Disturbing

Tadi ada yg mengingatkan klo saya udah lama gak update -_-

Oh ya, gambar di media itu namanya Logan Lerman yang berperan sebagai Josh.

Dia cakep kan? Senyumnya manis banget malahan.

===========
Disturbing
===========

“Oke. Sekarang ceritakan padaku, bagaimana keadaanmu?”

Saat itu Selasa pagi menjelang siang setelah pelajaran selesai, dan Zac sedang duduk di salah satu meja sarapan kantin bersama dengan Carrie. Gadis itu memakai gaun santai warna biru laut dibalut dengan kardigan putih yang sangat serasi dengan warna kulitnya. Rambut pirang pucatnya yang indah dibiarkan tergerai di atas bahunya. Sementara Zac hanya memakai sebuah kaus lengan pendek berbahan katun dan celana panjang berbahan kain tipis yang sangat cocok dipakai di musim panas begini.

“Aku baik-baik saja. Masih sedikit shock dan khawatir, tapi selebihnya aku baik-baik saja.” Jawab Zac. Dia menggigit roti croissant dalam potongan besar.

“Syukurlah. Dave pasti akan baik-baik saja.” Carrie menggenggam tangan Zac, bermaksud memberikan kata-kata yang menenangkan untuk cowok itu yang sedang dilanda rasa khawatir dan cemas luar biasa karena orang yang ditaksirnya mengalami kecelakaan mobil tadi malam.

“Tidak,” kata Zac dan menggigit roti isinya lagi dengan penuh tekad. “Dia harus baik-baik saja.”

Carrie memandangi Zac dengan khawatir. Zac benar-benar mencintai Dave. Dia tak perlu mengatakannya, hanya dengan melihat pancaran di mata Zac dan sikapnya yang nyaris gila karena melihat Dave terluka sudah membuat Carrie yakin dan sadar bahwa saat ini tidak ada satu pun di dunia ini yang lebih penting bagi Zac kecuali Dave.

“Kau harus menjenguknya bukan? Apa Josh tidak mengajakmu ke rumah sakit?” Tanya Carrie.

Zac mendengus kesal. “Yang benar saja! Josh tidak bilang apa-apa tentang keadaan Dave. Aku belum bertemu dengannya hari ini. Aku sudah berusaha mencari-carinya, tapi dia tak ada di manapun. Josh melarikan diri dariku!”

Zac tidak bisa mengingat seluruh kejadian tadi malam karena dia jatuh pingsan begitu melihat Dave berlumuran darah. Dan ketika siuman, dia sudah berada di rumahnya bersama dengan mama dan papanya yang menjaganya sepanjang malam. Mereka mengatakan kalau Zac pingsan dan Josh membawanya pulang ke rumah, sementara cowok bermata biru itu pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Dave. Zac kesal karena Josh membawanya pulang ke rumah, bukan ke rumah sakit tempat Dave dirawat. Josh tidak membawa Zac ikut bersamanya menjenguk Dave. Padahal dia juga ingin melihat keadaan Dave!

Pagi ini Zac berniat ingin menanyakan kabar Dave pada Josh, tapi anak itu tak menunjukkan batang hidungnya di hadapan Zac. Zac juga berusaha mencari Jamie, tapi cowok berkulit hitan itu juga tidak ada di mana pun. Akhirnya Zac hanya bisa gigit jari karena dia harus menahan rasa penasaran dan juga kekhawatiran di dalam hatinya untuk menanyakan kabar Dave. Dia selalu berkata dalam hati: semoga Dave baik-baik saja, dan mengulanginya terus-terusan. Dia benar-benar berharap Dave tidak apa-apa.

“Belum ada yang tahu bagaimana keadaan Dave saat ini,” kata Carrie melihat kekhawatiran di wajah Zac yang semakin kelihatan jelas. “Ben juga tidak mengatakan apa pun padaku.”

Zac akhirnya menghembuskan napas dengan kecewa. Dia berharap Carrie dan juga pacarnya, Ben, bisa memberikannya sedikit informasi tentang Dave sehingga dia tak perlu penasaran dan bertanya-tanya seperti ini.

Entahlah, kekhawatiran Zac terhadap Dave ini rasanya aneh karena dia bahkan belum mengenal Dave terlalu dekat. Yang Zac tahu, dia sangat peduli pada Dave dan tidak ingin sesuatu terjadi pada cowok idamannya itu.

Zac baru sehari menghabiskan waktu bersama Dave dan dia masih ingin menghabiskan banyak waktu dengan cowok pujaannya itu. Kalau Dave terluka dan terjadi apa-apa dengannya hingga tak bisa diselamatkan lagi, maka hilang sudah kesempatan Zac untuk bisa lebih dekat dengan Dave. Yang diinginkan Zac saat ini adalah Dave sehat dan baik-baik saja, jadi dengan begitu dia masih punya banyak waktu dan kesempatan untuk mendekatinya.

Tapi bagaimana caranya agar dia bisa tahu kalau Dave baik-baik saja? Josh, satu-satunya orang terdekat Dave yang bisa ditanyakannya, belum bertemu dengannya hari ini. Dan Carrie juga tidak tahu apa-apa tentang cowok itu. Hanya ada satu orang yang masih belum ditanyainya. Sam. Gadis berambut coklat itu pasti tahu keadaan Dave saat ini.

“Aku harus bertemu dengan Sam,” kata Zac kepada Carrie yang lagi asik mengunyah makanannya.

“Dia ada latihan volly di gedung olahraga.” Carrie bicara dengan mulut penuh. “Kau bisa mulai mencarinya di sana.”

Zac mengangguk. Mengucapkan terima kasih pada Carrie yang sudah mau menemaninya makan, dan kemudian pergi meninggalkan gadis itu sendirian. Dia bukannya bersikap tidak sopan karena meninggalkan Carrie sendirian, tapi dia harus mencari tahu kabar Dave saat ini. Informasi mengenai di rumah sakit mana Dave dirawat dan bagaimana keadaan cowok itu lebih penting dari apa pun saat ini.

