Driving
Hai, saya update lagi wahaha.
Part yg ini nggak sepanjang part yg lain, tp semoga tetap menghibur deh ya.
Gambar di media itu adalah Zac. Dia cuteeeeeee banget kan? Pipinya menggemaskan.
Selamat membaca :*
========
Driving
========
Dave sudah menunggu di samping Mustangnya yang terparkir di trotoar jalan ketika Zac keluar dari rumah. Cowok bermata hijau zamrud itu memakai kaus oblong warna putih, dibalut dengan varsity biru tua yang lengannya digulung sampai ke batas sikunya. Dia tersenyum begitu melihat Zac.
"Aku tak melupakan janjiku, kan?" kata Dave, nyengir begitu Zac sudah berada di depannya.
Zac tersenyum dan mengangguk.
Dave segera membukakan pintu depan penumpang untuk Zac dan mempersilakan cowok itu masuk. Setelahnya, dia memutar dan masuk ke kursi kemudi. Saat sudah berada di dalam mobil, Dave berkata, "Kau tampan hari ini, Zac."
Zac merasakan pipinya memanas karena senang sekaligus juga malu-malu. "Jadi aku tampan hanya hari ini saja?"
Dave nyengir, menepuk-nepuk pipi Zac dengan penuh kasih sayang. "Tidak. Kau selalu terlihat tampan di mataku."
Pipi Zac jadi makin panas karena malu.
Kemudian, Dave menghidupkan mesin mobil dan mereka pun meluncur ke sekolah.
Tadi pagi, setelah bangun tidur di atas rooftop rumah Zac tempat mereka berciuman semalam, Dave langsung pamit pulang tanpa berniat untuk ikut sarapan bersama keluarga Hammel. Dave menolak dengan alasan yang sopan. Dan orang tua Zac tidak terlalu memaksa, jadi Dave pulang ke rumahnya pagi-pagi sekali diantar Zac yang menemaninya sampai ke luar rumah.
Di luar, Dave mengatakan, "Mulai hari ini kita akan selalu berangkat sekolah bersama-sama."
Zac mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Maksudnyaaaaa... Setiap pagi aku akan selalu menjemputmu. Kau berangkat sekolah bersamaku. Naik Mustang-ku."
Zac mengangguk senang. "Apa itu tidak merepotkanmu?"
Dave tertawa kecil. "Aku tidak akan merasa kerepotan karena sudah melakukan sesuatu yang penting untuk orang yang berharga di dalam hidupku."
Zac jadi makin senang. Jantungnya berdebar-debar karena menerima serangan kata-kata manis dari Dave. Debaran jantungnya itu mengalirkan darah lebih banyak ke mukanya sehingga membuat pipinya terasa panas.
Ditambah lagi, ketika tiba-tiba Dave mencium pipi kirinya dengan lembut. Lalu, setelah mencium pipinya, Dave mengatakan, "Terima kasih karena sudah hadir di dalam hidupku, Zac." Lalu dia pergi meninggalkan Zac sendirian di depan pintu rumahnya.
Sekarang, Zac hanya bisa tersenyum sendiri mengingat ciuman Dave yang mendarat di pipinya tadi pagi.
"Zac, kau baik-baik saja?" tanya Dave yang masih sibuk menyetir di sampingnya.
"Erm... Ya."
"Apa kau lapar?"
"Tidak. Aku sudah sarapan."
"Kalau begitu, jangan terlalu banyak melamun." Dave menoleh ke arah Zac. "Tapi, kalau kau melamun tentang aku, itu tidak apa-apa." Dave nyengir kuda yang dibalas dengan cengiran Zac yang menggemaskan.
Zac senang karena sekarang dia berada di dalam mobil milik orang yang dia sayangi―bukan, tapi orang yang dia cintai. Zac sadar kalau dia bukan hanya sekadar sayang pada Dave, tapi juga sudah jatuh cinta yang sangat dalam padanya. Karena entah bagaimana, cowok tampan yang baik hati ini sudah bisa mencuri hati dan juga perasaannya.
Apalagi, tadi malam Dave juga menciumnya. Rasa dari bibir Dave yang menempel di bibir Zac masih sangat kental dan membuat Zac harus tersenyum tiap kali membayangkan lidah Dave yang bermain-main di dalam mulutnya. Itu... sangat menyenangkan.
