13


Perutku agak melilit ketika mendengar kata "mati" meski aku sudah sering menyebutnya dalam hati. "Emangnya matimu gimana? Dipatok ayam?" Ekspresinya tidak berubah, kemudian aku sadar omonganku agak keterlaluan dan amat tidak sopan. "Ma-maaf, nggak bermaksud gitu. Aku ... eh—nganu. Nggak usah dijawab, deh."

Aku mendengar tawa sedihnya. Wil bangkit, sedikit pendar hijaunya menyapu tanganku. Wajahnya terlihat sedih, kemudian kusadari bahwa untuk sesaat dia melupakan sesuatu. Dia ingin mengajakku berdiri, menarik tanganku. Tapi dia tidak bisa menyentuhku. Dia tak bisa menyentuh segala hal yang berasal dari dunia yang berbeda.

Aku ersimpati untuknya. Ikut berdiri, aku bertanya,"Mau ke mana?"

"Aku mau kamu melihat sesuatu." Wil menatap kegelapan gua di hadapannya, lalu berpaling padaku. "Tapi jangan takut, ya? Jangan panik. Kalau mau langsung kabur hati-hati, nanti jatuh."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Aku nggak bakal lari."

Kami berjalan lebih dalam ke gua. Pendar Wil menerangi tembok batu di sisi samping. Beberapa langkah kemudian, ujung gua terlihat, cahaya kehijauan memantul di temboknya.

Yang membuatku syok adalah apa yang ada di bawah. Aku mundur beberapa langkah, jeritan tertahan melesat ke luar mulutku.

Kerangka. Kerangka manusia.

Setengahnya sudah terkubur di tanah, sisanya terlihat lapuk seolah sudah ada di sana selama ratusan tahun. Yang aneh adalah bahwa kerangka itu tidak utuh. Tulang rusuk dan dadanya tepat di depan kakiku, tengkoraknya sekitar semester di kanannya ditemani dengan tulang-tulang pendek yang kurasa adalah jari dan telapak tangan. Tulang-tulang panjang berserakan di mana-mana. Seolah-olah mayat ini dimutilasi dan dibuang sembarangan ke ujung gua.

Aku menutup mulut, masih teramat kaget. Siapa yang tega melakukan hal seperti itu?

Wil berdiri di depanku, memenuhi jarak pandang dengan warna hijau. "Ayo keluar. Makin lama di sini cuma bakal bikin kamu makin takut."

Aku menatapnya, jauh lebih dalam daripada yang pernah kulakukan.. Otakku mulai mencoba menghubungkan segalanya. Wil. Setan. Ayam. Kerangka.

"Itu kamu. Begitulah caramu mati." Suaraku tak lebih keras dari bisikan.

Sejuta emosi yang terpancar di matanya membuat tanganku bergetar. Aku ingin menyentuhnya, ingin meredakan pusaran emosi itu, tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Berkebalikan dengan matanya, suaranya terdengar amat lembut. "Ayo keluar." Dia melayang menembusku.

Aku berusaha mengendalikan diriku sendiri dan mengikutinya keluar. Kami berdiri di depan gua, mengamati jalanan Giok di tengah malam yang tampak mati lebih dari orang mati di dekatku.

"Umurku 16 waktu itu. Ayahku dulu peternak ayam di ujung jalan ini. Aku lagi mau nganterin pesanan ayam potong buat orang di Jalan Pancawarna, naik motor. Aku buru-buru banget, dan nggak sengaja ngelindas ayam kesayangan Ayah—tahu kan, kelakuan ayam kalau mau nyeberang? Aku takut. Ayahku suka marah-marah kapan aja dia bisa, apalagi kalau aku salah. Aku takut ketahuan. Jadi kusembelih sekalian aja ayam itu sebelum betulan mati."

Sambil menyimak ceritanya, aku berusaha menetralkan napas. Aku mulai menebak ... tapi rasanya tidak mungkin benar. Terlalu tidak masuk akal.

"Aku ... juga nggak percaya. Tapi itu betulan terjadi. Besok paginya ayahku tau. Aku nggak bisa bohong. Tapi waktu itu dia nggak marah-marah. Dia cuma nyeret aku ke ke kamar ... terus mukulin aku habis-habisan. Aku dikurung seharian. Malamnya dia balik lagi. Bawa pisau jagal. Terus ... terus ...."

Suaranya menghilang. Aku tidak terkejut ketika melihat wajahnya dihiasi kilau yang lebih terang, menganak sungai dari matanya, seolah sistem-sistem tubuhnya benar-benar masih berfungsi. Kali ini aku betulan ingin memeluknya, tapi yang bisa terjadi hanyalah jatuhnya air mataku sendiri.

"Aku nggak tau ayah bisa setega itu, segila itu. Atau dia emang nggak pernah sayang aku ... dia selalu begitu sejak Bunda meninggal ...."

"Udah. Stop. Jangan diterusin." Aku tidak akan sanggup mendengar lebih banyak lagi.

Sayangnya, kisah itu masih ada lanjutannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top