8


Berapa orang sih di antara kalian yang pernah mendengar nama Wilis? Berapa orang di dunia yang mau menamai anaknya Wilis?

Bagaimana bisa dalam jarak sekitar seratus meter dari rumahku ada orang yang namanya Wilis juga, sama sepertiku? Sesempit apa sih, dunia ini?!

"Ati-ati ada lalat masuk."

Tersadar, aku menggeleng pelan dan menutup mulut. "Kok namamu bisa Wilis, sih?!"

Cowok hijau itu terlihat mengerutkan kening. "Lah, ya nggak tau. Kok sewot? Emang kenapa kalau namaku Wilis?"

"Itu kan nama perempuan!"

"Siapa bilang? Aku laki dan namaku Wilis. Lagian hijau itu netral, tau!"

Sial. Dia membuka kartu soal arti nama pula. "Tapi Wilis itu namaku!"

Sekarang giliran dia yang menganga. Kami terdiam selama beberapa detik, sambil memelototi satu sama lain.

"Dunia itu sempit."

Kami berdua tertawa (sumpah, suara tawanya seperi cowok normal, sama sekali tidak mirip setan).

Tebaklah, siapa yang barusan bicara?

"Kosa kata kita juga sempit ternyata," dia terkekeh. 

Kami bicara bersamaan.

"Gimana kalau kamu kupanggil Lis aja?"

"Oke, Wil." Kami terkekeh lagi.

Kemudian kami—susah dipercaya, tapi kenyataannya memang begitu—mengobrol panjang lebar soal hal-hal remeh. Aku bahkan bercerita tentang Sri. Ketika kutanya tentang bagaimana rasanya menjadi setan, dia menjawab dengan santai. Saking santainya, aku sampai duduk bersila dengan amat nyaman di tanah.

Dan aku memperhatikannya: tiap mimik wajahnya (masih agak sulit diterima bahwa setan punya mimik), gema dan nada suaranya, tawanya, dengusannya (waktu aku bertanya soal ini, dia menjawab, "Susah menghilangkan kebiasaan waktu masih hidup."), serta pendar hijau yang memenuhi tubuhnya.

Asal dia tidak berubah jadi ayam, rasanya aku baik-baik saja. Senang, bahkan.

***

"Itu bisa aja cuma editan."

Saat ini aku betulan ingin menonjok wajahnya. Tapi seperti biasa, aku menahan diri, mengendalikan emosi.

Kupasang senyum selebar mungkin. "Terus aku harus gimana biar kamu percaya, Sriii?"

Lawan bicaraku merengut karena panggilan "Sri" tersebut, tapi diam saja. Aku merasa lumayan puas. Akhirnya aku bisa membuat seorang Sri kehilangan kata-kata.

Tapi Dilla merusak suasana. "Gimana kalau kamu ajak kita ke sana? Biar kita semua percaya." Dia menaik-turunkan alis, senyum simpul terukir di wajah. Keplanya mengendik pada Sri yang masih diam.

Aku tidak begitu mengerti maksudnya, tapi isyarat itu jelas menunjukkan bahwa dia juga ingin Sri diam dan berhenti membantah. Aku amat ingin menurutinya, senang karena sekali ini ada yang mendukungku menentang Sri.

Oh, sepertinya aku lupa cerita soal foto itu pada kalian, ya?

Jadi semalam, saat Wil mulai mengingatkanku soal sekolah dan betapa aku harus segera pulang, aku meminta izin untuk memotretnya. Dia menolak, tentu saja, dengan alasan, "Nanti mereka pada datang ke sini rame-rame. Terus pada manggil paranormal buat ngusir aku, katanya aku roh jahatlah, setan terkutuklah, penghasut. Padahal kan aku baik. Nggak ah, makasih. Udah cukup kamu aja yang ganggu aku."

Aku tahu kalimat teakhirnya cuma bercanda, maka aku membujuknya lagi, berjanji tak akan ada gerombolan manusia yang menemuinya. Bahwa aku hanya ingin mereka percaya (serta sedikit menampar Sri dengan kata-kata, kalau bisa).

Kubujuk dia sampai mau. Dan inilah yang kudapat: potret wajahku yang ketakutan (acting, tentunya) serta siluet kehijauan yang berpendar di belakang. Kamera ponselku sebenarnya cukup bagus, tapi bentuk siluet hijau itu tetap saja samar, cuma berupa sosok tinggi tidak jelas.

Sekarang aku harus memilih: menepati janji pada siluet hijau tidak jelas atau menunjukkan pada orang-orang ini bahwa ceritaku benar adanya.

Silakan tampar aku supaya pikiran ini segera tercerahkan.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top