16. Perhatian

[Gue minta maaf kalo ada omongan gue yang bikin lo kesel]

Chat gue cuma dapat dua centang biru, tapi nggak dikasih balasan sama sekali. Padahal udah lebih dari 7 jam semenjak gue mengirimkan chat itu ke si Juanda.

Arrrgghh! Gara-gara semua ini gue jadi nggak bisa tenang, gak bisa tidur, bahkan nafsu makan gue aja berkurang sampe bikin nenek ngecek apakah gue lagi demam ataukah nggak. Padahal badan gue sehat-sehat aja, yang nggak sehat hanya pikiran serta hati karena penginnya ngegalauin gebetan melulu.

Gue memeluk guling seraya memandangi profil WhatsApp si Juanda. Dia terakhir terlihat online baru beberapa menit tadi, loh. Kenapa nggak coba balas chat gue dulu? Meski pake Y doang juga cukup, kok.

Apa dia beneran marah, ya? Gak ada harapan lagi gitu untuk gue memperbaiki hubungan kami?

HP gue letakan, lalu berganti ke posisi telentang dengan sebelah tangan yang gue pakai untuk menumpu kepala. Memejamkan mata, mendatangkan ekspresi geram si Juanda yang gak juga mampu gue lupain. Lebih-lebih raut sedihnya.

"Lagi apa elo sekarang, Bangsat? Gue kangen chatting sama lo."

HP gue yang bergetar bikin mata gue melotot penuh, menangkap layarnya yang menampilkan nama kontak seseorang yang tengah memanggil. Buru-buru gue ambil, hanya untuk mendapati nama Mamah di sana.

Gue menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan, "Assalamu'alaikum, Mah."

Di seberang sana kedengeran agak berisik. Mamah pasti belum pulang dari tempat kerjanya. "Wa'alaikumsalam, Fery. Uang jajan kamu masih ada, kan?"

Yaelah. Bukannya nanyain kabar anaknya dulu kek, yang dibahas malah langsung ke uang.

Agak sungkan gue menjawab, "Masih. Papah Minggu lalu ngirim."

"Bagus, deh. Maaf bulan ini mamah gak bisa ngirim soalnya harus beli peralatan make up baru buat kerjaan."

Alasan itu lagi? Bukan karena duitnya habis dipake jalan-jalan bareng pacar brondongnya?

"Iya. Gak apa-apa." Gue merespons sambil menahan diri supaya nggak ngasih mamah dengkusan keras akibat muak.

"Kabar nenek baik, kan? Kamu gak terlalu ngerepotin dia, kan?"

Gue memutar bola mata. Lah, andai gue nggak ngerepotin nenek, terus gue mau bergantung sama siapa lagi? Sosok egoisnya gitu? "Baik kok, Mah. Aku juga baik." Sengaja gue jawab begitu meski mamah nggak nanyain tentang kabar gue--yang aslinya lagi galau parah saat ini.

"Syukur atuhlah. Ya udah, kalo gitu mamah mau pergi. Cuma mau ngasih tau itu aja."

"Ya."

"Dah."

Sambungan telepon terputus. Sesudah itu gue menatap BT kontak mamah. "Hhhh. Mamah kampret."

Padahal kalo niatnya ngasih tau itu doangan, lewat sms aja seharusnya bisa, kan? Gara-gara telepon tadi, perasaan runyam di diri gue malah tambah menumpuk sekarang.

Apa nggak ada satu orang aja yang mampu memperlihatkan kepedulian dia sepenuhnya pada gue?

Gue duduk bersandar ke dinding sembari mengotak-atik HP. Mengklik riwayat chat gue dan si Juanda, kemudian mulai mengetik kata-kata secara acak untuk dikirim ke nomornya. Namun sewaktu gue melihat keterangan online di bawah nama dia, seluruh isi ketikan langsung gue hapus lagi. HP serta-merta gue kunci.

Gue meringis, menenggelamkan kepala di antara lutut. Bingung mesti ngapain lagi agar perasaan nggak enak ini bisa sedikit hilang. Lantas gue melirik jam di dinding yang jarum pendeknya nyaris menunjuk tepat ke angka 9. Menghela napas berulang-ulang demi menenangkan diri sebentar, kemudian gue turun dari ranjang. Gue butuh nyari udara segar dan pemandangan yang sekiranya dapat mengalihkan isi pikiran.

