BONUS STORY

Zac hanya bisa pasrah mendengar keputusan Dave yang sudah bulat tentang rencana liburan hari jadi pernikahan mereka yang keenam tahun. Beberapa destinasi wisata sudah mereka masukkan ke dalam daftar "Negara yang Harus Dikunjungi", dan Zac sangat ingin sekali pergi ke Thailand agar bisa bertemu dengan artis-artis Thailand favoritnya yang bermain di film-film gay romantis yang lagi suka ditontonnya. Tapi, ternyata Dave memutuskan akan pergi ke Indonesia karena di sana ada teman lama yang ingin dikunjunginya. Keputusan bulat itu bagaikan ketuk palu seorang hakim yang tidak bisa lagi diganggu gugat.

Jengkel karena keinginannya tidak terpenuhi, Zac masuk ke kamar dengan membanting pintu hingga suara bantingannya membangunkan si kecil Dana yang sedang tertidur di kamar sebelah. Bayi itu langsung menangis begitu terjaga, dan karena Zac yang sedang jengkel tidak memedulikan suara tangisan anaknya, akhirnya Dave-lah yang meraih bayi kecil itu ke dalam gendongannya dan berusaha membuat tangisannya berhenti.

Si sulung Zavid muncul dari arah dapur, mendekati Dave yang sedang menimang-nimang Dana.

"Dad," kata Zavid. Pipinya yang montok belepotan cokelat. "Aku mau es klim lagi."

"Kau baru memakan semangkuk penuh es krim, Zav. Ingat apa kata papamu? Satu mangkuk es krim untuk satu hari."

Zavid cemberut. Pipinya yang menggembung terlihat lucu seperti balon. "Aku kepingin es klim!" pekiknya.

"Tidak! Kalau papamu tahu aku memberi tambahan es krim padamu, dia bakal tambah marah." Dave memandangi pintu kamarnya yang tertutup rapat. "Sekarang pun dia sedang marah padaku karena aku tidak mengabulkan keingiannya."

Zavid yang masih berusia tiga tahun tidak mengerti dengan pertengkaran orang dewasa. Yang dia tahu hanyalah es klim. Dan karena Daddy tidak mengizinkannya, dia pun cemberut dan mulai memukul-mukuli kaki Daddy-nya.

"Aku mau es klim, Dad! Aku mau es klim! Aku mau es klim! Es klim! Es klim!"

Dave geram. Dalam gendongannya, Dana masih tidak mau berhenti menangis, sementara Zavid memukul-mukuli kakinya. Dia tahu anak-anaknya aktif dan lincah, tapi dia tidak tahu anak-anaknya yang menggemaskan bisa jadi sangat menyebalkan ketika sedang rewel begini.

"Es klim, Daddy! Es klim!" Zavid mulai merengek, sementara Dana menangis lebih keras.

"Zaaac!" Akhirnya Dave teriak, tidak tahan menangani dua anaknya sekaligus. "Kemari dan bantu aku mengurus dua malaikat kecil ini!"

Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Dave menggerutu, lalu dengan selembut mungkin dia menyingkirkan Zavid yang memukul-mukuli kakinya dan bergerak ke pintu kamarnya. Dia mengetuk pintu tiga kali sambil berkata, "Zac, ayolah, kumohon. Aku tidak bisa menangani Dana dan Zavid sendirian."

Kata-katanya dijawab oleh tangisan Dana yang semakin keras. Zavid menambah buruk keadaan dengan ikutan menangis sama kerasnya seperti suara tangisan adiknya. Dave pusing. Sebelumnya dia tidak pernah mengurus dua anaknya yang menangis sekaligus karena biasanya selalu ada Zac yang akan mengambil alih salah satunya. Sekarang, tanpa Zac yang bisa diajak kompromi, dia tidak yakin bisa menangani mereka.

"Zac, oke, aku minta maaf karena tidak menuruti keinginanmu pergi ke Thailand. Tapi, ayolah ... Dana tidak mau diam. Apa yang harus kulakukan?"

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Tangisan Dana sudah tidak sekeras tadi, tapi tetap saja bayi itu rewel. Sedangkan Zavid masih asik memukuli kaki Dave dengan tangan-tangannya yang mungil.

"Daddy jahat! Aku mau es klim, Daddy!" Zavid mengusap pipinya yang basah. Pipi anak itu kemerahan, persis seperti pipi Zac yang selalu memerah setiap kali berdekatan dengannya.