Zac berjalan menyusuri koridor panjang yang menghubungkan gedung kelas dengan gedung olahraga. Dia melangkahkan kaki dengan cepat-cepat ketika sudah dekat dengan gedung itu. Tapi, sebelum dia sampai ke gedung itu, tiba-tiba saja Gary diikuti dua orang temannya meloncat ke depan tubuhnya hingga membuat Zac nyaris memekik kaget.

“Zac!” Gary tersenyum dengan sangat manis ke arah Zac. “Kau mau pergi ke mana?”

“Bukan urusanmu.” Zac berkata dengan dingin.

Teman-teman Gary yang keren-keren menahan tawa melihat tingkah Zac yang mengabaikannya.

Dari awal Zac sudah tak menyukai Gary. Jadi, begitu cowok keren itu tiba-tiba datang mendekatinya, Zac yakin dia pasti punya niat buruk padanya. Biarpun Gary sangat tampan dan mata hijaunya cukup menawan, tapi Zac tetap tak bisa menyukai cowok ini. Dia sudah terlanjur membencinya dengan sangat dalam.

“Kau sombong sekali!” Gary memelototi Zac. “Baru sehari bergabung dengan Dave dan teman-temannya sudah membuatmu bersikap sok jagoan di sini!”

“Apa maumu Gary?” Zac merasakan pipinya memanas karena kesal.

Gary melangkah lebih dekat ke arah Zac. Tubuh Gary yang tinggi berdiri tepat di depan tubuh Zac. “Aku mau mengajakmu datang ke pestaku nanti malam.”

“Pesta apa?”

“Pesta perayaanku karena memenangkan pertandingan balap tadi malam.”

Oh, jadi Gary pemenangnya. Sialan sekali. Sementara Dave, cowok idamannya sedang mengalami luka dan berdarah-darah, Gary malah mengajaknya berpesta. Kalau saja Dave tidak kecelakaan, Zac yakin cowok idamannya itu pasti memenangkan pertandingan dan sekarang sedang mengadakan pesta, seperti ya. Dan sekarang, karena Dave kalah, maka Gary yang jadi pemenangnya. Dan Gary sekarang mengajaknya ke pesta perayaan kemenangannya? Oh yang benar saja! Selama ini Zac hanya mau mendukung Dave!

“Tidak, terima kasih.” Zac langsung menolak tawarannya dengan tanpa berpikir panjang lagi. Dia sudah memutuskan dalam hati kalau dia akan membenci Gary selamanya.

“Apa kau baru saja menolak tawaranku?”

“Ya. Dan aku takkan pernah mau pergi ke mana pun bersamamu.”

“Kau yakin? Karena ini pesta orang-orang keren.”

“Nikmati saja pesta orang-orang kerenmu, Gary!” Zac berkata dengan kesal. “Karena aku takkan datang.”

“Kau akan menyesal kalau tak datang.”

“Oh, tidak terima kasih. Aku justru akan sangat bersyukur kalau tidak datang.” Kemudian Zac membalikkan badannya, berniat meninggalkan Gary sendirian.

Tapi kemudian Gary mencekal tangannya, yang membuat Zac tak bisa melangkahkan kaki. “Kau tidak sopan karena sudah mengabaikanku!” Gary berkata sambil melotot pada Zac. Mata hijaunya kelihatan indah, tapi juga galak pada saat yang bersamaan, membuat Zac merasakan ketakutan sekaligus juga rasa kagum karena mata hijaunya itu. “Banyak orang kuper sepertimu yang ingin datang ke pestaku, tapi aku tak mengizinkan mereka. Kau seharusnya merasa beruntung karena aku sendiri yang mengajakmu datang ke pestamu!”

Kata-kata Gary membuat Zac marah. Tiba-tiba saja Zac merasakan sengatan rasa panas pada pipinya.

Dengan penuh pengamatan Gary menatap muka Zac dengan pandangan mencemooh. “Pipimu memerah! Aw, kau manis sekali seperti perempuan!”

“Banci!” Salah seorang temannya berteriak, membuat Gary dan temannya yang satu lagi tertawa.

Zac mengatupkan rahangnya keras-keras. Pipinya makin memanas. Bukan panas karena malu yang biasa dirasakannya ketika berhadapan dengan Dave. Tapi kali ini panas karena menahan emosi di dalam hatinya. Apa mereka baru saja mengatainya banci? Oh, itu kasar sekali!

“Jangan panggil aku banci!” Zac menatap mata Gary dengan tajam dan memajukan tubuhnya lebih dekat ke tubuh Gary hingga dada dan wajah mereka nyaris bertabrakan.

Bukannya ketakutan, Gary malah tertawa makin keras dan itu membuat teman-temannya juga ikut tertawa lebih keras dari sebelumnya.

“Lihat!” Gary menunjuk muka Zac yang memerah sambil tertawa mengejek. Zac benci sekali dengan suara tawanya. “Mukamu benar-benar seperti kepiting rebus! Sebentar lagi kau pasti akan meledak!”

Zac mulai merasakan panas yang sangat menyengat di pipi dan juga dadanya. Gary benar-benar sudah keterlaluan karena menertawakan dan mengejeknya seperti ini! Dengan menahan emosinya yang siap meledak, Zac menabrak bahu Gary dengan keras dan berjalan melewati cowok keren itu yang masih menertawakannya.

“Zac!” Gary memanggilnya lagi.

Tapi Zac sudah tak peduli. Dia terus saja berjalan, menjauhi Gary dan teman-temannya yang menjijikkan.

