Protecting

Gambar di media itu Gary. Oohlala, dia seksi banget yaaaa? Mukanya galak, tapi tetap tampan. Uuurgh! Bibirnya seksi, dagunya juga belah. Mukanya mulus, rambut pirang kecokelatannya juga oke banget. Aaaargh, saya jatuh cinta sama dia ini. Wahaha.

Eh tp nggak, saya masih cinta sama Zac kok, haha.

===========
Protecting
===========

Loving can hurt
Loving can hurt sometimes
That is the only thing that I know
When it gets hard...
You know it can get hard sometimes
It is the only thing that makes us feel alive

We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Hearts are never broken
Times forever frozen still

Lagu Photograph yang dilantunkan oleh Ed Sheeran mengalun lembut dari music player, memenuhi seisi ruangan kamar Zac. Semalaman, Zac selalu mendengar lagu itu. Lagu yang sangat mewakili perasaannya saat ini.

Zac hanya bisa memandangi foto dia dan Dave yang diambil di Festival Panen. Dia mengelus-elus wajah Dave yang ada di dalam foto sambil bertanya-tanya kenapa mencintai cowok itu rasanya sangat sakit? Kenapa ketika cinta kita tidak diterima dengan baik oleh orang yang kita sukai, rasanya sangat sakit? Tanpa sadar, air mata Zac jatuh menetes ke atas foto itu, tepat ke wajah Dave.

Setiap kali membayangkan Dave, hati Zac rasanya sakit sekali. Apalagi ketika cowok itu mengatakan kalau dia sudah berciuman dengan Shaina. Itu membuat Zac makin terluka. Dan malam itu, dia tak bisa tidur nyenyak karena terus-terusan terbayang-bayang oleh wajah mereka berdua.

Pagi harinya, dia berusaha untuk melupakan Dave dan Shaina, dan memulai hari baru. Dia tidak boleh lagi mengharapkan apa pun dari Dave. Cowok itu hanya tukang pemberi harapan palsu yang ngomongnya cinta, tapi tak pernah membuktikannya. Dia malah menyakiti Zac, mematahkan hatinya dan menginjak-injak perasaannya.

Selesai mandi dan pakai baju, Zac segera turun ke dapur. Dia sudah berusaha menghapus bekas-bekas air mata di pipinya, tapi tetap saja matanya masih agak bengkak dan itu bisa menimbulkan kecurigaan orangtuanya.

Dan benar saja. Begitu sampai di ruang makan, mamanya langsung berkata, "Ya ampun, Zac! Matamu bengkak! Apa kau baik-baik saja?"

Zac mengangguk keras, berusaha untuk membuat orangtuanya percaya pada anggukannya.

"Apa Dave menyakitimu?" Mamanya berkata lagi, kali ini sambil mengelus kepalanya dengan lembut.

Zac menggelengkan kepalanya keras-keras. Dia tidak mau menyalahkan Dave, walaupun hatinya terluka memang karena Dave.

Dan, sudahkah Zac bercerita kalau mamanya sudah tahu mengenai orientasi seksualnya? Sepertinya belum. Jadi, orangtua Zac sudah tahu kalau dia gay. Dan itu tidak masalah bagi mereka. Mereka justru bangga mempunyai anak yang dengan berani menyatakan jati dirinya kepada orangtuanya.

Orangtua Zac bukan homophobic, dan mereka juga orangtua yang pengertian terhadap anak. Lagipula, negara ini kan sudah melegalkan pernikahan sesama jenis, jadi gay bukan lagi suatu hal tabu yang perlu dihindari.

Orangtua Zac tidak peduli walaupun Zac gay, mereka akan tetap menyayanginya. Selagi Zac bisa menjaga dirinya, mereka tidak akan melarangnya dekat dengan siapa pun.

"Dave anak yang baik, Jean," kata papanya, bicara pada mamanya. "Dan aku suka padanya. Dia sopan. Tidak banyak tingkah. Tampan juga. Dia tidak mungkin menyakiti Zac."

Mamanya mengabaikan komentar papanya dan kembali mengelus kepala Zac dengan lembut. "Sayang, apa yang terjadi padamu? Siapa yang sudah membuatmu sedih? Kau tidak mau menceritakannya padaku?"

Zac menggeleng lagi. Dia tidak mau merusak reputasi Dave di depan orangtuanya. "Aku baik-baik saja, Mom. Aku hanya merasa sedikit lelah dan banyak pikiran."

"Zac..." Mamanya memeluknya, mengelus-elus rambutnya. "Maafkan kami karena tak pernah menghabiskan banyak waktu denganmu." Suara mamanya dipenuhi rasa bersalah.

Zac menggeleng lagi. Sebenarnya dia tidak masalah kalau mama dan papanya sibuk bekerja setiap hari―bahkan weekend sekalipun―karena dia sudah terbiasa akan hal itu. "Jangan menyalahkan dirimu, Mom. Aku baik-baik saja. Bagiku, kalian tetap sehat dan ceria saja sudah bisa membuatku senang."

