18. Pengikatan
Juanda ... nyium gue? Ini beneran? Anjir. Kacau. Parah. Apa-apaan? Ngapain dia nyium gue segala? Di bibir pula? INI KAN CIUMAN PERTAMA GUE, BANGSAT!
Napas gue yang sedari tadi tertahan berembus kencang, berhasil menjauhkan aroma rokok mentol yang khas dari bibir Juanda dari sekitar mulut gue. Alhasil gue meneguk ludah berulang-ulang sampai nggak lagi ada sisa di tenggorokan, sesudah itu meraba-raba bibir kebingungan. Tatapan linglung gue dan sorot lembut Juanda bertemu. Beda dari gue, dia malah keliatan senang.
Tiba-tiba kedua tangan si Bangsat diletakkan di masing-masing pipi gue. "Lo kebanyakan ngomong tau nggak. Diem sebentar bisa? Gue mau nyium elo lagi."
Saat parasnya mulai memperpendek jarak ke wajah gue, buru-buru gue menahan dahinya. Menjeda gerakan dia seketika. "Woi, bentar dulu! Elo, lagi ngapain, sih? Bukannya lo punya cowok yang lo suka?"
Itu yang paling bikin gue nggak paham saat ini. Kan katanya dia ada gebetan. Dia punya cowok yang dia suka. Lah, kenapa malah gue yang dia cium? Meski gue nggak keberatan, sih. Tapi ya, tetep aja gue penasaran.
Juanda gue lihat memutar bola mata. Mana ngeselin banget pula cara muter bolanya. Dasar cowok kurang ajar.
"Lo tuh beneran bego banget, ya." Dia mendengkus, menyingkirkan tangan gue dari dahinya yang mulus. "Ya, gue emang punya cowok yang gue suka. Dan tadi, gue baru tau bahwa cowok yang gue suka selama ini ternyata suka juga ke gue. Makanya sekarang gue happy," ungkapnya sembari menatap ke dalam mata gue lekat-lekat.
Sedangkan gue hanya mampu berkedip-kedip bersama isi otak yang mulai berkeliaran ke sana-kemari, mencari-cari maksud dari penjelasannya tadi.
"Lo paham nggak sih, Feryan? Astaga! Maksud gue, gue juga suka sama elo! Gebetan gue, cowok yang gue suka adalah elo! Elo, Feryan Bego Feriandi! Shit!" Selanjutnya Juanda mengacak-acak rambutnya sendiri kayak orang stres. "I didn't expected that when liking another person would made me act this way. God, I'm really tired," desisnya lalu menarik napas panjang.
Gue ragu-ragu berusaha mengucap kesimpulan, "J-jadi, ternyata gebetan cowok elo itu gue?"
Juanda berdecak sebelum menjawab, "Iya, bego. Lemot ya lo."
Mendadak kayak ada ribuan kupu-kupu yang menggelitik perut, membawa gue terbang ke langit yang terangnya memenuhi pandangan gue sekarang. "Jadi, elo suka juga ke gue?" tanya gue sekali lagi, memastikan sepasti-pastinya.
Si Bangsat menyahut cepat, "YES, I LOVE YOU! Apa masih belum cukup juga?"
Muka gue sontak terasa panas. Bibir gue pun gemetaran. Antara mau teriak, ngumpat bahkan mengucap syukur. Dia ... lagi nggak becanda, kan? "Elo serius, Juan?" Untuk pertama kali ini gue bahkan sampe menyebut nama panggilan dia saking bahagianya.
Juanda tercenung mendengar namanya gue sebut, lantas menunjukkan senyuman lebar super ganteng. "Iya. Gue suka sama lo, Feryan. Mulai hari ini lo mau kan jadi pacar gue?"
Ah, anjir. Pengin mewek lagi gue sekarang. Wahai Siluman Kodok di mana pun elo berada, gue seneng bukan main ini.
Dia mengernyit mendapati gue yang gak kunjung bersuara. "Jawaban elo mana?"
Gue tersadar. "Juan, tabok gue dong," pinta gue seraya tersenyum malu.
"Ngapain?"
Gue cengengesan gak jelas. "Ini kayaknya mimpi. Gue mesti bangun sekarang sebelum harapan gue makin melambung."
Juanda malah terkekeh konyol. "Ini bukan mimpi, Bego!" ucapnya sambil menepuk kedua pipi gue keras-keras.
"Awww! Sakit!" rintih gue yang kini gantian tengah diusap-usap lembut oleh tangan si Bangsat yang tersenyum manis.
Ugh. Meleleh hati gue ngeliatnya.
"Kan. Sakit. Artinya, lo lagi nggak mimpi. Paham?"
"Jadi, elo serius?"
