Talking
Kenapa judulnya talking? Karena Dave dan Zac sudah hampir bicara secara terbuka di sini haha. Dibaca aja biar tahu selebihnya.
Dan jangan lupa tinggalkan jejak dan kesan2 kalian pada chapter yg ini hehe. Jangan malu untuk komen dan mengkritik saya haha.
========
Talking
========
Sekitar jam tiga pagi, Zac membuka matanya lebar-lebar karena mendengar suara rintihan Dave yang memilukan. Dia buru-buru memaksa tubuhnya untuk bangkit dan melawan rasa kantuk yang menyerang untuk melihat kondisi Dave yang merintih kesakitan di sebelahnya.
"Dave! Apa yang terjadi?" tanya Zac dengan panik sambil berusaha menenangkan tubuh cowok itu yang gemetar hebat.
Dave hanya meringis kesakitan sembari memegangi kepalanya yang diperban. "Kepalaku. Sakit lagi."
Zac mengerti. Tanpa basa-basi dia langsung turun dari kasur, keluar dari kamar menuju ke dapur dan mengambil segelas penuh air putih. Kemudian dia kembali lagi ke kamar dan melihat Dave yang sudah menjerit kesakitan dengan tangannya yang memegangi kepalanya dengan kuat seperti ingin meremukkannya.
"Tahan sebentar Dave," kata Zac. Dengan cekatan dia mengambil obat biru yang kemarin diminum Dave dari dalam kotak hijau kecil. Setelah mendapatkan obat itu, dia segera memberikannya kepada Dave beserta dengan segelas air putihnya. "Ini, minumlah," katanya dan memasukkan obat itu ke mulut Dave, lalu membantu Dave memegang gelas ketika dia meminumnya.
Setelah meminum obat itu, Dave langsung merebahkan kepalanya kembali ke atas bantal empuk dan memejamkan matanya, tapi masih sambil meringis. Zac menunggunya dengan khawatir, membiarkan obat itu bekerja untuk menghilangkan rasa sakit di kepalanya. Seiring dengan berjalannya waktu, napas Dave yang tadinya terburu-buru berangsur-angsur kembali normal. Dan setelah tujuh menit kemudian, Dave sudah tidak merintih kesakitan lagi.
"Maafkan aku," kata Dave dengan penuh penyesalan setelah napas dan jantungnya kembali normal. "Maafkan aku karena mengganggu tidurmu."
Zac menghembuskan napas dengan lega. Lalu dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur di sebelah tubuh Dave. "Tidak apa-apa. Aku senang akhirnya kau baik-baik saja." Dengan penuh pengertian, Zac menggenggam tangan Dave yang keras dan berotot. "Dan lagipula, keberadaanku di sini memang untuk menjagamu dari kemungkinan terburuk seperti tadi. Ya kan?"
Dave tersenyum dan mengangguk dengan senang. Dia senang bukan hanya karena Zac dengan suka rela mau membantunya, tapi juga karena sentuhan tangan Zac seperti membakar kulitnya dan menimbulkan rasa hangat yang terasa sangat nyaman dan menyenangkan. Oh, tidaaaak. Lagi-lagi Dave tak bisa menahan dirinya.
"Sekarang, cobalah untuk kembali tidur." Kata Zac dan tersenyum dengan lembut.
Dave mengangguk. "Kau juga sebaiknya kembali tidur."
"Tentu saja." Zac melepas pegangan tangannya di tangan Dave dan menempatkan tubuhnya kembali ke kasur sebelah Dave. "Selamat malam."
"Zac," ujar Dave sebelum Zac menutup matanya.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya senang karena kau ada di sampingku malam ini."
Jantung Zac langsung berdetak cepat. Darahnya terasa berdesir sangat deras ke mukanya hingga membuat pipinya terasa panas. Zac yakin, pipinya pasti sedang merona. "Tidurlah. Aku akan selalu ada di sampingmu sampai pagi."
Dave tersenyum, mengangguk kecil dan kemudian memejamkan matanya.
Zac juga langsung memejamkan matanya dan mengabaikan perasaan berdebar-debar yang sangat menyenangkan itu. Entah kenapa, dari kemarian, dia dan Dave seolah-olah mengikatkan diri mereka sendiri pada status pertemanan yang baru terbangun ini. Dave bahkan berjanji akan mengajarinya belajar menyetir, meskipun dia masih takut dan trauma, tapi kalau bersama Dave dia yakin bisa melawan rasa takutnya itu.
