26. PERASAAN

Nggak berselang lama setelah Juan memberitahukan perihal kejadian malang yang menimpanya, portal berita serta beberapa stasiun televisi menayangkan kabar mengenai kecelakaan yang penyebabnya enggan diungkapkan oleh cowok gue--selaku anak seleb terkenal itu. Saat ini dia tengah di rawat di rumah sakit ternama, yang sayangnya nggak bisa sama sekali gue datangi dikarenakan larangan dari sang pasien sendiri. Meskipun kalo bisa ngejenguk, gue tetep bakal mikir 1000 kali. Soalnya gue belum siap ketemu sama om Julius yang menurut media langsung bergegas datang demi menemani sang putra tunggal kesayangan.

Gue meletakkan HP sembari memijat kepala.

'Tapi gue bakalan baik-baik aja. Lo nggak perlu khawatir ya, Bego. Makasih untuk hari ini. Nanti kalo kondisinya udah baikan, gue pasti kabarin elo lagi. So, tunggu aja gue. Oke?'

Adalah kata-kata terakhir yang Juan ucapkan ke gue sebelum memutus sambungan. Meninggalkan gue yang lemas sebadan-badan dan sama sekali nggak bisa tenang memikirkan keadaannya. Tentu aja gue berharap dia baik-baik aja dan nggak terluka parah. Gue pun yakin si bangsat nggak akan serta-merta ninggalin gue selamanya dari dunia.

Huh. Awas aja kalo berani. Bakalan gue kutuk dia di sepanjang sisa umur gue karena berani-beraninya pergi saat keperjakaan gue belum sempat direnggutnya. Kampret.

Rasanya mau nangis, tapi gue nggak mau keliatan cengeng. Gue cowok gitu, loh. Sebagai cowok gue harus kuat menghadapi segala rintangan dan cobaan. Cuma perlu sedikit bersabar sampai kabar dari Juan datang. Entah sampai kapan.

Gue melirik tanggal dan jam di layar HP, setelah itu memejamkan mata. Mengingat lagi wajah seksi si Juan ketika orgasme siang tadi.

"Sebentar lagi elo bakalan genap 17 tahun, Juan. Jadi gue mohon, cepetan pulang. Gue mau meluk elo."

___

Di sekolah, kabar tentang Juan yang mengalami kecelakaan juga menjadi perbincangan hangat. Bahkan para murid cewek di kelas gue sampe jejeritan dan berlagak kayak habis ngedengar kabar kematian orang terdekat. Bikin gue yang duduk di kursi cuma bisa menunduk lesu menahan muak, sebab mereka melebih-lebihkan kabar yang informasi validnya belum keluar.

"Gue dengar si Juanda dicelakain mantannya."

"Pasti dia kecelakaan karena kecapekan."

"Kasian banget Juanda. Kalo ada di dekatnya, aku rela ngelakuin apa pun untuk dia."

"Kasian, loh. Kepalanya katanya sampe dijahit karena sobek sedikit. Cek deh fotonya di Instagram dia."

"Wah. Iya."

"Juanda!!!"

Gue buru-buru mengeluarkan HP mendengar bagian soal foto itu. Menuju ke Google, mencari-cari akun Instagram Juan dan langsung mengkliknya. Terang aja sedih melihat fotonya yang tampak mengenaskan. Anjir. Beneran diperban dong kepala dia. Mungkin ini maksud dari ucapan dia kemarin sewaktu bilang kepalanya kesakitan.

Eh, bentar. Ada tulisan di kiriman foto paling barunya itu.

At least my handsome face didn't get any stracth. Lmao.

Bodo amat. Gak ngerti gue dia nulis apaan di situ (mana tulisan di sana gak bisa disalin buat diterjemahin!), yang penting ini cowok masih bisa nunjukin muka bangsatnya.

Aah, makin kangen gue ke dia.

"Elo nggak apa-apa?" Pertanyaan itu membuyarkan gelisah di hati gue.