“Zac! Berhenti!” Gary mencekal pergelangan tangan Zac yang membuat Zac terpaksa menghentikan langkahnya lagi. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan Gary, tapi cowok bermata hijau bening ini terlalu kuat.

“Jangan ganggu aku!” Zac berteriak, menatap tajam ke arah Gary yang memegangi tangannya dan menginjak ujung sepatu Gary dengan sepatunya keras-keras.

“Awwh! Fuck!” Gary menjerit kesakitan dan melepaskan cengkeraman tangan Zac. “Sialan! Kau benar-benar mencari masalah denganku!”

Zac memelototi Gary dan teman-temannya. “Kalian yang mencari masalah denganku!” Zac berteriak. “Aku tak punya masalah apa pun denganmu, Gary! Dari awal kau yang sudah mencari masalah denganku! Dan jangan kau pikir aku ini anak yang lemah! Aku bisa mematahkan lehermu kalau aku mau! Sayangnya aku tak mau mengotori tanganku dengan darahmu yang menjijikkan itu!”

Setelah mengatakan itu, Zac membalikkan badannya lagi. Tapi Gary kembali mencekal tangannya dengan sangat kuat hingga membuat Zac merasakan sakit. Zac benci sekali dengan kekuatannya yang tak bisa mengalahkan kekuatan Gary.

“Dengar, kutu buku!” Gary menatap tajam ke arah Zac dan berkata dengan penuh kemarahan. Mata hijau beningnya terlihat sangat menakutkan. “Kalau aku mau, aku juga bisa membelah tubuhmu jadi dua sekarang juga. Sayangnya aku tidak mau melakukan itu karena kalau aku melakukannya sekarang, maka aku akan kehilangan seseorang untuk jadi bahan tertawaanku!”

Zac tersinggung. Dengan kasar, dia menarik tangannya dengan sangat keras hingga akhirnya bisa lepas dari cengkeraman Gary. “Kau manusia menjijikkan, Gary!”

Gary dan teman-temannya tertawa keras mendengar suara Zac yang gemetaran. “Kau ketakutan!”

Zac menggeretakkan gigi-giginya karena malu. Ya memang dia ketakutan. Badan Gary sangat tinggi dan berotot, sementara badan Zac kecil dan polos tanpa otot. Kalau Gary melukainya sedikit saja, Zac pasti takkan bisa melawan kekuatannya yang besar itu.

Gary sudah berhenti tertawa dan sekarang dia mencengkeram tangan Zac lagi dengan lebih kuat hingga membuat Zac meringis kesakitan. “Kau, kutu buku yang sok keren!” Gary memajukan badannya lebih dekat ke tubuh Zac. Ditatapnya mata Zac yang berwarna biru tenang. “Jangan bertingkah sok jagoan di sekolah ini karena kau tidak akan pernah bisa menjadi jagoan di sini!”

Saat itu, Zac sudah malas meladeni Gary. Cowok ini kalau semakin dilawan malah makin bertambah kejam. Dan sekeras apa pun Zac melawan Gary, dia yakin dirinya tidak akan pernah menang. Jadi Zac hanya menatap Gary dengan tajam dan galak tanpa berusaha melepaskan tatapannya sama sekali. Dia membenci cowok ini. Tapi mata hijau Gary sangat memukau dan juga tegas. Tapi Zac membencinya. Biarpun mata Gary hijau dan mempesona, tetap saja itu takkan mengubah pendirian Zac yang sudah terlanjur membencinya.

“Gary, lepaskan saja dia. Kita buang-buang waktu di sini!” Salah seorang temannya berkata, membuat Gary melepaskan cengkeraman tangannya di tangan Zac dan menjauh dari tubuh Zac yang kecil.

“Kau beruntung karena hari ini moodku sedang baik. Besok-besok, kalau kau mencari masalah denganku, akan kupastikan tubuhmu terbelah menjadi dua.”

Zac memelototi Gary ketika cowok itu dan dua orang temannya berbalik dan pergi meninggalkannya sendirian di koridor.
Aaaaaargh! Gary bajingan! Kenapa Tuhan menciptakan cowok itu dengan mata hijau dan wajah yang tampan? Kenapa Tuhan tidak menciptakannya buruk rupa saja, jadi Zac tak perlu repot-repot merasa kewalahan tiap kali mata hijau beningnya yang menakutkan sekaligus mengagumkan itu menatap ke arahnya.

Dengan mengabaikan emosinya, Zac membalikkan badan dan kembali melanjutkan berjalan ke gedung olahraga.

Begitu Zac sampai di sana, dia bertemu dengan Sam yang sedang duduk di salah satu kursi panjang di pinggir lapangan volly. Gadis itu memakai baju olahraga tanpa lengan yang merupakan baju tim vollynya. Zac segera melangkahkan kaki mendekati Sam.

“Sam,” panggil Zac ketika dia sudah sampai di dekat Sam.

Sam mendongak dan tersenyum sangat lebar melihat Zac datang. “Zac! Ya ampun! Kau datang untuk menemuiku?”

“Erm... Ya.” Jawab Zac ragu-ragu. Sebenarnya dia punya pemikiran yang berbeda dengan Sam. “Aku datang untuk menanyakan kabar Dave padamu.”

Muka Sam langsung berubah cemberut begitu mendengar nama Dave disebut. Kenapa tiap kali dia bertemu dengan Zac, cowok cute ini selalu saja membahas Dave? Oh, itu sudah jelas karena Zac mencintai Dave.

“Aku tidak tahu,” kata Sam masih cemberut. Dia juga kasihan dengan keadaan Dave yang tampak menyedihkan dan berdarah-darah setelah kecelakaan. “Aku langsung pulang begitu Dave dibawa ke rumah sakit.”

“Bagaimana dengan Michelle? Apa dia tahu?”