Dave juga sepertinya tidak merasa risih dengan keberadaan Zac di sisinya. Cowok itu malah menyukai masakannya, kan? Dan Dave juga seringkali mencubiti pipinya dengan gemas. Apakah ini berarti bahwa Dave juga merasa nyaman berada dekat dengannya?
Zac menggeleng-gelengkan kepalanya. Semua itu hanya harapan-harapannya saja. Kenyataannya adalah Dave seorang straight dan dia tak mungkin bisa menyukai laki-laki. Apa yang dilakukan Dave terhadapnya―mencubit pipinya, menyanyikan lagu untuknya dan mengajak menonton pertandingan balapnya―hanya atas dasar pertemanan. Dave hanya menganggapnya sebagai temannya, tidak lebih dari itu. Dan selamanya pun Zac hanya akan menjadi temannya, takkan bisa menjadi seseorang yang spesial di hati Dave.
Tiba-tiba saja ini membuatnya sedih. Mencintai seorang straight memang butuh kesabaran dan hati yang sekuat baja. Zac akan mengalami hari di mana Dave akan memperkenalkan Zac pada pacar perempuannya. Akan ada saat di mana Zac harus melihat Dave berjalan berdampingan dengan seorang wanita. Dan itu tentunya akan membuat Zac patah hati. Melihat orang yang kau sukai berciuman dan berpelukan dengan orang lain rasanya memang tidak enak, kan? Sangat tidak enak malah.
Lalu apa yang harus dilakukannya? Apakah Zac harus mundur dari sekarang? Melupakan Dave untuk selamanya dan melepas rasa sukanya terhadap cowok itu? Tapi bagaimana caranya? Selagi Zac berada dekat dengan Dave, dia takkan pernah bisa melupakan cowok itu walau hanya untuk sedetik. Aura Dave sangat kental dan penuh dengan ketertarikan sehingga membuat Zac nyaris lupa segala yang ada di sekitarnya. Tiap kali berada di dekat Dave, Zac akan merasa pipinya merona dan jantungnya berdebar-debar kuat. Dan kalau sudah begitu, dia takkan bisa membuang perasaannya ke mana pun. Dia terjebak dalam rasa cintanya yang sangat besar untuk Dave!
Zac memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Biarlah hal ini dipikirkan nanti saja. Yang terpenting sekarang, Dave ada di sampingnya dan dia harus memanfaatkan ini dengan sebaik-baiknya. Dia hanya ingin membuat Dave merasa nyaman padanya sebelum cowok itu pada akhirnya harus menjauh darinya.
Zac tidur untuk yang kedua kalinya tanpa mimpi. Dia baru bangun ketika seseorang membuka tirai jendela kamar Dave dan sinar matahari yang silau menyorot wajahnya. Zac harus menyipitkan matanya untuk menghalau rasa silau itu. Dia bangkit dari tidur dan mengucek-ucek matanya sambil menggeliat.
"Zac, bangunlah," sebuah suara menyusup ke telinganya. Suara seorang wanita.
Zac meregangkan otot-ototnya dan mengembalikan kesadaran sepenuhnya. Ternyata ibunya Dave yang membangunkannya. Dan wanita itu juga yang membuka tirai jendela. "Oh. Selamat pagi, Mrs. Price." Sapa Zac dengan ramah.
Mrs. Price tersenyum. "Selamat pagi Zac," katanya dan bergerak ke sebelah Dave yang masih tertidur lelap. "Aku harus membangunkan Dave setiap pagi seperti ini karena dia selalu bangun kesiangan." Mrs. Price mengguncang-guncang tubuh anaknya dengan penuh paksaan. "Dave, bangun!" Dia harus mengguncangkan tubuh Dave lebih keras lagi hingga cowok itu terbangun dan membuka matanya lebar-lebar.
"Mom." Kata Dave saat matanya sudah terbiasa dengan cahaya silau matahari pagi. "Kapan kau datang?"
"Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit," kata wanita paruh baya itu. Lalu wanita itu melihat kotak hijau di meja kecil sebelah kasur. "Apa sakit di kepalamu kambuh lagi Dave?"
Dave mengangguk. "Ya. Untung ada Zac, kalau tidak aku pasti sudah mati karena kesakitan." Dave tersenyum pada Zac, yang dibalas dengan cengiran malu-malu oleh cowok itu.
