17. Pengakuan

"Lo nggak keberatan kan kalo gue ngerokok?"

Gue mengangguk, membiarkannya. Lagian wajar untuk remaja seusia kami merokok. Meski gue baru tau kalo Juanda ternyata perokok.

Suara korek gas yang dinyalakan kedengaran jelas banget di antara suasana taman sepi malam-malam begini. "Lo nggak ngerokok, kan?"

Gue melirik sekilas ditodong pertanyaan itu. "Mending duitnya gue pake buat jajan daripada gue pake beli rokok. Mahal."

Juanda menggumam. Bau asap mulai tercium ke sini. "As expected from you."

Gue mencibir, saling manautkan kedua tangan menjadi satu. Mengingat fakta di sepanjang jalan tadi gue berpegangan di perut si Bangsat selama membonceng. Duh, malu.

Juanda ikut duduk di sebelah gue. Gue mengerling, melihat tangan kanan dia yang memegangi puntung rokok sementara tangan kirinya mengotak-atik ponsel. Cepet banget pula. Hee, jangan bilang ...

"Elo kidal?" Saat dia mengangguk, gue mendelik. "Lo bikin kue tadi siang juga pake tangan kiri?"

Juanda mengepulkan asap dari mulutnya sebelum merespons, "Iya. Gue ngelakuin semua kegiatan yang menurut gue penting pakai tangan kiri. Nulis, ngegambar, olahraga, masak, mukul orang, bahkan coli juga."

Gue meringis keras. "Gak usah lo sebut sedetil itu juga kali, Bangsat!" protes gue sok risih. Padahal sekarang kepala gue jadi coba-coba membayangkan gimana bentukan si Juanda pas lagi coli dengan tangan kirinya.

BANGSUL. BUBAR, BUBAR. JANGAN DIBAYANGIN. HARAM.

Gue berdeham. Berusaha menenangkan detak jantung serta isi kepala gue gara-gara pengakuannya tadi.

"Lo berlagak kayak lo sendiri gak pernah coli aja," komentarnya seraya menyimpan HP.

Gue menepuk keras lengan dia. "Gak usah samain gue sama lo, ya."

Dia justru tertawa pelan. "Okay, okay. Whatever." Meski belum habis, api rokok yang disundutnya udah aja dimatikan. Lantas puntungnya dibuang ke tong sampah. "Elo nggak pengin pulang?" Dia berdiri menghadap gue, mengecek waktu di jam tangannya.

Padahal belum ada sepuluh menit kami tiba di sini, ngapain coba dia udah nanyain soal pulang? Apa dia udah bosen? Ya, gue paham sih dia masih kesal dan cuma mau berbagi sedikit perhatian, tapi gue ngerasa sayang aja kalo nggak menikmati waktu bersama dia selama yang gue bisa.

Gue menghela napas panjang. "Bisa tunggu bentaran lagi nggak? Di rumah gue juga gak bakalan ada siapa-siapa, sepi, BT. Ditambah nenek gue udah tidur dan nggak akan bangun menjelang subuh, jadi gue mah santuy." Kali ini nggak lupa ngunci pintu dari luar supaya gue gak perlu teriak-teriak kayak tempo hari.

Juanda balik duduk di sebelah gue. "Gue baru sadar, kenapa yang sering elo sebut itu nenek lo terus? But, no offense, okay. Ke mana emangnya mama dan papa lo?"

Ah, bayang-bayang masa paling suram dalam hidup gue mengisi kepala tanpa permisi setelah dia bertanya begitu. Salah satu alasan yang bikin gue kacau seperti sekarang ini juga adalah mereka. Lebih tepatnya, mama sih untuk hari ini.

Gue menggumam sebelum mulai bercerita, sebab ngerasa gak perlu juga untuk menyembunyikan fakta ini. "Hm, gimana, ya? Lo tau, gue ini adalah jenis anak, apaan sih kalian menyebutnya? Broken home, ya? Itu deh pokoknya." Tersenyum getir lantas meneruskan, "Nah, ortu gue sendiri bisa dibilang sama-sama broken. Lo paham nggak maksud gue? Papah gue ini tukang main judi. Setiap kali kalah dan habis duit, dia bakalan mukulin gue atau mamah. Eh sialnya, mamah gue juga nggak jauh beda ngeselinnya dari papah. Karena muak sama papah dan capek berantem terus, mamah tau-tau ninggalin rumah dan asik selingkuh sama laki-laki lain di luar sana. Hahaha." Gue tertawa hambar, sedapat mungkin menutupi ekspresi muram yang pasti nampak saat ini. "Di usia remaja gue nih, gue hampir setiap hari mikirin, normalnya hidup bahagia tuh macam gimana, sih? Punya dua orang tua, wajar andaikan gue pengin sekali aja dingertiin mamah atau papah, kan? Seenggaknya, mereka sesekali nanya kek mau gue apa. Atau meski sedikit, ada niat kek gitu bikin anaknya ini seneng meski cuma pura-pura." Gue mulai gemetaran, dada gue sesak dan kepala gue mendadak nyeri mengingat semua itu. "Ngenesnya, bahkan sewaktu mamah dan papah pisah, mereka gak pernah sibuk ngurus hak asuh dan malah masrahin gue ke nenek dengan alasan mau fokus kerja. Dari situ gue sadar, sejak awal gue sama sekali nggak mereka inginkan. Heheh. Hidup gue menyedihkan banget, ya. Mungkin itu sebabnya gue terbiasa jadi bahan bully." Gue menelan ludah selesai mengungkapkan itu semua. "Gimana menurut lo?" Gue memberanikan diri menoleh pada Juanda, ingin tahu akan bagaimana reaksinya menanggapi cerita dari gue tadi. Namun yang terjadi, kedua matanya malah keliatan berkaca-kaca.