Mendongak, disambut wajah prihatin Setya yang seakan-akan memahami apa yang tengah gue rasakan saat ini. "Gue cuma khawatir. Sementara waktu gue mesti nunggu dia buat ngehubungin gue duluan," jawab gue sambil menyimpan HP ke kolong meja. Percuma juga megang HP jika yang biasanya ngeganggu gue lagi gak bisa muncul.

Dia duduk di kursi dan menghela napas berat. "Gue kaget banget pas baca berita soal ini di Facebook tadi malem. Mau minta konfirmasi ke elo, gue belum punya nomor lo yang baru."

Mendengar ceritanya gue mendengkus. "Elo dari Facebook. Lah, gue langsung dapat telepon dari anaknya pas dia baru aja celaka."

Setya meringis. "Njir. Beneran segitu sayangnya ya dia sama elo. Kecelakaan bukannya manggil ambulance dulu, malah mentingin ngehubungin pacar."

Menyadari hal itu, tanpa mampu ditahan perasaan sedih kembali menyelimuti. "Gue mau banget jenguk dia, Set. Tapi gue gak dibolehin. Gak berani juga," ungkap gue dengan kepala yang gue jatuhkan ke meja saking lesu.

Gak nafsu makan juga gue karena selalu dibayang-bayangi kecemasan terkait Juan yang perkembangan kondisinya gak kunjung ada update-an.

Pundak gue serasa ditepuk-tepuk. "Berdoa aja moga si Juanda cepet keluar dari rumah sakit."

Yah, gue juga maunya begitu. "Aamiin, deh."

Tepat setelah kata itu disuarakan, HP gue yang ada di kolong meja bergetar. Ada chat masuk yang seketika bikin gue melotot. DARI JUAN.

[Siang nanti gue pulang ke rumah.]

Secara cepat gue mengetik banyak banget balasan untuk dia.

[Juan
Gimana kavar lo
Kenapa pulang cepet
Guebkhawatir setengaj mmapus
Anjir banyak salah ketik
Bomat
Gue kabgen
Kangen]

Balasan dari dia datang sedikit lama.

[I miss you too. Semua kekepoan elo bakalan gue jawab nanti, kok. So, gue tunggu kedatangan elo ke rumah. Gue butuh asisten pribadi, nih.]

Lantas dia mengirimkan foto kakinya yang keliatan dipasangi gips. Aduh, ikut sakit ngeliatnya gue.

"Set, pulang sholat Jumat nanti anterin gue ke rumah si Juan, ya. Lo mau nggak?"

Untungnya meski kadang sifatnya nyebelin, temen gue yang satu ini selalu bersedia dimintai bantuan. "Siap, deh. Sesekali gak apa kali gue nolongin temen yang lagi bucin-bucinnya ke pacar," respons dia sambil memberi acungan jempol.

Gue nyengir. Kemudian mengetik satu chat lagi untuk dikirimkan.

[Tapi ayah lo gak akan ada di rumah, kan?]

.

"Sett. Ini rumah apa sarang dinosaurus di Jurassic Park?"

Gue ketawa ngakak mendengar komentar dari Setya, setelah itu turun dari boncengan motor bebek kepunyaan ayah dia ini. "Kan? Gue juga kaget pas pertama ngeliat rumahnya. Apalagi bagian dalemnya, Set. Mana ada kolam renang," terang gue agak lebay karena mendapati reaksi kami memiliki sedikit kesamaan.

Kawan gue ini memasang pose berpikir. "Hah. Lama-lama beneran kepengin juga gue punya pacar tajir."

Bahunya gue tepuk keras-keras, menyemangati. "Gih, sana cari."

"Sebenarnya calonnya udah ada, sih."

Mata gue mendelik mendengar gumamannya. "Serius? Siapa?"

Hah? Jadi dia udah punya gebetan gitu? Kenapa gak pernah cerita coba?

Setya seakan sadar dan buru-buru menggeleng. "Gak. Gak ada. Gue salah ngomong doang, kok. Udah, elo sana masuk. Gue mau balik lagi sekarang."

Badan gue dia dorong-dorong lalu mesin motor dinyalakan lagi, membawa Setya berputar menuju arah kedatangan kami dan melaju pergi. Mata gue menyipit memandangi punggung bocah kampret itu. Hmm, mencurigakan.