"Zac, biarpun aku dan ibumu tak pernah mengajakmu jalan-jalan, tapi itu bukan berarti kami tidak mencintaimu." Kata papanya, berjalan mendekati Zac lalu memeluknya, membuat Zac merasa nyaman dan ingin menangis. Pelukan papanya sama nyamannya dengan pelukan Fred tadi malam.

"Aku tahu, Dad." Kata Zac, bicara dari balik dada papanya. "Aku juga mencintai kalian."

"Dan kalau ada anak lelaki lain yang melukai perasaanmu, maka kau harus bilang padaku. Aku akan menghajarnya karena sudah berani-beraninya menyakiti perasaan anakku."

Zac tertawa mendengar nada serius dalam suara papanya yang terdengar sangat menggelikan. "Terima kasih, Dad." Zac lalu memeluk papanya lagi.

"Kau yakin bukan Dave yang sudah membuatmu sedih?" tanya papanya.

Zac menggeleng. Dia tidak mau papanya ikut campur ke dalam urusan percintaannya. "Yakin. Seperti yang Dad katakan, dia anak yang baik. Dia tak mungkin menyakitiku."

"Tentu saja." Papanya tersenyum, lalu melirik ke arah ibunya. "Aku dan ibumu sudah membicarakan ini. Kalau ada anak lelaki yang ingin menjadi pacarmu, kami lebih setuju Dave-lah orangnya. Karena kau dan dia terlihat sangat cocok dan serasi sekali."

Zac tersenyum, senang karena orangtuanya juga menyukai Dave. Ya, Dave memang pria yang baik dan sopan, walaupun pria itu tidak pernah peka pada perasaan Zac.

"Anak lelaki yang mengantarmu tadi malam itu―siapa namanya?" tanya papanya sambil menggigit sandwich sarapannya.

"Oh, dia Fred." Jawab Zac. Tadi malam, Fred mengantarnya pulang ke rumah. Dan di sepanjang perjalanan pulang, Fred menjelaskan bahwa dia sedang melintas di jalan dekat taman itu ketika melihat Zac yang duduk sendirian di sana. Fred memutuskan untuk mendekati Zac dan kemudian menghiburnya. Itu sebabnya kenapa tadi malam Fred tiba-tiba datang menghampiri Zac.

"Dia anak yang manis, walaupun tidak setampan Dave." Kata papanya, lalu menggeleng. "Aku tak menyangka kalau anakku dikelilingi banyak laki-laki tampan."

Zac tertawa kecil sambil mengolesi selai di atas rotinya. "Dia itu pembalap motor, Dad. Dan dia ikut kejuaraan nasional."

Papanya langsung menghentikan kunyahannya sejenak. "Tidak mungkin!" pekiknya, kagum. "Anak seumur dia sudah jadi pembalap motor?"

Zac mengangguk. "Dia mengundangku untuk datang ke pertandingan balapnya Selasa depan. Dan aku menyetujuinya."

"Aku juga harus datang. Zac, aku harus datang! Kau tahu kan aku sangat menyukai balapan motor? Jadi, kita harus datang. Bilang padanya kalau aku akan datang."

Zac mengangguk sambil tersenyum. Dia dan papanya memang menyukai balapan motor. Mereka berdua lebih tertarik menonton balapan motor daripada balapan mobil. Zac tidak tahu alasan pasti kenapa dia dan papanya lebih suka balapan motor, tapi kemungkinan terbesarnya adalah karena mereka berdua pernah nyaris tewas gara-gara kecelakaan mobil, yang menyebabkan mereka trauma untuk melihat adegan kecelakaan di balapan mobil.

"Hentikan dulu bicara soal balapannya dan makanlah sarapan kalian. Terutama kau, Zac. Habisi rotimu dan bersiaplah. Aku tidak mau kau terlambat masuk sekolah lagi." Mamanya menyela obrolan mereka dengan nada memerintah yang tak boleh dibantah.

Zac dan papanya kemudian melanjutkan makan dengan tenang.

***

Di sekolah, Zac berharap semoga dia tidak bertemu dengan Dave. Karena dia masih belum siap untuk melihat wajahnya. Dia masih kesal, marah dan benci pada tindakan yang dilakukan Dave pada perasaannya.

Dan benar saja, sepanjang hari sekolah dia tidak bertemu Dave sama sekali dan itu membuatnya merasa bersyukur.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, ketika berjalan di lorong hendak menuju ke depan gerbang, seseorang memanggil Zac dari arah belakang punggungnya. Zac berbalik dan mendapati Carrie yang memanggilnya.

"Ada apa Carrie?" tanyanya saat Carrie sudah berada di sampingnya.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Ada apa, Zac?" Carrie mengulang dengan alis terangkat.

