3
Kusarankan pada kalian: kalau kalian punya dendam atau trauma tertentu terhadap ayam, sebaiknya jangan terima tantangan apa pun untuk alasan apa pun yang melibatkan ayam.
Yah, saranku di atas amat tidak berguna untukku karena aku terlanjur melakukan yang sebaliknya.
Dan sekarang, ketika aku berdiri di jalanan sempit Giok yang gelap, aku ketakutan.
Sungguh, ini adalah adegan berbahaya yang cuma bisa dilakukan oleh seorang professional (baca: orang yang tidak punya masalah dengan mitos setan ataupun ayam).
***
Aku ingat diriku menjerit, lalu seorang cewek protes karena aku membuatnya terjatuh, lalu tahu-tahu aku sudah ada di kamar mandi.
Apa pun—apa pun—kecuali ayam yang duduk dengan nyamannya di pundakku.
Kemudian aku tersadar kalau yang menyentuh pundakku tadi tidak mungkin ayam. Tak ada ayam di sekolah, bahkan bulunya sekali pun.
Mereka masih menyisakan sedikit tawa ketika aku kembali ke kelas.
"Iya!" Sudah jelas siapa yang berteriak. "Jerit sama larinya persis kayak Wilis tadi! Ya ampun dia beneran ketakutan sama ceritaku." Mereka semua tertawa lagi. Yang mengerubungi meja Sri sudah tidak sebanyak tadi, tapi tetap saja ramai dan membuat wajahku panas.
Aku merengut, mengempaskan diri ke kursi—yang sayangnya—di sebalah Sri (bukan mauku, tempat duduk kami murni diatur oleh wali kelas). "Aku cuma kaget! Tadi ada yang pegang-pegang leherku. Kalau kamu yang digituin juga pasti kaget, lah!"
"Itu tadi kan cuma rambutku," ucap Dilla, temanku yang rambutnya panjang dan hampir selalu dikepang. "Nggak usah sekaget itu juga kali."
"Kalau emang takut ya nggak usah ikut dengerin kali, Lis. Nggak apa-apa, elah, nggak ada yang ngelarang." Fakta bahwa Sri benar makin membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan lakban.
"Aku nggak takut, Sri. Cuma—"
"Namaku Sari! Udah berapa juta kali sih, aku bilang itu ke kamu?"
Aku nyengir. "Sri lebih enak diucapin."
Sri mendengus, bergumam, "Sok-sokan banget berani manggil aku Sri, padahal waktu denger cerita setan ijo aja langsung jejeritan nggak keruan."
Kali ini aku cukup terpancing. "Sri, udah deh lupain aja! Aku cuma kaget. Nggak percaya? Aku berani kok, datang ke tempat itu malem-malem!"
Semua orang memandang ke arahku. Bodoh. Aku begitu mudah terpancing sampai tidak berpikir dulu sebelum bicara. Kenapa sih, aku tidak mengaku saja kalau aku takut?
Takut sama ayam. Malu, dong.
Iya, Otak, iya. Aku tahu, jangan diingatkan.
"Beneran? Kamu bakal mau jalan-jalan tengah malem ke Giok? Yang deket banget sama Gunung Kapur itu?"
Aku diam sejenak. Masih ada jalan buat mundur. Ayo, ayolah, Otak! Berpikirlah rasional kali ini!
Semua mata menatapku; Sri memasang senyum sinis, bahkan Dilla pun menatapku berharap meski masih terlihat santai.
"Iyalah!"
"Terus gimana kita tahu kamu beneran udah ke sana atau enggak?"
"Kamu bisa ikut. Kalau perlu, nanti setannya kuajak selfie sekalian!"
Sri tersenyum puas. Sial. Ini pasti persis seperti yang dia inginkan. "Kamis malam, oke. Kutunggu di depan masjid deket situ jam sebelas."
Aku melotot, hendak sedikit memprotes. Namun, Pak Panca guru tercinta kami sudah masuk kelas dan mengucap salam. Yang lain buru-buru kembali ke tempat asal.
Terkutuklah mulut dan ego sialanku. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Aku cuma bisa berharap kalau setan itu tidak berbentuk apa pun yang berhubungan dengan ayam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top