Tck, biarlah. Urusan Setya itu bisa gue kepoin nanti. Yang terpenting sekarang gue mesti menemui Juan segera di dalam rumahnya. Tapi anjir, ya. Nggak gue sangka rupanya berjalan dari arah gerbang rumah si Bangsat menuju ke terasnya doangan bakalan terasa semelelahkan ini. Mana cuacanya panas banget. Tau gitu tadi gue minta aja Setya nganterin sampe ke sini sekalian.

Gue berdeham. Memastikan penampilan gue sekali lagi sebelum menggerakkan tangan untuk menekan bel pintu, sesudah itu mengetuk sebanyak tiga kali. Apa empat, ya?

BODO AMAT, WOI. Kenapa mikirin hal yang nggak penting coba! Mana gue bingung gimana cara mengucap salamnya mengingat si Juan kan beda agama sama gue. Hadeuh. Pening kepala ini, Bambang.

Telepon di kantung tas gue berbunyi pertanda telepon masuk. Sesuai dugaan, dari si Juan.

Gue nyengir. "Ha--"

"Elo ngapain mencet bel segala! Langsung masuk aja. Gue ada di kamar bagian belakang."

Seusai menyembur gue dengan omelan, telepon darinya langsung dimatikan. Gue pun berdecak sambil misuh-misuh. "Dasar bangsat!" Kemudian membuka pintu berplitur coklat keemasan terang dengan dua papan ini. Celingukan ke kanan dan kiri lebih dulu, gue lalu membuang sandal yang lupa dilepaskan ke bawah teras. "Permisi," ucap gue pelan sekali lantas masuk dan menutup pintu kembali.

"Akhirnya elo datang."

Gue bengong seperkian detik melihat kondisi Juan yang tengah berbaring duduk di ranjang ditemani Yellow yang bobo di sampingnya. Kakinya diletakkan di atas bantal, masih digips di bagian pergelangan. Kepalanya yang diperban juga bersandar di bantal, tampak nyaman meski gue yakin dia pasti masih kesakitan.

Terlebih dahulu gue menghela napas, menenangkan sedikit perasaan gue sebelum melangkah mendekatinya. Dan tanpa bisa ditahan lagi, tangisan gue pecah begitu gue memeluk tubuhnya dengan sekujur badan yang nyaris gemetaran. Merasa lega, sedih, kesal, campur aduk semuanya.

"Gue nggak apa-apa," ucap Juan sembari mengelus-elus kepala gue. Padahal kan dia yang lebih pantas digituin anjir.

Gue menyedot ingus kuat-kuat. "Justru itu. Gue seneng karena elo nggak kenapa-kenapa. Gue sempet mikir elo bakalan koma, terus bisa jadi lupa ke gue. Atau, atau, elo ternyata luka parah sampe akhirnya berakhir ke sesuatu yang gak mau gue bayangin tapi kampretnya tetep aja muncul di kepala." Lantas gue melepas pelukan. Meminjam selimut yang Juan pakai untuk mengusap muka cengeng gue yang norak. "Lagian gimana ceritanya sih sampe elo bisa kecelakaan? Jangan-jangan elo ngelamun mikirin momen ngocok bareng kita di gudang sampe tau-tau nabrak dan jatuh?"

Asli otak ngawur gue nggak bisa berhenti mikirin kemungkinan yang konyol itu. Si Juan kan mesumnya parah. Siapa yang tau apa yang bisa melintas di kepalanya bahkan sewaktu dia berkendara?

Dia malahan ketawa, lalu meringis lirih yang bikin gue refleks mengusap lembut kepalanya. "Gue jatuh karena meleng gara-gara keasikan ngeliatin kucing yang mirip elo di pinggir jalan."

Jawabannya ngebuat gerakan usapan gue terhenti. "Hah?"