Dan ciuman lembut yang diberikan Dave pada pipinya tadi pagi, semakin menambah kebahagiaan Zac hari ini. Satu ciuman dari Dave mampu membuatnya merasa lebih bersemangat. Ditambah lagi dengan Dave yang menjemputnya pagi ini, membuat Zac merasa jadi orang paling beruntung karena Dave ternyata peduli padanya.
Tapi, ada suatu pikiran yang menggelitik di dalam otak Zac. Sebuah pikiran tentang apakah ciuman Dave tadi malam itu didasari atas rasa suka, atau hanya karena terbawa suasana? Pikiran-pikiran itu yang selalu menggelitik otaknya, menuntut untuk dicari jawabannya.
Apakah Dave menciumnya hanya untuk menjadikannya pelampiasannya? Karena ciuman itu terjadi setelah Dave bercerita tentang Shaina. Zac takut, karena saking rindunya Dave pada Shaina, sehingga dia tak bisa menahan hasratnya, dan kemudian melampiaskan itu semua kepada Zac dengan menciumnya. Apakah itu yang dilakukan Dave tadi malam? Menciumnya hanya untuk melampiaskan hasratnya pada Shaina yang tidak pernah terlaksana?
Zac tidak tahu. Hanya Dave-lah yang tahu jawabannya. Dan Zac berniat untuk menuntut jawabannya pada cowok bermata hijau zamrud itu. Kalau Dave memang menciumnya karena rasa suka, maka Zac ingin tahu mau dibawa ke mana hubungan mereka ini. Tapi kalau Dave menciumnya hanya karena ingin melampiaskan hasrat terpendamnya kepada Shaina, maka Zac akan mundur dan melupakan cowok itu untuk selamanya.
Intinya, Zac tidak mau hanya dijadikan pelampiasan. Dia ingin mencintai dan juga dicintai oleh Dave dengan setulus hati, bukan karena pelampiasan.
"Zac, kau melamun lagi!" ujar Dave ketika mereka sudah sampai di parkiran sekolah. Tapi mereka masih berada di dalam mobil.
"Tidak." Zac menggeleng.
"Iya! Sepanjang perjalanan tadi kau diam saja, tidak mengajakku bicara sama sekali."
Oh ya. Itu memang benar. "Aku.... banyak pikiran."
"Memikirkanku, ya?" Dave nyengir dengan percaya diri.
Zac mengangguk. Mata birunya yang tenang menatap mata hijau zamrud Dave. "Aku berpikir tentang apa yang tadi malam kita lakukan."
"Oh." Tiba-tiba Dave jadi salah tingkah. Dia menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Itu... Biar kujelaskan nanti."
"Kapan?"
"Setelah aku mengajarimu menyetir," jawab Dave. Dia memegang pipi Zac yang merah seperti bayi. "Aku akan menepati janjiku dulu. Setelah itu, aku akan menjelaskan semuanya."
Zac hanya bisa mengangguk. Dia harus bersabar untuk mendapatkan jawaban. Dan sebelum keluar dari dalam mobil, dia berharap semoga jawaban yang akan dia dapat adalah jawaban yang dia inginkan.
Mereka berjalan bersisian menuju ke gedung sekolah. Saat sudah sampai di kelas pertama Zac, mereka pun berpisah. Dave berkata kalau dia akan menunggu Zac di dekat mobil saat pulang sekolah. Zac mengangguk.
Zac satu kelas dengan Carrie di pelajaran pertama. Cewek itu duduk di kursi paling depan―seperti biasa, dan Zac segera mengambil kursi di belakang Carrie.
"Hai. Bagaimana malammu bersama Dave?" tanya Carrie.
Zac nyengir. "Kami baik-baik saja."
"Sebaik apa, sih?" goda Carrie. "Aku penasaran. Saat dia mengantarmu pulang, apa ada hal menarik yang terjadi pada kalian?"
Zac merasakan pipinya memanas. Dia malu. Tapi dia ingin sekali menceritakan adegan ciumannya dengan Dave tadi malam. "Hm... Dia... menciumku." Jawab Zac, ragu-ragu, tapi bertekad untuk tidak menyembunyikan apa pun dari Carrie, temannya ini.