Zac mendesah pelan. "Aku baik-baik saja."

"Katakan itu pada Fred yang menceritakan kalau kau semalam menangis sendirian di taman." Carrie melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa, Zac? Ada apa? Apa Dave menyakitimu?"

Zac menundukkan mukanya karena pertanyaan Carrie yang terakhir. Bayangan wajah Dave kembali memenuhi isi kepalanya dan membuat hatinya tiba-tiba terasa sakit. Air mata menetes ke pipinya, kemudian dia buru-buru menghapusnya.

"Zac, apa yang terjadi?" Carrie berkata dengan lembut. Kasihan pada kondisi sahabatnya itu. "Ayo. Lebih baik kita ke kantin. Kau butuh tempat untuk menenangkan diri." Carrie segera memegangi bahu Zac dan membawa cowok itu pergi dari lorong menuju ke kantin.

Di kantin, suasana sudah sepi karena anak-anak yang lain pasti sudah pada pulang. Meja-meja sudah kosong kecuali beberapa meja yang berada di pojok ruangan. Dan salah satu meja itu diisi oleh Gary dan juga teman-temannya yang keren-keren. Mereka tampak tertawa-tawa ketika membicarakan sesuatu yang lucu.

Zac mengabaikan mereka dan mengikuti Carrie duduk di salah satu meja. Kemudian, setelah mendaratkan pantatnya di atas kursi besi panjang itu, Carrie langsung berkata, "Sekarang, ceritakan."

"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan." Zac tidak bohong. Dia memang tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan kesedihannya pada Carrie. Sejujurnya, Zac tidak ingin bicara sama sekali karena, setiap kali dia mengingat tentang Dave, hatinya terasa sangat sakit.

"Ini karena Dave, kan?" tanya Carrie. Zac mengangguk. "Aku tahu mengenai kabar Shaina yang datang kembali ke kota ini. Apa Dave kembali lagi pada perempuan itu?"

Zac mengangguk sangat lemah.

"Ya ampun, Zac! Aku turut menyesal," Carrie merangkul Zac, lalu memeluknya, menunjukkan pada Zac kalau dia turut sedih mendengar kisah cinta Zac yang tidak dibalas oleh Dave.

"Aku baik-baik saja," kata Zac, menghapus air mata yang menetes di pipinya. "Aku hanya belum terbiasa untuk melupakannya."

Carrie ingin mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membuat Zac kembali bersemangat, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Ada panggilan masuk. Carrie segera mengangkat panggilan masuk itu.
Zac bisa mendengar Carrie bicara pada lawan bicaranya di telfon dengan terburu-buru. Sepertinya Carrie sudah membuat janji dengan seseorang, tapi dia melupakannya. Dia mengucapkan kata maaf berkali-kali pada lawan bicaranya sambil mengatakan kalau dia akan segera menyusul. Dan tepat setelah dia mematikan telfon, dia berkata, "Aku harus pergi. Ben menungguku. Kau tidak apa-apa kalau kutinggal sendirian?"

"Zac tidak akan sendirian," kata sebuah suara di belakang mereka. Mereka segera berbalik dan mendapati Gary yang tersenyum ke arah mereka. "Aku yang akan menemaninya."

"Jangan mengganggunya, Gary!" sembur Carrie, tiba-tiba jengkel.

"Aku tidak akan mengganggunya. Aku ingin menemaninya."

"Bullshit! Kau tidak pernah berbuat baik pada orang lain, bagaimana aku bisa mempercayaimu?"

Gary menggeleng, tidak peduli. "Terserah saja. Kau mau pergi, kan? Pergi saja sana! Tinggalkan aku berdua dengan Zac. Aku ingin bicara empat mata dengannya."

Carrie menatap Zac, yang dibalas dengan anggukan oleh cowok itu. "Baiklah." Kata Carrie, meraih tasnya. "Kalau kau sampai mengganggunya, aku akan mengadukannya ke Ben supaya kau dihajar habis-habisan! Dan Zac"―dia menatap ke arah Zac―"aku akan menuntutmu untuk menceritakan semuanya."

Gary mengibas-ngibaskan tangannya, masih tidak peduli. "Sudah sana pergi!" katanya, dengan gaya mengusir. "Kau membuang-buang waktu saja!"

Setelah pamitan singkat dengan Zac, gadis itu segera pergi meninggalkan Zac berduaan dengan Gary. Cowok itu segera mengambil posisi duduk di kursi yang ditinggalkan Carrie.

"Aku tahu apa yang menyebabkan bengkak di matamu itu," kata Gary, menunjuk ke mata Zac yang memang masih bengkak akibat menangis semalaman. "Pasti karena Dave kembali lagi ke pelukan kakakku."

Zac hanya diam, mendengarkan suara Gary yang terdengar lembut dan halus. Zac heran, kenapa cowok ini tiba-tiba jadi halus?

