue tepat di depan pintu. Mereka lagi ngomongin apaan, sih?
"Wow. This boy must be ... unusual."
"Indeed, he is. Meski gue gay, baru sama dia ini gue bener-bener ngerasain yang namanya suka ke cowok lain, even somebody. So, I hope you guys understand."
Megar hidung gue, Bambang.
"Well, as long it's makes you happy."
"I'm incredibly happy. Thanks."
Setelah mendengar Juan mengucapkan terima kasih itu, gue pun memutuskan masuk. Menyerahkan masing-masing satu botol air untuk Dyas dan Vano, lantas menghadap cowok gue yang segera meminta gue kembali duduk di dekatnya.
"Gue nggak mendingan pulang aja?"
"Ngapain?" Malah Vano yang merespons pertanyaan gue. "Juan bakalan kesepian loh kalo ditinggal pacarnya. Ya, nggak?"
"He em. Mendingan elo diem di sini, manjain dia atau sayang-sayangan. Coba, gue mau liat." Dyas nimbrung.
"Shut the fuck up!" omel Juan dengan wajah agak memerah. Bikin kawannya di sofa ketawa puas.
Oh, ternyata ini cowok bisa ngerasa malu juga. Baguslah. Itu artinya dia masih memiliki sisi kemanusiaan yang normal. Hehehe.
.
"Aw, aw, aw! Pelan-pelan, Bego!"
Gue memelototi Juan. "Kebanyakan bacot lo," keluh gue seraya membantu kakinya menggantung di tepi ranjang. "Kalian juga kenapa sih malah pada nonton doang?"
Dyas dan Vano yang malah asik main game cuma melirik sekilas. "Kan elo pacarnya. Sebagai pacar yang baik, udah kewajiban elo untuk ngebantuin dia. Bagian kita cuma nyantai." Vano menjelaskan.
"Dan ngetawain," tambah Dyas.
Kampret dasar para makhluk ciptaan Tuhan dengan sisi kemanusiaan yang perlu dipertanyakan ini. Teman macam apaan yang modelnya kayak mereka?
Setelah itu gue mengambilkan kruk milik si Bangsat. "Gak perlu pakai kruk. Lo cukup antar gue ke kamar mandi sekalian. Tenaga gue masih lemes buat makeknya."
Gue mencium bau-bau taktik dari otak mesumnya. "Mendingan temen elo aja yang nganter. Badan mereka lebih gede," ujar gue masih gak pengin nurut gitu aja.
"Tapi pacarnya kan elo." Dyas dan Vano menyahut kompak
Anjir dasar mereka. Sekongkol ini dua cowok pasti sengaja mau nontonin kami.
Gak ada pilihan lain. Akhirnya gue membawa Juan dalam rangkulan, bantu memapahnya menuju ke kamar mandi karena katanya dia mau pipis.
Setibanya di pintu, gue melonggarkan pegangan. "Sana masuk, gue tunggu di sini."
"It's okay. Masuk bareng aja. Siapa tau Minnions Saga gatel minta digarukin kaki lo karena kakinya sendiri lagi sakit." Lagi-lagi si Vano mengompori.
Sementara Dyas gue lihat lagi menahan tawa. GOBLOK ELAH KALIAN SEMUA. Dan gak gue sangka rupanya mereka juga kenal Minnions. Ikatan pertemanan mereka ini asli kampret bener.
Hasilnya, di sini deh gue sekarang. Menemani Juan buang air kecil yang berpegangan pada gue, sedangkan tangan kirinya dipakai untuk mengarahkan air Minnions ke closet. Kaki kanannya yang sakit terangkat dan tampak gemetaran.
"Thanks," ucap Juan tiba-tiba memecah suasana yang dipenuhi suara pipisnya.
Gue yang sedari tadi mendongak mengalihkan mata dari Minnions menoleh padanya. "Buat apaan? Nemenin elo pipis? Gue gak keberatan."
Suara pipisnya berhenti. "Buat semuanya. Kalo bukan karena elo, kemarin rasanya gue sempet mikir bahwa ada baiknya andai gue nggak selamat sekalian." Gue mendelik dan bersiap melayangkan protes saat badan gue dipeluknya erat. "Yang penting, gue punya elo. So please, stay with me. No matter what happened. Janji sama gue."
Merasakan bahu Juan yang agak berguncang, gue menyadari bahwa cowok Bangsat ini memiliki luka terdalam yang belum sanggup disingkirkannya. Gue nggak tau dan belum ingin menanyai perihal itu. Hanya mampu mengusap punggungnya, menjatuhkan dagu gue di pundaknya.
"Gue janji."
Meski nggak sepenuhnya paham arti dari kata-kata bahasa asingnya, yang gue tau Juan ingin gue tetap ada bersamanya. Dan yang satu itu bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan setelah semua yang dia berikan ke gue.
.
"Itu HP Saga, kan?"
