20. Pemastian
Gue berdeham. Mata melirik gelisah ke kanan-kiri sebelum sedikit mendongak menatap si Juan yang malah mesam-mesem. "Kita lagi di toilet, loh."
"Ya, terus?" Kepalanya miring, berlagak sok nggak ngerti.
Gue mendecap. "Masa elo mau mojok di sini, sih?" tanya gue risih.
Dia menaikkan bahu gak acuh. "Di mana pun gak masalah, toh elo pacar gue. Gunanya elo kalo gak buat diajak mojok apa dong?"
"Nampol muka lo?" Sambil mengangkat tangan ke mukanya.
Juan menyipitkan mata. "Hhhh. Dibilang gue mau nyium." Lalu dia beneran mencium bibir gue. Bikin tangan gue yang ada di dekatnya bergerak, berniat memegangi lehernya tapi nggak jadi dikarenakan perasaan yang masih ngeganggu gue saat ini. "Kok mulut lo diem aja, sih?" Dia menyudahi ciuman begitu sadar gue justru nggak membalas kulumannya kayak semalam.
Lantas tangan gue akhirnya malah mengusap mulut yang basah. "Tiap pacaran elo selalu gini?"
"Iyalah," jawab dia enteng, sementara sebelah tangannya bergerak memainkan rambut gue.
Gue bertanya lagi, "Sama mantan-mantan elo juga?"
Tangannya turun. "Elo lagi mau ngebahas apaan sih sebenarnya?"
Anjrit. Mood si Bangsat ini kalo mendadak berubah jelek selalu aja nggak sedap diliat.
Gue meneguk ludah sebelum bicara, "Gue denger elo selalu nerima orang-orang yang nembak elo buat dijadiin pacar."
"Oke. Terus?"
Hhh. Apa kali ini gue ada salah ngomong lagi? Reaksinya keliatan jengkel bener. Jadi takut gue. Tapi gue juga asli penasaran. "Apa ... elo ngajak gue pacaran juga karena itu?" Ragu-ragu gue menatap sorot matanya yang kini menjadi biasa lagi.
Juan menghela napas. "Itu beda. Jelas beda."
"Beda apanya?"
Dia tersenyum. "Orang lain nembak gue, gue terima jadi pacar karena mereka yang minta. Tapi kalo elo beda. Gue yang minta elo jadi pacar gue, kan? Sampe sini paham?"
"Euh ..."
Tolong dong, pencerahan datanglah. Siram otak gue yang lemot dan daya pikirnya cuma 1kb/10 detik ini.
Senyum Juan luntur, sesudah itu dia memegangi kedua bahu gue. "Artinya, gue cuma mau minta orang jadi pacar gue karena gue SAYANG sama dia. Bukan karena dia gue terima sebab terpaksa. Lo ngerti?" terangnya dengan menekankan kata sayang di kalimat tadi.
Gue masih berusaha berpikir. "Hm, oke?" komentar gue nggak yakin.
Si Bangsat menunjukkan jurus memutar bola mata ngeselinnya. "Gue sayang sama lo, Ryan Bego. Damn! Capek gue ngomong sama lo. Udahlah. Gue mau balik ke kelas."
Gue buru-buru menarik ujung lengan seragam Juan sebelum dia membalikkan badan. "Jadi, elo emang serius pas ngajak gue pacaran?"
Dia mendengkus lantas menoleh pada gue. "Ya iyalah. Lagian apa manfaatnya buat gue mainin perasaan orang yang gue suka, hah?"
Gue merasa lega, sekaligus nggak enak hati akibat kesalahpahaman gue pada dia. Sialnya, mulut super kepo gue ini nggak tau batasan buat mingkem. "Kenapa elo, bisa suka sama cowok kayak gue coba?"
Dia menaikkan alis tebalnya. "Lo sendiri? Kenapa bisa suka ke cowok yang menurut lo bangsat macem gue?"
Ah, gue kepengin banget ngejawab pertanyaan balasan si Juan, tapi kata-kata yang mau diungkapin itu seolah susah dirangkai yang hasilnya malah nggak bisa keluar sama sekali. Jadi, pada akhirnya gue sekadar merespons laun, "Maaf. Gue cuma masih susah percaya bahwa elo yang suka juga ke gue."
Dia berdecak kasar. "Terserah. Gue mau balik ke kelas." Dia mulai membuka pintu, tetapi urung beranjak sebab malah berbalik lagi untuk mengecup bibir gue lebih dulu. "Sore nanti gue jemput elo ke rumah lo. So, jangan ke mana-mana. Gue mau ngajak elo ke suatu tempat," ujarnya berpesan.