Mrs. Price tersenyum. "Terima kasih Zac, kau sangat membantu." Wanita itu berjalan ke arah Zac dan langsung memeluknya. Pelukan seorang ibu. Zac membalas pelukannya.
"Sama-sama, Mrs. Price. Lagipula, aku kan sudah berjanji pada Anda kalau aku akan menjaga putra kesayangan Anda dengan seluruh ragaku."
Mrs. Price tertawa kecil dan melepaskan pelukan. "Sebagai rasa terima kasih kami, setelah ini kau ikut sarapan bersama kami ya di bawah."
"Sebaiknya aku langsung pulang saja, Mrs. Price," kata Zac, menolak dengan setengah hati. "Ibuku pasti sedang menantikan kepulanganku."
"Sarapan sebentar saja tidak akan membuat ibumu terlalu khawatir, kan?" Mrs. Price merajuk. "Dan kalaupun ibumu mengkhawatirkanmu, aku yang akan menjelaskan padanya nanti. Bagaimana?"
Wanita ini sangat pemaksa, pikir Zac, kalau menolaknya, dia pasti akan tetap memaksaku untuk ikut sarapan. Jadi akhirnya dia mengangguk.
"Kalau begitu, ayo, aku sudah membuat telur orak-arik dan bacon dengan porsi untuk empat orang." Mrs. Price bergerak ke arah Dave dan mengalungkan tangan kanan anaknya ke lehernya.
Melihat Mrs. Price agak kesulitan membopong Dave, membuat Zac buru-buru membantunya dan mengalungkan lengan Dave yang satunya lagi ke lehernya. Jadinya, dengan dibantu ibunya dan Zac, Dave berjalan dengan kaki terpincang-pincang menuruni tangga. Sulit memang, tapi akhirnya mereka bertiga berhasil sampai ke bawah. Mereka langsung menuntun Dave berjalan menuju dapur.
Begitu mereka sampai di dapur, Mr. Price sudah berada di sana dengan segelas kopi panas yang tersuguh di hadapannya. Pria itu tersenyum kepada mereka bertiga saat Dave didudukkan di salah satu kursi.
"Selamat pagi, Mr. Price," sapa Zac dan duduk di kursi yang sehadapan dengan Dave.
"Selamat pagi juga Zac," balas Mr. Price. "Apa kau mau kopi?"
Zac menggeleng. Dia benci kopi. Kecuali kalau ditambah susu atau krim dengan jumlah yang sangat banyak. "Aku lebih suka minum teh."
"Kalau begitu biar kubuatkan teh untukmu," Mrs. Price menjawab dan mulai bergerak ke lemari untuk mengambil sekotak bubuk teh.
"Bagaimana semalam? Apa Dave merepotkanmu?" tanya Mr. Price.
Zac tersenyum dan menatap Dave yang ada di hadapannya. Dia tersenyum karena wajah Dave terlihat sangat natural dan tampan sehabis bangun tidur. Rambut hitamnya acak-acakan, tapi justru itulah yang membuatnya tambah seksi. "Tidak," jawab Zac. "Sejujurnya kami malah lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengobrol banyak hal yang menyenangkan."
"Syukurlah." Mr. Price meminum kopinya. "Kupikir pagi ini akan melihatmu dengan wajah yang kelelahan, tapi ternyata tidak. Wajahmu justru terlihat masih tampan dan imut."
"George!" Istrinya menegur, tapi sambil tertawa kecil. "Jangan mengatainya imut. Dia takkan menyukainya."
"Oh, maaf," Mr. Price nyengir kepada Zac. "Jadi aku harus menggunakan kata apa? Keren?"
Mrs. Price meletakkan segelas teh panas yang masih mengepulkan asap ke hadapan Zac. "Ya. Itu terdengar lebih macho, benar kan Zac?"
Zac hanya bisa mengangguk karena apa yang dikatakan wanita ini benar. Zac tidak suka dipanggil 'imut' karena itu terkesan sangat perempuan dan manja. Zac bukan perempuan, dan dia juga bukan anak yang manja. Tapi tidak tahu kenapa, semua orang yang melihatnya pasti akan berkata kalau dia tampan dan imut. Huh, ini pasti karena wajahnya yang halus, mulus dan suka merona tiap kali dia merasa gugup atau malu.
"Lihat," Dave menunjuk pipi Zac yang mulai memerah. "Kau merona. Kau ini kenapa sih Zac? Pipimu selalu saja memerah. Itu kelihatan imut, tahu! Aku jadi gemas melihatnya." Dave meringis sambil menggeretakkan giginya karena greget melihat pipi Zac yang menyemburatkan warna merah. Cute.