"Feryan," sebutnya parau. Air matanya menetes gitu aja, bikin dia refleks menyekanya.

Sedangkan gue tercengang sebelum akhirnya tertular tangisannya. "Bangsat! Kenapa elo malahan nangis? Lo jangan bikin gue tambah keliatan menyedihkan gini, dong. Ah." Alhasil, tangis gue pecah. Bahu gue berguncang keras, satu tangan gue pakai untuk membungkam mulut agar suara isakan gue nggak keluar.

Ah, kampret. Kenapa hari ini banyak banget kejadian nggak mengenakan yang nimpa gue, sih? Nangis di depan gebetan? Payah anjir. Seharusnya sebagai cowok gue bisa keliatan lebih tegar, bukannya lembek dan cengeng begini.

"Sorry." Juanda membawa tubuh gue ke pelukannya, menepuk bahu gue pelan seakan coba menenangkan. "It's okay kalo lo mau nangis. Don't hold it. Who knows it could makes you feel better."

Gue berdeham keras, menjauh dari tubuh Juanda yang wangi sembari mengeringkan basah di pipi secara kasar. "Sebenarnya gue udah capek nangisin hal ini. Dulu apalagi, nyaris setiap kali gue ngeliat anak yang keliatan bahagia bareng mamah papah mereka, air mata gue keluar gitu aja. Hasilnya ya, gue diledek habis-habisan sama yang lain." Gue memukul dadanya pelan. "Makanya, lo gak usah segala nangis cuma karena kasihan ke gue. Muka bangsat lo jadi jelek banget diliat."

Juanda tersenyum masam. Tangannya bergerak mengusap pipi gue pelan, ikut menyingkirkan jejak basah di sana. "Gue nangis bukan karena kasian sama elo, kok. Tadi gue cuma keinget sama mendiang mommy gue yang udah meninggal begitu ngedenger cerita lo. Gue ... mendadak kangen sama dia. Ngerasa nggak adil, kenapa elo yang masih punya mamah justru diperlakukan nggak layak sama dia? Di lain sisi, mommy gue yang udah nggak ada di dunia aja terus-terusan bikin gue keinget sama semua kasih sayangnya."

Gue memandang cowok di depan gue nggak enak. "Sorry, gue bikin elo jadi keinget. Tapi ya, mau gimana? Emang jalan hidup dan nasib setiap orang tuh pada dasarnya beda-beda, kan?"

Juanda mengangguk setuju. "Bener."

Kemudian gue membiarkan keheningan menggantung di antara kami, sebab sadar kami butuh waktu sebentar untuk meredakan perasaan.

Gue mendongak ke kegelapan langit malam, lalu ragu-ragu mengajukan pertanyaan, "Lo pernah nggak sih mikir, 'kenapa nasib hidup gue mesti begini?' "

Juanda gue dengar mengembuskan napas cukup kencang. "Pernah. Setelah mommy gue pergi dan ngebuat gue ngerasa kesepian. Semenjak mommy gak ada, hidup di dunia rasanya kayak gak seru lagi. Cuma lama-lama, gue pasrah ajalah. Toh mau gue merenung selama apa pun, Tuhan gak mungkin punya niat ngehidupin mommy lagi, kan?"

Gue mengerlingnya lantaran ikut merasa sedih. Nggak menyangka ternyata dia punya kisah memilukan juga. Lalu menunduk, memandangi sepasang sandal Eiger gue sebelum gantian berbicara, "Kalo gue malah kadang mikir, apa untungnya sih gue hidup?" Gue menyeringai. "Lo tau sendiri gue ini cuma cowok bego yang sering kena bully. Ditambah jelek, gak punya bakat apa-apa, bokek melulu pula. Ortu gue aja kayak yang udah nggak terlalu peduli lagi sama nasib gue. Tck, tck, tck." Menggeleng sok prihatin meratapi keadaan gue sendiri.