.

Sialnya nggak ada yang bisa dilihat di luar sini selain bintang di langit. Juga kendaraan yang berlalu lalang. Ditambah tiang lampu di tepi-tepi jalan.

Gue ketawa tertahan teringat ajakan Juanda soal ngeliatin tiang di pinggir jalan. Dan sekarang gue ada di sini, beneran jadi orang kurang kerjaan yang cuma merhatiin tiang berwarna abu-abu. Surem. Kayak bentukan gue saat ini.

Sebenarnya lebih nyaman ngeliatin bintang. Sayangnya, kepala gue bakalan pegel kalo dipake mendongak kelamaan. Pengin ngegangguin Setya jam segini, nggak enak nanti gue sama keluarganya. Andaikan punya motor, asiknya ya gue jalan-jalan ke mana, kek. Cari angin atau cuci mata. Siapa tau gue bisa nemuin orang yang lebih menarik dari Juanda dan bikin gue sanggup ngelupain rasa suka gue ke dia seketika, kan? Yang mana, jelas mustahil, sih.

Gue baru berniat jongkok di sisi trotoar ketika HP gue malah bergetar. Melalui getarannya yang agak lama, gue tau ini merupakan panggilan masuk lain. Apa jangan-jangan mamah masih belum puas ngerusakin ketenangan gue?

Gue memeriksa layar HP. Alhasil mata gue melotot, kaget. Untung belum refleks gue tolak panggilannya sebab ternyata yang menelepon kali ini adalah Juanda.

Anjir. Beneran ini si bangsat nelepon gue? Jam segini? Ngapain? Mau marah-marah atau apa atau begimana? Dijawab atau nggak ini teleponnya, ya? Chat gue aja bahkan belum dibalas sama dia.

Kelamaan mikir bikin panggilan itu berubah menjadi missed call. Gue baru aja hendak bernapas lega saat panggilan kedua dari si Juanda datang.

Gue berdecak. Ah, mau nggak mau, deh. "Euh, halo?" jawab gue hati-hati.

Jangan sampe gue salah ngomong atau ngebuat dia tambah kesal lagi.

"Hm."

Sett. Dia yang nelepon, dia juga yang kedengaran nggak ada niat buat ngomong. Nyesek, cuy. "A-ada apa lo nelepon?"

"Nggak ada. Gue cuma mau denger suara lo aja."

Gue bengong lantaran kurang memahami maksud kata-katanya itu. "Hah?"

Gue menangkap suara gerasak-gerusuk di seberang sana, ngeongan kucing sampe suara pintu yang dibuka dan ditutup kembali. "Elo lagi nggak di rumah, ya?"

Dia pasti bisa tau karena suasana di jalanan sini lumayan berisik. "Iya. Gue lagi nyari angin."

"Di mana elo sekarang?"

Mata gue menyisir ke segala arah yang dapat dipandang. "Euh, di deket gerbang masuk sekitar komplek. Kena--"

"Oke. Gue ke sana sekarang. Lo tungguin gue, jangan ke mana-mana."

Sambungan terputus begitu aja padahal gue belum sempat memberi respons atau berpikir. Yang gue mengerti hanya mengenai si Juanda yang berniat datang kemari. Dia ... mau ketemu sama gue. Si bangsat itu masih bersedia nyamperin gue sementara ngebalas chat gue aja dia nggak sudi. Entah harus senang atau sedih deh gue di sini. Yang terpenting gue nurutin dulu apa kata dialah.

Namun, meski udah lewat setengah jam sejak teleponnya selesai, si Juanda belum juga keliatan batang hidungnya. Dia serius nggak sih nyuruh gue nunggu? Apa jangan-jangan dia cuma ngerjain gue sebab sebenarnya masih ngerasa jengkel?

Gue berkacak pinggang. Menghela napas lesu dengan perasaan runyam yang bukannya berkurang, yang ada justru semakin menjadi-jadi. Emang udah nasib. Mendingan gue pulang terus tidur. Daripada diem kelamaan di sini sambil diserbu nyamuk.

Gue bersiap membalikkan badan ketika suara klakson kendaraan terdengar dari belakang. Gue menengok, lantas tertegun mendapati sosok Juanda tengah duduk di atas motor dengan lampunya yang menyorot tepat ke arah gue.