Zac hanya bisa menekuk mukanya karena malu. Dia benci dengan pipinya yang merah ini.
"Dave, kau tak boleh berkata seperti itu padanya!" Ibunya memarahinya sambil menaruh empat piring berisi telur orak-arik dan bacon yang baru diangkat dari penggorengan.
"Zac, jangan diambil hati." Kata Mr. Price berusaha menenangkan Zac yang masih menekuk mukanya. "Dave memang suka seperti itu."
Zac hanya mengangguk. Lalu melemparkan senyum terbaiknya kepada mereka.
"Nah, kalau senyum begitu kan jadi lebih tampan," ujar Dave dan tersenyum penuh ketulusan sambil memandangi wajah Zac yang lucu dan imut.
Mereka sarapan sambil mengobrol banyal hal. Orangtua Dave menceritakan tentang acara yang kemarin mereka hadiri. Acara pertemuan besar dengan beberapa klien yang akan menjadi investor di perusahaan tempat papanya Dave bekerja. Acara pertemuan itu berakhir sekitar jam sebelas malam. Saat dalam perjalanan pulang, mobil mereka mengalami kerusakan mesin yang cukup parah hingga memaksa mereka harus meninggalkan mobil dan menginap di sebuah hotel yang untung cukup dekat dengan lokasi mobil mereka yang mogok. Pagi hari ini jam enam tadi, mobil mereka sudah selesai direparasi oleh pihak bengkel yang mereka telfon tiga jam sebelumnya. Itu sebabnya mereka sudah berada di rumah ketika jam tujuh.
"Untunglah mobil kami bisa langsung selesai direparasi," kata Mr. Price sambil memasukkan sarapannya ke dalam mulut. "Kalau tidak, hari ini kami tidak akan bisa pergi ke Festival Panen di kota sebelah."
"Owh!" tiba-tiba Mrs. Price menyambar, seolah-olah teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong Festival Panen, bagaimana kalau kalian berdua ikut bersama kami? Kebetulan ini hari Sabtu dan sekolah libur, jadi tak ada salahnya kalau kalian ikut bersama kami, kan?" Wanita ini menatap kepada Zac dan Dave secara bergantian.
"Dengan kondisi kakiku yang hanya tinggal satu begini? Tidak, terima kasih." Kata Dave dan menggeleng keras.
"Aku akan meminjam kursi roda pada Mrs. Polson yang tinggal di seberang jalan." Mrs. Price berkata dengan penuh semangat. Matanya berbinar penuh harapan.
"Bagus. Kau memang selalu punya banyak cara untuk memaksaku ikut." Dave memutar bola matanya dengan bosan. "Jadi siapa salah satu di antara kalian yang akan mendorongku nanti?"
Ayah dan ibunya saling pandang sejenak.
"Biar aku saja," sahut Zac tiba-tiba. "Aku yang akan mendorong kursi roda Dave."
"Oh, Zac," Mrs. Price langsung menghempaskan bahunya sambil menyatukan kedua tangannya di depan dada dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih."
"Tidak apa-apa, Mrs. Price," kata Zac dan tersenyum. "Aku senang bisa membantunya lagi. Dan aku kan sudah bilang kalau aku akan menjaganya dengan seluruh jiwa dan ragaku."
Mr. dan Mrs. Price tertawa. "Kalau begitu, baguslah, nanti siang kami akan menjemput dan sekalian meminta izin pada orangtuamu agar memperbolehkan kau pergi." Kata Mr. Price.
"Dan jangan lupa bawa baju ganti, karena kita akan menginap di sana." Tambah Mrs. Price.
Zac mengangguk.
Dave juga mengangguk dan tersenyum dengan sok keren―tidak, dia memang keren―ke arah Zac.
Well, liburan ke Festival Panen bersama Dave dan juga keluarganya. Ini kejutan lain yang sangat menyenangkan.
***
Selesai sarapan, Zac tidak langsung pulang ke rumah. Dia sudah menelfon mamanya untuk mengabarkan kalau dia harus menemani Dave jalan-jalan dulu pagi ini. Dan mamanya mengizinkannya.
