15. Pemajuan
Sejak hari itu, gue sama Juanda jadi semakin sering chatting-an via WhatsApp. Nggak disangka aja cowok keren kayak dia mau-maunya kepo soal gue. Nanyain kegiatan sehari-hari gue gimana, makanan favorit gue apa, kalo di rumah kerjaan gue ngapain aja, sampe makanan yang mau banget gue makan aja menarik rasa penasaran dia. Kalo udah nggak tau pengin ngebahas apa, dia bakalan nelepon terus bilang bahwa gak ada hal menarik lagi yang mau dia tanyain soal gue.
Kesel? Jelas. Cuma berhubung gue mulai terbiasa dengan sifat bangsatnya, ya gue terima-terima aja. Toh, ini bisa dianggap sebagai kemajuan dalam hubungan kami. Seenggaknya gue jadi tau lebih sedikit hal lain mengenai Juanda. Terutama kegiatannya sehari-hari yang menurut gue sangat terlalu berfaedah.
Belajar.
Di luar dugaan cowok yang udah pintar dan keren ternyata masih ada kemauan untuk belajar. Gue pikir kepintaran mereka itu udah numbuh dari sananya. Jadi saat dibutuhkan akan muncul gitu aja, lalu membantu mengatasi segala persoalan yang datang. Macam gue gini, kan. Mana pernah gue belajar kalo nggak lagi terjepit keadaan darurat alias takut nggak bisa lulus. Hehehe.
Jangan dicontoh di rumah.
Namun, meski kedekatan gue dan Juanda udah mengalami pemajuan, di sekolah situasi di antara kami belum mengalami perubahan. Palingan si Setya aja yang tau lantaran gue yang cerita sendiri. Alhasil, ya dia jadi lebih sering ngeledek gue. Yang mana sama sekali nggak bikin gue seneng. Bahkan meski dia bilang bahwa gue sama si Bangsat makin akrab dan katanya ini pertanda baik.
Gak ada pertanda baik kalo faktanya Juanda udah punya orang yang dia suka ya, Bambang. Andaikan senang sebab gue jadi bisa kontakan sama dia nyaris setiap hari sih, ya gak perlu ditanya.
Sekarang aja gue lagi nunggu chat balasan dari si Juanda. Setiap hari mantengin foto profil WhatsApp dia yang berwujud seekor kucing oren yang menurut gue hasil nyomot dari Google. Gak pernah sekali pun gue ngeliat dia makek foto aslinya di situ. Lebih sering dianya yang secara kurang kerjaan ngirimin selfie ke gue. Maklumlah orang ganteng. Dia foto-foto pas baru bangun tidur juga pastinya tetap bakalan keliatan ganteng, jadi gak heran jika ini cowok PD parah. Lah kalo gue?
Pernah satu kali dia ngirimin chat tiba-tiba yang isinya;
[PAP?]
Gue kira dia salah ketik dan punya indra keenam. Soalnya waktu itu gue lagi BAB, kan.
Iya. Gue berak sambil bawa HP ke kamar mandi supaya nggak cuma fokus mikirin kapan tai gue keluar.
Gara-gara itu gue panik dong. Waduh. Si Juanda kok bisa tau gue lagi BAB. Mesti gue bales apa, nih? Diiyain, jelas malu-maluin. Jawab bohong, nambah kebusukan di sekitar gue selain dari aroma di lubang kloset. Duh, pening.
Sampai kemudian dia mengirim chat susulan;
[Maksud gue kirimin foto elo sekarang, Bego]
Anjir lebih parah lagi.
Untungnya gue bisa menghindari harus foto di atas kloset dengan alasan pas malem kamera HP burem kayak masa depan gue. Plong-lah, ya.
[Gue ada di deket gudang penyimpanan alat kebersihan. Di sini sepi. Lo cepetan ke sini]
Gue mengernyit sembari ngetik.
[Ngapain?]
[Lo ke sini sekarang atau gue yang datang ke kelas elo.]
Gue langsung berdiri dari kursi, mengambil langkah seribu lalu keluar dari kelas tanpa menghiraukan pandangan heran orang-orang.