"Lo mau ke mana? Bukannya gue nyuruh lo nunggu di sini," ujarnya selepas membuka helm dan mematikan mesin motor.

Langkah gue secara perlahan membawa gue mendekat ke posisinya. Mempertemukan kedua mata kami seperkian detik, yang cukup bikin gue merasa lebih baik. "Gue kira, lo nggak bakalan dateng." Gue menunduk, memandangi standar motor si Juanda yang belum diturunkan. "Gue pikir, lo nggak mau ketemu sama gue lagi." Mata gue mendadak perih. "Gue pikir elo marah ke gue."

Juanda gue dengar menghela napas panjang. "Ya, emang."

Gue meringis mendengar jawaban blak-blakan darinya. Ternyata dia beneran kesel. Duh, mampus gue.

"Gue marah karena elo bikin gue nggak tau harus gimana lagi supaya mampu menyadarkan elo dari segala kebegoan yang ada di kepala kecil lo itu." Dia menekan-nekan dahi gue menggunakan telunjuknya, bikin gue merintih tertahan. "But, whatever. Selama gue masih bisa ketemu dan ngobrol sama elo gini, nggak ada yang perlu gue pusingin kayaknya," terusnya yang setelah itu mengambil helm lain yang dia bawa lantas disodorkan ke gue. "Tutupin deh ekspresi muram di wajah lo pake helm ini. Gue udah nggak tahan lagi ngeliatnya."

Ah, kampret. Keliatan jelas ya emangnya? "Eum, sorry." Gue lalu mengenakan helm yang memiliki aroma lemon ini. "Kita mau ke mana?"

Pertanyaan gue dibalas gerakan bahu Juanda yang dinaikkan dua kali. "Ke mana aja asal bisa ngilangin tampang menyedihkan elo itu." Dia melirik gue. "Cepetan naik. Lo nunggu apa lagi?"

Gue meneguk ludah. Bergerak menuju boncengan motor yang segera gue duduki. Aih, de javu jadinya. Mana detak jantung gue masih nggak bisa dibawa nyantai setiap deket-deketan gini sama si Bangsat.

Mesin motor dinyalakan kembali. "Lo pegangan yang kenceng, gue mau ngebut."

"Hah?"

Respons bloon gue keluar bertepatan dengan terlonjaknya motor si Juanda begitu mulai dilajukan. Refleks aja gue ngelingkarin kedua tangan ke depan perutnya. Nempelin dada gue yang sedang berisik langsung ke punggungnya yang wangi, bahkan ngebuat helm kami sempet bertubrukan.

Anjrit. Mampus. Gila. Kacau.

Gue risih, akan tetapi gue nggak pengin narik tangan gue kembali ke sini. Ah, mesti gimana coba? Si Juandanya juga kenapa sih diem aja? Bukannya nepis atau ngelepas pegangan gue, kek. Kan keliatan aneh andai ada cowok yang lagi ngebonceng tapinya pegangan ke sesama cowok lain.

Ketika kecepatan motor yang kami naiki semakin berkurang, gue perlahan-lahan berusaha menarik tangan gue dari depan. Sialnya, si Bangsat malahan turun tangan menahan. Bikin gue jadi kesulitan bergerak.

"It's okay. Lo bebas kok pegangan sama gue selama apa pun. Gak usah dilepas. Gue gak keberatan."

Muka gue mendadak kepanasan di balik helm. Jantung gue pun kayaknya nyaris melompat keluar saking terkejut. Si Bangsat kodok. Sadar nggak sih kata-kata yang barusan lo ucapin bikin gue tambah baper nggak keruan di sini? Arrrghhh!

Tetap, gue nurutin apa katanya. Berpegangan pada Juanda selama duduk di boncengan. Menikmati perjalanan berduaan dengannya selaku gebetan, ditemani senyuman yang seolah-olah nggak mau luntur dari bibir gue. Ternyata dapat perhatian dari orang yang lo sayang meskipun hanya sedikit, efeknya bisa seluar biasa ini.

Semoga motor yang tengah gue naiki ini nggak akan cepet-cepet berhenti. Seenggaknya, jangan dulu berhenti sebelum gue puas meluk pengendaranya dari belakang sini.

Anjir. Norak banget, deh. Gak di mana-mana orang yang dimabuk cinta tuh norak. Dasar gue.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top