Juanda turut berdecak. "Lo nggak seburuk itu, tauk. Stop saying so many bad things about yourself," komentarnya kedengaran gak suka.

Euh, ya? Tadi dia bilang apa di kalimat kedua? Ya udahlah. Bodo amat.

Gue nyengir. "Tapi lo mau tau nggak? Sejak ketemu dan kenal elo, gue jadi punya motivasi supaya bisa jadi sosok yang lebih baik. Habisnya kan gue heran, kenapa gitu elo bisa sebaik ini ke gue? Lo mau-maunya kepoin soal gue meski gue ngeselin. Bersedia jadi temen gue walau tau gue ngerepotin. Bikin gue sering cemas mikirin andai nanti elo tiba-tiba bakalan ngebenci gue dikarenakan semua kekurangan yang gue miliki. Makanya pas tadi siang elo kesel itu, gu--"

"Itu gak akan terjadi." Juanda memotong perkataan gue dengan nada yang mantap. "Gue nggak akan pernah ngebenci elo. I swear."

Gue menoleh, memandang tepat ke matanya yang nggak diselimuti keraguan sedikit pun. "Lo gak akan ngebenci gue? Serius?"

"Iya." Dia bahkan ngejawab cepet banget.

Gue mengernyit. "Meski gue ngeselin?"

"Hm, iyalah."

Gue terkekeh kali ini mendengar respons malasnya. "Meski gue ngerepotin dan berisik?"

Si Bangsat berdecak kesal lagi. "Nggak akan, Bego. Berapa 'iya' yang harus gue keluarin biar bisa bikin elo percaya, sih?" Dia menggeleng lelah.

Gue menghela napas lega, kemudian mengepalkan kedua tangan. Merasa mesti membuat pengakuan lainnya agar nggak ada lagi hal yang perlu ditutup-tutupi di antara kami. "Kalo lo tau, gue suka ke sesama cowok gimana?"

"Hah?" Dia terlonjak, menatap gue kaget. "What did you just say?"

Gue nggak berani membalas tatapannya. "Lo tau, Juan. Gue ini ... sebenarnya homo. Gue suka ke sesama cowok," aku gue dengan suara nyaris gemetar. Debaran di dada gue semakin kencang dan kencang aja menantikan akan seperti apa reaksi Juanda atas ini.

"Well, gak masalah, sih. Soalnya gue juga sama. Gue sukanya ke cowok."

Gue serta-merta mendongak sesudah mendengar jawaban itu, mendelik pada Juanda nggak percaya. "Jadi ternyata gebetan elo cowok juga?"

"Iya."

ANJIR. Terkagetlah gue, bangsul. Siapa cowok itu, hah? Siapa, siapa? Kenapa bangsat kodok ini nggak sukanya ke gue aja? Gue juga cowok! Cuma mungkin bedanya gebetan si Juanda mukanya lebih sedap dipandang dan ngangenin ketimbang wajah buluk gue yang biasa-biasa aja. Arrrggh! Panas nih gue, Bambang!

Gue tersenyum masam. "Ah. Beruntungnya cowok itu bisa jadi gebetan cowok cakep kayak elo," goda gue dengan suasana hati yang sesungguhnya hampir patah berserakan.

"Hm." Dia menggumam datar. Nggak tau deh gue apa yang lagi dia pikirin. Apakah gebetannya?

Gebetan dia terus. Padahal yang sejak tadi ada di sampingnya itu gue. Huh. Capek, deh.

Gue menahan dengkusan lantas kembali buka suara, "Ah, tapi, ada satu hal lagi yang mau gue akuin."

"Apa?" Si Bangsat menatap gue dengan kernyitan begitu menangkap sorot bersungguh-sungguh gue padanya.

Ada baiknya gue ngebongkar semuanya sekalian, gitu. Toh, kami rupanya sama-sama homo. "Kalo gue bilang cowok yang gue suka itu elo, gimana?" Meskipun gue yakin perasaan gue nggak mungkin dibalas. Seenggaknya, gue mesti jujur. Sebagai teman, gak baik andaikan gue memendam ini dari dia lebih lama lagi. "Cowok yang gue suka itu elo, Juanda Andromano." Gue meneguk ludah menyadari ekspresi si Bangsat yang kini berubah shock parah, kemudian meringis. "Apa lo masih gak akan ngebenci gue? Jijik sama gue? Disukain cowok kayak gue pasti--"

Kata-kata gue belum selesai terucap karena terbungkam oleh sepasang bibir yang tau-tau nempel di atas mulut. Sukses bikin debaran di jantung gue berdetak panik akibat terkejut luar biasa. Bahkan gue masih nggak bisa mempercayai pandangan sendiri yang menangkap wajah Juanda tepat di depan hidung gue, tengah memejamkan mata. Karena sepertinya, saat ini yang lagi mencium gue adalah dia.

Bentar. Hah, apa? Kok bisa, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top