First Impression
================
First Impression
================
Zac melangkahkan kaki dengan pelan berusaha menyamai langkah Mrs. Harvey yang berjalan di depannya dengan sangat anggun dan elegan.
Dia gugup setengah mati karena akan berhadapan dengan orang-orang baru di kelasnya nanti. Dan biarpun sudah berlatih dua belas jam di rumah bagaimana cara memperkenalkan diri dengan baik dan benar, dia masih saja gugup dan takut anak-anak yang lain tidak menyukainya.
Zac bukan termasuk golongan cowok-cowok keren, makanya dia cukup sadar diri untuk tahu kalau beberapa anak di kelasnya nanti akan memandang tidak suka ke arahnya. Zac juga bukan nerd, tapi dia bisa dibilang kuper dan susah bergaul dengan orang-orang keren. Teman-temannya di sekolahnya yang dulu kebanyakan anak-anak dari golongan nerd dan anak-anak yang suka menyendiri. Dan karena terlalu sering bergaul dengan anak-anak nerd, dia jadi ikut-ikutan dicap nerd oleh mereka yang tergolong dalam anak-anak keren. Dan tampaknya di sekolah ini pun dia akan dicap seperti itu.
Mrs. Harvey berhenti di depan sebuah pintu kelas dan melirik Zac sekilas. "Jangan khawatir, Zac. Mereka pasti akan menyukaimu."
Zac mengangguk. Dan Mrs. Harvey pun membuka pintu.
Suasana ribut yang tadi mendominasi ruangan, seketika hening ketika Mrs. Harvey melangkah masuk ke dalam kelas dengan anggun dan penuh wibawa. Wanita itu sangat sempurna dalam berjalan. Dadanya dibusungkan, mata fokus ke depan dan tangan kanannya menjinjing tas warna merah marunnya yang cantik. Saking heingnya kelas itu, Zac sampai bisa mendengar suara hak sepatu wanita itu yang berklotak ketika berjalan menuju ke mejanya yang ada di muka kelas.
"Selamat pagi," Mrs. Harvey menyapa sambil menaruh tasnya ke atas meja. Dan suaranya benar-benar anggun. "Hari ini kalian mendapatkan seorang teman baru. Dia pindahan dari Walnut Hills High School dan aku ingin kalian semua menerimanya sebagai salah satu bagian dari kalian."
Zac menelan ludah ketika matanya berselancar menatap ke seluruh murid satu per satu. Kelas ini dipenuhi dengan anak-anak yang keren. Zac bisa tahu dari cara berpakaian, gaya rambut, sikap angkuh dan juga dari tatapan mata mereka yang memandang licik ke arahnya.
"Zac, perkenalkan dirimu." Ucap Mrs. Harvey.
Zac menelan ludah sekali lagi, kali ini untuk melegakan tenggorokannya yang tercekat dan mulai bicara. "Hai. Namaku Zac Hammel. Kalian bisa memanggilku Zac saja. Aku baru pindah ke kota ini karena ayahku dipindahtugaskan ke sini. Sebelumnya aku bersekolah di Walnut Hills High School karena saat itu ayahku juga dipindahtugaskan di kota itu. Sebelum di Walnut Hills, aku pernah bersekolah di Jericho High School dan itu juga lagi-lagi karena ayahku dipindahtugaskan―"
"Itu terlalu panjang, Nerd!" Kata seorang cowok pirang yang duduk di kursi belakang dengan bengis.
Anak-anak yang lain pun tertawa mendengar komentar cowok pirang itu.
Zac tiba-tiba berhenti bicara dan merasakan pipinya panas karena malu. Tentu saja dia kepanjangan memperkenalkan dirinya. Mana ada orang yang mau tahu tentang perjalanan sekolahnya yang sering berpindah-pindah.
"Manner, Mr. Flanagan!" Mrs. Harvey memarahi cowok pirang itu, alih-alih menyuruh anak-anak sekelas untuk berhenti mentertawakan Zac.
Zac menghela napas karena dia tahu tidak mudah untuk bisa berbaur dengan orang-orang di dalam kelas ini.
"Silahkan dilanjutkan Zac." Perintah Mrs. Harvey ketika kelas sudah tenang.
"Kurasa sudah cukup perkenalanku, Mrs. Harvey." Kata Zac dengan lemah. Dari sudut matanya, Zac bisa melihat cowok pirang yang memotong kata-katanya tadi tersenyum licik.
"Kalau begitu kau bisa duduk di kursi kosong sebelah Josh." Kata Mrs. Harvey dan menunjuk ke salah satu kursi di tengah.
Zac mengangguk dan berjalan ke kursinya. Dia melangkahkan kaki dengan pelan, sekaligus waspada kalau-kalau ada anak yang iseng mau menjegalnya. Dan ternyata benar saja. Seorang cowok gemuk berambut merah mengulurkan kakinya lewat bawah mejanya. Untung saja Zac sudah antisipasi, kalau tidak, pipinya sekarang pasti akan lebih memerah karena malu. Jadi, dia melangkahi kaki cowok gemuk itu dan tersenyum simpul padanya. Cowok gemuk itu mendengus kesal dan kembali menarik kakinya ke bawah meja.
Huh, kenapa sih setiap ada anak baru di kelas selalu disambut dengan jegalan kaki dan tatapan-tatapan licik?
Orang yang bernama Josh adalah cowok tinggi berkulit pucat dengan rambut merah dan bermata biru. Bintik-bintik hitam menghiasi wajahnya mulai dari hidung sampai ke pipinya. Cara berpakaiannya formal, tapi masih modis dan tak ketinggalan jaman. Ketika Zac duduk di sebelahnya, Josh tidak berkata apa-apa dan hanya memandangnya sekilas tanpa senyuman. Tipikal cowok yang tidak terlalu mau tahu urusan orang, pikir Zac, dan sepertinya aku akan cocok duduk di sebelahnya.
