11
Tubuhku terdiam kaku, tak berani bergerak. Aku bahkan berusaha bernapas sepelan mungkin, yang sayangnya gagal karena isakanku begitu keras.
Duduk meringkuk di tanah, tangan dilipat di atas lutut, kepala dijatuhkan di atasnya, wajah menghadap ke bawah. Amat menyedihkan. Aku takut dan sedih, tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, di tengah keheningan mengerikan ini. Wil pergi entah ke mana. Aku bisa pulang, tapi tak ingin. Sesuatu menahanku di sini.
Ketika tangisanku sudah cukup mereda, aku mulai memanggilnya.
"Wil ...."
Kulakukan itu terus-menerus, sesekali berteriak ketika punya cukup tenaga, lirih ketika hanya itu yang kupunya.
Aku tidak tahu berapa lama sudah menunggu ketika kurasakan kehadirannya. Suhu mendingin secara tidak alami, butiran es terasa menjatuhi punggungku.
Tapi tetaap tak kubuka mata. Aku masih takut, tidak ingin melihat kejadian tadi. Jadi aku Cuma diam, lagi-lagi menunggu dia bicara (aku ingin memulai, sebenarnya, tapi tahu sendirilah etika soal menatap mata lawan bicara dan sebagainya).
"Kalau kamu beneran orang yang bertanggung jawab kayak perkiraanku," suara datar Wil terdengar, membuatku merasa senang, lega, sedih, serta takut dalam satu waktu, "kamu bakal buka mata."
Nggak mau, adalah respon pertama otakku yang trauma. Namun, bagian lainnya menyuruhku menuruti Wil, karena bagaimanapun akulah yang bersalah dalam kegiatan ini.
Menelan ludah, aku mengangkat kepala dan membuka mata. Yang ada di depan sana pasti bakal membuatku terjengkang jika sebelumnya sedang dalam posisi berdiri. Berhubung aku duduk dan kakiku amat lemas, reaksiku cuma memekik tertahan.
Ayam. Lagi. Sesosok unggas berjengger, berwarna hijau, serta berkobar. Pendar tipis serupa asap melayang-layang di sekelilingnya, menegaskan bahwa dia berada di dunia yang berbeda.
Berdiri membelakangiku, Wil yang berbentuk ayam bergeming. Barangkali dia marah. Yah, dia pasti kesal. Pengalaman mengobrol bersama setan selama berjam-jam—dengan semua intonasi, tempo, serta mimic yang dia tunjukkan—membuatku memahami bahwa dia pasti punya perasaan.
Barangkali dia juga butuh permintaan maaf, dan memang itulah tujuanku menunggu begitu lama di sini.
"Wil," aku memulai, takut suaraku akan pecah kembali. "Aku betulan minta maaf soal itu."
Masih bergeming. Yang bergerak hanyalah asap tipis yang kemudian memudar.
"A-aku udah coba larang mereka. Aku bilang semua yang jelek-jelek soal kamu. Tapi mereka nggak mau dengar. Mereka ngotot datang ke sini."
"Buat buktiin omonganmu," Wil membalas cepat. Aku kembali menelan ludah.
"Aku beneran nggak ngajak mereka. Aku bahkan nggak begitu peduli mereka percaya atau nggak. Aku datang sejam lebih awal, tapi mereka semua udah di sini." Kurasakan air mataku merebak kembali.
Si ayam tiba-tiba menoleh ke belakang, tepat menatapku. Matanya sehijau zamrud, berkilat-kilat ditimpa cahaya dari badannya sendiri. Napasku tersentak, tapi kupaksa normal kembali. Dia mendekat dan aku harus menahan hasrat untuk mengesot mundur.
Mata itu melihatku lekat-lekat, seolah mengamati. Untuk beberapa detik yang menggetarkan, mata itu tampak begitu manusiawi. Semua emosi tercurah di permukaannya. Seperti halnya bahasa ayam yang tidak kumengerti tapi sekaligus kupahami, mata itu melukiskan sesuatu yang terlalu samar untuk dibaca tapi juga terlalu penuh untuk disebut tak bermakna.
Aku menguatkan diri. Ayam atau bukan, dia adalah Wil.
Aku beringsut ke depan, mengulurkan tangan pada sosok hijau tersebut. Aku mencoba menyentuh tubuhnya di tengah tremor, meski tahu bahwa tanganku hanya akan menembusnya. Benar saja. Hanya sedikit gelenyar terasa, kemudian telapak tanganku menapak tanah.
"Aku minta maaf, Wil." Suaraku yang tersisa cuma cukup untuk mengatakan itu. Mendadak pikiranku mulai kacau karena sesaat kemudian aku merasa menyesal atas kematian Wil.
Jantungku mencelus. Itu tak masuk akal. Aku bahkan tidak mengenalnya waktu dia hidup.
Ayam hijau yang kucoba sentuh sekarang meleleh, melebur menjadi asap, lalu memadat kembali menjadi sesosok cowok.
"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat," Wil yang sudah berbentuk mausia berkata, masih dengan suara murung.
Akal sehatku menolak. Logikanya berujar, Setan itu baru aja marah ke kamu, dari mana kamu tahu dia nggak bakal jorokin kamu ke jurang?
"Kamu lihat sendiri tanganmu nembus. Aku nggak bisa sakitin kamu secara fisik."
"Tapi kamu bisa nyuruh aku nyakitin diri sendiri."
Wil menatapku amat tajam, membuatku membuang muka. Aku ingin memercayainya, tapi aku masih mau hidup.
Cowok hijau di depanku terlihat menghela napas, lalu berdiri. "Kmu bisa pergi dari sini sekarang juga, dan nggak pernah balik lagi." Wil mulai berjalan ke tebing Gunung Kapur tanpa menungguku. "Atau kamu bisa coba percaya dan ikutin aku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top