"Sungguh Zac, aku tidak tahu kalau Shaina akan datang lagi menemui aku dan ibuku," Gary menatap mata biru Zac yang tenang.

"Tidak apa-apa. Itu bukan salahmu." Kata Zac, lemah. Dia sudah tidak semangat lagi untuk mendengar cerita apa pun tentang Dave dan Shaina.

"Tapi kau sangat mencintai Dave, dan aku merasa sangat bersalah karena sudah membuatnya bertemu kembali dengan Shaina. Seharusnya aku tidak menyuruhnya untuk menemui Shaina." Suara Gary dibanjiri dengan penyesalan, yang membuat Zac yakin kalau cowok itu benar-benar tulus mengatakan kata maafnya.

"Aku tidak mencintainya," Zac berbohong, "dan aku tidak peduli kalau dia harus kembali lagi ke pelukan Shaina."

"Zac, jangan membohongi perasaanmu," kata Gary, tenang, "kau tidak bisa menyembunyikan perasaanmu kepada Dave yang begitu besar. Aku yakin, siapa pun yang punya mata pasti bisa melihat betapa besarnya rasa cintamu untuknya."

"Kau tidak tahu apa-apa tentangku," Zac mulai kesal karena Gary masih terus menyebut-nyebut nama Dave. "Kalau kau mau menghinaku, hina saja aku. Tapi jangan pernah menyangka kalau aku mencintainya!" Zac masih berbohong, tentu saja.

Gary menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sabar. "Jangan menyangkal perasaanmu sendiri, Zac. Dan kalau kau memang mencintai Dave, aku tidak akan menghinamu, kok. Aku bukan homophobic. Aku bukan orang bodoh yang menertawakan kaum gay. Aku memang orang yang suka mengejek, tapi aku tidak pernah menghina derajat atau orientasi seks seseorang."

Zac benar-benar kesal sekarang. Kemudian dia berteriak, "Aku tidak peduli kalau kau bukan homophobic! Aku tidak peduli padamu, Gary! Aku tak butuh nasihatmu!"

"Tapi aku peduli padamu, Zac!" Gary balas berteriak, yang kemudian segera salah tingkah. Dia telah salah bicara. "Maksudku.... Aku tidak benar-benar peduli padamu. Aku hanya kasihan karena kau tampak menderita karena mencintai orang yang salah."

"Lalu siapa yang benar, huh?" Zac masih diliputi rasa kesal. "Siapa yang benar untuk kucintai?"

Gary tidak menjawab dan memilih untuk menenangkan dirinya. Dia memang tidak tahu siapa yang pantas untuk dicintai Zac karena dia tidak mengetahui apa pun tentang Zac. Selama ini dia mengenal Zac hanya sebagai cowok imut yang mudah dibuat kesal, tidak lebih dari itu. Jadi ketika Zac bertanya seperti tadi, dia tidak bisa menjawabnya.

"Zac!" Kemudian, seseorang menyahut nama Zac.

Gary dan Zac segera melihat ke sumber suara. Dave. Cowok tampan itu menghampiri Zac di kursinya.

Zac gemetar. Hatinya tiba-tiba berdebar-debar. Ada suatu perasaan marah, kesal, rindu dan juga cinta yang sangat kuat dirasakannya. Perasaannya campur aduk begitu melihat Dave berdiri di depannya, tersenyum ke arahnya, lalu memegang tangannya.

"Zac, aku ingin bicara berdua denganmu," kata Dave, masih memegang tangan Zac.
Tapi, Gary segera menepis pegangan tangan Dave. "Kau tidak boleh lagi bicara dengannya."

Dave menyipit galak ke Gary. "Aku tidak ada urusan denganmu, Gary! Aku ingin bicara dengan Zac, bukan dengan kau!"

"Apa lagi yang ingin kau bicarakan dengannya setelah kau melukai perasaannya, hah?!" Gary menepis lagi tangan Dave yang meraih tangan Zac. Dia tidak rela kalau Dave makin membuat Zac terluka. Meskipun luka yang dialami Zac juga diakibatkan oleh kakaknya.

Rahang Dave mengeras. Alisnya berkerut marah. Mata hijaunya menyala-nyala. "Jangan ikut campur urusan kami!" Dia berteriak tepat di depan muka Gary.

Gary mendorong tubuh Dave dengan keras, hingga membuat cowok tubuh cowok itu mundur ke belakang. Gary baru akan meninju muka Dave ketika tiba-tiba Zac berteriak:

"Hentikan! Kalian berdua!"

Gary melepas kepalan tangannya, lalu menjatuhkannya ke samping tubuhnya. Sementara Dave hanya bisa mendengus marah pada Gary. Setelah mereka berdua tidak bertengkar lagi, Zac melangkah pergi menjauhi mereka.

"Zac! Tunggu!" Dave berteriak, mengejar Zac. Dia meraih tangan Zac yang segera ditepis oleh cowok imut itu.