"Iya."
"Gue bisa jadi pacar elo, nih?" Mata gue mendelik ke arahnya, menuntut jawaban untuk kesekian kali.
"He em." Cowok ini mengangguk penuh semangat.
Jadi, gue gak usah sungkan lagi dong, kan? "Juan!" Gue menghambur ke pelukan si Bangsat, kemudian melancarkan ciuman gemas bertubi-tubi ke pipinya yang agak lengket.
Dia tertawa geli, meraih kedua sisi pipi gue lalu berbisik, "Bukan begitu cara bikin gue seneng pas elo cium. Sini, gue ajarin."
Gue tersenyum, menutup mata perlahan sewaktu Juanda mempertemukan kedua belah bibir kami lagi. Tangan kanan gue bergerak memegangi bahunya, sementara tangan kiri gue memainkan rambut-rambutnya yang halus. Memberi belaian di sana serupa sapuan lembut bibir tipisnya ke bibir bagian bawah gue yang kini dia kulum dan gigit pelan. Gue meneguk ludah, nggak lupa menghirup napas sedikit-sedikit lantas refleks membuka mulut sewaktu lidah Juanda mulai memaksa masuk. Aroma rokok bercampur saliva yang kenyal dari daging nggak bertulangnya memenuhi isi mulut gue yang terasa hangat dan lembab.
Untungnya lokasi yang kami pilih untuk duduk cukup sepi dan gelap. Jadinya ngepas buat dijadiin posisi mojok. Cihuy.
Sebelah tangan Juanda beralih memegangi leher bagian belakang gue, menekan untuk membawa gue lebih mendekat. Bikin debaran di dada gue semakin menjadi, sekaligus mengalirkan sensasi panas di pipi yang kayaknya malah udah menyebar ke seluruh tubuh.
Gue kepanasan, padahal isi hati dan pikiran gue lagi adem sedamai-damainya. Merasa lega bercampur bahagia sebab kini cowok yang gue sukai udah resmi terikat status sebagai pacar gue. Kami. Udah. Resmi. Pacaran. Meskipun beberapa waktu sebelumnya gue dibikin galau gak keruan lantaran kepikiran andaikan Juanda dan gebetannya bakalan jadian. Akan tetapi untuk saat ini, gue hanya dapat bersyukur nggak terhingga karena cowok bangsat ini dengan gebetannya akhirnya beneran jadian. Ehehehe.
Eh, bentaran. Huh?
Gue mau gak mau menyudahi ciuman di antara kami, memandangi Juanda yang keliatan masih kurang puas. Setelah itu berganti memperhatikan bibirnya yang keliatan mengilat akibat basah di keremangan ini. Njir. Itu ... kelakuan gue, yak? Gak sia-sia gue belajar cara cipokan dari video-video bokep anime. Yee, kutil cicak. Malah salah fokus.
"Eh, bentar, deh. Gue baru aja menyadari sesuatu yang penting banget," ujar gue tanpa menarik lepas tangan gue dari badannya.
Juanda keliatan nggak sabar dan mencibir, "Apaan?"
Gue mendengkus. "Bangsat lo, ya! Kalo emang elo suka ke gue, kenapa lo nggak bilang dari kemarin-kemarin, hah? Lo nggak tau apa beberapa hari ini tuh gue dibikin galau gara-gara kepikiran melulu soal lo dan gebetan lo. Yang mana rupanya, gebetan elo malah adalah DIRI GUE SENDIRI! GUE? Anjing! Jadi, gue galauin, cemburu, iri, jengkel dan ngumpatin siang malam gebetan lo itu semua balik ke diri gue gitu? Sialan." Napas gue terengah-engah seusai menumpahkan semua unek-unek tadi. "Bahkan kejadian kue hari ini juga. Gue pikir elo manfaatin gue demi menarik perhatian gebetan lo itu. Gak taunya ..." Gue nggak berani mengucapkan lanjutan kalimat gue sendiri.
Di depan gue si Bangsat jelas sedang menahan tawa. Sorot matanya yang jahil itu memandang gue yang asli tampak bego banget di sini. "Nah, sekarang elo sadar kan seberapa begonya elo, Bego?" Dia menarik tubuh gue merapat padanya, sementara dia agak mendongak menatap gue yang memang tengah berdiri. "Tapi nggak cuma elo, kok. Sejak awal gue tau bahwa lo punya gebetan, gue juga ngerasa kesel. Nggak terima. Tapi sekarang gue lega karena orang yang lo suka nggak lain adalah gue." Dia mengecup dagu gue pelan. "Well, meski tetep elo yang jelas lebih bego. Karena nggak kehitung kali gue ngasih elo kode dan tindak-tanduk sebagai tanda PDKT, tapinya malah nggak peka-peka."