"Hai. Namaku Zac," Zac mengulurkan tangannya ke arah Josh yang dibalas dengan pandangan Josh yang menjengkelkan.
"Aku tahu namamu. Kau sudah menyebutkannya tadi." Kata Josh dingin.
Huh, dia benar juga. "Tapi aku belum tahu namamu."
"Apa kau tuli? Mrs. Harvey tadi memberitahukan namaku padamu."
Fuck! Josh benar-benar dingin dan sepertinya dia tidak mau diganggu. Zac memang sudah tahu namanya karena Mrs. Harvey tadi menyebutkannya, tapi kan dia mau mengenal Josh secara pribadi―seperti layaknya orang-orang yang kenalan secara langsung, bukan melalui perantara. Tapi karena Josh mengabaikannya, jadi Zac lebih memilih diam dan menyerah untuk mencoba berteman dengannya.
Mrs. Harvey mulai mengajar pelajaran Fisika Dasar. Zac tidak terlalu fokus pada apa yang dijelaskan Mrs. Harvey dan dia merasa bersalah karena sudah mengabaikan wanita itu. Tapi dia benar-benar benci pelajaran Fisika. Jadi mau tidak mau dia harus mengabaikan wanita itu.
Zac mulai mengamati teman-teman kelas barunya. Cowok pirang tadi yang dipanggil Mr. Flanagan oleh Mrs. Harvey, sepertinya cowok paling keren dan paling tampan di kelas ini. Rambut pirangnya kontras sekali dengan kulitnya yang kecokelatan dan matanya yang berwarna hijau terang. Uh, Zac suka sekali dengan cowok-cowok bermata hijau―mereka lebih punya karakter dan daya tariknya sendiri. Tapi maaf saja, si Flanagan itu sangat jauh dari kriteria cowok idamannya.
Cowok gemuk berambut merah yang tadi mau menjegalnya menjadi sorotan keduanya. Anak itu benar-benar gemuk dan tinggi. Duduk saja kelihatan seram, apalagi kalau dia berdiri? Dia pasti akan kelihatan seperti hulk. Dan Zac memutuskan pada dirinya sendiri untuk tidak mau macam-macam dengan cowok gemuk itu. Sorotan matanya benar-benar mengerikan dan dia pasti tipe cowok yang sangat galak dan suka menindas orang-orang kecil seperti dirinya.
Yang disorot oleh Zac selanjutnya adalah seorang cowok nerd yang terlihat sangat kecil dan menyedihkan di kursinya yang ada di pojokan kelas dekat pintu. Anak itu kurus, berambut cokelat acak-acakan dan memakai kacamata yang sangaaaaat besar. Yah, dia sangat memenuhi kriteria untuk menjadi seorang nerd. Zac yakin, Flanagan dan si cowok gemuk raksasa itu pasti sering mengganggunya. Dan setelah Zac perhatikan lagi, tidak ada nerd lain di kelas ini kecuali dia.
Tidak ada cowok lain yang tampannya bisa mengalahkan Flanagan. Kalau saja si Flanagan tidak mempermalukannya tadi, Zac pasti sudah langsung jatuh hati padanya. Mata hijaunya benar-benar indah dan penuh kharisma. Tapi, eew, cowok macam dia tidak pantas untuk disukai.
Tanpa Zac sadari, bel berbunyi dan Mrs. Harvey menghentikan ceramahnya hari itu. "Cukup sekian untuk hari ini. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya."
Anak-anak mulai membereskan barang-barang mereka dan segera berhamburan ke luar kelas. Zac bisa melihat dengan jelas ketika Flanagan dengan sengaja menabrakkan bahunya ke bahu cowok nerd tadi dengan kasar hingga menjatuhkan buku-buku yang dipegangnya. Si nerd menggerutu pelan dan memungut buku-bukunya, kemudian berjalan ke luar kelas.
Zac benci sekali dengan cowok-cowok seperti Flanagan yang menganggap diri mereka keren dan bebas melakukan hal seenaknya pada kaum nerd. Zac bukan nerd, tapi dia sering bergaul dengan nerd hanya karena dia senang berada di dekat mereka yang pintar dan berwawasan luas. Tapi bukan berarti dia mau memanfaatkan mereka, tidak, dia tidak sepicik itu. Maaf saja, Zac sudah pintar dan dia tidak butuh seorang nerd untuk membantunya menyelesaikan ujiannya.
"Zac," Mrs. Harvey memanggil.
Zac segera memasukkan buku terakhir ke dalam tasnya dan berjalan menghampiri Mrs. Harvey. "Ya, Mrs?"
Mrs. Harvey bukannya menjawab malah memanggil anak lain. "Carrie, kemarilah."
Zac membalikkan badannya dan melihat seorang gadis cantik yang duduk di bangku paling depan sedang membereskan buku-bukunya. Dan ketika Mrs. Harvey memanggilnya, gadis itu menghentikan gerakannya sejenak.
"Ya?" Tanyanya kebingungan.
"Apa kau sibuk setelah ini?" Tanya Mrs. Harvey.
"Tidak." Jawab Carrie. Kemudian dia melirik Zac. "Oh, aku tahu apa yang Anda inginkan, Mrs."
Mrs. Harvey tersenyum ramah. "Bisakah kau temani Zac hari ini? Dia belum mengenal seluruh ruangan dalam gedung sekolah ini. Jadi kalau kau tidak keberatan―"
"Oh, tidak tidak. Aku tidak akan keberatan sama sekali." Carrie tersenyum dan menyelempangkan tasnya ke bahu. Kemudian dia berjalan mendekati mereka. "Namamu Zac, kan? Aku Carrie." Dia mengulurkan tangannya ke hadapan Zac.