"Eh, mau ke ..." Si Juan udah pergi gitu aja, padahal gue belum selesai nanya. "Hadeuh, dasar. Kebiasaan!" keluh gue agak kesal.
'...gue cuma mau minta orang jadi pacar gue karena gue SAYANG sama dia.'
Namun, gue nggak bisa nggak seneng mengingat ungkapkan si bangsat kepada gue beberapa saat tadi. Mungkin emang sebaiknya gue nggak perlu ngeraguin dia lagi kali, ya.
Yah, andaikan memang segampang itu. Duh. Nggak pas jadi gebetan, bahkan udah pacaran gini pun masih aja dia bikin gue galau terus-terusan. Pening kepala gue, Bambang.
.
"Fery, ini ada anak ganteng nyariin kamu."
Gue yang tengah duduk di ranjang sambil melipat baju otomatis panik mendengar suara nenek. Anjir. Jangan-jangan itu Juan. Kok gue nggak ngedenger suara klakson atau dapat chat dari dia, sih?
Buru-buru gue mengambil pakaian terdekat untuk dikenakan karena sekarang gue cuma memakai kaus daleman. Tangan sebelah kiri gue baru masuk ke baju bertepatan dengan daun pintu kamar yang kebuka, menampakkan sosok Juan yang ANJIR KEREN GILAAAAAA. Dia memakai celana denim pendek warna abu-abu, dirangkap hoodie Supreme putih serta topi Supreme dengan warna senada. Tatapan matanya memperhatikan gue yang tengah bengong mengagumi penampilan dia.
"Elo lagi ngapain?"
Pertanyaan itu menyadarkan gue untuk segera mengenakan baju sebenar-benarnya. "Ehehehe." Lantas berdiri, mengambil selimut untuk menutupi seluruh pakaian yang memenuhi ranjang. "Elo nggak ada bilang kalo udah dateng."
Juan berjalan masuk. Pandangannya menyisir setiap sudut kamar gue dengan mata menyipit. "Iya, sengaja. Gue mau nyapa orang rumah. Kebetulan nenek lo ada di teras, lagi duduk." Dia menatap gue. "So, elo udah siap? Gak lupa kan kalo gue mau ngajak lo pergi?"
Alhasil gue menunduk, meneliti gaya berpakaian gue sendiri. Kaus lecek berwarna ungu tua yang kebalik, di bawahnya gue memakai kolor putih garis-garis. Anjay. Malu-maluin banget ini, setan.
Gue nyengir malu. "Gue mau ganti baju dulu deh, ya," ujar gue seraya menggosok-gosok kaus yang terpasang di badan.
Si Bangsat malahan melipat kedua tangan di depan dada. "Ya udah, silakan ganti baju. Gue mau liat."
Gue tersengih. "Ya elo keluarlah sana, Bangsat!"
Dia ketawa jahil. "Lagak lo udah kayak perawan yang takut diperkosa aja. Meski gue emang ada niat ke sana, sih." Dia mengamati tubuh gue dengan tatap menggelora.
"Anjing lo. Sana, tunggu gue di luar," usir gue sekalian dengan gerakan tangan.
Dia menggeleng pasrah. "Oke, oke. Gue keluar." Badan Juan berbalik menuju pintu, betul-betul menuruti titah gue untuk keluar. Bikin gue mampu bernapas lega begitu pintu kamar kembali ditutupnya.
Oke, deh. Saatnya gue nyari setelan yang enak dipakai.
"Jangan lama-lama!" Gue terlonjak kaget karena tiba-tiba si Juan memunculkan kepalanya lagi di balik pintu. "Yah, kok elo belum buka baju, sih. Padahal gue pengin liat."
Gue menggeram. "Juanda Andromax kampret! Keluar lo sana, ah!" Gue melemparkan bantal Keroppi ke arahnya. Sayangnya, dia lebih dulu memundurkan kepala. Suara tawanya yang puas terdengar kian menjauhi pintu.
Bener-bener, ya. Punya cowok yang otaknya dipenuhi modus emang bikin gue harus selalu waspada.
Kalo dipikir-pikir, apa jangan-jangan semua pacarnya dia perlakuin kayak begini? Andaikan bener ... Aduh, nggak sanggup ngebayangin gue. Enaknya malah gak usah dipikirin. Bikin nggak enak diri sendiri.
.
"Juan, gue udah siap." Gue menghampiri Juan yang tampak asik mengobrol dengan nenek sampai berhasil ngebuat wanita tua kesayangan gue itu tertawa.
