Inviting
Maafkan saya karena chapter sebelumnya banyak kesalahan dalam penulisan nama :( semoga chapter yg ini kesalahan namanya cuma dikit, ya. Dan kalo masih salah, tolong dikoreksi atau dimaklumin karena saya juga kan baru belajar wahaha.
Selamat baca.
========
Inviting
========
Rasa bersalah adalah sebuah rasa yang sangat tidak disukai oleh Dave. Karena Dave orang yang tidak suka menyakiti atau membuat kesalahan pada seseorang dan ketika secara tanpa sadar dia melakukannya, rasa bersalah yang sangat tidak enak akan selalu menghantuinya. Rasa bersalah itu baru akan pergi kalau dia sudah mendapatkan kata maaf dari orang yang telah dia sakiti.
Seperti sekarang ini. Dave sedang merasa bersalah pada Zac karena sudah lupa pada janjinya sendiri yang akan mengantarnya pulang sekolah. Cowok imut itu mengatakan kalau mama dan papanya tak bisa menjemputnya, dan dia masih belum tahu jalan kalau naik bus, jadi dia meminta pada Dave untuk menumpang pulang bersamanya. Dave menyetujui permintaannya dan menyuruh Zac untuk menemuinya di ruang latihan basket setelah pulang sekolah karena Dave pikir dia akan ada latihan basket hari itu. Tapi, ternyata dia tak ada jadwal latihan basket, sehingga dia tak jadi pergi ke ruang itu dan tidak tahu kalau Zac menunggunya di sana. Saat itu Dave sudah tidak ingat sama sekali dengan Zac. Setelah selesai kelas, Dave langsung pulang begitu saja tanpa sedikit pun mengingat tentang Zac.
Dan sekarang, akibat perbuatannya yang lalai itu, dia harus merasakan rasa bersalah yang sangat tidak enak di dadanya. Apalagi Zac tidak mau memaafkannya dan memilih untuk mengabaikan Dave begitu saja. Rasanya sangat tidak enak ketika Zac membanting pintu rumahnya keras-keras dan menolak untuk membukakan pintunya untuk Dave yang saat itu menggedor-gedornya. Dan karena gedorannya tak digubris oleh Zac, Dave akhirnya menyerah dan memilih untuk meninggalkan Zac sendirian.
Saat ini Dave tak pernah bisa memikirkan apa pun lagi kecuali Zac. Dia merasa sangat berdosa pada cowok imut itu yang sudah bersikap sangat baik padanya. Zac sudah menjaganya, merawatnya, membantunya mendorong kursi rodanya, tapi kebaikan Zac malah dia balas dengan kejahatan. Dave malah melupakan janjinya sendiri yang membuat Zac kecewa padanya.
“Aaaargh!” dia mengerang frustrasi sambil menjambak-jambaki rambutnya. “Kenapa hanya dengan janji sekecil itu saja aku bisa lupa?”
Mengutuki diri sendiri adalah satu-satunya hal yang paling mudah dia lakukan sekarang. Karena meminta maaf pada Zac sama sulitnya dengan mencari jarum di dalam jurang. Tapi, mengutuki diri sendiri tidak akan bisa membuat rasa bersalahnya menghilang. Hanya kata maaf dari Zac yang bisa membuat keadaannya jadi lebih baik.
Malam itu Dave nyaris tak bisa tidur nyenyak. Setiap kali dia menutup mata, bayangan Zac yang marah-marah dan membanting pintu rumahnya keras-keras selalu menghantuinya. Dia tak pernah merasa lebih bersalah daripada hari ini. Biasanya dia selalu bisa menahan semua perasaan yang seperti ini, tapi kali ini dia tak bisa menahannya. Dia tak bisa menahan rasa bersalahnya pada Zac.
Besoknya, Dave bangun pagi-pagi sekali dan langsung bergegas mandi. Dia ingin mengajak Zac berangkat sekolah bareng hari ini, untuk menebus kesalahannya yang kemarin. Semoga Zac tidak menolak ajakannya.