Zac tersenyum dan menjabat tangannya. "Senang bertemu denganmu, Carrie."
"Nah, kalau begitu aku akan meningalkan kalian berdua." Kata Mrs. Harvey. "Kau tenang saja, Zac. Carrie akan membantumu beradaptasi di tempat ini. Dia anak yang pandai bergaul."
"Oh, terimakasih banyak, Mrs. Harvey. Aku sangat tersanjung." Kata Carrie dan nyengir dengan sangat lebar.
Mrs. Harvey tersenyum sekali lagi dan kemudian keluar. Meninggalkan Zac berduaan dengan Carrie di dalam kelas.
"Jadi, Walnut Hills, huh?" Tanya Carrie.
Zac mengangguk. "Ya. Begitulah."
"Oke." Carrie tersenyum. "Apa kau lapar?"
"Hm, sedikit."
"Bagus. Aku kelaparan dan tak bisa menemanimu berkeliling dengan perut kosong." Carrie berbalik membelakanginya. "Ayo, pertama aku akan membawamu ke kantin."
Zac berjalan mengekor di belakang Carrie. Gadis itu kemudian memberi isyarat padanya agar berjalan di sampingnya. Maka Zac mempercepat langkahnya dan berusaha menyamakan langkah Carrie yang panjang dan tergesa-gesa.
"Apa kau tinggal di dekat sini?" Tanya Carrie tiba-tiba.
"Tidak. Rumahku di dekat danau."
"Itu lumayan jauh. Kau harus menaiki bus tiga kali untuk bisa sampai ke sekolah ini."
"Hm, sebenarnya aku diantar mamaku."
"Aw, anak mami rupanya." Carrie tertawa kecil ketika mengatakan ini. Zac merasakan pipinya tiba-tiba menjadi panas. "Tak usah malu-malu begitu, Zac. Sikapmu yang malu-malu seperti itu akan mengundangnya banyak masalag."
"Apa maksudmu?"
"Kau tahu maksudku." Kata Carrie dengan tenang. "Gary sudah mengincarmu dari awal pertama kali kau masuk ke dalam kelas."
"Gary?" Tanya Zac heran.
"Flanagan. Gary Flanagan. Cowok yang mempermalukanmu di kelas tadi."
Oh. Jadi nama depannya Gary? "Ya. Sepertinya dia membenciku."
"Dia nyaris membenci semua orang. Kurasa dia punya masalah dengan otaknya yang rusak." Carrie terkekeh. Zac tersenyum, lega rasanya mengetahui bukan hanya dia saja yang membenci Flana―Gary. "Dan kalau kau terus bersikap seperti perempuan, maka dia akan selalu menganggumu."
"Aku tidak seperti perempuan!" Protes Zac.
Carrie melambai-lambaikan tangannya, tak memperdulikan protesan Zac. "Makanya buktikan. Jangan pasang muka malu-malu dan kau harus berani. Di sekolah ini, kalau kau lemah, maka kau akan ditindas."
"Itu peraturan yang sangat konyol."
"Ya. Tapi itu peraturan yang harus kau jalani untuk bisa bertahan di tempat ini." Carrie berbelok ke kanan, melewati koridor panjang yang dipenuhi dengan loker di kanan-kirinya.
"Kukira kau akan mengajakku ke kantin." Kata Zac.
"Memang. Tapi aku harus mengambil beberapa buku untuk kelas selanjutnya. Apa kau sudah tahu di mana lokermu?"
Zac mengangguk.
"Bagus. Tunggu sebentar. Aku tidak akan lama."
Zac menunggu di samping Carrie, sementara gadis itu membuka lokernya dan mengambil beberapa buku.
Loker Carrie dipenuhi dengan warna pink dan foto-foto. Kebanyakan foto dirinya bersama dengan seorang pria tampan yang sangat menawan. Zac yakin itu pasti pacar Carrie. Melihat kemesraan mereka di foto-foto itu membuat Zac tahu kalau Carrie dan pacarnya saling mencintai satu sama lain.
Setelah selesai, Carrie mengambil kuncitan dari dalam tasnya dan menguncir kuda rambutnya dengan kuncitan itu. "Aku gerah. Dan rambut panjang seperti ini benar-benar menyebalkan di musim panas!"
Zac hanya bisa tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.
Kemudian mereka berdua berjalan ke kantin. Carrie membawa Zac melewati beberapa lorong yang dipenuhi dengan anak-anak dan lorong-lorong panjang lain yang sangat sepi. Uh, kantinnya terasa sangat jauh sekali dari kelasnya yang tadi. Dan sebenarnya seberapa besar dan luasnya sekolah ini sampai-sampai rasanya Zac tidak pernah merasa besar ketika berada di sini.
Kemudian sampailah mereka di kantin. Ada beberapa anak yang duduk berkelompok di salah satu meja dan meja lain sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Juga beberapa anak yang menyendiri dan makan dengan tenang. Kalau di Walnut Hills, Zac lebih menyukai makan sendiri atau terkadang bergabung dengan meja kaum nerd. Tapi kali ini dia hanya bisa diam saja mengikuti ke mana Carrie melangkah.
"Aku akan membawamu ke teman-temanku." Kata Carrie dan mendekati salah satu meja yang dipenuhi dengan empat orang anak perempuan yang cantik-cantik.
Eew, perempuan? Yang benar saja! Zac pasti akan dikatai banci kalau dia bergabung bersama mereka. Walaupun dia gay, tapi dia paling ogah dikatai banci. Tapi, akhirnya dia nurut juga sewaktu Carrie menarik tangannya untuk gabung dan duduk di sebelahnya.
