9
Kami semua berdelapan, sudah termasuk aku, Sri, juga Dilla.
Aku tidak menyarankan membawa senter (dengan alasan karangan bahwa setan tidak mau keluar kalau banyak cahaya), semata berharap agar mereka langsung lari ketakutan begitu mendengar suara-suara aneh.
Aku sudah mencoba mengatakan segalanya agar mereka tidak berangkat. Namun, tetap saja mereka memaksa. Sri cuma sedikit mengompori (yang memperkuat dugaanku bahwa dia betulan takut).
Saat itu, Dilla berkata, "Nggak apa-apa kamu nggak ikut, tapi kita tetep berangkat. Kalau nggak gitu, aku bakal mati penasaran kali," Aku agak merasa sakit hati karena kukira dia yang suungguhan ada di pihakku malah menentangku.
Aku sudah berangkat sejam lebih awal dari yang dijanjikan agar setidaknya bisa memperingatkan Wil, memintanya untuk mengabaikan mereka saja. Namun, mereka semua tampaknya amat antusias. Mereka sudah sampai di depan gang ketika aku sampai, cuma tinggal menunggu Sri saja.
Kini aku tak dapat mencegah mereka. Aku hanya bisa berdoa dalam hati supaya Wil makin kreatif menciptakan suara-suara menakutkan itu.
Setelah sesi menunggu yang terasa bagai berjam-jam, suara itu akhirnya muncul. Petok pelan seekor ayam. Anehnya, aku agak paham maksudnya. Nada suaranya seakan bertanya, bingung apa yang terjadi. Kemudian suara itu meninggi dan makin keras, seperti sedang memanggil temannya.
Teman-temanku sudah mulai menoleh-noleh gelisah, ingin melihat apa yang akal sehat mereka munculkan, tapi tak ada ayam satu pun di dekat-dekat sini.
Ayo dong, Wil. Masih kurang.
Terdengar suara seperti dua batangan besi kecil yang beradu, kering dan nyaring. Suara ting bel sepeda. Kemudian kring-kring. Sementara itu, suara ayam makin keras. Dan ... aku bersumpah mendengar seruan ayam yang terburu-buru, persis seperti saat mereka hendak menyebrang-dan-tertabrak.
Lalu akhirnya ada suara seperti kayu yang ditancapkan ke tanah basah. Kini aku tahu suara apa itu sebenarnya. Pisau yang menusuk daging makhluk yang masih hidup. Atau ayam yang tertimpa sesuatu yang jauh lebih berat dari tubuhnya sendiri.
Oke. Aku mulai ketakutan sekarang. Tanganku gemetar dan napasku memburu dan jantungku berdebar terlalu keras.
Sialnya, ini masih belum cukup untuk teman-temanku. Dilla masih menganalisis dengan Sri merengek dan menggelayut di lengannya, mengajak pulang. Sementara itu, yang lain masih fokus mendengarkan.
Sedetik kemudian, mereka ketakutan. Sri yang mengatakannya dengan paling jelas. "UDAH! STOP! Aku nggak mau dipanggil-panggil pake bahasa ayam!" Beberapa detik berikutnya dia habiskan dengan melarikan diri sambil tersandung-sandung.
Kami semua bertatapan. Kini tinggal tujuh. Ayolah, mereka semua tidak ingin kabur, apa? Aku yang sudah tau lebih banyak soal ini saja ingin segera pulang.
Terdengar satu lolongan panjang seekor ayam yang panik, kemudian hening. Oh, tidak. Ini bakal jadi mengerikan. Hening adalah sirine yang menandakan waktunya kabur, setidaknya itu berlaku untuk ancaman bahaya berupa Wil.
"Guys, pulang aja, yuk. Ngeri tau kalau tiba-tiba sepi begini," aku sungguhan memohon.
"Nggak ah, udah sejauh ini. Sebentar lagi juga dia bakal muncul," Dilla berkata.
"Iya tuh, nanggung," yang lain membeo.
Aku menatap mereka dengan tidak percaya, tapi segera membeku ketika mulai melihat sulur hijau gelap di tanah. Yang lain juga menyadari, karena mereka mulai saling berpegangan. Aku menahan napas.
Sulur itu seolah mengisi suatu cetakan dari bawah ke atas, membentuk sesosok ayam. Yang. Amat. Besar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top