Mata Carrie membulat kaget. "Kau serius? Oh my God! Aku tak menyangka!"
"Ssstt," Zac menyuruh Carrie agar memelankan suaranya. "Kau bisa membuat yang lain tahu tentang hal ini."
"Oke. Sorry." Carrie memelankan suaranya hingga nyaris berbisik. "Aku senang sekali karena akhirnya kau mendapatkan apa yang kau mau." Dia mendorong kursinya ke belakang, lebih dekat dengan kursi Zac. "Jadi, bagaimana rasanya?"
Zac tiba-tiba jadi semakin malu dengan pertanyaan Carrie. "Hm... Manis, lembut dan... nyaman."
Carrie harus mengepalkan kedua tangannya erat-erat karena dia gregetan! Ini benar-benar hal yang sangat menyenangkannya. Melihat Zac bahagia, membuatnya ikut bahagia juga. "Aku ikut senang mendengarnya, Zac. Aku benar, kan? Dia juga memiliki rasa terhadapmu. Selamat! Kau berhasil membuat seorang Dave menjadi gay!"
"Tapi...." Zac kemudian murung ketika ingin menceritakan bagian yang selanjutnya. "Aku masih ragu dengan perasaannya terhadapku."
"Apa maksudmu?" tanya Carrie.
"Maksudku, kami memang berciuman. Tapi aku masih belum tahu ciuman yang dia berikan padaku itu benar-benar karena dia ingin menciumku, atau karena hanya ingin menjadikanku pelampiasannya."
"Oh, aku mengerti," kata Carrie, ikutan murung, "pasti karena Shaina, kan?"
Zac mengangguk, mantap. "Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepalanya. Tapi kuyakin, ciuman yang semalam itu pasti hanya sebagai pelampiasan saja."
"Hm," Carrie tampak berpikir, "kau tidak bertanya padanya mengenai ciuman itu?"
"Dia akan menjelaskannya nanti sepulang sekolah." Jawab Zac.
"Kalau begitu kau harus bersabar."
"Aku deg-degan. Aku berharap dia memberikan jawaban yang memuaskan."
"Zac, aku yakin dia pasti menyayangimu. Kalau tidak, mana mungkin dia bersikap manis padamu dan bahkan sampai menciummu senikmat itu?"
Zac masih murung. Sedih karena bahkan dicium Dave pun tidak bisa membuat hatinya tenang. "Aku takut dia menyayangiku hanya sebagai sahabat."
Carrie menyentuh kedua bahu Zac dan menatap matanya yang biru tenang. "Yakinkan dirimu, Zac. Percaya saja kalau dia memang benar-benar mencintaimu, dia pasti tidak akan membuatmu patah hati."
"Semoga dia tidak membuatku patah hati," ulang Zac.
"Dan kau harus mengerti satu hal: cinta itu tentang memberi dan menerima, bukan meminta. Jadi, biarkan Dave sendiri yang menentukan jawabannya. Biarkan Dave sendiri yang memutuskan untuk menerima cintamu atau tidak sama sekali."
Zac ingat kata-kata itu juga pernah diucapkan oleh Helga. Dan itu memang benar. Seharusnya Zac tidak perlu merasa khawatir. Kalau Dave memang mencintainya, cowok itu pasti tahu apa yang harus dia lakukan pada hubungan mereka.
***
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Zac segera membereskan semua perlengkapan sekolahnya ke dalam tasnya. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Zac harus menunggu Carrie selesai membereskan mejanya sebelum keluar dari kelas. Hari ini Zac dapat kelas bareng Carrie dua kali. Di pelajaran pertama dan terakhir.
"Kau dijemput?" tanya Carrie saat mereka berjalan di lorong menuju ke gerbang depan sekolah.
"Tidak. Aku pulang bersama Dave." Jawab Zac, masih malu-malu.
"Oh, seharusnya aku tak perlu bertanya. Itu sudah jelas sekali." Carrie tersenyum jail pada Zac.
"Jangan menggodaku, tolong."
"Aku tidak menggodamu. Aku hanya senang."
"Kau pulang bersama Ben?"
"Tidak. Hari ini aku pulang bersama Fred."
"Fred?" Zac heran. Kenapa Carrie pulang bersama Fred? "Kau mengenalnya?"