Dia terkekeh dan lanjut menjelaskan, "Iya. Pulang sekolah kemarin itu gue dibikin meleng sama kucing warna abu-abu yang mukanya unyu kayak elo. Gue terus ngeliatin dia, kepikiran gimana enaknya kalo itu kucing bisa dibawa pulang tanpa merhatiin arah depan. Tiba-tiba gue udah ada di tikungan, gak sempet belok dan nabrak trotoar. Ya, seketika jatuhlah ke jalan. Mana lagi nggak makek helm, hasilnya sisi kepala gue luka karena benturannya yang lumayan keras ke aspal. Sedangkan kaki gue kekilir dan nyaris patah soalnya sewaktu ketindihan motor gue tarik paksa biar lepas." Kakinya ditepuk-tepuk. "Gak usah cemas makanya. Gak sampe dua minggu atau sebulan juga gue pasti nanti sembuh."

Gue memegang tangannya yang digunakan untuk menyentuh pipi. "Terus, kenapa elo pulangnya cepet banget dari rumah sakit?"

Pertanyaan lain dari gue itu menghilangkan senyum di bibir Juan yang agak pucat. "Gue ... cuma nggak suka lama-lama di rumah sakit." Selanjutnya, dia mengajak gue berciuman.

Ah, bangsul. Tau aja gue juga kangen diajak cipokan sama dia. Mana bibir dan lidah dia terasa lebih hangat dari biasanya. Apa ini efek sakit akibat jatuh dari motor jadi bikin dia sedikit demam, ya?

"Elo nggak apa-apa? Udah makan?" tanya gue berusaha jadi pacar yang perhatian.

Dia menggeleng pelan. "Gue fine, kok. Udah makan juga tadi sama daddy sebelum dia berangkat syuting lagi. Ada job di luar kota yang sayang kalo dibatalin. Walaupun dia bersikeras mau stay di rumah, gue larang karena dia juga nggak bakalan bisa bantu apa-apa."

Gue dengan gemas mencubit lengannya. "Anak songong. Sembarangan aja ngomongin ayah sendiri," tegur gue heran.

Juan cuma mengangkat bahu gak acuh. "Faktanya emang begitu, kok." Dia lalu mengambil HP yang keliatan lebih sehat darinya selaku pemilik. "Elo sendiri udah makan belum? Mau gue pesenin GoFood?" baliknya bertanya seraya mengklak-klik layar sentuh.

"Sebenarnya gue kangen masakan elo, tapi GoFood juga boleh, deh. Gue kepengin makan ..."

"Minnions?"

Mata gue mendelik. "Tapi boleh, deh. Nggak sekarang tapinya," komentar gue meledeknya.

Dia menepuk pipi gue agak keras. "Elo emang paling ahli kalo urusan PHP." HP miliknya diserahkan. "Pesen aja makanan apa yang elo mau."

Gue langsung menggeser layarnya naik-turun. "Zaman sekarang enak, ya. Mau pesan makanan aja tinggal pencet HP."

Duh, mau mie ayam ini gue. Kue ini juga. Terus, itu ayam gepreknya. Eh, ada pula fried chicken. Jiwa rakus gue ingin ini, ingin itu banyak sekali.

"Elo mau gue sekalian isiin saldo gopay lo?"

Tawaran itu gue tanggapi dengan pelototan. Gopay ini buat Gojek, kan? "Gue aja belum install Gojek."

"Ya, elo install sekaranglah. Nanti gue isiin saldo gopay elo via m-BCA gue."

Aduh, ya ampun. "Gue nggak ngerepotin elo, nih?" tanya gue supaya nggak keliatan terlalu gampang nerima.

Juan tersenyum lembut. "Ngeluarin uang ratusan ribu sampe sekian juta buat orang yang gue sayang bukan perihal merepotkan, kok. Santai aja. Apa pun yang elo pengin, kalo gue sanggup kasih, gak usah sungkan minta."

Jelas melambunglah perasaan gue mendengar perkataannya. Makin cinta gue sama putra dari tuan Julius serta mendiang nyonya Laura ini. Beruntung bener gue satu yang berhasil jadi pacarnya dari sekian milyar jomblo di muka bumi.

Akhirnya gue memilih satu menu yang emang sejak lama pengin gue cicipi, tapi belum kesampean. "Juan, gue mau makan pizza, deh."

Toh, gue nggak perlu sungkan, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top