“Kakakku juga tidak mengatakan apa pun padaku.” Sam menatap mata Zac yang memancarkan aura kesedihan dan kecemasan yang sangat dalam. Zac benar-benar mencintai Dave, kata Sam dalam hati.

Zac menghela napas, mengusap mukanya dengan kedua tangan dan duduk di sebelah Sam. “Aku bisa gila kalau terus-terusan seperti ini.”

“Kau tidak bertanya pada Josh?”

“Tidak. Aku belum bertemu dengannya hari ini.”

“Oh, kau beruntung sekali karena datang ke mari. Dia sedang latihan renang sekarang. Dan aku yakin dia pasti ada di bagian kolam renang. Kau bisa menemuinya di sana.”

Ada rasa lega dan kebahagiaan yang sangat jelas membanjiri hati Zac sekarang. “Kalau begitu lebih aku pergi saja,” kata Zac dan berdiri. “Aku ingin sekali mengetahui kabar Zac.”

Sam mengangguk. Dia sudah takkan marah lagi pada Zac. Cowok itu gay dan mencintai Dave dengan sangat besar, jadi Sam tak mau jadi pengganggu. Biarkan Zac yang mengurusi perasannya sendiri. Paling tidak Sam sudah memperingatinya kalau Dave itu cowok straight dan suka gonta-ganti pacar. Sam hanya tidak mau Zac sakit hati karena Dave.

Setelah Sam memberitahu letak kolam renang, Zac segera melangkahkan kaki ke bagian belakang gedung olahraga. Di sana, dia bisa melihat Josh yang berada di kolam sedang berenang bersama dengan empat orang cowok lainnya. Seorang pria dewasa berdiri di ujung kolam sambil memerhatikan stopwatch di tangannya. Zac mengenali pria dewasa itu sebagai Mr. Reed, guru olahraga sekaligus kepala pelatih renang.

Zac mengambil posisi duduk di salah satu kursi di pinggir kolam. Matanya terfokus pada kolam renang, tempat di mana Josh dan keempat cowok sedang berlomba untuk mencapai bagian ujung kolam lainnya tempat Mr. Reed berdiri.

Josh yang terlebih dulu sampai ke ujung kolam. Dia mengangkat tangannya ke udara dan menarik kepalanya dari dalam air ketika mengetahui bahwa dirinya sudah mencapai tembok ujung kolam. Lalu, dengan bertumpu pada kedua tangannya di pinggir kolam, dia mengangkat tubuhnya ke atas. Dan Zac bisa melihat dengan jelas kulit pucat Josh yang berkilauan karena air.

Josh punya kulit dan bentuk tubuh yang bagus. Tubuhnya lebih tinggi dari Zac, tapi tidak lebih tinggi dari Dave. Rambut merahnya yang basah jatuh menutupi kening dan juga telinganya. Josh dan Zac punya warna mata yang sama yaitu biru. Bedanya, mata Josh berwarna biru agak gelap, sementara mata Zac berwarna biru terang.

Dari tempatnya duduk, Zac bisa melihat Josh yang sedang berbicara dengan Mr. Reed. Kemudian, setelah selesai dengan Mr. Reed, Josh melihat Zac dan tersenyum. Lalu dia berjalan mendekati Zac.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Josh setelah mengambil handuk dan duduk di sebelah Zac.

“Aku ingin menemuimu.” Jawab Zac. “Tapi ngomong-ngomong, sejak kapan kau jadi atlit renang?”

“Bung, aku sudah jadi atlit renang jauh sebelum kau datang ke sekolah ini.” Josh menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan tangan, hingga airnya menciprat ke muka Zac.

“Hentikan itu!” Zac memarahinya. “Kau bisa membuat mukaku basah kuyup!”

Josh nyengir dengan sangat lebar. Saat dia nyengir, Zac bisa melihat barisan gigi putihnya yang rapi dan juga lesung pipi di pipi kanannya yang membuat cengirannya itu jadi lebih manis. “Jadi apa sebenarnya yang membuatmu datang ke mari? Kau tidak mungkin datang ke sini hanya untuk melihatku bermain air, kan? Pasti ada sesuatu yang ingin kau tanyakan padaku.”

“Dave.” Kata Zac tanpa basa-basi lagi. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasaran di dalam hatinya ini. “Bagaimana keadaannya?”

Josh memandangi Zac dengan seksama. Mata birunya yang agak gelap menatap mata biru Zac yang terang. “Dia baik-baik saja. Masih belum sadarkan diri, tapi baik-baik saja. Tidak ada kerusakan fatal di dalam kepalanya.”

Setelah selama beberapa jam terakhir ketakutan, cemas dan khawatir, akhirnya Zac bisa bernapas lega begitu mendengar perkataan Josh. Dave baik-baik saja. Itu yang terpenting. Dia menghembuskan napas dengan pelan, membuang semua rasa khawatir dan kecemasan yang berlebihan, kemudian tersenyum.

“Apa kau berniat ingin menjenguknya hari ini?” Tanya Zac.

“Ya. Kau pasti mau ikut kan?”

Zac mengangguk semangat―terlalu bersemangat malah seperti anak kecil. “Ya. Aku mau.”

Josh memutar bola matanya. “Kalau begitu temui aku di halaman depan sepulang sekolah.”

Zac mengangguk penuh semangat sekali lagi sebelum kemudian mereka berpisah.

***

Camaro warna hitam Josh tampak menyilaukan karena sinar matahari yang terpantul pada bodinya yang hitam mengkilat. Zac harus menyipitkan matanya untuk menghalau rasa silau di matanya itu. Mobil itu berhenti tepat di depan tubuhnya. Dan Josh keluar dari dalamnya.

“Masuklah,” kata Josh dan membukakan pintu sebelah kanan.

Zac langsung masuk ke dalam. Memakai sabuk pengaman. “Kita ke mana dulu?”