"Ya ampun, tentu saja aku mengenalnya. Dia itu kakakku."
Apa?! Fred dan Carrie kakak beradik? Cih! Kenapa kota ini sempit sekali, ya? Kenapa satu keluarga semuanya bersekolah di sini? Josh dan Alex. Sam dan Michelle. Fred dan Carrie. Gary dan Shaina―yah, walaupun Shaina sudah pindah, tapi tetap saja dulu dia pernah sekolah di sini. Setelah ini, siapa lagi yang akan menjadi kakak-adik di sekolah ini?
Zac tidak mau tahu jawabannya karena sekarang mereka sudah sampai di dekat mobil Dave. Dan cowok itu bersandar punggung pada pintu depan mobilnya dengan tangan terlipat. Posenya keren sekali. Dan ketika cowok itu tersenyum pada mereka, Zac nyaris menjatuhkan hatinya karena terlalu bersemangat.
"Siap untuk latihan, Zac?" tanya Dave, lalu memandang Carrie. "Kau ingin pulang bersama kami?"
Carrie menggeleng. "Aku hanya ingin menemani Zac. Memastikan dia sampai dengan selamat ke tempat pangerannya menunggu."
Zac memutar bola matanya. Dave hanya tertawa. "Oke, kalau begitu, kami duluan, ya?" katanya, membukakan pintu untuk Zac.
Zac pamitan singkat pada Carrie dan masuk ke dalam mobil disusul oleh Dave yang masuk setelahnya. Saat Dave memundurkan mobil, Zac membuka kaca pintu dan mengucapkan sampai jumpa pada Carrie. Cewek itu membalas dengan anggukan dan kata-kata semoga berhasil.
"Kau tahu kalau Fred itu kakaknya, kan?" tanya Zac setelah mereka masuk ke jalan raya.
"Tentu saja."
"Kenapa kau tidak memberitahuku kalau Fred itu kakaknya Carrie?"
"Kukira kau sudah tahu―mengingat karena kau dan dia berteman."
"Belum. Kami memang berteman, tapi kami tak pernah menceritakan kehidupan keluarga kami." Zac berkata dengan jujur.
Dave tidak membalas kata-kata Zac dan memilih untuk tetap fokus ke jalan. Dia membelokkan mobil melewati sebuah gang kecil untuk bisa sampai ke sebuah lapangan besar di pinggiran kota yang pernah digunakannya sebagai tempat latihan menyetir dulu. Dave akan mengajari Zac belajar menyetir di lapangan ini. Karena medannya yang tidak terlalu sulit dan cukup lebar, akan memudahkan Zac menguasai setir dengan baik.
"Di sini?" tanya Zac saat mereka berhenti di pinggir lapangan. Lapangan itu berupa tanah kering yang menerbangkan debu-debu ketika tertiuup angin.
"Ya. Kau pasti tidak akan kesulitan belajar di sini. Jalurnya rata dan datar."
"Oke." Zac mengangguk.
"Sebaiknya kita tukar posisi." Dave membuka pintu mobil dan keluar. Zac juga melakukan hal yang sama. Lalu, mereka bertukar posisi hingga Dave berada di kursi penumpang, sementara Zac di kursi kemudi.
Zac gugup setengah mati saat memegang setir yang bulat itu. Dia menghembuskan napas berkali-kali untuk menetralisir jantungnya yang berdetak cepat. Dia tak bisa menyingkirkan bayangan kecelakaan yang dulu pernah dialaminya. Rasa takut pada kemungkinan mobil akan jatuh dan terbalik ketika dia sedang mengemudikannya, membuat Zac menelan ludah.
"Kau harus tenang Zac," kata Dave, lembut. Dia bisa melihat ketegangan di wajah Zac dan juga dari caranya memegang setir yang terlalu kuat. "Ini tidak sesulit yang kau pikirkan."
Kata-kata itulah yang membuat Zac yakin. Pelan-pelan dia memutar kunci dan mesin mobil pun menyala. Zac tahu tata cara menjalankan mobil dengan baik dan benar karena dia masih ingat dengan yang pernah diajarkan ayahnya dulu. Tapi dia tetap bertanya, "Apa yang harus kulakukan selanjutnya?"