"Gengs, kenalin ini Zac." Kata Carrie kepada teman-temannya.
Cewek-cewek itu mulai heboh dan memperkenalkan diri mereka pada Zac dengan berlebihan. Si cewek berambut pirang pasir memperkenalkan dirinya bernama Helga. Si gadis berambut cokelat dan berkulit hitam namanya Sam. Yang berambut merah pendek namanya Wendy. Dan yang satu lagi―yang paling cantik di antara keempatnya―bernama Chloe. Zac langsung menyukai Chloe begitu saja karena gadis itu tidak berlebihan ketika berkenalan dengannya.
"Dia tampan." Kata Sam sambil mengedip-ngedip heboh ke Zac. "Dan juga imut. Aw―senyumnya juga mempesona!"
Oh, terimakasih untuk pujiannya, Nona. Tapi sayang sekali, aku tidak menyukai perempuan, kata Zac dalam hati. Tapi sambil mengembangkan senyum.
"Jangan menggodanya, Sam! Dia anak baru."
Teman-teman Carrie langsung menganga kaget.
"Holy shit! Kau pindahan dari mana?" Tanya Sam heboh.
"MotherF! Kenapa kau pindah?" Helga tidak kalah heboh.
"BigF! Sekarang kau tinggal di mana?" Wendy makin menambah kehebohan.
"Ya Tuhan! Kau benar-benar tampan dan ini suatu berkah bagi sekolah kami karena bisa mendapatkan satu lagi stok cowok tampan dan imut seperti dirimu! Thanks, God." Sam bahkan mulai histeris hingga membuat beberapa anak dari meja lain mendelik jengkel ke arah mereka.
"Kalian terlalu banyak pertanyaan! Zac tidak bisa menjawab semuanya sekaligus!" Carrie berteriak, yang membuat ketiga gadis itu diam dan cemberut karena dimarahi.
Gendang telinga Zac nyaris pecah mendengar suara ketiga perempuan heboh itu. Untung saja Carrie langsung mengambil alih keadaan. Setelah gadis-gadis itu cukup tenang, Zac baru mulai bicara. "Aku pindahan dari Walnut Hills High School, Ohio."
Sam, yang paling heboh, langsung histeris lagi. "Oh my Goooooosh! Ohio itu kampung halaman ibuku! Wah, ini suatu keajaiban! Aku tidak tahu kalau Ohio mempunyai stok cowok tampan sepertimu, Zac! Kalau aku tahu, aku pasti akan sering-sering ikut ibuku ke sana. Ngomong-ngomong, di mana―"
Zac tidak lagi mendengarkan apa yang dikatakan si heboh Sam karena matanya sekarang terfokus pada meja lain yang ada di pojok. Dia bukan fokus pada mejanya, tapi fokus pada salah seorang cowok yang duduk di meja itu. Cowok yang diperhatikannya itu berkulit agak cokelat karena terbakar matahari, rambut warna hitam yang cukup panjang hingga menutupi sebagian dahi dan telinganya, juga matanya yang berwarna hijau zamrud, langsung saja menarik perhatian Zac begitu pertama kali dia melihat cowok itu.
Cowok itu tampan―sangat tampan. Hidungnya mancung. Mata hijau zamrudnya yang sangat indah dan bening, serasi sekali dengan alisnya yang hitam dan tebal dengan tambahan bulu mata yang lentik. Garis rahang cowok itu juga sangat sempurna. Zac berani taruhan, bahkan dokter bedah sekali pun takkan mampu merusak tulang rahangnya yang mantap itu.
Semua yang ada pada diri cowok itu membuat Zac langsung merasakan suatu debaran aneh ketika melihatnya. Zac juga tidak tahu kenapa, tapi hanya dengan melihat cowok itu saja sudah bisa membuat jantungnya berdetak tidak karuan.
Cowok bermata hijau itu duduk bersama dengan tiga orang temannya. Satu cewek dan dua cowok. Zac suka sekali memperhatikan cowok itu ketika dia bicara dan tertawa. Hanya dengan melihat cowok itu tertawa saja sudah berhasil membuatnya lupa daratan. Seketika saja semuanya menghilang dan yang bisa dirasakannya hanyalah dirinya dan juga cowok tampan itu.
Cowok itu tertawa sangat keras ketika salah seorang temannya bicara dan Zac menyunggingkan senyum begitu saja mendengar suara tawanya yang renyah dan gurih itu. Duh, ada apa ini? Kenapa Zac bisa langsung tersihir pada cowok yang baru pertama kali ditemuinya? Dia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.
"Earth to Zac! Helllooooo??!! Mister??!!!"
Zac mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat dan kebingungan karena tangan Sam yang cantik melambai-lambai di depan mukanya, menghalangi pandangannya ke arah cowok tampan tadi. God, kenapa cewek ini mengganggu fantasiku?
"Zac, kau tidak sopan karena sudah mengabaikanku!" Kata Sam pura-pura marah.
"Apa? Maaf, aku tak mendengar apa yang kau katakan tadi." Kata Zac jujur. Tapi itu malah membuat Sam cemberut.
"Namanya David Price." Kata Carrie tiba-tiba di dekat telinga Zac.
"Apa?" Zac kebingungan karena sepertinya dia tidak menanyakan nama siapa pun.
Carrie mengedikkan dagunya ke arah cowok tampan yang tadi diperhatikan Zac. "Cowok itu. Namanya David Price. Tapi orang-orang memanggilnya Dave. Kau melamun karena terlalu asik memperhatikannya, kan?"
Seketika hening. Semua orang yang ada di meja ini serempak langsung menatap ke arah Zac yang sekarang memerah karena malu.