“Langsung ke rumah sakit saja.” Josh menghidupkan mesin mobil dan menginjak gas pelan-pelan.

“Kita tidak mampir ke toko buah atau bunga?”

“Untuk apa?”

“Untuk Dave. Kita tak mungkin datang dengan tangan kosong kan?”

Josh tersenyum geli. “Tidak perlu. Dave tidak akan memakannya.”

“Tapi paling tidak kita harus bawakan sesuatu untuknya.”

Josh geleng-geleng kepala sambil tetap tersenyum geli. “Jangan, Dave tidak akan menyukainya. Dia tak butuh makanan atau bunga-bungaan. Baginya, yang penting kita datang saja sudah membuatnya senang.”

“Tapi kita tetap harus mampir ke toko buah. Aku ingin membelikannya buah. Lagipula, buah itu kan bagus untuk kesehatannya.”

Josh mengerutkan keningnya. Ini aneh. Kenapa Zac peduli sekali pada Dave? “Terserah kau saja.”

“Bagus. Bawa aku ke toko buah.”

Josh memutar bola matanya ke atas. “Okay, Boss!”

Josh memarkirkan mobilnya di salah satu minimarket terdekat. Awalnya Zac protes karena dia maunya beli di toko buah, bukan di minimarket. Tapi Josh mengatakan cuma tempat ini yang letaknya berdekatan dengan rumah sakit tempat Dave dirawat. Jadi mau tak mau Zac menurut dan turun dari mobil.

“Menurutmu Dave lebih suka jeruk atau apel?” Tanya Zac ketika mereka berdua masuk lewat pintu putar.

“Apa saja,” jawab Josh dengan malas. “Dave pemakan segalanya.”

Dengan senang, Zac segera berjalan ke keranjang buah-buahan yang ada di bagian pojok minimarket. Dia mengambil buah apel, jeruk, kiwi, tomat dan melon. Di saat Zac sedang asik memilih-milih buah, Gary datang mendekati mereka.

“Wow. Jadi kau jalan dengan Josh sekarang, huh?” Gary yang menyebalkan berdiri dengan pose yang sangat keren di dekat mereka. Dia memandangi Zac dan Josh dengan tatapan mengejek.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Zac keheranan. Dia tak pernah menyangka akan bertemu dengan Gary di tempat ini. “Apa kau mengikutiku?”

“Cih! Percaya diri sekali!” Gary tertawa mengejek. “Aku hanya tak bisa menahan untuk memberikan selamat pada kalian yang sepertinya baru saja jadian. Ya kan?” Gary menatap Josh dan tersenyum licik.

“Tutup mulutmu!” Josh berkata marah. Dia menatap Gary dengan tajam. Mata birunya yang agak gelap terlihat begitu menakutkan. Tatapan mata birunya itu dibalas dengan mata hijau Gary yang terang. “Sebelum aku menghajarmu sampai babak belur!”

Gary tertawa kecil. “Santai, Bung!” Kelihatan dengan sangat jelas tingkah Gary yang menghindari Josh. Gary pasti takut pada Josh. “Aku hanya ingin menitip salam untuk Dave. Semoga dia baik-baik saja.”

Zac bisa menangkap nada sarkastik dan juga penuh kebencian pada suara Gary. Biarpun dia mengucapkan kata-kata yang baik untuk Dave, tapi nada suaranya yang menyebalkan itu membuat kata-katanya terdengar tidak tulus. Zac bahkan ragu kalau Gary benar-benar peduli pada keadaan Dave.

Zac menatap Josh yang mendengus kesal dan memandang mata hijau Gary dengan penuh kemarahan. Dia pasti ingin menghajar Gary karena cowok itu sebenarnya sedang mengejek Dave yang kalah pada pertandingan tadi malam. Tapi Josh juga tak bisa marah-marah, karena apa yang dikatakan Gary itu adalah kata-kata yang baik.

“Kalau Dave tak mengalami kecelakaan malam itu,” Josh berkata dengan sangat pelan, tapi penuh dengan kebencian. “Dia pasti menang.”

Yeah, seharusnya dia menang. Tapi sayangnya dia bodoh dan tak bisa memanfaatkan situasi untuk menang.”

Mendengar Gary menghina Dave membuat Zac marah. Dan itu juga membuat Josh geram. Josh mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Zac yakin Josh pasti akan meninju muka Gary sekarang. “Kau menang hanya karena keberuntungan, bukan karena keahlian. Kau bahkan tidak punya bakat menjadi seoarang pembalap! Dave jauh lebih baik daripada kau! Kalau tidak karena kecelakaan semalam, aku yakin Dave-lah yang akan jadi pemenangnya!”

Gary memelototkan matanya ke Josh dan terlihat dengan sangat jelas raut wajah tersinggung di mukanya. “Tapi sayangnya, akulah pemenangnya. Dan itu dengan sangat jelas membuktikan bahwa akulah pemenangnya!” Gary masih melotot pada Josh dan Zac ketika dia mulai berbalik dan pergi meninggalkan mereka.

“Aku membencinya,” kata Zac dengan geram. Seenaknya Gary menghina Dave seperti itu!

“Dia makhluk Tuhan yang patut dibenci.” Ujar Josh. Kemudian dia membantu Zac membawakan keranjang yang sudah penuh dengan buah-buahan ke meja kasir. Mereka segera membayar buah-buahan itu di sana.

Setelah membayar, mereka kembali masuk ke dalam mobil dan meluncur ke rumah sakit. Tidak butuh lama, Camaro hitam Josh sudah terparkir rapi di parkiran basement rumah sakit. Mereka segera naik lift untuk ke lantai dua, tempat Dave dirawat.

“Josh, apa Gary selalu bertingkah seperti itu kepada semua orang?” Tanya Zac saat mereka sudah keluar dari lift dan berjalan di sepanjang lorong rumah sakit. Kedua tangan Zac penuh dengan kantung plastik berisi buah dan makanan-makanan sehat.