Setelah ikut sarapan bersama ayah dan ibunya, Dave buru-buru pamit dan masuk ke Mustang hitamnya yang sudah bersih dan sehat berkat kerja keras Jamie. Pasca kecelakaan, mobil Dave mengalami rusak berat pada bodi dan juga beberapa mesinnya. Dan mobil itu diserahkan kepada Jamie untuk diperbaiki, dan hasilnya sangat memuaskan. Mustangnya terlihat lebih mengilap dari sebelumnya.
Mobil itu melesat di jalan Marylin Street dan berhenti di depan rumah Zac. Begitu keluar dari mobil, Dave buru-buru lari ke depan rumah cowok imut itu dan mengetuk pintunya.
Semoga Zac belum berangkat, pikirnya dalam hati.
Tapi harapannya tak terkabul. Yang membukakan pintu adalah Mr. Hammel, ayah Zac. Dan pria itu, setelah memberikan kata-kata sambutan yang ramah pada Dave, mengatakan kalau Zac sudah berangkat sekolah diantar ibunya.
“Apa kau tak membuat janji dengannya?” tanya Mr. Hammel.
Dave menggeleng. Janji terakhir yang dia buat justru malah membuat Zac kecewa. “Tidak.”
“Pantas saja,” kata Mr. Hammel, tersenyum. “Seharusnya kau buat janji dulu agar dia tidak harus diantar ibunya.”
Dave akhirnya hanya bisa pasrah. Biar bagaimana pun kesempatannya untuk meminta maaf tidak hanya datang dari sini saja. Dia masih bisa bertemu dengan Zac di sekolah dan mengatakan maaf padanya di sana.
Dia pamit pergi pada Mr. Hammel dan langsung bergegas ke sekolah.
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Dave tak pernah bisa fokus pada jalanan di hadapannya. Dia hampir saja menabrak salah satu penyebrang jalan yang saat itu melintas di depan mobilnya, dan juga hampir ditabrak oleh bus umum ketika dia dengan bodohnya menerobos lampu merah begitu saja. Ini semua terjadi karena pikirannya selalu fokus kepada Zac.
Saat sampai di sekolah, Dave buru-buru masuk ke gedung sekolah dan mencari-cari Zac. Tapi dia tidak menemukan Zac di mana pun, bahkan di kantin. Dia malah bertemu dengan Carrie―pacar Ben. Cewek berambut pirang pucat itu menghampirinya.
“Mencari Zac?” tanyanya.
Dave mengangguk. “Ya. Kau mengenalnya?”
“Dia sekelas denganku di beberapa pelajaran.”
“Apa sekarang dia ada di kelas yang sama denganmu?” Dave memanjangkan lehernya ke balik badan Carrie untuk mencari-cari Zac, tapi cowok yang dicarinya tak ada di dalam kelas.
“Tidak, maaf.” Cari menggeleng. “Apa yang membuatmu mencarinya?”
“Tidak apa-apa.” Jawab Dave. Dia tak mau menceritakan masalahnya dengan Zac pada siapa pun. “Kalau kau bertemu dengannya, maukah kau menyampaikan padanya kalau aku mencarinya?”
“Tentu,” kata Carrie, tersenyum. “Dia pasti akan senang menemuimu.”
Dave mengerutkan kening mendengar kata-kata Carrie, tapi tak mengatakan apa pun dan lebih memilih untuk pergi dari hadapan gadis pirang itu. Paling tidak dia sudah berusaha mencari Zac. Dan semoga usahanya untuk meminta maaf tidak berakhir sia-sia.
***
“Dave mencarimu.” Kata Carrie yang tiba-tiba datang menghampiri Zac. Cowok itu lagi memasukkan buku ke dalam lokernya.
“Aku tak mencarinya.” Jawab Zac.
Jawaban Zac membuat Carrie kaget. “Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Kalian ada masalah?” tanya Carrie, masih penasaran.
Zac menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke loker. “Entahlah, Carrie. Aku juga tidak tahu.”
“Kalian seperti sepasang kekasih yang sedang dilanda masalah,” ujar Carrie. “Apa masalahnya?”
“Cuma sepele. Dia tak menepati janjinya.”
“Owh. Cerita selengkapnya?” tagih Carrie, masih penasaran.