Setelah ibunya mendapatkan pinjaman kursi roda dari Mrs. Polson, Dave langsung menaiki kursi itu dan mengatakan kalau dia ingin jalan-jalan ditemani Zac. Awalnya Zac menolak karena dia harus pulang, tapi Dave memaksa―yah, cowok tampan bermata hijau ini memang suka sekali memaksa, dan hebatnya Zac selalu menuruti apa saja kemauan Dave, meskipun dia tidak menyukainya. Jadi, pagi itu, Zac dan Dave sudah siap keluar rumah untuk berjalan-jalan di sepanjang trotoar Marylin Street.
"Kau menyebalkan," kata Zac dengan bersungut-sungut sambil mendorong kursi roda Dave pelan-pelan.
Dave hanya tertawa kecil. "Tapi buktinya kau tetap mau menemaniku jalan-jalan, kan?"
Zac hanya bisa menggerutu di belakang kursi roda Dave yang didorongnya. Mendorong kursi roda Dave tidak terasa berat, karena berat badan cowok itu memang tidak terlalu berat. Dan sebenarnya Zac tidak keberatan sama sekali dengan kegiatan ini. Dia jadi lebih punya banyak waktu bersama Dave daripada yang diharapkannya.
"Ini kita mau ke mana?" tanya Zac bingung. Mereka sudah pergi cukup jauh dari rumah Dave dan tidak pernah sampai ke mana pun. Dia curiga Dave hanya ingin mengerjainya dan membuatnya lelah.
"Ke taman." Jawab Dave. "Kau belum pernah main ke taman di dekat danau, kan?"
Zac menggeleng, masih dengan mendorong kursi roda. "Kalau kau lupa, aku baru pindah ke kota ini kurang lebih satu minggu. Jadi aku belum sempat mengobservasi kota ini sampai ke seluk beluknya."
"Kalau begitu baguslah, karena aku yakin kau pasti akan menyukai tamannya."
Zac tidak menjawab dan mendorong kursi roda dengan lebih cepat karena dia sudah tidak sabar ingin cepat sampai di sana. Mereka melewati trotoar jalan Marylin Street yang mulai ramai disesaki mobil yang berlalu-lalang. Daun-daun gugur dari pohon-pohon di pinggir jalan mulai memenuhi trotoar dan menandakan bahwa musim gugur akan segera tiba, tidak lama lagi.
Zac tersenyum. Dia sangat menyukai musim gugur karena aromanya yang tercium sangat khas. Daun-daun yang berguguran terkadang menimbulkan aroma wewangian yang menentramkan jiwa dan juga perasaannya.
Lima belas menit kemudian, akhirnya mereka sampai di taman. Zac harus bergumam, "Wooow," melihat taman yang tertata rapi, sejuk dan terlihat sangat nyaman itu. Tamannya luas dengan ditumbuhi rumput-rumput jepang, peking, gajah varigata dan juga rumput swiss yang halus. Ada beberapa jenis pohon seperti Ketapang Kencana, pohon Trembesi, pohon Tanjung dan pohon Beringin yang sangat lebat daunnya hingga bisa digunakan sebagai tempat berteduh oleh mereka yang ingin piknik di sini. Ada kursi-kursi panjang yang tersebar di sepanjang jalan setapak taman tersebut. Dan ada beberapa wahana permainan anak seperti ayunan, papan luncur, jungkat-jungkit, dan juga sekotak pasir yang biasa digunakan anak-anak untuk membangun istana.
Ini taman yang indah. Zac menyukainya. Dan ditambah lagi, dari tempatnya berdiri dengan takjub sekarang, samar-samar dia bisa melihat air danau yang berwarna biru kehijauan bergerak-gerak tersapu angin di ujung taman sebelah sana.
"Aku tahu," kata Dave sambil tersenyum puas melihat ekspresi ketakjuban di wajah Zac. "Ini luar biasa."
"Kenapa kau tak pernah mengatakan kalau di kota ini ada tempat sebagus ini?"
Dave mengangkat bahu. "Untuk apa aku mengatakannya kalau aku bisa menunjukkannya secara langsung padamu?"
Zac tidak menjawab dan mendorong kursi Dave untuk menuju ke bawah salah satu naungan pohon Trembesi yang sangat lebat daunnya. Mereka berhenti di bawah pohon tersebut.
"Kau menyukai tempat ini?" tanya Dave sambil tersenyum. Dia senang sekali melihat ekspresi Zac yang lucu dan sangat antusias seperti anak kecil yang mendapat kejutan hadiah ulang tahun. Matanya indah, pipinya merona merah dan senyum di bibirnya merekah. Cute.