“Ya. Aku tak pernah melihatnya bersikap ramah pada siapa pun.”

“Dan, apakah setiap kali dia bertanding dengan Dave, Dave tak pernah menang?”

Josh menganggukkan kepalanya lagi. “Gary selalu melakukan kecurangan di setiap pertandingan. Entah itu dilakukannya sendiri atau dilakukan oleh orang lain, tapi yang jelas dia selalu punya banyak cara untuk berbuat curang agar bisa menang. Dan kami semua yakin kalau kecelakaan yang dialami Dave tadi malam pasti disebabkan oleh kecurangannya.”

Zac merasakan pipinya memanas karena rasa marah yang tiba-tiba muncul lagi. Membayangkan Gary yang membuat Dave berdarah-darah dan tampak menyakitkan membuat kebenciannya pada cowok itu jadi semakin permanen.

Josh berhenti di depan sebuah pintu. Kemudian Josh mengetuk pintu itu pelan dan membukanya. Mereka segera melangkah masuk ke dalam.

Yang pertama kali dilihat Zac adalah Dave yang terbaring lemah di atas ranjangnya. Kepalanya dibalut perban putih agak tebal. Sudut kanan bibirnya dijahit dan tangannya dipenuhi dengan luka-luka berwarna merah tua yang mulai mengering―tapi tetap menakutkan. Selang infus menusuk pergelangan tangan kanannya. Dave sedang tertidur―atau sebenarnya dia masih belum sadarkan diri?

“Josh,” seorang wanita paruh baya yang cantik berambut hitam dan bermata hijau lembut menghampiri mereka dan memeluk Josh. “Di mana Alex?”

“Alex sedang membantu ayah kami mengecat rumah,” jawab Josh dan tersenyum. “Anda kelihatan lelah, Mrs. Price.”

Oh, jadi perempuan ini ibunya? Sekarang Zac mengerti dari mana Dave bisa mendapatkan ketampanannya dan juga mata hijau zamrudnya.

“Ya. Aku tak bisa tidur semalaman karena mengkhawatirkan Dave.” Kata Mrs. Price dan kemudian matanya beralih ke Zac.

Josh langsung memperkenalkan Zac pada Mrs. Price. “Ini Zac. Dia teman baru kami.”

Mrs. Price tersenyum pada Zac dan melihat senyumannya membuat Zac teringat pada senyuman Dave yang sangat menyejukkan hatinya. Mrs. Price mengulurkan tangannya pada Zac. “Hai Zac, senang bertemu denganmu.”

Zac harus menyerahkan bungkusan plastik di tangannya pada Josh terlebih dulu agar bisa menjabat tangan wanita itu. “Senang bertemu dengan Anda juga, Mrs. Price.” Zac tersenyum sangat tulus dan merasa iba pada wanita ini. Mata hijau lembutnya tampak lelah.

Josh berjalan ke dekat sofa dan menaruh plastik di atasnya. “Kami membawakan buah untuk Dave. Sebenarnya Zac yang punya inisiatif membawakannya buah. Aku hanya ikutan saja.” Josh tersenyum pada Mrs. Price.

Mrs. Price balas tersenyum dan mengangguk pada Zac. “Terima kasih.”

Zac mengangguk. “Bagaimana keadaannya?”

Mrs. Price balik badan dan menatap ke ranjang Dave dengan sedih. “Dia masih belum sadarkan diri. Obat biusnya sepertinya masih bekerja.”

“Tapi dia baik-baik saja kan?” Tanya Zac dengan nada penuh kekhawatiran. Dia sangat-sangat khawatir kalau Dave masih belum bangun juga sampai sekarang.

“Tentu saja. Dr. Gordon mengakatan tiga atau empat hari dari sekarang dia sudah bisa pulang.”

Mrs. Price mempersilahkan Zac untuk menghampiri Dave. Dan Zac langsung berjalan ke ranjang Dave. Dilihatnya wajah Dave yang tampan dari jarak dekat dengan tatapan sedih. Mata hijaunya tertutup rapat. Kulit pipinya yang mulus tergores. Dan bibirnya jadi agak bengkak karena lukanya. Wajah Dave benar-benar penuh luka dan ini semua gara-gara Gary sialan. Sebenarnya ini bukan salah Gary sepenuhnya, ini salah Dave sendiri yang sudah mengikuti balapan liar yang tidak aman seperti itu.

Josh berdiri di dekat Zac, berinisiatif untuk menjaga Zac dari kemungkinan terburuk pingsan lagi seperti tadi malam. Pipi Zac sekarang kelihatan lebih merah padam dari yang pernah dilihatnya. Air mata juga memenuhi pelupuk mata Zac. Cowok itu rapuh hanya karena melihat keadaan Dave.

“Zac,” Josh memegangi bahu Zac dengan kuat.

Mrs. Price yang duduk di seberang ranjang menatap Zac dengan sedih. “Aku tahu apa yang saat ini kau rasakan Zac,” kata Mrs. Price. “Kau juga pasti sedih dan kesal karena ulah Dave yang suka main balapan liar.”

Zac menatap Mrs. Price dengan mata berembun dan mengangguk. “Apa Anda tak pernah melarangnya?”

Mrs. Price menatap Josh sejenak dan kemudian menatap Zac lagi. “Aku sudah seringkali melarangnya ikut balapan, tapi dia keras kepala.”

Josh mengangguk menyetujui perkataan Mrs. Price. “Lebih baik kita singkirkan dulu kenyataan itu. Sekarang ada baiknya kita fokuskan dulu diri kita pada kondisi Dave saat ini.”

Mrs. Price mengangguk dan mengusap pipi Dave dengan lembut.