Zac mulai menceritakan semua kejadian kemarin sore. Dimulai dari dia menunggu Dave di gedung basket, lalu Helga datang menghampiri, kemudian Gary mengganggu mereka dan Josh bertengkar dengannya, setelah itu Gary dan Josh bertabrakan bibir, hingga sampai ke bagian ketika Helga memaksa Gary mengantar Zac pulang, dan masalah yang terjadi selanjutnya. Carrie diam mendengarkan sementara Zac bercerita dengan suara pelan agar tak ada orang lain yang mencuridengar.
“Ya, itu memang salah Dave.” Komentar Carrie setelah Zac selesai.
“Aku tahu. Tapi aku benar-benar kecewa karena dia sudah melupakan janjinya dan mengabaikanku begitu saja.”
“Kalian benar-benar seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar,” goda Carrie.
Zac hanya tersenyum masam. “Yah, tapi sayangnya kami bukan sepasang kekasih.”
“Mungkin belum.” Kata Carrie. “Aku tahu Dave peduli padamu. Dia bahkan mencarimu sekarang. Aku yakin dia pasti ingin meminta maaf.”
“Aku benar-benar kesal dan malas untuk bertemu dengannya.” Zac menghela napas berat. Lalu, dia menambahkan, “Tapi rasanya juga tidak enak kalau terus-terusan bersikap tak peduli seperti ini.”
Carrie tersenyum dan meremas bahu Zac. “Kau patut membiarkannya dalam rasa bersalahnya, tapi ada baiknya juga kau tidak membiarkannya berlama-lama seperti itu.”
“Hanya sampai dia menyesal,” kata Zac, geleng-geleng kepala. “Tapi sudahlah, Carrie. Aku sudah memaafkannya. Aku hanya tak ingin bicara dengannya dulu.”
Carrie mengangguk. “Ya. Aku mengerti.”
“Kalau begitu, aku duluan ya. Aku ada janji mau bertemu Gary di kantin hari ini.” Kata Zac, buru-buru mengunci lokernya.
“Gary?” dahi Carrie berkerut. “Kenapa kau berteman dengannya?”
“Oh, aku tidak berteman dengannya,” jawab Zac. “Aku hanya ingin menanyakan sesuatu padanya.”
“Sesuatu?” kerutan di dahi Carrie makin dalam. Dia benar-benar tidak tahu sama sekali kalau Zac sekarang dekat dengan Gary. Setahunya, Zac sangat membenci cowok pirang itu.
“Ya.” Zac berkata dengan tidak sabar. “Aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Aku benar-benar harus pergi. Sampai jumpa.” Lalu cowok itu menghilang ke arah kantin.
Carrie masih diam ketika memperhatikan Zac pergi. Dia masih penasaran dengan apa yang terjadi di antara Zac dan Gary. Dia hanya bisa berharap, apa pun itu semoga tidak merusak perasaan Zac kepada Dave.
***
Siang itu keadaan kantin sekolah cukup ramai seperti biasanya. Dave dan teman-temannya segera duduk di meja tempat mereka biasa duduk setelah sebelumnya mengambil beberapa menu makan siang.
Sepanjang siang tadi Dave masih belum bertemu dengan Zac di mana pun. Dan dia juga masih belum bisa melupakan cowok imut itu sama sekali. Tiap kali ingin melakukan sesuatu, dia pasti teringat pada Zac―dan juga kesalahan yang sudah dia buat padanya.
“Dave, kau melamun lagi,” kata Jamie, mengibaskan tangannya di depan muka Dave.
Dave mengerjap-ngerjapkan matanya dan menyingkirkan Zac dari dalam kepalanya. “Tidak apa-apa.”
Jamie, Alex dan Michelle saling bertukar pandang kebingungan karena tingkah Dave yang sangat aneh hari ini. “Kau baik-baik saja?” tanya Michelle.
“Ya.” Dave menggigit rotinya. “Hanya sedikit kelaparan.”
Alex berkata, “Bro, jangan pernah menyembunyikan semuanya dari kami. Kami tahu ada yang tidak beres denganmu hari ini.”
Dave mendesah pelan. Akhirnya mereka menyadarinya juga. Dia menatap temannya satu per satu dengan tatapan memohon agar mereka tidak memaksanya untuk bercerita sekarang. “Aku belum mau membicarakannya.”