"Jangan pernah bicara denganku lagi, Dave!" kata Zac, kesal. Pipinya memerah karena emosi. "Gary benar. Apa lagi yang ingin kau katakan setelah kau melukai perasaanku? Tidak ada, Dave. Tidak ada lagi yang bisa kau katakan! Kau hanya bisa melukai perasaanku."

"Aku tak bermaksud untuk melukaimu!" Dave juga emosi. "Aku... aku hanya ingin menjelaskan semuanya."

"Menjelaskan apa lagi? Aku tak butuh penjelasan apa pun darimu!" Zac balik badan lagi, berniat untuk meninggalkan Dave.

Tapi Dave kembali memegang tangannya, membuat Zac tidak bisa melanjutkan langkahnya. "Zac, please.... Maafkan aku, aku tidak tahu kalau―"

"―kalau aku mencintaimu!" Zac berteriak, teriakannya menggaung di kantin itu. Dia tidak peduli kalau Gary dan teman-temannya mendengar. "Harus berapa kali kukatakan padamu kalau aku mencintaimu, Dave? Sangat dalam! Aku mencintaimu sejak pandangan pertamaku padamu! Aku mencintaimu lebih dari apa pun! Aku rela melakukan apa pun untuk bisa tetap berada di dekatmu! Aku menjagamu, merawatmu, menemanimu jalan-jalan, mendengarkan kesedihanmu tentang Shaina―walaupun itu menyakitiku! Aku yang selalu ada untukmu, Dave! Aku yang berdiri di sampingmu ketika kau membutuhkanku! Aku―bukan Shaina! Tapi kau malah memilihnya, yang telah meninggalkanmu, daripada aku yang selama ini ada di sampingmu!"

"Zac...." Dave tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kata-kata Zac tadi cukup untuk membuatnya mati kutu di tempat.

"Jangan pernah menjelaskan apa pun lagi padaku, Dave. Kau memang tidak akan pernah bisa mengerti seberapa besar aku mencintaimu!" Zac berbalik, melangkah pergi.

Ketika Dave ingin memegang tangan Zac lagi, Gary menghentikannya. Cowok itu mencekal tangan Dave dan mendorongnya agar menjauh dari Zac. "Sudah, Dave." Kata Gary, mendorong tangan Dave menjauh. "Kau sudah mendengar jawabannya. Dan sekarang, pikirkanlah semuanya. Pikirkan siapa yang selama ini ada di sampingmu. Biarpun Shaina adalah kakakku, tapi aku tidak bisa membiarkanmu menyakiti Zac. Karena anak itu mencintaimu lebih tulus daripada Shaina."

Dave tidak bisa membalas kata-kata Gary karena dia masih shock dengan yang dikatakan Zac tadi tentang seberapa dalam cowok imut itu mencintainya. Dave hanya bisa memandangi punggung Zac yang menjauhinya. Zac semakin menjauh, menjauh, menjauh... dari hidupnya.

***

"Jangan mengikutiku!" Zac berteriak pada Gary yang mengekor di belakangnya.

"Aku tidak mengikutimu. Aku juga mau pulang," alasan Gary.

Zac mengabaikan Gary dan berjalan di sepanjang lorong untuk bisa sampai ke depan gerbang. Begitu sampai di gerbang, dia melihat Josh berjalan menghampirinya. Ok, hari ini semua cowok tampan datang menghampirinya. Gary, Dave, Josh... dan setelah ini, siapa lagi? Fred?

"Apa yang kau lakukan bersamanya?" Josh menyipit pada Zac dan Gary yang jalan bersamaan.

"Dia mengikutiku," kata Zac.

"Pergi sana!" Josh mengusir Gary.

"Kau pikir dengan bersikap sok galak seperti itu akan membuatku takut? Huh, mimpi saja kau sana!" Gary mencibir.

Josh terpancing. "Jadi maksudmu aku tidak cukup galak untuk membuatmu takut? Well, kau mungkin butuh dihajar lagi supaya kau mengerti betapa galaknya aku!"

"Kau tidak akan mau menghajarku, Josh, karena kau pasti akan kalah," Gary melipat kedua tangannya dengan sikap sombong dan menantang khas dirinya.

"Oh, kau Bedebah yang menyebalkan, sombong dan sok jago!" Josh juga melipat tangannya, bersikap lebih menantang.

"Dan kau Pengecut yang sok hebat, tapi sebenarnya kau itu lemah!"

Zac memutar matanya melihat kedua orang di depannya itu saling mengejek. Kalau Josh dan Gary sudah bertemu, mereka pasti akan saling mengejek dan melupakan Zac begitu saja. Seperti sekarang ini. Mereka tidak mempedulikan Zac dan malah asik saling adu mulut.