Gue tersengih, sontak mengulang semua hal yang barusan Juanda maksudkan. Dari mulai ketika dia minta kontak gue lewat Setya, kemudian ngajak nonton, berlanjut ke chatting dan kepo, sampe ngasih gue kue super enak yang terpaksa kebuang sia-sia dikarenakan dia yang--gue baru sadari nggak taunya cemburu ke dirinya sendiri juga. Duh, ampas.
"Jadi ternyata hubungan lo sama gue runyam tuh gara-gara diri kita sendiri, ya," komentar gue merasa konyol.
Sebelah alisnya naik. "Kita? Lo aja, kali. Gue sih udah ngasih banyak usaha, saking elonya aja lemot, Bego. Siang tadi aja gue bilang gue tuh maunya cuma diri lo, eh elo mana ngerti."
"Kapan?" Kok gue nggak inget dia ada ngomong begitu?
Juanda nyengir. "Pas gue narik kerah lo. Ya, gue pakai English, sih."
Seketika rambutnya gue tarik-tarik kesel. "Ya, gue mana paham, kampret! Bukan salah gue ya, kalo gue nggak ngerti bahasa yang elo pake!"
Dia menghentikan gerakan tangan gue. "Jelas salah lo-lah. Karena elo yang bego. Murid SMA di sekolah ternama gak becus bahasa Inggris. Gak malu sama usia?"
Gue dan Juanda sekarang jadi beradu pelototan gemas. Nggak lama, kami berdua kompak tertawa. Sampai kemudian tawa itu teredam oleh ciuman yang kami lakukan untuk ketiga kalinya malam ini.
Nah, apa pun itulah. Yang terpenting, saat ini gue bahagia. Dan gue yakin, si Bangsat juga demikian dikira-kira dari ciumannya yang nggak nyantai ini.
"Ah, rasanya gue mau merenggut keperjakaan elo segera."
Gue menjewer telinga si Juan begitu mendengar kalimat kotornya barusan. "Bacot lo! Mending kita pulang, yuk."
Dia tampak nggak suka dengan ajakan gue. "Yah, kok gitu? Padahal gue masih pengin cipokan sama lo."
Beneran ternyata ini cowok berotak selangkangan, ya. Mesum. "Tadi yang duluan ngajakin pulang siapa? Elo, kan? Ini udah malem. Mana rumah gue lumayan jauh."
Dia malah mempererat pegangannya di badan gue. "Gue masih mau berduaan sama lo, Ryan."
"Ya, gue juga. Tap--eh? Apa? Tadi lo manggil gue pake sebutan apa?"
Juanda tersenyum miring. "Ryan. Kenapa? Lo gak suka? Gue gak mau manggil elo Fery atau Feryan kayak kebanyakan orang-orang lain di sekitar lo."
Lubang hidung gue jadi kembang-kempis. "Gue suka, kok. Lo boleh manggil gue itu. Dengan satu syarat."
"Apa? Lo minta cium?" Dia udah keliatan antusias aja.
Gue berdecak. "Bukan, elaaah. Kita pulang sekarang. Gue ngantuk," ujar gue seraya berusaha membebaskan diri dari pelukannya.
"Lo nginep di rumah gue aja gimana?"
Badan gue seketika merinding. "Ogah. Siapa tau apa yang bakalan lo lakuin ke gue."
"Gue akan kasih tau semua yang mau gue lakuin ke elo, kok. So, deal?"
"No deal. Pokoknya gue pengin pulang!"
"Oke, oke. Kita pulang. Asal lo cium gue sekali lagi."
"Nggak ada. Bibir gue udah capek."
"Tck." Dia mendelik kesal.
Gue balas mendelik gak kalah bengis. "Apa? Ngajak ribut lo?"
Dia menaik-naikkan alisnya. "Ayo, kita ribut di ranjang."
"Arrrghh! Juan, udah, deh." Gak bakalan ada menangnya gue kalo ngelawan dia.
Alhasil, cowok gue ini tertawa puas. "Hahaha. Oke, oke. Kita pulang, Sayang."
Gue mendadak mual. "Najis. Manggil gue apa lo barusan?"
"Iya, Setan. Kita pulang sekarang."
Kaki gue melayangkan tendangan ke pahanya begitu tubuh kami terlerai. "Lo perlu ngaca sebelum ngatain orang lain."
"Gak kebalik?"
Gue mendengkus gemas. Namun tetap, senangnya bukan kepalang. Cuma berharap, kesenangan ini bisa terus bertahan untuk kami berdua seterusnya.
Awas aja kalo ada yang berani nggak ngabulin doa gue. Kalian bakalan gue kutuk jadi daki sapi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top