Alex menggeleng, rambut merahnya yang ikal bergerak-gerak. “Ini pasti karena seseorang. Aku tak pernah melihatmu segelisah ini semenjak putus dari Shaina.”
Dave memelototi Alex dengan galak. Mereka berdua sudah sepakat untuk tidak membahas Shaina lagi. Dave paling tidak suka dengan topik pembicaraan itu. Dan terlebih lagi, mereka menyamakan rasa bersalahnya pada Zac dengan rasa bersalahnya pada Shaina.
“Jangan samakan Zac dengan Shaina!” semburnya, marah.
“Zac?!” Jamie mengerut heran. “Kenapa dia?”
Dave salah tingkah. Dia telah salah bicara. Dan sekarang dia tak bisa menarik kata-katanya lagi. Alex dan Michelle mungkin tidak seterkejut Jamie karena mereka tidak kenal dengan Zac, tapi Jamie tampak terkejut dan mengerutkan keningnya dalam-dalam karena perkataannya barusan.
“Tidak. Dia tidak apa-apa.” Dave berusaha bersikap normal, tapi tak bisa. Dia gugup.
“Kau memikirkannya?” tanya Jamie, masih mengerutkan kening.
“Tunggu dulu. Siapa Zac ini? Yang mana orangnya?” potong Alex.
“Kau tidak tahu? Zac Hammel, anak baru yang berteman dengan adikmu?” kata Jamie.
“Tidak, Josh tidak mengatakan apa pun.” Mata abu-abu Alex menatap ke Dave. “Dia siapamu? Kenapa kau memikirkannya?”
Dave merasa seperti sedang diinterogasi polisi. Tentu saja, teman-temannya pasti mau tahu siapa Zac dan ada hubungan apa di antara mereka yang sudah membuat Dave capek-capek memikirkannya. Dan bahkan dia marah sewaktu teman-temannya menyamakan Zac dengan Shaina. Mungkin ini karena rasa sakit hatinya pada wanita itu, atau juga karena rasa bersalahnya pada Zac? Entahlah, Dave tak tahu lagi apa yang dirasakannya sekarang.
“Itu dia.” Jamie berkata sambil mengedikkan dagunya ke meja lain di hadapan mereka. “Itu yang namanya Zac Hammel. Cowok berambut merah yang duduk di sebelah Gary.”
Gary? Dave buru-buru membalikkan badan dan melihat ke meja tempat Zac dan Gary duduk berdua di sana, sedang mengobrol sambil tertawa-tawa. Dave mengerutkan kening karena Zac dan Gary terlihat sangat akrab dan seperti berteman dengan baik. Kenapa Zac berteman dengan Gary? Kenapa cowok itu mau saja diajak makan berdua di kantin?
Tiba-tiba hal ini membuatnya kembali mengingat kejadian kemarin sore di halaman rumah Zac ketika dia menonjok Gary karena mengira cowok itu mengganggu Zac. Tapi Gary tak mengganggu Zac, cowok itu malah baru saja mengantarnya pulang. Dan Dave bingung, kenapa Gary mengantar Zac pulang? Dan kenapa Zac tidak menolaknya?
“Awh, sepertinya ada yang lagi asik memperhatikan seseorang,” ujar Michelle, menggoda Dave yang menatap meja Gary dan Zac dengan serius.
Dave menggelengkan kepalanya dan kembali ke posisinya. “Aku tak memperhatikannya. Aku bahkan tak peduli kalau dia bicara dengan Gary.” Jelas di berbohong untuk yang satu ini. Hatinya merasa sangat tidak enak dan tidak rela kalau Zac bicara sepatah kata pun dengan musuh bebuyutannya. Zac tak boleh berteman dengan Gary!, makinya dalam hati.
“Tapi wajahmu terlihat keruh,” tambah Alex. “Jujur saja Dave, apa yang terjadi antara kau dan anak itu?” Alex memandangi Zac dengan serius. “Dan setelah diperhatikan, anak itu oke juga. Imut, tapi juga tampan.”
“So gay,” kata Michelle, agak tertawa.