Lalu pintu diketuk tiga kali dan kemudian membuka ke dalam. Jamie berdiri di baliknya. “Hai.” Sapanya pada mereka bertiga yang berdiri di dekat ranjang Dave.

“Hai, Jamie,” kata Mrs. Price dan tersenyum ramah. “Kau datang tepat sekali karena ada Zac dan Josh di sini.”

“Aku bisa melihatnya.” Kata Jamie dan melangkah mendekati mereka. Begitu melihat Zac yang menangis, Jamie mengerutkan dahinya karena cowok itu, dalam keadaan menangis pun tetap kelihatan manis dan imut. “Kau baik-baik saja kan Zac?”

Zac menggeleng pelan. Tapi kemudian buru-buru mengangguk dengan keras karena dia tak mau mereka berpikiran yang macam-macam. “Ya. Hanya sedih melihat keadaan Dave.”

“Tentu saja. Kita semua bersedih dengan keadaannya.” Lalu Jamie menatap Mrs. Price. “Anda kelihatan sangat lelah, Mrs. Price.” Kata Jamie dengan lembut dan penuh sopan santun. “Anda sudah menjaga Dave cukup lama. Kenapa Anda tidak pulang dan menenangkan diri sejenak, sementara aku yang akan menjaga Dave?”

Mrs. Price tersenyum. “Apa kau tak keberatan?”

“Oh ayolah, Mrs. Price,” kata Jamie dengan nada ceria. “Dave sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Aku takkan keberatan kalau hanya menjaganya semalaman.”

Mrs. Price tersenyum. “Baiklah.” Wanita itu bangkit dari kursinya dan mencium pipi Dave dengan lembut. “Terima kasih Jamie. Ingatkan aku kalau kau sudah lelah untuk menjaganya. Oke?”

Jamie mengangguk. “Aku tidak akan lelah. Kalaupun aku lelah, aku pasti akan memaksa Alex untuk menjaga Dave di sini sehingga kau tidak perlu merasa terlalu kelelahan seperti sekarang ini.”

Mrs. Price tertawa pelan dan kemudian mengambil tas jinjingnya. Dia berjalan ke pintu dan kemudian menghilang di baliknya.

“Kalian juga sebaiknya pulang saja.” Kata Jamie dan menatap Zac dan Josh bergantian.

“Tidak, aku masih ingin di sini.” Kata Zac dan menyentuh pergelangan tangan Dave. Dingin. Kulit Dave dingin.

“Pulanglah Zac,” kata Jamie dengan lembut. Dia bisa melihat tatapan khawatir di mata biru Zac yang teduh. “Besok datang lagi ke mari.” Jamie menyuruh Zac pulang karena khawatir pada kondisi emosi cowok itu yang masih meneteskan air mata dan mukanya sangat merah seperti seolah-olah seluruh darah dalam tubuhnya berhenti di sana.

“Ayo, Zac,” kata Josh dan membawa Zac bangkit. “Kami khawatir dengan keadaanmu. Pipimu memerah sekarang. Kami hanya tak ingin kau pingsan lagi.” Sama seperti Jamie, Josh juga bisa melihat pipi Zac yang sudah memerah. Dan warna merah di pipinya itu sama persis dengan warna merah yang dilihatnya ketika Zac menjeritkan nama Dave dan kemudian pingsan.

Zac yang merasakan panas menyengat di pipinya dan juga rasa sakit yang sangat tak enak di kepalanya, hanya bisa pasrah begitu Josh membantunya berdiri dari kursi di sebelah kasur Dave. Dia bisa memaklumi kekhawatiran Jamie dan Josh. Mereka tidak menganggapnya lemah, mereka hanya tak ingin dia pingsan lagi. Itu malah akan membuat repot keadaan. Jadi akhirnya Zac mengangguk.

“Hati-hati di jalan.” Pesan Jamie ketika Josh dan Zac sudah berada di dekat pintu.
Josh mengangguk.

Sebelum benar-benar keluar dari ruangan ini, Zac berbalik dan menatap Dave sekali lagi dengan penuh air mata dan rasa sedih yang menyakitkan. “Cepat sembuh Dave, aku membutuhkanmu.” Dia berbisik dengan pelan―sangat pelan hingga membuatnya ragu apakah dia mengatakan itu di dalam hatinya?

Setelah puas memandangi tubuh Dave yang terbaring lemah di sana, Zac balik badan dan kemudian pulang.

***

Di alam bawah sadar Dave, dia bisa mendengar suara Zac yang meneriakkan namanya dengan penuh kekhawatiran dan rasa takut yang berlebihan. Kenapa Zac berteriak seperti itu? Apa Zac sedang dalam bahaya? Apa dia sedang membutuhkan pertolongan? Dave ingin sekali mencari tahu apa yang terjadi pada Zac, tapi dia tak mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Tiap kali dia berusaha menggerakkan badannya, rasa sakit yang sangat menyiksa menyerang seluruh bagian tubuhnya hingga membuatnya meringis.

Pelan-pelan Dave membuka matanya dan samar-samar dia bisa melihat langit-langit warna putih yang digantungi lampu bohlam yang juga warna putih. Selain rasa sakit yang menyerangnya, dia juga bisa merasakan tubuhnya yang dibalut selimut tebal yang sangat halus dan punggungnya menyentuh kain seprai yang juga sama halusnya. Dave memandangi selang infus yang menusuk pergelangan tangan kanannya dan langsung tersadar bahwa dirinya sekarang berada di rumah sakit.

Dave tak bisa ingat apa pun selain rasa sakit di kepalanya yang membentur dasbor dengan sangat keras.

“Dave,” seseorang berkata di sampingnya.

Dave menggerakkan kepalanya ke samping dan melihat Jamie sedang duduk di kursi sebelah ranjangnya. Dave berusaha mengatakan sesuatu, tapi ketika dia mencoba membuka mulut, rasa sakit yang sangat menyiksa itu menyerangnya lagi.