Napas gue terengah-engah seraya celingukan ke kanan-kiri, memastikan di sini benar-benar sepi. Aman. Gak ada orang. Pintar juga ini cowok nyari lokasi ketemuan. Begitu tiba di sana, gue disambut Juanda yang tengah berdiri santai dengan memegang wadah bulat berwarna kuning di tangan. Apaan itu, ya? Jiwa rakus gue mendeteksi adanya makanan di dalam situ.
Tanpa basa-basi, si Bangsat menyodorkan wadah di tangannya ke gue. "For you."
Gue menerima sambil agak meneguk ludah. "Buat gue?"
Cowok yang gue ketahui tinggi badannya 175cm ini menatap gue malas. "Masa cuma for you aja lo nggak tau artinya apa?"
Gue terkekeh kikuk. "Boleh gue buka?"
Juanda mengangguk.
Tutupnya gue tarik pelan. Bikin jiwa rakus gue semakin liar ketika mendapati ada beberapa kue beraneka rasa pada gelas plastik kecil yang mengisi wadah ini. Waaa, mantul nih.
Gue menaruh wadah ke kursi beton lantas mengambil satu gelas kue dengan banyak taburan bintik coklat di atasnya beserta satu sendok. Tanpa bertanya lagi, gue langsung menyicipi kue yang memiliki perpaduan rasa vanila, blueberry dan juga coklat ini. Dan ternyata, asli enak gila. Teksturnya lembut bikin maknyus banget sewaktu ditelan. Nyium aromanya aja bisa sukses netesin liur. Mana manis kuenya pas banget pula di mulut gue.
Gue menggumam keenakan. "Anjir. Elo dapat dari mana ini kue? Mantap bener rasanya. Kayaknya ini kue paling enak yang pernah gue cicipin," ujar gue pada si Juanda yang cuma diam memperhatikan.
Kalo dilihat-lihat, ini kue harganya pasti mahal. Mungkin setara harga kipas angin di kamar gue. Duh, sayang banget. Andai beneran mahal, dijual lagi bakalan balik untung banyak, kan? Duit semua ini. Duit. Gue mana sanggup beli makanan model begini.
Namun, pemikiran itu sontak sirna setelah si Bangsat menyuarakan jawaban, "Itu kue bikinan gue sendiri."
Gue nyaris nelen sendok yang gue pegang. Mata gue mendelik. "Hah?" Menatap bergantian pada cowok di depan gue dengan kue di tangan. "Ini, buatan elo? Serius? Elo? Kue ini?" balas gue yang ngerasa nggak percaya.
Kedua alis tebalnya naik. "Kenapa emangnya? Aneh ya kalo ada cowok bisa bikin kue?"
Gue menggeleng cepat. "Bukan aneh, lebih ke-nggakdisangka aja. Ditilik dari sisi mana pun, nggak keliatan gitu lo ini tipe cowok yang bisa bikin kue."
Dia berdeham. "Gue suka masak, sih."
Gue tercengang.
"Itu salah satu hobi utama gue. Bereksperimen nyiptain berbagai menu dan rasa baru pada makanan," terangnya seraya memperbaiki letak gelas mungil di wadah supaya lebih rapi.
Gue cuma mampu mandang si Juanda dalam diem selama beberapa detik sebelum berkomentar, "Wow."
Sedangkan batin gue histeris gak keruan. Emang dasar ini cowok kerennya nggak nyantai. Cakepnya jadi nambah kan di mata gue. Sial. Idaman banget deh si bangsat satu ini. Cowok idaman gue banget. Gue jadinya mau nyicipin semua masakan dia kan sekarang. Arrgghh! Tapi alih-alih gue, dia pasti bakalan lebih memilih gebetannya untuk mencoba semua makanan hasil olahannya.
Loh, iya juga. "Kenapa kue ini malah elo kasih ke gue?"
Juanda menoleh ke gue dengan kernyitan di dahi. "Emang kenapa?"
Gue bersiap mengatakan hal yang gak seharusnya diucapin. "Maksud gue, gebetan lo gimana? Bukannya elo lebih pantes ngasih ini ke dia ya daripada gue? Sebagai salah satu bentuk penarik perhatian."
Cowok bangsat ini tampak keheranan memandangi gue sebelum tiba-tiba dia mengusap wajahnya sendiri, keliatan capek entah kenapa. "Is there no limit for your foolishness? God. Help me."
Yee, dia malah bikin bingung. Help itu artinya tolong, kan? Ngapain dia pake bilang tolong segala?