“Kelihatan sangat jelas,” Alex menegaskan.
“Jangan mengatainya gay!” Dave tiba-tiba marah. Merasa sangat kesal karena Zac dikata-katai oleh mereka. “Dia bukan gay!”
Alex, Jamie dan Michelle mengedipkan mata mereka melihat ledakan amarah Dave yang tiba-tiba. Tadi dia galau setengah mampus, tapi sekarang dia marah-marah seperti orang gila. “Ada apa denganmu? Kau menyukainya?” tanya Michelle langsung.
Dave tidak menjawab dan memilih untuk pergi dari meja ini. Alex dan Michelle tidak mencegahnya dan membiarkan Dave pergi begitu saja. Tapi Jamie tak bisa mengabaikan Dave dan segera menyusul temannya yang sudah berjalan keluar dari kantin.
“Dave!” sahut Jamie, berusaha menghentikan langkah Dave. Tapi cowok itu masih terus berjalan tanpa mempedulikannya. “Dave, tunggu!”
Dave harus terpaksa berhenti karena teriakan Jamie. “Ada apa?”
“Ada apa denganmu hari ini? Kau bertingkah aneh.”
“Aku tahu.” Dave berkata lemah. “Aku hanya sedang banyak pikiran.”
“Memikirkan Zac?” tanya Jamie. Mata cokelatnya menatap Dave minta penjelasan.
Dave tak mau menghindar lagi sekarang. Alex dan Michelle mungkin bukan pendengar yang baik, tapi Jamie adalah sahabat yang sering mendengarkan keluh kesahnya. Jadi Dave mengangguk dan mengatakan, “Aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
“Bahkan pada Shaina?”
“Bahkan pada Shaina,” Dave menegaskan. “Ada apa denganku, Jamie? Aku tak mungkin suka padanya, kan?”
“Oh aku tak tahu,” kata Jamie. “Tapi aku tidak terkejut kalau kau memang suka padanya.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, bahkan saat kau sadar dari kecelakaanmu waktu itu, orang pertama yang kau tanyakan padaku adalah Zac. Kau peduli padanya, yang ini berarti kau menyukainya..”
Dave berusaha mengingat malam itu ketika dia bermimpi mendengar suara teriakan Zac di dalam kepalanya. “Apa itu yang kukatakan?” tanya Dave, bingung.
“Ya.”
Dave geleng-geleng kepala. “Tapi sekarang dia membenciku.”
“Apa masalahnya?”
“Aku mengingkari janji yang kubuat padanya.” Dave menggosok-gosok tangannya yang gatal. Lalu dia menceritakan kejadian yang terjadi kemarin―termasuk ketika dia menonjok Gary dan Zac yang membanting pintu rumahnya keras-keras. Lalu, setelah selesai dia berkata, “Apa yang harus kulakukan, Jamie?”
“Kau harus minta maaf padanya,” jawab Jamie, enteng.
“Bagaimana caraku minta maaf kalau dia saja tak mau bicara denganku dan malah berteman dengan Gary?” wajah Dave berubah keruh saat melihat Gary dan Zac di kantin tadi. “Dan kalau Zac berteman dengan cowok pirang jahat itu, maka dia pasti akan dipaksa untuk melakukan hal-hal buruk.”
Jamie mengangguk. “Kau benar. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan Gary pada Zac, tapi lebih baik berjaga-jaga daripada menyesal.” Lalu Jamie menepuk-nepuk bahu Dave. “Kalau kau memang peduli padanya, harusnya kau cegah dia agar tidak berteman dengan Gary.”
“Ya. Aku akan melakukannya. Tapi setelah dia memaafkanku.”
“Kalau begitu pertama-tama kau harus minta maaf padanya.”
“Kau benar. Tapi bagaimana caranya?” tanya Dave, kehabisan akal. “Aku kan sudah bilang, dia bahkan tak mau bicara denganku.”
“Oh, itu urusan gampang. Kau bawa saja dia ke pesta musim panas nanti malam.”
Dave tiba-tiba langsung ingat. “Oh, ya. Pesta musim panas. Kenapa aku bisa lupa ya?”