"Lihat itu." Kata Carrie dan menunjuk wajah Zac yang merah padam. "Kau malu-malu lagi. Ternyata benar dugaanku. Kau gay." Carrie berbisik dengan sangat pelan pada ujung kalimatnya, hingga hanya mereka saja yang bisa mendengarnya.
Sam, Helga, Wendy dan Chloe mendesah kecewa lalu bersungut-sungut.
"Kau menyakitiku, Zac," kata Sam dan menyentuh dada kirinya dengan kuat. "Aku berusaha keras mendapatkan perhatianmu, tapi kau malah melirik Dave."
Zac tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia masih speechless. Cowok tampan itu namanya Dave? Namanya saja sangat indah, seperti orangnya. Dan Zac tak bisa berhenti mengulang nama itu terus-terusan di dalam kepala dan juga hatinya. Dave. Dave. Dave.
"Apa dia seumuran kita?" Tanya Zac penasaran. Dia sudah tak mempedulikan kekecewaan teman-teman Carrie. Saat ini yang ada di kepalanya hanya Dave.
"Tidak. Dia senior. Usianya dua tahun lebih tua dari kita." Jawab Carrie sambil meminum cokenya. "Lupakan saja, Zac. Bukan hanya kau saja yang langsung tertarik padanya pada pandangan pertama."
Anehnya, Zac malah semakin memperhatikan Dave dengan antusias. Dia tidak sedetik pun mengalihkan pandangannya dari cowok tampan itu. Saat Dave berbicara, tertawa dan minum, dia menyukai semua gerakannya. Bukan hanya fisiknya saja yang membuat Zac tertarik, tapi aura yang keluar dari tubuhnya itu juga membuat Zac terpana.
"Sepertinya ada yang lagi jatuh cinta," komentar Helga sambil cemberut.
Bagaimana Helga tidak cemberut? Sementara di meja ini ada tiga cewek yang secara terang-terangan naksir sama Zac, tapi Zac malah asik melihati Dave dengan penuh nafsu. Pria gay ini benar-benar menjengkelkan mereka!
"Kau melihat cowok itu seperti kau akan memakannya saja!" Kali ini Wendy yang bicara.
"Dave itu playboy." Carrie memperingati.
"Dan juga seorang lelaki bejat." Sam menambahi.
"Oh, jangan lupa, dia pernah memperkosa anak orang." Helga mengompori.
"Dan juga pernah masuk penjara karena narkoba." Wendy menambah api dalam usaha mereka menjauhi Zac dari pesona Dave.
Tapi Zac masih tidak peduli dan malah semakin asik menikmati Dave dengan matanya. Bagi Zac, yang ada di kepalanya saat ini adalah bagaimana caranya mendekati cowok tampan itu dan meminta nomor ponselnya.
Kelima cewek itu akhirnya mendesah kecewa dan menyerah dalam usaha mereka. Lalu, Chloe berkata, "Kau benar-benar menyukainya ya?"
Zac mengangguk mantap dan menatap Chloe dengan penuh harapan.
"Tapi dia straight, Zac." Kata Carrie dengan sedih.
"Aku hanya ingin menjadi temannya." Jawab Zac.
"Dan dia bukan orang yang mudah bergaul, Zac." Sam mulai lagi.
"Aku hanya ingin menjadi temannya, Sam. Bukan bergaul dengannya. Dan lagipula, aku bukan tipe orang yang mudah digauli."
Crap! Kelima cewek itu pun diam tak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya mereka menyerah dan mulai menceritakan semua yang mereka tahu tentang Dave kepada Zac.
Ternyata mereka semua berbohong padanya. Dave bukan pemerkosa atau pun pemakai narkoba. Dia bersih dari semua tindakan kriminal, kecuali hobinya yang suka main balapan liar. Dave pernah beberapa kali mengalami kecelakaan karena hobinya yang ekstrim itu. Tapi, mereka semua benar tentang Dave yang seorang playboy dan lelaki bejat. Di sekolah ini sudah banyak cewek yang menjadi korban kebejatannya. Dave selalu memacari perempuan yang menurutnya cantik dan seksi, lalu kemudian meniduri gadis itu dan setelah mendapatkannya, dia langsung membuang mereka begitu saja.
Memang tidak semua cewek dibuang begitu saja olehnya, ada beberapa juga yang awet jadi pacarnya. Tapi awet dalam artian seminggu atau lebih. Dan semua itu sudah menjadi ciri khas Dave.
Bukan hanya Zac yang mencintai Dave seperti orang gila, tapi sudah ada beberapa orang juga yang pertama kali melihatnya langsung jatuh hati padanya. Dan setiap kali ada yang mendekati Dave, kalau Dave pikir orang itu menarik, maka dia akan mendapatkannya dan mencicipinya, kemudian dicampakkannya.
"Itu tidak mungkin." Kata Zac agak kecewa karena keterangan ini membuatnya shock. "Dia kelihatan sangat baik."
"Kami tidak berbohong, Zac. Dia memang orang yag seperti itu. Dan kami berani sumpah demi apa pun untuk semua informasi itu," kata Chloe. Dan karena Chloe yang mengatakannya, maka Zac percaya.
Zac langsung melihat ke arah Dave lagi dengan sedih. Kenapa ya cowok-cowok keren seperti Dave dan Gary selalu saja bersikap jahat dan seenaknya terhadap orang-orang? Gary dengan sikapnya yang sok berkuasa atas orang lemah. Dan Dave dengan sikap playboy dan kurang ajarnya.
Zac sangat membenci cowok-cowok seperti itu. Biarpun bisa dibilang Zac tidak kalah tampannya dengan Gary dan Dave, tapi dia tak pernah menindas kaum nerd dan juga tak pernah mempermainkan hati wanita.