Hm. Curiga gue nenek sebenarnya nggak paham apa yang si Bangsat omongin, tapi karena anaknya ganteng ya diiya-iyain aja. Meski udah berusia 50 tahun lebih dan punya pendengaran yang agak keganggu, nenek gue ini matanya masih sehat kalo berurusan sama yang bening-bening.
Juan berdiri dari sofa, lalu menyalami nenek dengan gaya sopan yang bikin gue nyaris nggak mengenalinya. "Saga izin bawa Feryan pergi dulu ya, Nek. Oleh-olehnya nanti dihabisin aja, gak perlu disisain buat Feryan. Nanti bagian makan dia bareng sama Saga aja."
HEEE? Dia tadi nyebut dirinya apa? Saga? Hidiiih. Terus yang dia maksud oleh-oleh itu apaan, woi? Jadi dia bawa sesuatu gitu untuk merayu nenek gue? Dasar cowok berotak kotor.
Nenek gue sekadar mengangguk-angguk. "Iya, hati-hati. Fery, jangan ngerepotin Saga nanti, ya." Beliau memegangi sebelah tangan Juan seakan nggak rela cowok ini pergi.
DAN ANJRIT, YA. Sungguh sebuah keajaiban nenek gue mampu memahami apa yang Juan katakan dalam sekali ucap tanpa perlu teriak-teriak. Dasar wanita. Mau yang tua atau yang muda, sama yang ganteng aja cepet banget nangkap sinyalnya. Huh hah.
Gue turut menyalami tangan nenek, setelah itu berjalan keluar diikuti oleh Juan dari belakang. "Emangnya elo bawa oleh-oleh apa gitu?" tanya gue masih penasaran.
Dia mencondongkan tubuh lebih dekat kepada gue. "Mau tau? Cium gue dulu," bisiknya rese.
Gue meringis. "Bangsat lo!" Setibanya di luar, gue dibikin bingung nggak kepalang lantaran nggak melihat keberadaan motor si Juan di mana pun. "Heh, Bangsat! Motor elo di parkir di mana?"
Bukannya menjawab, Juan terus melangkah mendahului gue sampai belok melewati jalanan di depan rumah. "Siapa bilang gue bawa motor?"
Gue berlari kecil menyusul si Bangsat, kemudian sontak terkesiap sewaktu menyadari ternyata kendaraan yang dia bawa kali ini adalah mobil yang diparkir di tepi jalan rumah sebelah. Dasar orang kaya!
"Ayo, cepetan masuk ke mobil. Panas, nih!" serunya yang lantas menyalakan alarm keamanan, setelah itu membuka pintu kemudi dan masuk.
Gue menelan saliva. Berjalan ragu-ragu ke arah mobil si Bangsat yang berwarna putih seraya menengok ke sana-kemari saking resah. Setibanya di pintu sebelah kiri, gue langsung membukanya lalu turut masuk ke dalam. Merasakan sensasi dingin dari AC serta pengharum mobil beraroma lemon. Aaah, seger. Eh, lupain dulu soal itu.
"Elo kenapa datang bawa mobil segala sih, Bangsat?" tanya gue dengan mata yang masih berkeliaran meneliti isi mobil Juan yang nggak satu pun gue pahami fungsinya, kecuali rem tangan dan juga setir. Mana tombol-tombolnya banyak bener pula. Eh, tapi ada boneka kucing yang kepalanya goyang-goyang di atas dashboard keliatan lucu.
Juan melirik, dan tiba-tiba mencium bibir gue tanpa babibu. Anjir dasar cowok nafsuan ini. "Panaslah, Bego. Ngapain gue naik motor panas-panasan kalo ada mobil? Sebagai manusia berotak yang senengnya menjauhi hal-hal ribet, ada baiknya akal tuh dipake," ujarnya sembari menepuk-nepuk pipi gue.
Kepengin banget rasanya gue nampol muka ganteng si Bangsat ini, cuma gue tahan-tahan dan lebih memilih tersenyum menanggapi kata-kata dia.
Ketika mesin mobil dinyalakan, barulah gue teringat sesuatu yang lupa gue tanya. "Emangnya elo mau ngajak gue pergi ke mana, sih?"
Juan mulai membawa kendaraan beroda empat ini melaju. "Ke rumah gue," jawabnya sambil memasang senyuman aneh.
Sementara gue yang duduk di sebelah dia dibuat tertegun. Begitu menyadari maksud dari jawabannya tadi, barulah gue mendelik kaget. "TURUNIN GUE SEKARANG!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top