Juanda berdecak keras. "Andaikan gue minta lo nyicipin ini semua buat ngetes apakah gebetan gue bakalan suka atau nggak ke kue buatan gue, menurut lo gimana?"
Oke. Penuturannya itu sukses menghilangkan seluruh jiwa rakus yang terkumpul di tubuh gue. Mau nggak mau gue menaruh kembali kue dan sendok di tangan ke wadah, setelah itu menutupnya. Kemudian gue memberikan dua jempol ke arah si Juanda.
"Gue yakin gebetan lo pasti suka. Kue buatan elo beneran enak soalnya. Hehehe."
Anjir. Gue sok berlagak ketawa padahal hati gue sekarang lagi ngerasain sakit yang nggak bisa diungkapin pake kata-kata. Karena secara nggak langsung si Juanda ini manfaatin gue sebagai bahan percobaan sebelum memastikan perasaan gebetannya sendiri? SEDIH KAMPREEEET. Dia beneran nggak bisa peka atau mikirin perasaan gue sedikit aja gitu?
Ah, sial. Bahkan sekarang mata gue mendadak ikutan perih.
Gue berdeham, berusaha menahan gejolak emosi yang seakan siap meledak. "Lo kasih aja ke gebetan lo, gue yakin dia nanti suka," ucap gue lalu meneruskan, "Andaikan gebetan gue pinter masak dan ngasih gue kue bikinannya sendiri, gue juga pasti bakalan seneng soalnya." Gue memaksakan cengiran begitu selesai berbasa-basi.
Namun, Juanda justru bereaksi sebaliknya. Seusai mendengar perkataan gue tadi, raut di wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang kentara yang baru pertama kali ini gue lihat. Serem anjir. Gue tadi ada salah ngomong atau gimana? Kenapa dia sekarang natap gue seolah-olah dia berniat memakan gue hidup-hidup, hah?
Dia melangkah mendekat, tapi refleks gue menahannya supaya berhenti lantas mendorong dia menjauh. Perasaan sedih tadi digantikan ketakutan serta kekhawatiran akibat mood si Bangsat yang mendadak berubah nggak keruan. Jantung gue bahkan deg-degan kencang sampe bikin sesak.
"Elo kenapa malah kayak yang marah, sih? Emang ada yang salah sama kata-kata gue?"
Juanda tersengih sembari mendengkus kasar. Dia membalikkan badan, mengambil wadah kue yang tahu-tahu dibantingnya sekuat tenaga ke lantai. Jelas aja gue terkesiap, shock. Wadahnya kini pecah, membuat semua kue di dalamnya berhamburan mengotori lantai. Nggak bisa lagi dimakan.
Baru hendak menyuarakan protes saat si Bangsa curut ini tahu-tahu menarik kerah seragam gue, membawa wajah gue mendekat ke mukanya yang dipenuhi gurat kemarahan. Akan tetapi nggak lama, gurat itu berganti menjadi getir.
"If only you know about how much I fucking want you. Only you," ungkapnya yang sama sekali nggak bisa gue cerna atau pahami. "Damn!"
Kerah seragam gue dilepas, setelah itu Juanda berjalan pergi. Meninggalkan gue yang berusaha mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya lantaran tadi merupakan salah satu pengalaman paling menegangkan yang pernah gue hadapi. Meneguk ludah secara susah payah, gue kemudian berjongkok saking lemas. Meratapi kue-kue enak buatan si Bangsat yang sekarang jadi kebuang sia-sia.
"Kalo aja elo tau betapa seneng bangetnya gue karena bisa nyicipin kue buatan lo, Bangsat."
Lagian, ada apa sama dia, sih? Marah lalu berganti memasang tampang bagai orang paling malang di dunia kayak tadi. Apakah gue ada salah sama dia?
Gue menghela napas lesu.
Haruskah gue minta maaf nanti supaya pemajuan yang terjalin di antara kami nggak akan terhenti sampai di sini? Gue beneran takut. Nggak mau andai karena kejadian ini si Juanda nanti malah jadi benci ke gue.
Ah, dasar perasaan sialan. Kerjaannya malah bikin gue sakit hati dan kacau terus-terusan. Nggak boleh apa gue mengharapkan bahagia untuk cinta pertama gue ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top