Gue agak tersentak mendengar pertanyaan Vano dari kursi depan. Karena waktu udah sore dan gue janji sama nenek bakalan pulang sebelum magrib, Vano dan Dyas secara sukarela menawarkan tumpangan. Mau nggak mau, ya gue terima. Hitung-hitung menghemat biaya walau aslinya gue udah ada aplikasi Gojek yang saldo gopaynya bebas dipake buat apa aja.
"Emm, iya. Ini HP Juan," jawab gue, mengangkat HP Samsung di tangan sambil terkekeh malu.
Bener-bener kawan sejati mereka ini. HP yang sempat nganggur di laci aja seketika bisa dikenali.
"Keliatannya dia beneran serius ya sama lo," komentar cowok yang mengaku berdarah blesteran Belanda, Jawa dan Amerika ini. "HP dia yang lebih bagus banyak, for your information. iPhone, Huawei lama dan juga Samsung galaxy lainnya. Bergeletakan di laci lemari khusus barang nggak terpakai. Tapi yang dia kasih ke elo HP yang belum pernah dia gunain sama sekali," terangnya dengan memasang senyuman lebar. "Siapa sangka seorang Saga bakalan bertekuk lutut demi sosok ... kayak lo. Jangan tersinggung. Gue di sini memuji, loh."
Gue merenung sebentar seusai Vano bertutur demikian. "Gue juga kadang masih suka kepikiran. Gimana ceritanya gitu cowok yang gak ada apa-apanya kayak gue malah bisa ngedapatin perhatian dari kawan kalian," aku gue sejujurnya. "Tapi berhubung gue juga seneng bisa deket sama dia, ya gue sih pasrah aja. Jadi pacarnya sama sekali nggak ada ruginya--"
"Elo yakin?" Dyas dan Vano memotong kalimat gue secara bersamaan. "Lo gak ngerasa rugi apa-apa selama udah dua mingguan ini pacaran bareng dia?" Vano lebih memperjelas tanya.
Alhasil, gue meringis. "Yah, kadang-kadang, sih."
"Kami yang jadi temennya aja kadang kewalahan ngehadapin dia. Apalagi kita kenal dia sejak SD." Vano menggeleng masygul.
Dyas mengembuskan napas panjang. "Well, lama kelamaan nanti juga dia bakalan bisa paham sepenuhnya Saga ini orangnya gimana. Kita cukup merhatiin aja. Tapi, kami sih maunya ..."
"Elo sama Saga jangan sampe pisah. Karena keliatannya dia sayang banget sama lo. And, gue nggak bisa ngebayangin bakalan jadi segimana kacaunya Saga andaikan satu sosok penting dalam hidupnya pergi ninggalin dia lagi. Jadi, meski nanti makin berat, gue harap elo tetep bersedia nemenin dia. Lo gak keberatan, kan?" Vano yang meneruskan ucapan Dyas beserta isinya yang nggak jauh beda dari permintaan Juan di kamar mandinya beberapa saat lalu itu seketika bikin gue kepikiran.
Ada apa sebenarnya sama Juan?
___
Em, apa ada yang salah ya sama penampilan gue? Kenapa orang-orang di sekitar sekolah kayaknya lebih banyak merhatiin gue hari ini? Resleting gue udah ketutup, gaya berseragam pun normal seperti biasa. Apalagi sewaktu mulai berjalan di koridor menuju kelas. Selain mendapat tatapan sinis, gue juga menangkap suara-suara bisikan yang diperdengarkan para murid sambil terus memperhatikan gue. Tampak nggak suka, heran, bahkan jijik.
Gue ada bikin salah apa deh selama 2 hari gak masuk sekolah? Mendadak gue dilanda perasaan nggak enak jadinya.
HP gue bergetar. Saat dicek, ada telepon masuk dari Juan. Tumbenan amat dia nelepon jam segini.
"Ha--"
"Elo mendingan nggak usah berangkat ke sekolah untuk beberapa hari ke depan. At least, sampe kondisi gue baikan."
Kebiasaannya gak pernah berubah. Selalu aja motong omongan orang. "Maksud elo apa, sih? Gue udah sampe di sekolah, tauk!" respons gue nggak memahami maksud rentetan kalimat dia sama sekali.
Perhatian gue lalu beralih ke area mading yang tampak dipenuhi banyak sekali murid yang entah lagi menyaksikan apa. Karena jiwa kepo gue merasa terpanggil, akhirnya gue ikutan mengintip papan mading dan bikin sebagian kerumunan bubar saat gue mulai bergabung melihat. Lantas dibuat shock gak keruan begitu mata gue mengarah tepat ke depan. HP di pegangan nyaris jatuh, bahkan panggilan Juan di seberang sana nggak gue pedulikan.
Gue meneguk ludah susah payah dengan napas agak tertahan dan badan yang seketika gemetaran resah mendapati ada satu foto yang nggak seharusnya muncul di mading, justru kini terpasang secara terang-terangan dalam ukuran besar. Foto yang bahkan gue sendiri nggak menyimpan atau berniat mencetaknya karena posenya yang jelas bukan untuk konsumsi publik. Foto ciuman ini.
Foto ciuman gue dan Juan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top