“Kau memang selalu lupa, Dave. Bahkan janjimu pada Zac saja kau lupakan begitu saja. Pantas saja dia marah dan kecewa padamu.”
“Oh, terima kasih karena sudah mengingatkanku!” Dave memutar bola matanya. “Maukah kau memastikan kalau Zac akan datang ke pesta musim panas nanti malam?”
Jamie memandang Dave. “Kenapa bukan kau saja yang mengundangnya?”
“Dia takkan mungkin datang kalau aku yang mengajaknya.”
“Kau benar. Kalau begitu aku akan kembali ke kantin dan menanyakan padanya.” Jamie sudah bersiap melangkah.
“Terima kasih Jamie. Kau memang temanku yang paling berguna dibandingkan Alex dan pacarnya.” Dave tersenyum tulus.
“Oh, tentu saja. Aku senang membantu seseorang yang lagi patah hati.”
Sebelum Dave sempat berkata apa-apa, Jamie sudah pergi meninggalkannya sendiri di lorong. Apa yang barusan dikatakan Jamie? Seseorang yang lagi patah hati? Well, mungkin Dave memang patah hati karena Zac mengabaikannya.
***
Mata hijau Gary tampak indah dengan sedikit pantulan cahaya matahari di dalamnya. Tenang, tapi juga sangat dalam dan penuh misteri. Zac tidak bisa tidak mengagumi mata hijau Gary karena sesungguhnya dia memang menyukai pria bermata hijau. Tapi, kalau untuk Gary, maaf saja, Zac takkan pernah bisa menyukai pria satu ini. Dia hanya menyukai Dave. Dia memang sudah tidak terlalu membenci Gary, tapi rasanya salah kalau menyukai pria jahat itu.
“Jadi ada apa kau kemari?” tanya Gary, langsung to the point.
“Shaina. Aku ingin bertanya tentang Shaina.”
Mata Gary menyipit. “Apa pedulimu pada kakakku?”
“Tidak ada. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi antara dia dan Dave.”
“Oh. Kau tidak peduli pada kakakku, tapi pada Dave.” Gary melipat kedua tangannya di depan dada.
“Aku hanya harus tahu apa yang terjadi antara Dave dan Shaina.”
“Mengapa kau harus tahu?” tanya Gary, masih menyipit heran.
Karena aku ingin menghilangkan rasa sakit yang ada di hati Dave karena terlalu memikirkan Shaina. Sebenarnya itu yang ingin dikatakan Zac, tapi dia buru-buru menahan kata-kata itu agar tidak keluar dari mulutnya. Gary bisa mengejek dan bahkan menghinanya kalau tahu dia mencintai Dave.
“Tidak apa-apa. Aku hanya penasaran. Dave seringkali terlihat terluka ketika bicara tentang Shaina.”
“Dia terluka?” Gary menyipit lebih sipit.
“Tidak terluka seperti yang kau pikirkan. Dia hanya terlihat gelisah dan tampak bingung pada saat yang bersamaan.” Kata Zac, tiba-tiba merasa harus memperbaiki kalimatnya.
“Ya. Itu juga yang kulihat di matanya tadi pagi dan kemarin sore.”
“Apa maksudmu?” tanya Zac, heran.
“Tadi pagi aku melihat Dave seperti orang yang kehilangan orientasi. Dia seperti seseorang yang tak makan selama sebulan. Dan dia bahkan tak fokus ke jalanan.”
“Kau memperhatikannya?”
“Tidak, aku hanya senang melihat dia yang seperti orang idiot.” Gary tertawa ketika mengatakan ini. Lalu, ketika melihat air muka Zac berubah jadi kesal, Gary buru-buru mengatakan, “Maaf, aku tak bermaksud mengatai pacarmu.”
“Dia bukan pacarku!” kata Zac marah.
Gary tertawa kecil. “Kau tahu, Zac. Aku senang sekali menggodamu. Itu membuat pipi merahmu jadi kelihatan lebih cute.”
Mendadak, Zac merasa menyesal karena sudah menemui cowok tampan berambut pirang yang jahat ini. “Oh, kau menyukaiku?”
“Kau percaya diri sekali. Aku bukan gay!”