Di Walnut Hills dulu, banyak wanita yang sangat menyukai Zac sampai rela melakukan apa pun demi mendapatkan perhatiannya. Tapi Zac tak pernah melirik perempuan-perempuan itu karena dia gay. Dan lagipula, Zac tidak suka memanfaatkan orang lain. Kalau dia tidak menyukai seseorang, maka dia akan menolaknya dengan halus tanpa ingin menyakiti perasaannya.
Karena sifatnya itu makanya Zac banyak dikagumi di orang-orang.
"Lupakan saja, Zac. Dia bukan tipe pria yang ingin kau dekati." Kata Carrie memperingati lagi.
Zac menolehkan kepalanya dari Dave ke Carrie. "Ya, memang. Tapi dia sempurna."
"Lebih baik jangan daripada kau menyesal." Kata Sam dingin. Gadis ini masih kesal karena cowok tampan yang ada di hadapannya saat ini adalah gay dan malah tertarik pada cowok brengsek di meja sebelah sana.
Zac mendesah dan meminum cokenya. "Kalau begitu aku takkan mendekatinya."
Kelima cewek itu mengangguk menyetujui. Lalu mereka mulai mengobrol selama jam istirahat berlangsung. Sam melanjutkan ceritanya tadi tentang kampung halaman ibunya di Ohio. Wendy dan Helga asik ngobrol berdua membicarakan cowok yang tak diketahui Zac. Chloe diam selama obrolan berlangsung. Dia memang tipe cewek yang pendiam dan tak berlebihan seeprti teman-temannya yang lain.
Dan sialnya, Zac merasa sangat nyaman berada dalam kumpulan cewek-cewek ini yang membuat beberapa cowok di sekitarnya memandang geli ke arahnya. Mereka pasti berpikir dia banci karena bergabung dengan anak-anak perempuan. Huh. Tapi tak apalah. Ini masih hari pertamanya di sekolah. Dia tak mau menyia-nyiakan kebaikan para wanita ini yang mau menemaninya mengobrol di hari pertama.
Lalu bel berdering dan mereka pun berpisah. Zac mengikuti Carrie berjalan menjauhi kantin.
"Apa kelas yang harus kau ikuti setelah ini?" Tanya Carrie.
"Matematika." Jawab Zac setelah melihat daftarnya.
"Kita beda kelas. Aku harus ke kelas Sejarah."
"Oh. Oke. Kalau begitu, sampai jumpa lagi."
Carrie tersenyum dan mengangguk. "Kau sudah tahu kelasmu kan?"
Zac mengangguk. Dia sudah mendapatkan denah lokasi seluruh kelasnya dari Mrs. Harvey tadi pagi.
"Aku duluan. Bye." Lalu Carrie menjauhinya dan berjalan ke kanan melewati lorong yang berbeda dari lorong yang dilewati Zac.
Zac tersenyum dan melangkahkan kakinya menuju ke kelas.
***
Zac melihat arloji yang melingkar di tangannya sekali lagi, lalu mengalihkan pandangan matanya ke jalanan di depannya. Sudah hampir sore begini tapi mamanya masih belum datang juga. Dia sudah mengirim pesan ke mamanya, tapi tak dibalas. Dan ketika dia menelfon, yang menjawab malah kotak suara. Mamanya pasti lagi meeting atau ada urusan lain yang lebih penting.
Bukannya Zac kesal karena mamanya harus kerja hingga tak bisa menjemputnya. Dia kesal karena tidak tahu harus pergi ke mana sekarang. Kalau saja mamanya mengajarkannya cara naik bus untuk sampai ke rumahnya, Zac pasti akan langsung naik bus saja jadi tak perlu repot-repot menunggu dalam kebosanan seperti ini.
Carrie menawari tumpangan untuk mengantarnya pulang, tapi Zac menolaknya dengan halus karena mamanya akan menjemput. Dan sekarang dia menyesal karena tidak menerima tawaran Carrie. Sudah dua jam Zac duduk di kursi besi panjang halaman sekolah dan mamanya masih belum merespon sama sekali.
Tin! Tin! Sebuah Camaro warna hitam berhenti tepat di depan tubuh Zac dan membunyikan klakson.
Seseorang menurunkan kaca dan Josh ada di baliknya. Cowok itu jadi kelihatan lebih keren dengan mobilnya ini. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Josh.
"Duduk." Jawab Zac singkat. Tadi pagi Josh bersikap dingin padanya. Jadi sekarang Zac tak ingin bersikap terlalu ramah pada cowok kece ini. Bukannya dia dendam, tapi dia terlalu malas kalau keramahannya nanti dibalas dengan sikap dinginnya lagi.
"Aku tahu kau duduk. Memangnya aku bodoh apa?" Josh tersenyum miring. Saat Josh tersenyum, saat itu pula Zac merasakan hatinya berdesir nyaman melihat senyumannya. "Apa kau butuh tumpangan?" Josh menawarkan.
"Tidak. Aku dijemput."
Yang tak pernah disangka Zac, Josh keluar dari mobilnya dan malah mengambil posisi duduk di sebelahnya. Uh, dari jarak sedekat ini, Zac bisa mencium aroma parfum cowok ini yang sangat memabukkan.
"Sudah berapa lama kau menunggu di sini?"
"Dua jam." Jawab Zac. Lagi-lagi dengan singkat.
"Itu lama sekali. Apa kau yakin tak butuh tumpangan?"
"Tidak."
Josh menghela napas. "Dengar, Zac. Maafkan perlakukanku padamu di kelas tadi pagi. Sikapku memang selalu begitu pada orang yang baru kukenal."
"Lalu kenapa tiba-tiba sikapmu jadi berubah padaku? Padahal kau belum juga mengenalku."