Zac mengangguk sambil tersenyum dengan sangat lebar. Dia di atas rumput swiss yang lembut dan memperhatikan wajah Dave yang tampan dan masih dipenuhi luka. Luka robek di bibirnya meninggalkan bekas warna merah muda seperti kulit bayi yang memanjang sampai ke pipinya. Dan perban putih masih melingkar di kepalanya. "Kapan dr. Gordon akan melepas perban itu?" tanya Zac sambil menunjuk perbannya.
Dave mengangkat bahu dan memegangi perbannya. "Mungkin lusa atau beberapa hari lagi."
"Itu berarti, kau akan memakai benda itu saat kita ke Festival Panen nanti sore?"
Dave mengangguk. "Begitulah. Sebenarnya aku malas sekali pergi ke sana, tapi karena orangtuaku sangat pemaksa―sama seperti diriku, jadinya ya terpaksa aku ikut. Ibuku bahkan sampai repot-repot meminjam benda ini." Dia mengelus-elus lengan kursi roda.
Zac tertawa renyah. "Ya. Ibumu pasti ingin menghabiskan waktu liburan bersamamu."
Dave hanya mengangkat bahu. "Mungkin." Jawabnya dengan tidak bersemangat. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke ayunan besi yang ada di sisi lain taman. "Kau bisa membawaku ke sana? Aku ingin naik ayunan."
Zac tertawa geli. "Tampang menyeramkan, hobi balapan liar, tapi taunya masih doyan main ayunan juga."
Dave menggerutu. "Jangan banyak bicara. Bawa saja aku ke sana!"
Zac bangkit dan menepuk-nepuk celananya. "Alright, Grandma!"
Saat sudah berada di tempat ayunan, Dave meminta tolong pada Zac agar didudukkan di salah satu ayunan. Dan setelah itu, Zac mengambil tempat duduk di ayunan yang sebelahnya. Jadinya, mereka berdua sekarang duduk bersebelahan di ayunan gantung di sebuah taman yang sangat indah.
"Kau bisa melihat danau dari sini." Kata Dave dan menunjuk ke pemandangan danau yang ada di hadapan mereka. Walaupun samar-samar karena tertutup pohon dan rumah warga, tapi danau itu masih cukup kelihatan.
Zac mengangguk sambil mengayun-ayunkan tubuhnya. "Aku bersyukur karena pindah ke kota ini."
"Aku juga."
"Hah?" Zac bingung. "Kau juga pindahan?"
"Tidak, aku lahir dan tumbuh besar di kota ini," katanya dan menggoyang-goyangkan ayunan ke depan-ke belakang. "Maksudnya aku juga bersyukur karena kau pindah ke sini. Karena kalau tidak, maka aku takkan pernah bertemu dengan seorang pria lucu dan baik hati sepertimu."
Kalau kemarin-kemarin, Zac pasti akan meresa kesal dengan komentarnya yang selalu mengatainya lucu, tapi sekarang dia mendapati dirinya tersenyum. "Apa aku benar-benar terlihat lucu dan imut?"
Dave mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Zac. "Zac, jangan salah mengartikan kata imut yang terlontar dari mulutku," Dave berusaha menjelaskan. Dia tidak mau Zac salah paham. "Kalau aku bilang kau imut, itu karena pipimu yang merah seperti bayi terlihat sangat menggemaskan. Dan aku berani taruhan, siapa pun yang melihatnya pasti akan berkata 'aaw, kau sangat cute!' seperti itu."
Zac mengangguk. Apa yang dikatakan Dave sangat benar. Gary, Sam, Josh, Mr. Price, dan bahkan Dave sendiri mengatakan kalau dia imut ketika pertama kali mereka bertemu dengannya. Dan Zac tak bisa menyalahkan mereka karena hal itu. Mereka memanggilnya imut karena kenyataannya dia memang imut.
Pipinya tidak terlalu gemuk, tapi cukup montok seperti pipi bayi. Dan Zac bisa membayangkan betapa lucunya dia ketika pipinya yang montok itu berubah warna menjadi merah. Oh, itu benar-benar sangat imut.
Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, Zac tidak suka dipanggil imut. Seperti yang dia bilang, itu terkesan sangat manja dan girly. Tapi bagaimana caranya menghentikan orang-orang agar tidak memanggilnya imut?
"Hey, sudahlah," kata Dave, membuyarkan lamunan Zac. "Kau itu tampan. Keren juga iya. Lucu iya. Imut juga. Pokoknya kau anak lelaki dengan banyak kelebihan."