Dave berkata dengan pelan, "Injak kopling sampai penuh, kemudian masukkan persneling. Tapi, hati-hati. Kau tak boleh langsung menginjak gas begitu saja. Kau harus mengangkat kakimu dari kopling secara perlahan-lahan sampai habis, setelah itu tambahkan kecepatan dengan menginjak gas secara perlahan-lahan juga."
Zac menelan ludah dan mengangguk. Penjelasannya terlalu membuatnya pusing. Dia tahu kopling itu sebelah kiri, rem di tengah dan gas di sebelah kanan. Tapi, karena tidak terbiasa menggunakan mobil, dia masih bingung dan kesulitan menyesuaikan kedua kakinya dengan tiga pedal yang berada di bawah. Dia takut salah menginjak.
Tapi Dave memaksanya untuk mencoba. Jadi, dengan sekali menghembuskan napas keras-keras, Zac memasukkan persneling satu, kemudian melepas kopling pelan-pelan. Mobil bergerak sedikit dan ini bagus. Zac pernah melakukan ini dulu waktu terakhir kali belajar menyetir, jadi tak ada kesulitan sama sekali. Setelah kopling terangkat penuh, Zac menginjak gas perlahan-lahan untuk menambahkan kecepatan pada mobil.
"Nah, ini kau sudah bisa," kata Dave, tersenyum.
Zac juga tersenyum. Mobil masih berjalan lurus di lapangan itu sampai akhirnya Zac ketakutan karena dia tidak tahu bagaimana cara menggerakkan setir. "Aku tidak bisa membelokkan ini." Katanya, panik. Mobil sudah hampir sampai ke ujung lapangan. Dan kalau Zac tidak segera membelokkannya, maka mereka berdua akan menabrak pagar pembatas lapangan sebelah sana. "Dave, apa yang harus kulakukan?"
"Injak remnya!" seru Dave.
Zac mengangkat kakinya yang ada di pedal gas dan menginjak rem keras-keras hingga membuat mobil berhenti mendadak dan menciptakan momen terlempar yang menyakitkan. Dahi Dave sampai menabrak dasbor, tapi tidak apa-apa. Dia hanya meringis sambil menggosok-gosok dahinya.
"Ya ampun, Zac! Kau kenapa tidak bilang sih kalau belum bisa membelokkan setir?" kata Dave, setengah marah, setengah senang karena Zac ternyata sudah mampu membawa mobil walaupun hanya lurus-lurus saja.
"Aku bisa sih kalau cuma memutarnya ke kiri dan ke kanan. Tapi, aku takut kalau memutarnya terlalu ke kiri, yang ada mobil kita malah menikung tajam dan kemudian terjungkal."
Dave tertawa kecil. "Kalau begitu, biar kutunjukkan padamu bagaimana cara memutar setir yang baik." Dia membuka pintu dan keluar. Zac juga membuka pintu mobilnya dan keluar. "Kau tidak usah duduk di kursi penumpang." Kata Dave saat sudah berdiri di dekat pintu kemudi. "Kau akan duduk di kursi kemudi bersamaku."
Zac bingung. "Maksudnya?"
"Maksudnya begini," Dave membuka pintu mobil dan duduk di kursi kemudi. Kemudian dia berkata, "Nah, kau duduk di sini. Di pangkuanku." Dave menepuk-nepuk kursi kemudi di antara kedua pahanya.
Zac tiba-tiba merasa malu dan juga excited pada saat bersamaan. Duduk di pangkuan Dave? Oh ya ampun!
"Sudah, kemari saja," Dave menarik tangan Zac untuk masuk dan duduk di pangkuannya.
Maka Zac pun menurut dan menaruh pantatnya di antara kedua paha Dave yang terbuka. Sebenarnya tubuh Zac tidak terlalu besar, jadi ketika dia duduk di pangkuan Dave, cowok itu tidak terlalu kekurangan tempat. Bahkan Dave terlihat sangat nyaman dengan Zac yang berada di pangkuannya. Punggung Zac bersentuhan dengan dada Dave yang bidang.
Suasana canggung sejenak setelah Dave menutup pintu. Dia merasakan pantat Zac yang menyentuh sesuatu di balik celananya, dan itu membuatnya nyaman. Ditambah lagi dengan aroma parfum Zac yang tercium dari balik kausnya, membuat Dave nyaris mabuk kepayang. Tubuh Zac yang kecil juga sangat pas sekali berada dalam rengkuhannya. Tapi, dia harus menguasai dirinya. Mereka duduk berpangkuan seperti ini untuk belajar menyetir, bukan untuk bermesraan.