Kemudian, Zac melihat Josh mendorong tubuh Gary hingga cowok bermata hijau itu tersentak ke belakang. Kemarahan terukir jelas di wajah Gary dan dia lalu mendorong tubuh Josh lebih kuat lagi hingga Josh mundur ke belakang beberapa langkah. Tapi sialnya, di belakang Josh ada lubang yang cukup lebar sehingga kakinya masuk ke dalam lubang itu dan tubuhnya tidak seimbang yang mengakibatkan dia terhuyung-huyung ke belakang kemudian jatuh dengan mata kakinya yang tertekuk di dalam lubang.

"Aaaawwh!" Josh berteriak menyakitkan saat punggungnya jatuh menabrak tanah. "Sialan!"

"Astaga!" Zac dan Gary memekik bersamaan, kemudian mereka menghampiri Josh.

Zac membantu mengangkat kaki Josh yang berada di dalam lubang. Dan ketika dia mengangkatnya, cowok itu berteriak lebih histeris lagi karena sepertinya kakinya terkilir.

"Sepertinya kakiku patah!" Josh berteriak, panik.

"Jangan berlebihan!" Gary memarahinya, tapi cowok itu berada di samping Josh dan membantu Zac melepaskan kakinya. "Itu hanya terkilir!"

"Ini semua karena ulahmu, Bodoh!"

"Kau duluan yang mendorongku, Tolol!" Gary membalas, tapi kali ini suaranya tidak segalak tadi.

"Kalau kakiku sampai patah, maka kau harus bertanggungjawab membuatnya utuh kembali! Aku ada lomba renang minggu depan, dan kalau sampai kakiku patah, maka aku bersumpah akan membuat hidupmu menyesal!"

"Siapa yang peduli dengan lomba renangmu itu!" Gary berteriak, tapi sambil melihat-lihat kaki Josh yang mulai membiru. "Tidak ada yang patah, hanya memar dan terkilir. Setelah dipijat pasti akan sembuh."

"Aku tak butuh dipijat! Aku butuh kakiku sehat!"

"Kalau kakimu mau sehat, maka kau harus memijatnya!"

Zac memutar matanya lagi karena Josh dan Gary tidak henti-hentinya saling melemparkan ejekan, meskipun kondisi Josh saat ini tidak sedang baik. Dan sialnya, saat ini Zac merasa seperti berada di tempat yang salah. Dia merasa seperti berada di tengah-tengah dunia Josh dan Gary. Maksudnya, lihat itu, ketika mereka bertengkar, mereka tidak mempedulikan apa pun yang ada di sekeliling mereka dan hanya sibuk dengan diri mereka sendiri, seolah-olah dunia ini milik mereka berdua.

Kemudian, Zac melihat Gary memijat-mijat kaki Josh pelan-pelan. Dan perbuatan Gary itu membuat Josh berteriak, tapi tidak menarik kakinya. Josh akhirnya membiarkan Gary mengurut kakinya.

Melihat itu, Zac merasa ingin tertawa. Gary ternyata tidak jahat pada Josh―cowok itu hanya suka mengejek, tapi tidak bermaksud untuk melukainya. Buktinya, cowok itu mau bertanggungjawab dengan memijat kaki Josh. Dan mereka berdua terlihat sangat serasi sekali. Saling melemparkan ejekan, tapi juga saling peduli satu sama lain.

Kemudian Zac bangkit dan menjauhi mereka. Benar saja, Gary dan Josh bahkan tidak mempedulikan kepergiannya. Mereka terlalu asyik berdua, dan Zac merasa sangat bersalah kalau berada di tengah-tengah mereka.

Saat Zac sudah berada di gerbang, sebuah motor Ducati warna hitam mengkilat berhenti tepat di depan tubuh Zac. Pengendara Ducati itu membuka helmnya, dan wajah Fred-lah yang ada di balik helm itu.

Yah, satu lagi cowok tampan yang datang menghampirinya.

"Hai," sapa Fred kepada Zac.

"Hai," balas Zac.

Fred memandang ke arah Josh dan Gary yang lagi asik berduaan di halaman sekolah yang berada tidak jauh dari mereka. Posisi mereka juga sangat romantis. Josh duduk berselonjor kaki di atas tanah, sementara Gary berada di kakinya, sedang memijatnya. "Ada apa dengan mereka? Kenapa jadi akrab begitu?"

Zac tertawa kecil, lalu berkata, "Kaki Josh terkilir dan Gary sedang memijatnya."

Fred juga tertawa kecil. "Yah, sudah kubilang, suatu saat mereka pasti akan saling mencintai." Lalu, setelahnya, Fred melihat lagi ke arah Zac. "Kau mau pulang? Ayo, biar kuantar."

"Hm... Apa kau tidak keberatan?"

"Tidak," kata Fred, "ayo, naik saja."

Maka, Zac pun segera naik ke boncengan motor Fred. Dan saat dia sudah naik, dia bisa mendengar suara teriakan Josh dari arah sana. Dia pun menolehkan kepalanya dan terkejut dengan apa yang dilihatnya.