Zac hanya bisa tersenyum dan menggeleng. "Terima kasih."
"Jangan terlalu diambil hati, Zac," kata Dave dengan pelan. "Aku tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang kukatakan tentangmu."
"Oh, jadi maksudnya kau hanya berbohong ketika mengatakan aku 'anak lelaki dengan banyak kelebihan'?"
Dave tertawa kecil. "Tidak, kalau itu aku benar-benar serius. Yang kumaksud dengan tidak bersungguh-sungguh adalah ketika aku mengejekmu atau menggodamu. Itu semua hanya becanda."
"Becanda. Oke. Aku juga sudah tahu itu kok." Kata Zac tidak peduli. Dia ingin sekali marah pada Dave, tapi untuk apa? Rasanya menyebalkan mengingat bahwa cowok itu mencubit pipinya hanya untuk becandaan saja, bukan karena didorong oleh rasa kagum dan rasa suka karena melihatnya.
Kemudian mereka diam. Membiarkan suara mobil terdengar di kejauhan dan suara angin yang menerbangkan daun-daun mati yang berguguran. Zac melihat daun-daun itu yang terbawa angin, pasrah saja ketika angin menghempaskannya dan tidak berusaha untuk melawan. Entah kenapa, memandangi daun-daun yang tersapu angin itu membuat Zac merasa nyaman dan tenteram. Kemudian dia memejamkan matanya untuk menikmati sensasi angin yang membelai wajahnya. Pikirannya tiba-tiba relaks dan semua beban tentang bayang-bayang ketakutan terhadap perasaannya yang takkan mungkin dibalas oleh Dave, menghilang. Semua rasa takut itu menguap dan digantikan dengan ketenangan batin yang luar biasa.
"Kau memejamkan mata?" suara Dave membuyarkan gambaran-gambaran di kepala Zac dan memaksanya membuka mata kembali.
"Apa kau tidak suka?" Zac menggerutu.
Dave menggeleng-geleng. "Tidak. Aku hanya tak pernah berada di taman ini bersama dengan orang yang menutup mata. Kebanyakan orang akan membuka matanya lebar-lebar untuk melihat keindahan taman ini secara nyata."
"Aku kan ingin meresapinya di dalam otakku, bukan hanya sekadar melihatnya dengan mataku." Kata Zac dengan yakin. Lalu dia teringat sesuatu dari ucapan Dave. "Kau sering datang ke tempat ini ya?"
Dave mengangguk, mengalihkan pandangan matanya ke danau. "Ya. Dulu, malah hampir setiap minggu."
"Pasti bersama dengan pacarmu kan?"
Dave tersenyum simpul dan mengangguk. "Ya."
"Siapa dia?" tanya Zac. Dave sudah punya pacar ternyata. Hal ini membuat Zac sedih dan cemburu. Tapi juga membuatnya sangat penasaran.
"Shaina." Jawab Dave, matanya menatap kosong ke kejauhan seperti sedang menerawan sesuatu. "Dia wanita yang lembut, baik hati, penuh pemikiran dan cinta kebersihan."
Zac mengayun tubuhnya ke depan dan ke belakang. "Apa kau mencintainya?"
Dave diam untuk waktu yang cukup lama sebelum mengatakan, "Ya, aku mencintainya―dulu."
"Dulu?" tanya Zac, matanya melotot. "Kenapa?"
Dave menggeleng. Sesuatu yang menyakitkan mulai merangkak naik ke tenggorokannya. "Tidak apa-apa. Aku hanya tak bisa melakukannya lagi sekarang."
Zac bisa menangkap getaran ketakutan dan juga rasa sakit dalam suara Dave. Oleh karena itu dia bertanya, "Dave, apa yang terjadi?"
Dave menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras untuk menghilangkan rasa sakit itu. Dia tak mau mengingatnya lagi. Dia tak mau membahasnya lagi. "Aku bilang tidak apa-apa, Zac. Aku hanya tak bisa mencintainya lagi."
Zac tahu ada masalah penting yang disimpan Dave, tapi karena cowok itu bersikeras tak mau menceritakannya, maka Zac takkan memaksanya. Dan lagipula, Zac bukan tipe cowok pemaksa seperti Dave. "Kalau begitu kau harus melupakannya."
"Tentu. Aku akan mencobanya." Dave berkata lirih, menatap jauh ke danau dan menunjukkan ekspresi wajah yang terluka. "Aku masih akan mencobanya."