"Nah," kata Dave, "taruh tanganmu di atas setir."
Zac pun memegang setir dengan kedua tangannya. Kemudian, tangan Dave memegangi tangannya. Jadinya, tangan mereka berdua saling bersentuhan sambil memegangi setir bersama-sama. Hal ini membuat Zac merasa malu dan... bahagia.
"Aku akan menjalankan mobil ini. Dan bersama-sama, kita berdua yang akan mengarahkan setirnya." Dave berkata dengan lembut di dekat telinga Zac. Hembusan napasnya yang hangat menyentuh belakang leher Zac, membuatnya merinding karena nyaman.
"Hm... Oke," kata Zac, malu-malu.
Dave memundurkan mobil untuk menjauhi pinggir lapangan yang dipagar, kemudian menjalankan lagi mobilnya. Mobil berjalan lurus ke depan hingga hampir mencapai pinggiran, Dave memutar setir ke kanan, membuat tangan Zac yang berada di setir juga ikut berputar ke arah kanan. Zac berusaha untuk merasakan dan mempelajari perputaran setir yang dilakukan oleh Dave.
"Nah, seperti itulah caranya memutar setir," kata Dave, masih dengan nada suara yang sangat lembut.
Zac mengangguk dan melepaskan tangannya dari setir, sementara tangan Dave masih berada di sana. Lalu, mobil berhenti. Kemudian, Dave melepaskan pegangan tangannya dari setir dan melingkari kedua tangannya di perut Zac yang ramping. Dave memeluk Zac dari belakang dengan erat. Membuat dadanya bersentuhan dengan punggung Zac.
"Aku suka sekali posisi yang seperti ini," kata Dave, tersenyum. "Aku bisa lebih mudah memelukmu dari belakang."
Pipi Zac jadi semakin panas sekarang. Apalagi, ketika Dave dengan nakal menciumi kulit lehernya berkali-kali, membuat Zac kegelian sekaligus juga keenakan. Rasanya enak sekali. Sungguh luar biasa enaknya.
Zac tak bisa menahan dirinya lagi. Dia memiringkan kepalanya ke samping hingga wajahnya dan wajah Dave saling berhadapan. Lalu, dengan hasrat yang sudah menggebu-gebu, dia menempelkan bibirnya ke bibir Dave, yang membuat cowok itu kaget, tapi tidak menolak ciumannya dan malah membalasnya dengan ciuman yang jauh lebih mendominasi.
Dave yang mendominasi ciuman mereka. Cowok itu menyambut dengan ikhlas bibir Zac yang terasa kenyal dan manis. Dia melumat pelan bibir bawahnya, menghisap lembut bibir atasnya dan memasukkan lidahnya sendiri ke dalam mulut cowok imut itu. Zac menerima lidahnya dengan hisapan yang memabukkan. Rasanya enak ketika lidahnya dihisap oleh mulut Zac yang manis.
Dave tidak bisa tinggal diam. Tangannya yang melingkar di perut Zac, dengan nakal bergerak masuk ke balik kausnya. Dia mengusap-usap kulit Zac yang halus dan mendesah pelan saat menemukan rasa nikmat yang menggetarkan hasratnya ketika lidah Zac bermain-main di dalam mulutnya.
Zac juga tidak mau tinggal diam. Dia mengubah posisinya yang tadinya membelakangi Dave, sekarang berhadapan dengan Dave. Dia menaruh kakinya di samping paha Dave, sementara pantatnya duduk di antara kedua paha cowok tampan itu. Dadanya bersentuhan dengan dada Dave, menimbulkan hasrat yang lebih menggebu-gebu lagi.
Zac mendesah saat tangan Dave yang nakal mencubit putingnya yang mengeras. Dia menggerak-gerakkan pantatnya di antara kedua paha Dave dengan erotis. Dan Dave, yang mendapat serangan gesekan pantat pada bagian sensitifnya, mulai merasakan kalau dirinya ereksi akibat perbuatan itu. Dia juga mendesah. Mereka saling mendesah. Saling menginginkan. Saling menikmati kegiatan yang mereka lakukan.