Gary menggendong Josh! Oh my God! Bahkan dalam pikiran Zac pun tidak pernah terlintas kalau seorang Gary mau menggendong Josh! Gary menyelipkan tangan kirinya di bawah lutut Josh, sementara tangan yang satunya di bawah tubuh Josh. Mereka seperti pasangan pengantin. Lucu sekali. Imut sekali.

Zac bisa mendengar Josh meronta-ronta sambil memukul-mukul dada Gary supaya dirinya diturunkan. "Turunkan aku, Gary! Jangan menggendongku seperti anak perempuan!"

"Tidak! Aku sudah membuat kakimu terluka, dan kau belum bisa berjalan dengan benar, jadi biar kubantu kau ke mobilmu." Gary masih tidak peduli pada rontaan Josh. Sementara Josh masih memukul-mukuli dada Gary yang berotot. "Diam, Josh! Kalau kau masih meronta-ronta seperti itu, aku akan menjatuhkanmu dan biarkan saja kau mengesot untuk bisa sampai ke mobil!"

Mendengar kata-kata itu, Josh tidak lagi meronta-ronta dan membiarkan tubuhnya digendong oleh Gary menuju ke mobilnya.

Sebelum mereka menghilang dari pandangan, Zac bisa mendengar suara Gary mengatakan, "Tadi kau menyuruhku untuk bertanggungjawab, kan? Dan sekarang inilah tanggungjawabku. Biarpun kasar dan menyebalkan, tapi aku ini lelaki sejati yang penuh tanggungjawab." Setelah itu, mereka berdua menghilang dari pandangan Zac.

"Mereka serasi dan sangat romantis," komentar Fred yang juga asik melihati adegan gendong romantis tadi sambil tertawa kecil.

"Yah," Zac juga tertawa kecil, tapi kemudian suara tawanya menghilang karena mendengar perkataan Gary yang terakhir.

Seandainya saja Dave pria yang bertanggungjawab seperti Gary, pasti cowok itu bisa memilih dengan benar siapa yang lebih dia butuhkan. Tapi, ah! Sudahlah, Zac, lupakan Dave, dan mulailah hidup baru!

Maka, setelah itu, Zac berusaha melupakan Dave dari kepalanya dan membiarkan dirinya diantar pulang oleh Fred.

***

"Carrie itu adik tiriku," kata Fred sambil mengunyah lasagne buatan Zac yang sangat enak. "Ibuku menikah dengan ayahnya sekitar sembilan tahun yang lalu. Ayah kandungku sudah meninggal, sementara ibu kandung Carrie menikah lagi dengan orang lain. Tapi, biarpun saudari tiri, aku dan Carrie tetap akrab seperti layaknya saudara kandung."

Zac mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita Fred tentang keluarganya. Sekarang dia mengerti alasan kenapa warna rambut Fred dan Carrie berbeda. Dan juga kenapa wajah mereka tidak ada kemiripan sama sekali.

Tadi, setelah mengantar Zac pulang, Fred mampir ke rumahnya setelah dia iming-imingi akan membuatkan lasagne―makanan favorit Fred. Dan syukurnya, Fred menyukai lasagne buatan Zac yang enak.

"Kalau kau bagaimana? Apa kau punya saudara?"

Zac menggeleng. "Tidak. Aku anak tunggal." Jawabnya.

Fred mengangguk, menelan makanannya, lalu berkata, "Pasti tidak enak menjadi anak tunggal, ya? Tidak ada yang bisa diajak berbagi cerita."

Zac tersenyum. "Tidak juga. Aku masih punya ayah dan ibu yang mau mendengarkanku kapan pun aku ingin bercerita." Lalu, Zac teringat sesuatu tentang perkataan ayahnya. "Fred, ayahku sangat suka sekali dengan balapan motor dan dia ingin sekali menonton pertandingan balapmu yang kau bicarakan padaku di pesta beberapa hari lalu. Apakah dia boleh datang?"

"Oh, tentu saja. Ajak saja ayahmu." Fred meneguk air putih untuk melegakan tenggorokannya. "Dan dia boleh datang asalkan dia mau jadi pendukungku." Fred tertawa keras saat mengatakan ini.

Zac tertawa kecil. Senang rasanya bisa tertawa lagi. "Ya. Itu sudah pasti. Aku dan ayahku akan berada di kursi paling depan dan meneriakkan namamu paling keras."

Mereka berdua tertawa bersama untuk beberapa saat lamanya. Fred menceritakan kejadian-kejadian lucu yang pernah dialaminya, yang berhasil membuat Zac tertawa lagi. Zac senang sekali ada Fred di sini. Cowok itu bisa membuatnya tertawa dan melupakan semua masalah percintaan yang menyakiti hatinya.