"Hm, mungkin aku berniat untuk memperbaiki hubungan kita?" Josh menatap Zac. "Kau harus tahu, aku memang tak pernah bagus dalam memilih teman. Kupikir kau akan sama saja seperti Gary dan Bob yang suka mengganggu anak-anak nerd. Tapi, saat kau melihat Gary menabrak Todd di depan kelas, kau merasa marah dan benci pada tindakan bullying seperti itu."
"Kau memperhatikanku?" Tanya Zac.
"Ya. Maksudku, tidak juga. Aku hanya ingin memastikan apakah kau tipe cowok keren dan diktator seperti Gary atau cowok brengsek dan menyebalkan seperti Bob."
Yang dipanggil Bob pasti cowok gemuk berambut merah yang tadi mau menjegalnya. "Tidak. Aku benci mereka. Aku bukan cowok seperti mereka. Dan lagipula, aku ini tidak keren."
"Kau keren. Makanya aku malas sekali meladenimu tadi pagi. Tapi ternyata kau golongan cowok keren yang baik." Josh melirik jam tangannya. "Sudah hampir sore. Apa kau yakin tak butuh tumpangan? Untuk menebus perbuatanku yang menyebalkan tadi pagi, aku akan mengantarmu sampai ke depan gerbang rumahmu."
Zac tertawa geli. "Jadi kau mengantarku hanya karena ingin menebus rasa bersalahmu?"
Josh tertawa. "Tidak, Bung. Aku benar-benar ingin mengantarmu. Anggap saja ini kesan pertama yang baik dari seorang teman?"
Zac tersenyum kali ini. "Oke. Tapi rumahku ada di dekat danau, apa kau tak apa-apa mengantarku sampai sejauh itu?"
"Kau ini benar-benar tuli ya? Tadi aku sudah bilang aku akan mengantarmu sampai ke depan gerbang rumahmu."
"Aku tidak tuli. Aku hanya ingin mendengarnya sekali lagi, hanya untuk memastikan."
Josh bangkit dari duduknya. "Kalau begitu, ayo. Kita buang-buang waktu di sini."
Zac ikutan bangkit dan bersama-sama, mereka berjalan ke mobil Josh.
Josh tidak langsung mengantar Zac pulang. Dia membawa Zac ke sebuah restaurant cepat saji yang menu andalannya adalah burger pedas khas daerah sini, kata Josh. Zac mengatakan kalau dia tidak lapar, tapi Josh memaksa dan mau tak mau Zac harus ikut masuk ke dalam dan memesan kentang goreng.
"Kau suka sekali junk food seperti itu." Komentar Zac dan menunjuk ke burger di piring Josh yang masih panas.
"Kau juga suka sekali makan kentang goreng itu." Josh gantian menunjuk ke piring Zac.
Zac memutar bola matanya dan mulai memakan kentangnya.
"Habis ini kau tidak berniat langsung pulang, kan?" Tanya Josh.
"Kenapa? Apa kau mau mengajakku ke tempat lain?"
Josh mengangguk. "Aku mau bertemu dengan teman-temanku di bengkel. Kau harus ikut. Aku ingin memperkenalkanmu pada mereka."
"Kalau kau belum tahu, Josh, aku ini orang yang tak mudah bergaul." Zac memperingati. Bahkan di Walnut Hills dulu saja dia tak pernah punya banyak teman―kecuali kaum nerd, yang entah bisa disebut sebagai temannya atau bukan.
"Tenang saja. Kau diam juga tak masalah. Biarkan mereka yang mengambil alih keadaan. Teman-temanku ramah pada siapa pun. Apalagi cowok keren sepertimu. Mereka pasti akan memaksamu berteman dengan mereka."
Zac tahu percuma saja menolak. Jadi dia mengangguk. "Terserah kau saja, Josh."
Josh nyengir dan kemudian mereka makan sambil mengobrol.
Josh ini termasuk anak yang baik di sekolah. Dengan keras dia mengatakan kalau dia sangat membenci Gary dan Bob atas tindakan mereka yang suka menindas orang-orang lemah dan kaum nerd. Josh sudah seringkali bertengkar dengan Gary karena sikapnya itu, tapi Gary masih saja mengganggu mereka.
Josh pernah menghajar Gary sampai babak belur karena cowok itu memasukkan salah seorang nerd ke dalam lokernya sendiri. Tapi biarpun sudah sering babak belur karena dihajar Josh, Gary tak pernah berubah juga. Kalau Bob masih bisa diajak kompromi. Sewaktu Josh menghajarnya karena ketahuan memeras seorang junior, Bob tak mau lagi berurusan dengan Josh dan memilih untuk menakuti anak-anak saja, tapi tidak pernah menyentuh atau pun memeras mereka lagi.
Teman-teman Josh juga sangat membenci tindakan bullying seperti itu. Biarpun Josh dan teman-temannya adalah cowok-cowok keren di sekolah, tapi mereka sangat anti mengganggu yang lemah. Bukan tidak selevel, tapi karena Josh dan teman-teman 'keren'nya adalah orang-orang yang selalu didorong oleh rasa kebaikan.
"Jamie itu paling sayang sama kaum nerd," kata Josh melanjutkan ceritanya. "Bukan sayang seperti kekasih, tapi lebih seperti rasa sayang seorang kakak kepada adiknya. Jamie tak pernah membenci mereka, tapi juga tidak terlalu menyukai mereka. Dia hanya tak suka anak-anak nerd diperlakukan kurangajar oleh mereka yang berkuasa."
"Bukankah kalian juga berkuasa?" Tanya Zac dan asik ngunyah-ngunyah makanannya.