“Kau jangan bicara dulu,” kata Jamie. “Jahitan di bibirmu masih terlalu rapuh. Kau bisa merobeknya lagi kalau bicara.”

Akhirnya Dave hanya bisa diam dan menyentuhkan tangannya ke bagian kanan mulutnya yang tadi terasa sakit. Memang benar, ada pola jahitan di sana. Sepertinya obat biusnya sudah habis, jadi rasa sakitnya baru bisa dirasakannya sekarang.

Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenapa bibirnya dijahit?

“Kau kecelakaan lagi.” Jamie menjelaskan begitu dia melihat ekspresi kebingungan di wajah Dave. “Kepalamu membentur dasbor dengan sangat keras hingga tak sadarkan diri. Pecahan kaca tajam merobek bibir dan juga melukai tanganmu.” Jamie menunjuk ke luka-luka di tangan Dave yang tidak terlalu parah, tapi tetap saja mengerikan.

Dave mengangguk dan menjatuhkan kepalanya kembali ke atas bantal. Dia memandangi langit-langit rumah sakit yang berwarna putih dan mencoba mengingat detail kecelakaan yang dialaminya.

Tapi Dave tak bisa mengingat apa pun. Dia hanya bisa mengingat dengan samar bayang-bayang ketika kepalanya menyentuh dasbor dan setelah itu semuanya menggelap. Tapi Dave bisa mengingat dengan jelas suara Zac yang menjerit di alam bawah sadarnya. Bahkan ketika dia tidak sadar pun, suara Zac yang menjerit ketakutan itu seakan-akan terasa nyata dan berada di dekatnya. Apakah suara itu benar-benar nyata atau hanya ada di dalam pikirannya saja?

“Zac....” Dave bergumam dengan pelan karena mulutnya terlalu sulit untuk digerakkan.

“Zac baik-baik saja.” Kata Jamie sambil mengerutkan kening. “Tadi, sebelum kau sadar, dia datang menjenguk ke sini bersama Josh. Tadi malam dia pingsan begitu melihat kau berdarah-darah.”

Ada suatu debaran aneh yang menyelimuti Dave begitu mendengar kata-kata Jamie barusan. Dave menghembuskan napas dengan berat dan berusaha menyingkirkan debaran aneh itu. Zac baik-baik saja. Jeritan yang didengarnya mungkin hanya halusinasi dan efek obat penenang yang diberikan dokter padanya.

Kenapa hanya suara Zac yang bisa didengarnya? Kenapa suara Zac yang muncul di alam bawah sadarnya? Kenapa Zac menjerit di sana? Dan kenapa jeritan itu terasa sangat nyata? Dave tidak tahu dan takkan pernah tahu.

Tapi paling tidak dia merasa sedikit lega begitu mengetahui kalau Zac baik-baik saja. Cowok pemalu dan cute itu cuma kaget dan ketakutan dengan keadaannya yang mengerikan malam sebelumnya, tapi selebihnya Zac baik-baik saja. Dave masih tidak tahu kenapa dia selalu kepikiran dengan pipi merah Zac yang menggemaskan.

“Jamie,” Dave menolehkan kepalanya ke samping. Mati-matian dia berusaha menahan rasa sakit di bibirnya. “Apa Gary memenangkan pertandingan?”

Jamie mengangguk dengan sedih. “Ya. 4000 dollar kita jatuh ke tangannya.”

Dave membuang napas dengan keras. “Dia pasti akan menghabiskannya untuk berpesta dan narkoba.”

“Kalau itu sih aku sudah tak ragu lagi.”

Dave menatap Jamie lekat-lekat. “Jamie, bagaimana kalau Gary mengajak Zac ke pestanya?”

“Zac?” Jamie mengerutkan keningnya lagi. “Memangnya kenapa kalau dia datang ke pestanya Gary?”

Dave menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku yakin Gary pasti akan mengundang Zac untuk datang ke pestanya. Dan kalau Zac datang ke sana, Gary pasti akan memaksanya untuk menghisap ganja dan barang-barang narkotika lainnya.”

Jamie mengerutkan keningnya lagi. Kenapa Dave tiba-tiba jadi peduli dengan Zac? Sebelumnya Dave tak pernah bertingkah sepeduli ini pada orang lain. “Aku yakin Zac pasti menolak tawaran Gary. Dilihat dari tingkahnya tadi malam, aku yakin kalau Zac pasti membenci Gary sama besarnya dengan kita.”

“Ya. Kau benar. Tapi, bagaimana kalau Zac menerima tawarannya?” Dave bertanya pada langit-langit yang berwarna putih.

Jamie mengerutkan keningnya lagi hingga kedua alisnya bersatu. Sepertinya kecelakaan tadi malam telah membuat seorang Dave yang cuek menjadi pribadi yang lebih suka mempedulikan keselamatan orang lain di atas keselamatannya sendiri. “Kenapa kau peduli sekali dengan Zac?”

Dave mengalihkan pandangannya dari langit-langit dan menatap Jamie dengan mata hijau zamrudnya yang tampak berkilauan. “Karena dia temanku. Aku tidak rela kalau cowok lugu dan manis seperti Zac harus dirusak oleh Gary dan teman-teman narkobanya.”

“Zac pasti menolaknya. Kau jangan khawatir. Dia pasti akan baik-baik saja.” Kata Jamie berusaha menenangkan kekhawatiran Dave pada Zac yang sangat aneh.

“Tidak, dia harus baik-baik saja. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.” Dave bergumam dengan pelan sambil membayangkan pipi montok Zac yang berwarna merah menggemaskan.

***
Maafkan saya karna baru update sekarang :(

Silahkan beri vote dan kesan juga pesan2 kalian untuk saya.

*

Bandar Lampung, Sabtu 4 Juli 2015

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top