Tapi, walaupun begitu, dia masih tetap tidak bisa melupakan Dave. Cintanya kepada Dave sangat besar. Dan itu susah sekali untuk dihilangkan. Di dalam hatinya, Zac masih berharap Dave akan berbalik dari Shaina dan kembali kepadanya. Tapi, harapan itu rasanya sangat kecil sekali.

"Zac, kau murung lagi," ujar Fred saat mendapati muka Zac yang sedih.

Zac segera memasang muka cerianya lagi. "Tidak. Aku bahagia."

Tapi muka Fred tidak ceria. "Aku tahu apa yang kau rasakan, Zac. Jangan menyangkal perasaanmu sendiri. Kalau kau memang mencintainya, akui saja. Jangan menyakiti dirimu seperti ini."

Zac menghembuskan napas, membuang ekspresi ceria yang tadi terpasang di wajahnya. "Aku memang mencintainya, Fred. Tapi, apakah dia mencintaiku? Tidak. Jadi, daripada aku menyiksa diriku, lebih baik kulepaskan saja cinta ini untuknya."

"Iya, tapi kau tidak boleh murung begitu. Kau tidak boleh terus-terusan sedih seperti itu. Patah hati bukan akhir dunia. Kau tidak sendirian. Biarpun Dave meninggalkanmu, tapi bukan berarti kau tidak punya siapa-siapa. Masih ada aku, Carrie, Josh dan juga Gary yang mesra-mesraan tadi."

Mengingat Josh dan Gary membuat Zac jadi tersenyum sendiri. Fred benar. Zac dikelilingi banyak orang yang menyayanginya. Bahkan Gary sekalipun. Meskipun cowok itu galak, menyebalkan dan Zac pernah sangat membencinya, tapi tadi dia melindungi Zac dari Dave. Gary bahkan lebih memilih untuk membela Zac daripada Shaina―kakaknya. Bagi Zac, itu saja sudah cukup untuk membuatnya yakin kalau Gary adalah anak yang baik.

"Dan kau tidak harus melepaskan cintamu." Fred berkata, pelan-pelan. "Dave itu lebih mengandalkan pikirannya daripada perasaannya, Zac. Dia tidak pernah peka terhadap perasaanmu karena dia lebih mengandalkan logikanya."

"Aku tahu," Zac menjatuhkan dagunya ke atas tangannya yang terlipat di atas meja.

"Maka, kau harus yakin. Sekarang ini, dia hanya memakai pikirannya untuk membuat pilihan. Tapi mungkin besok, atau lusa, dia pasti akan menggunakan perasaannya sendiri untuk menuntunnya kembali padamu."

"Tapi, bagaimana kalau dia tidak menggunakan perasaannya sama sekali? Bagaimana kalau setelah menggunakan perasaannya, dia bahkan tidak menemukan cinta untukku di dalam sana?"

"Dia pasti mencintaimu. Karena kalau tidak, mana mungkin dia mau menciummu sewaktu di pesta malam itu."

"Dia menciumku hanya ingin mengetahui bagaimana rasa bibirku."

"Tidak. Itu tidak benar. Dia mau menciummu karena dia menginginkannya. Aku bisa melihat itu, Zac. Dan semua orang juga bisa melihatnya. Dave mencintaimu. Tapi dia terlalu bodoh untuk menyadari perasaannya sendiri."

Zac menggelengkan kepalanya. "Lalu aku harus bagaimana, Fred? Dia bersama Shaina sekarang. Dan kesempatanku sudah tertutup rapat-rapat untuk bisa meraih hatinya."

"Tidak. Belum. Serahkan semuanya pada Dave." Kata Fred. "Sebelum Dave menikahi Shaina, kau masih berhak menunggunya. Tapi, jangan pernah memaksakan diri untuk menuntutnya agar mencintaimu. Biarkan dia sendiri yang memutuskan jawabannya."

"Yah. Itu juga yang dikatakan Carrie padaku." Kata Zac, tiba-tiba teringat pada omongan Carrie. "Tapi sampai kapan aku harus menunggunya, Fred?"

"Sampai dia sadar betapa besar perjuanganmu untuk bisa mendapatkan cintanya."

Jawaban Fred membuat Zac bungkam. Dan kemudian, dia bisa merasakan harapan kembali memenuhi dadanya.

Fred benar. Sebelum Dave menikahi Shaina, Zac masih berhak untuk mengharapkannya.


***
Maaf kalo part yg ini nggak memuaskan kalian, karena di sini saya mau menunjukkan kepada Zac kalau dia itu dikelilingi banyak org yg sayang sama dia, termasuk kita.

Dan Gary so sweet banget yaaaa :D

Apalagi dia pria yg bertanggungjawab, uuurgh! Makin sukak!

Fred sama Zac makin deket, sementara Dave mudah diabaikan begitu saja. Hahaha. Mari kita tertawakan Dave karena kebodohannya sendiri!

*
Bandar Lampung, Minggu 23 Agustus 2015

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top