"Ya―tapi kami tak pernah menggunakan kekuasaan kami untuk menindas orang-orang lemah. Apalagi Dave, dia itu primadonanya sekolah. Dan dia orang yang sangat membenci bullying. Pokoknya, siapa pun yang mengerjai anak-anak lemah dan kaum nerd di depan mukanya, dia pasti akan langsung menghajar di pelaku bullying itu."
Dave. Pikiran Zac langsung lari ke cowok tampan yang dilihatnya di kantin tadi pagi. Oh, my Gosh. Josh berteman dengan Dave? Ini terlalu mengejutkan! Josh sepertinya bisa menjadi satu-satunya kesempatan Zac untuk bisa dekat dengan cowok super tampan itu!
"Dave? Kau mengenalnya?"
Josh memandanginya lekat-lekat. "Ya, dia teman kakakku―yang berarti temanku juga. Kenapa? Apa kau mengenalnya?"
Zac menggeleng pelan dan menggigit bibirnya. "Tidak. Erm, tadi Carrie dan teman-temannya membicarakannya."
Zac baru saja berteman dengan Josh dan dia sudah membohongi anak ini. Dia sebenarnya tak mau berbohong di awal pertemanan mereka, tapi dia tak punya pilihan lain. Tidak mungkin kan dia mengatakan pada Josh kalau dia menyukai Dave dan ingin mendekati cowok itu?
"Zac, entah mataku yang menipuku atau memang kenyataannya pipimu memerah?" Josh menyipitkan matanya menatap Zac.
Oh my God! Oh my God! Oh my God! Josh bisa melihat muka Zac yang memerah karena malu membicarakan Dave. Zac juga tidak tahu kenapa setiap kali dia mengingat Dave, pipinya terasa sangat panas. Bukan panas yang menyengat seperti terbakar matahari, tapi panas karena gairah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Ehm, tidak. Aku hanya merasa sedikit kepanasan."
Josh menyipit lagi sambil menaikkan alis matanya. Josh masih tak mempercayai alasannya. "Kau kelihatan seperti wanita kalau malu-malu begitu. Cute." Kata Josh dan tersenyum simpul. "Kalau aku tidak mengenalmu, aku pasti akan mengira kau itu wanita. Wajahmu benar-benar manis."
Bukan cuma Carrie, tapi Josh juga ikut mengatakan kalau dia seperti wanita. Huh. Apakah benar wajahnya terlihat seperti wanita ketika pipinya memerah?
"Sudahlah, aku cuma becanda. Pipimu jadi makin memerah sekarang." Josh geleng-geleng kepala dan tersenyum culas.
"Bisa kita pergi sekarang? Aku mulai merasa tak nyaman berada di sini." Kata Zac dan meminum isi terakhir minumannya.
"Kau merasa tak nyaman karena pipimu yang merah karena malu-malu itu, kan?" Josh nyengir dan memasukkan potongan terakhir burger ke dalam mulutnya. "Kau benar-benar cute, Zac. Kalau aku gay, aku pasti akan langsung menciummu di sini juga."
Perkataan Josh malah membuat pipinya terasa makin panas. "Diamlah, Josh! Kau membuatku makin malu saja!"
Josh tertawa terbahak-bahak melihat pipi Zac yang seperti kepiting rebus sekarang. Merahnya melebihi kulit seseorang yang berjemur di bawah terik matahari. "Maaf, aku hanya tak pernah bertemu dengan lelaki yang suka malu-malu seperti kau sebelumnya. Maafkan aku." Josh menghapus air mata yang keluar dari matanya karena terlalu banyak tertawa.
Zac cemberut dan perlahan-lahan, panas di pipinya berangsur menghilang. "Sudah puas kau mentertawakanku, Josh? Bisa kita pergi sekarang?"
"Tunggu sebentar," kata Josh dan memegangi perutnya masih sambil tertawa terbahak-bahak. "Aku harus merileksasikan otot perutku yang tegang karena terlalu banyak tertawa."
Zac memutar bola matanya dan membuang mukanya dari Josh. Kalau Josh masih ingin mentertawakannya, dia lebih baik membuang mukanya saja biar anak itu diam dan tak harus mempermalukannya di sini.
"Hey, jangan marah begitu, Zac. Aku hanya becanda." Kata Josh kemudian karena Zac menunjukkan ekspresi yang tersinggung. "Oke, kita bisa pergi sekarang. Tapi aku harus memberitahu Dave terlebih dahulu."
"Dave?" Zac langsung berbalik menghadap ke Josh lagi begitu mendengar nama orang yang disukainya. "Dave juga akan ikut?"
Josh mengangguk. "Dave harus mempersiapkan mobilnya untuk pertandingan nanti malam."
Pertandingan? Oh, jadi benar kalau Dave itu hobi balapan liar. Hm, Dave semakin keren saja dengan hobinya yang ekstrim itu. Dan Zac ingin sekali menonton balapan Dave. Tapi sayangnya Josh tidak mengajaknya untuk menonton balapan itu. Dan Zac terlalu malu untuk bertanya apakah dia boleh ikut menonton pertandingan Dave.
"Apa yang kau tunggu? Ayo! Kita harus sampai ke bengkel lebih dulu sebelum Dave datang." Josh bangkit dari kursi terlebih dulu dan keluar dari restaurant itu.
Zac mengikutinya dari belakang. Dia berjalan dengan sangat antusias karena akan bertemu dengan cowok tampan yang diidam-idamkannya sejak tadi.
***
Mudah-mudahan part awal ini tidak mengecewakan ya.
Gambar di media itu Brant Daugherty yang berperan sebagai Dave. Bayangkan saja sosok seorang Dave seperti gambar dia yg ada di media.
Voment nya? :D
*
Bandar Lampung, Minggu 21 Juni 2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top