14
Seorang cowok yang mati dimutilasi itu terikat oleh emosi. Dia penasaran, sedih, serta sakit hati, mempertanyakan apa yang terjadi padanya. Dia tak bisa percaya ayahnya sendiri tega melakukan itu.
Setelah cukup lama tinggal dalam heningnya Gunung Kapur, amarah menguasainya. Bagaimanapun, dimutilasi karena membunuh ayam itu tidak adil. Jadi dia datang ke pemukiman, menghantui sang ayah yang rupanya masih tinggal di sana bersama peternakan ayamnya. Dia mengamuk, mengacaukan pikiran ayahnya hingga pada suatu titik di mana pria itu telah benar-benar frustasi dan menganggap dirinya gila, dia memotong urat nadi di tangannya menggunakan pisau jagal ayam.
Si cowok sedikit merasa senang sebelum hancur. Dia memutuskan untuk kembali ke Gunung Kapur, berusaha menjauh dari orang-orang yang juga menjauhinya, meski kadang harus tetap berpapasan dengan manusia-manusia hidup yang agak bandel.
Tubuhku menegang sepanjang cerita. Itu menyentuh, jelas, membuatku ikut merasa sedih. Tapi itu juga membuatku takut. Astaga, cowok hijau ini betulan bakal membuatku membunuh diri sendiri kalau mau.
Eh, tapi sejauh ini dia belum melakukannya, kan?
Aku menyugesti diri bahwa itu pasti benar, bahwa kalau dia tidak sedang mengacaukan pikiranku dan ingin aku mati.
Tapi dia mengaduk-aduk perasaanku dengan ceritanya, kan? Apa itu bukan termasuk usahanya untuk membunuhku?
"Aku tau kamu lagi mikir apa." Dia memandangku, perutku melilit kala melihat kesuraman dan kepedihan di matanya. "Tapi aku udah belajar. Balas dendam nggak pernah ngasih aku apa-apa kecuali rasa bersalah."
Aku menghela napas, berusaha mengabaikan fakta bahwa tebakannya benar. "Jadi ... begini alam setelah mati? Kamu cuma bisa jalan-jalan pakai warna kaya lampu neon sambil nakut-nakutin orang, gitu? Apa semua yang mati bakal begitu? Jadi nggak ada surga atau neraka."
Wil tersenyum kecil. "Yah, cuma yang terikat sama emosi yang jadi setan kaya aku gini. Sebagian besar yang lain jalannya lurus, langsung ke alam lain yang betulan terpisah sama dunia ini. Kata setan-setan yang lebih senior sih, gitu."
Tenggorokanku kering ketika berkata, "Terus caranya biar jalanmu lurus juga, gimana?"
Wil membuang muka. "Nggak tau. Nggak pernah ada yang pasti." Dia mengayun kakinya, seolah sedan menendang kerikil. Tentu saja hanya menembus.
Tapi aku mulai menebak-nebak, yang mana membuatku makin khawatir dengan perut serasa dipilin.
Aku memperhatikan Wil. Cahaya hijaunya yang memudar, mata suram, serta gradasi warna hijau itu.
Aku punya ide, rencana, tapi aku sama sekali tidak ingin melakukan ini. Tapi melihat wajahnya membuatku tahu bahwa ini memang harus dilakukan.
"Aku mau pulang, Wil," ucapku setelah diam yang amat panjang.
"Ayo, kuantar sampai bawah." Telapak tangannya menembus tanganku lagi. Aku kembali merasa sedih soal ini: mati tapi hidup, hidup tapi mati.
Namun, sesaat kemudian kami bertatapan dan tertawa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top