Sekarang gantian Zac yang tertawa. “Owh, kau bukan gay, tapi kau mencium Josh!” Zac tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa puas ketika mengingat kejadian kemarin sore.
Gary cemberut, tapi tidak marah sewaktu Zac menertawainya karena entah bagaimana, tawa Zac terdengar sangat lembut di telinganya, yang membuat kemarahannya mereda. “Kau puas sekarang, hah?!”
Zac harus memegangi perutnya yang terasa sangat sakit karena terlalu banyak tertawa. Kalau di depan Josh, dia tak bisa tertawa seperti ini karena demi menjaga perasaan temannya. Tapi kalau di depan Gary, dia bebas menertawakannya sepuasnya karena dia tidak berteman dengan Gary.
Tepat saat itu Jamie mendatangi meja mereka, membuat Zac harus menghentikan tawanya saat itu juga. Cowok berkulit hitam itu menatap Zac. “Zac, kau ada waktu? Aku ingin bicara berdua denganmu.”
“Ehm, ya. Tentu saja. Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Zac, mengabaikan Gary.
“Sebaiknya kita bicarakan di tempat lain. Aku tak ingin ada orang lain yang mendengar.” Jamie menatap Gary dengan pandangan tak suka.
“Oh, silahkan pergi sana kalian berdua!” kata Gary, marah pada Jamie karena cowok itu datang di saat yang tidak tepat.
Zac hanya mengangguk singkat kepada Gary dan kemudian pergi mengikuti Jamie yang berjalan keluar dari kantin. Lalu, setelah berada di lorong, Jamie berhenti dan mengatakan, “Ada masalah apa antara kau dan Dave?”
Zac mengerutkan dahi, bingung. Kenapa masalahnya dan Dave cepat sekali menyebar? Darimana Jamie tahu kalau dia dan Dave sedang dalam masalah? “Apa Dave yang memberitahumu?”
“Tidak. Dia tak mengatakan apa pun.” Jawab Jamie berbohong.
Pasti Carrie, pikir Zac. Kalau bukan Dave yang memberitahu Jamie, pasti Carrie-lah yang memberitahunya. “Kau pasti sudah tahu apa masalahnya.”
Jamie mengangguk. “Mau sampai kapan kau marah padanya?”
“Tidak tahu. Dia bahkan tak berusaha untuk bicara denganku.”
“Dia sudah berusaha. Tapi ketika melihat kau bersama Gary, dia mengurungkan niatnya.” Kata Jamie membela temannya. “Dia tadi berada di kantin ketika kau dan Gary tertawa-tawa. Dan dia memilih untuk tidak bicara denganmu karena dia pikir kau berteman dengan Gary sekarang.”
“Berteman dengan Gary? Konyol sekali! Aku tak mungkin berteman dengannya!”
Jamie tak mau berbasa-basi lebih basi lagi. Jadi dia cepat-cepat bertanya, “Apa kau akan datang ke pesta musim panas nanti malam?”
“Ya. Josh sudah mengajakku tadi.” Dan benar, tadi pagi Josh sudah mengajaknya datang ke pesta itu. Pestanya diadakan di danau yang jaraknya cukup dekat dengan rumahnya.
“Bagus.” Jamie menepuk-nepuk bahu Zac. “Dan, sampai kapan kau tidak akan bicara dengan Dave?”
“Sampai dia meminta maaf langsung padaku.” Jawab Zac.
“Dan kalau dia sudah minta maaf secara langsung, apa kau akan memaafkannya?” tanya Jamie, berusaha meyakinkan sesuatu.
“Tentu saja. Tapi itu pun kalau dia melakukannya. Dan kalau tidak, maka aku juga takkan mau lagi bicara dengannya.”
Jamie mengangguk. Dave harus meminta maaf secara langsung pada Zac malam ini. Karena kalau tidak, cowok tampan itu pasti akan jadi tambah lebih galau lagi.
***
Gimana chapter yg ini? Haha. Kalo kurang memuaskan jangan dimarahin ya :(
Dan maaf kalo saya lama updatenya, soalnya kemaren abis nulis cerita panas di lapak sebelah. Haha.
Vote dan comment nya? Hihi.
*
Bandar Lampung, Minggu 02 Agustus 2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top