Masih. Itu berarti sampai sekarang pun Dave masih berusaha melupakan Shaina. Zac harus menahan perasaan tidak enak di dalam hatinya karena cemburu yang tak beralasan pada wanita bernama Shaina itu. Sepertinya Dave mencintai wanita itu dengan sangat besar sampai-sampai hanya dengan menyebutkan namanya saja bisa membuatnya terluka seperti itu.
Tapi Zac penasaran, sebenarnya ada apa antara Dave dan Shaina? Dan ke mana si Shaina itu? Apakah Shaina meninggalkan Dave? Atau Dave yang meninggalkan Shaina? Tapi, kalau Dave yang meninggalkan Shaina sepertinya tidak mungkin, karena sekarang cowok itu yang kelihatan terluka. Jadi kalau begitu, Shaina yang meninggalkan Dave? Tapi kenapa dia meninggalkan Dave? Apa karena Dave seorang playboy? Atau karena Dave seorang pembalap liar? Ah, kenapa Zac jadi penasaran dengan masa lalu Dave dan Shaina?
"Sudahlah," Dave menepuk-nepuk bahu Zac dengan pelan. "Jangan melamun seperti itu. Kau tak perlu mencemaskan keadaanku. Aku baik-baik saja walau tidak punya pacar."
Zac menganggukkan kepalanya. Dia harus mengerti, bahwa apa pun yang terjadi antara Dave dan Shaina, itu adalah masa lalu mereka. Dan Zac tak ingin mengobrak-abrik kenangan Dave tentang masa lalunya itu. Cowok itu terlihat rapuh dan sedih ketika menceritakan Shaina, dan Zac tidak mau lagi melihat ekspresi sedih itu di wajahnya. Dave tidak boleh sedih. Dan Zac takkan membuat Dave sedih.
"Dan lagipula," kata Dave kemudian. "Saat ini aku punya kau. Selagi ada kau di sampingku, aku takkan pernah merasa sedih."
"Kau terlalu berlebihan menggambarkan kehadiranku di sisimu," kata Zac sambil tertawa. Dia tahu Dave hanya becanda dengan kata-katanya. Seperti yang dikatakannya tadi tentang tidak bersungguh-sungguh dengan kalimat yang dikatakannya. Dan Zac yakin, kata-katanya yang tadi itu pun sebenarnya tidak sungguh-sungguh diucapkannya.
Tapi, kata-kata yang keluar dari mulut Dave selanjutnya tidak bisa dibantah dan terdengar sangat serius. "Tidak, Zac." Dave berkata dengan tenang, mata hijau zamrudnya menatap Zac dengan penuh keyakinan. "Kehadiranmu memang membuatku merasa lebih baik. Karena hanya dengan melihat pipimu yang menggemaskan dan berwarna merah itu saja sudah bisa membuatku bahagia dan mengembalikan semangat dalam hidupku. Bukankah aku sudah pernah mengatakan itu padamu?"
Zac speechless. Dia sudah tidak bisa menjawab apa pun lagi.
***
Aw Zac, akhirnya pipi merahmu berhasil membuat Dave merasakan semangat hidupnya lagi, haha. Di chapter ini saya cuma mau nunjukin sifat Dave yg mulai nyaman dan terbuka kepada Zac―yah biarpun dia masih gak mau cerita tentang Shaina, tapi intinya dia mulai nyaman sama Zac.
Dan apa yg terjadi pada mereka di Festival Panen, bisa dibaca di chapter selanjutnya yg bakalan saya posting sesudah lebaran nanti karena minggu ini saya mau mudik, dan di kampung saya susah sinyal jadi updatenya abis lebaran aja haha. *sok penting.
Oh ya sekalian mau ucapin Minal Aidin Wal Faidzin buat para pembaca di lapak ini yang beragama Islam. Karena beberapa hari lagi mau lebaran, jadi gak ada salahnya kita maaf2an walaupun kita gak kenal. Kali aja saya pernah bikin kalian marah dan kesel karena terlambat update, ya kan? Haha.
Oke, itu aja dulu dari saya. Semoga kalian suka sama chapter yg ini. Dan doakan semoga Dave semakin nyaman dengan Zac, jadi dengan begitu dia bisa cepat-cepat jadi gay. Mari sama-sama kita buat Dave menjadi gay sejati! Huahahahahaah. *tawa jahat.
*
Bandar Lampung, Senin 14 Juli 2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top