Tangan Dave sekarang sudah bergerak untuk membuka baju Zac. Zac juga sudah tidak ragu lagi ketika Dave dengan perlahan menaikkan bajunya ke atas. Baju Zac baru terbuka sampai ke atas dada ketika tiba-tiba suara klakson mobil mengejutkan mereka.
TIN! TIIIINN!!!!
Zac terpaksa segera menyingkir dari atas tubuh Dave dan duduk di kursi sebelah. Napasnya masih terburu-buru karena nafsu. Dave juga mengalami hal yang sama. Dia masih bisa merasakan kelaminnya yang menegang, juga nafsu yang menyelimuti dirinya.
Dave melempar pandangan ke arah luar, ke sebuah Corvette silver yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka. Tanpa melihat ke dalamnya, Dave sudah tahu kalau itu adalah mobil Gary. Dave bersyukur karena mobilnya dilapisi kaca film sehingga Gary tidak mungkin bisa melihat apa yang dia dan Zac lakukan tadi.
"Itu Gary?" tanya Zac. Mukanya masih merah padam karena nafsu.
Dave mengangguk. "Aku akan keluar untuk menemuinya. Kau tunggu saja di sini."
"Tidak. Aku akan ikut bersamamu." Kata Zac.
"Tidak usah. Aku tak mau dia mengganggumu." Kata Dave, dengan tegas. "Dia tidak tahu kalau kau bersamaku, jadi dia pasti mencariku untuk membicarakan pertandingan balap yang akan diadakan dua minggu lagi."
Zac mengangguk. Lalu, dia menerima ciuman Dave di keningnya. Cowok itu juga menyempatkan diri untuk mencium bibirnya sekali lagi sebelum akhirnya keluar dari mobil.
Melalui kaca depan mobil, Zac memperhatikan Dave yang bergerak mendekati mobil Gary. Cowok pirang itu keluar dari Corvette-nya ketika Dave menghampirinya. Dan kemudian mereka berbicara dengan sikap yang menunjukkan kalau mereka saling membenci. Gary melipat tangannya, sementara Dave kelihatan tidak sabar.
Zac tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya penting. Sebab, Dave seringkali mengerutkan kening dan memasang ekspresi terkejut ketika mendengar perkataan Gary. Zac sungguh tidak bisa menebak apa yang mereka berdua katakan. Kenapa Gary berkata dengan sikap sombong seperti itu? Dan kenapa Dave tampak terkejut setelah mendengar Gary bicara?
Akhirnya, obrolan mereka berakhir dan mereka pun berpisah. Gary masuk ke dalam Corvette-nya, sementara Dave berjalan menghampiri Mustang-nya. Dave kelihatan murung dan masih agak terkejut ketika masuk ke dalam mobil.
"Apa yang terjadi?" tanya Zac, tidak sabar. "Apa yang dia katakan?"
Dave menghembuskan napas berkali-kali untuk membuat dirinya tenang. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya kepada Zac, tapi yang bisa dijawabnya halanyah, "Shaina."
Mata Zac membulat lebar saat nama perempuan itu disebut-sebut lagi. Tiba-tiba dia merasakan suatu perasaan tidak enak yang menyerang hatinya. "Ada apa dengannya?"
Mata hijau zamrud Dave menatap Zac dengan sedih. Dia tahu ini akan membuat Zac terluka. "Dia ada di kota ini. Dan dia ingin bertemu denganku. Sekarang."
DEGG!
Mata Zac membulat makin lebar dan jantungnya seakan-akan berhenti berdetak ketika mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Dave barusan.
***
Saya tahu banyak dari kalian yg sudah menebak kalau Shaina pasti bakalan datang. Jadi, ya, dia memang datang haha. Padahal si Dave belum juga menjelaskan tentang hubungannya dengan Zac, tapi perempuan itu sudah keburu datang duluan wahahaha.
Semoga part yg ini menghibur Anda semuaaaaah.
Makasih buat yg udah baca, vote, comment, masukin reading list dan ngefolow saya. Haha.
Saya sayang kalian. Dan saya harap kalian juga sayang saya.
Muah :*
*
Bandar Lampung, Sabtu 15 Agustus 2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top