12
Seperempat otakku menolak, tapi aku menemukan sisanya menurut, memercayai Wil. Seperempat yang menolak tersebut bersiaga, member sugesti bahwa aku harus waspada, tidak terlalu mengambil hati akan tiap perkataan Wil, dan menilai sekitar kalau-kalau harus kabur.
Wil menuntunku ke arah Gunung Kapur, mencarikan jalan yang cukup landai untukku lewat. Aku tidak bisa menahan diri ketika hampir terpeleset. Kucengkeram rerumputan di samping sekenanya hingga tanganku lecet.
Kalau dia mau aku mengikutinya dengan selamat, sebaiknya dia tidak terlalu jauh dariku agar ada sedikit cahaya dari pendar hijau tubuhnya. "Mau ke mana sih, Wil? Kalau mau bunuh aku cepetan, kali."
Napasku terengah, masih mencengkeram rumput sekaligus meremas-remasnya untuk sedikit melampiasan emosi. Beberapa langkah yang sulit kemudian, Wil terlihat. Dia berhenti,tapi kembali berjalan (melayang sebenarnya, karena kakinya beberapa senti di atas tanah) ketika melihatku.
Jalanan jadi semakin mudah ketika kami sampai di atas dan tak lama kemudian aku melihat gua.
Refleks, aku berhenti. Jangan-jangan ini gua yang sering dibicarakan orang itu? Gua angker di sisi terjal Gunung Kapur?
Lalu aku tersadar. Apa artinya angker sekarang? Aku sudah melihat dan mengobrol dengan setan. Memang ada yang lebih buruk lagi?
Ada yang terasa mengganjal pada diriku, tapi kuteguhkan langkah dan mengikuti Wil masuk ke gua tersebut. Aku sudah memutuskan untuk percaya. Lagipula aku penasaran apa yang dia ingin lakukan di sana, sambil mengajakku pula.
"Jangan masuk terlalu dalam," suara Wil bergema. Aku bergeming di ambang gua, menatap kerlipan hijau jauh di dalam sana.
"Kenapa?" Mau tak mau aku menjadi risau.
Wil mendekatiku, dan dapt kulihat wajahnya masihs emurung tadi. "Pemandangannya jelek."
"Terus ngapain ke sini?"
Kaki setan itu memudar, tubuhnya jatuh, yang kemudian langsung ditopang kembali oleh dua kaki yang tahu-tahu sudah bersila. "Duduk sini aja."
Aku mengerutkan kening, tapi menurutinya. "Kalau boleh, aku mau tanya kenapa kamu bawa aku ke sini."
Dia tersenyum tipis. "Pengen curhat."
Sedetik aku menatapnya datar, detik berikutnya aku tertawa. "Aku betulan baru tau kalau ada setan yang pengen curhat."
Raut murungnya kembali lagi. "Sekalian interogasi kamu juga, soal yang tadi."
Tawaku terhenti. Seiring dengan jantung yang mencelus, mulutku berkata, "Oke."
Wil terlihat menarik napas sebelum berkata, "Aku percaya sama omonganmu."
Napasku tertahan, keningku berkerut. Aku ingin bertanya kenapa, tapi tidak ada yang keluar.
"Kamu itu bertanggung jawab, Lis. Aku tahu. Kamu nggak bakal pergi dari apa yang udah kamu mulai. Kamu nggak bakal ingkar janji kecuali itu emang betulan di luar kuasamu. Tapi kamu juga agak ceroboh." Dia mendengus dan menggeleng-geleng.
Pipiku terasa panas, tapi cahaya Wil membuat segalanya kelihatan hijau dan semoga saja rona di wajahku tidak kelihatan.
"Kamu takut, tapi kamu tau apa yang kamu lakuin. Kamu bisa kendaliin diri buat tujuanmu. Kalau-kalau kamu penasaran, itu bisa jadi jawaban kenapa aku mau berhenti nakut-nakutin orang dan ngobrol sama kamu."
Aku masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraannya.
"Kamu tau nggak, kenapa badanku warnanya ijo? Dan kenapa aku suka pakai bentuk ayam?"
Aku menggeleng. "Emangnya kenapa?"
Wil berpaling dan menatap ke depan, memperhatikan rumah-rumah gelap di jalanan Giok. "Aku pernah ketemu setan yang warnanya kuning atau bahkan pink. Terus aku sadar kalau hal-hal ikonik begini ada hubungannya sama kematianku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top