Karena pipi montok anak itu, Dave akhirnya melunak. Dia menunduk ke arah Zavid dan berkata, "Oke, aku akan memberikanmu es krim tapi hanya segelas, ya? Setelah itu tidak ada lagi es krim."

Zavid kegirangan. Air matanya seketika berhenti dan dia berjalan sambil melompat-lompat mengikuti Daddy-nya masuk ke dapur. Sementara Daddy mengambilkan es krim untuknya, Zavid duduk tenang di kursi makan yang dibuat khusus untuk dirinya. Ketika Daddy meletakkan segelas penuh es krim di hadapannya, Zavid langsung teriak kegirangan.

Setelah anak sulungnya tidak rewel lagi, Dave sekarang memfokuskan dirinya pada si kecil Dana yang masih tidak mau berhenti menangis.

"Kau lapar, Sayang? Mau minum susu? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara membuatkanmu susu. Sebentar, aku akan melihat petunjuk pembuatannya." Dave membolak-balik kotak susu yang diletakkan di kabinet dapur dengan saksama, membaca cara penyajian yang ditulis di belakang kotak itu, kemudian berniat membuatnya.

Karena kesulitan membuat susu sambil menggendong Dana, Dave menarik kursi duduk bayi dan mendudukkan anak bungsunya di sana. Ada mainan karet di meja kursi bayi itu, dan Dave tahu Dana menyukainya sehingga ketika duduk di sana, tangis Dana langsung berhenti dan kedua tangannya yang mungil meremas-remas mainan itu. Dave tersenyum melihat betapa lucunya anak hasil dari spermanya itu, yang sekarang sedang berusaha memasukkan mainan karet ke dalam mulutnya, tapi Dave segera mencegahnya.

"Jangan, ya? Ini tidak boleh digigit. Ini karet. Kau mau sesuatu yang digigit? Sebentar, biar Daddy ambilkan sesuatu."

Dave membuka kulkas dan mendapatkan sebuah biskuit berbentuk bundar yang dibuat khusus untuk bayi seusia Dana. Anak bungsunya itu langsung tertawa riang gembira begitu menggenggam biskuit yang renyah itu. Dengan mulutnya yang mungil, Dana mengunyah biskuit itu menjadi bubur yang langsung mengotori sekitaran mulutnya dengan remah-remah biskuit. Dave tertawa, tetapi tidak membersihkan mulut anaknya karena itu kan tidak berbahaya.

Memandangi Dana, Dave jadi teringat pada perselisihannya dengan Zac ketika dia memutuskan untuk mempunyai anak dengan jasa surrogate mother. Zac awalnya menentang, marah karena Dave berani-beraninya tega melakukan hal itu padanya, seolah-olah selama ini Dave tidak puas dengan hubungannya bersama Zac. Tapi, lama kelamaan akhirnya Zac mengerti. Dave melakukannya bukan karena tidak puas pada hubungan mereka, melainkan karena dia ingin melengkapi keluarga mereka dengan anak yang merupakah hasil dari spermanya sendiri. Walaupun sulit menerima hal itu, tapi Zac akhirnya menyetujui dengan syarat dia juga harus diperbolehkan melakukan hal yang sama untuk anak ketiga mereka nanti. Perselisihan itu berakhir dengan damai, dan Dana pun lahir sepuluh bulan kemudian setelah perselisihan itu.

Karena Dana adalah hasil dari spermanya sendiri, jadi bayi mungil itu punya beberapa kesamaan fisik dengannya: mata hijau, rambut hitam, kulit yang tidak terlalu pucat. Kalau Dana lelaki, mungkin bentuk rahangnya bakalan sama seperti bentuk rahang Dave yang runcing. Sayangnya, bentuk wajah Dana lebih mirip seperti ibunya, dan beberapa orang mengatakan senyum Dana adalah fotokopian ibunya. Setiap kali orang-orang mengatakan tentang ibu biologis Dana, Zac bakalan cemberut dan marah. Sejak dia mengambil hak asuh Dana dari wanita itu—berdasarkan perjanjian yang sudah mereka sepakati bersama—Zac sudah menganggap dirinya sebagai orangtua kandung Dana.

Zac masuk ke dapur dengan hanya memakai singlet putih yang sangat tipis dan celana boxer sepaha yang memamerkan bentuk tubuhnya yang menggiurkan. Dave berusaha mengalihkan matanya dari pantat Zac yang menggembung di balik celana boxer itu dan menatap mata suaminya. Ketika mata mereka bertemu, Zac menatapnya galak.

"Kau memberi Zavid es krim lagi?!"

"Dia memaksaku memberikannya."

"Dia memaksamu?" Zac menggelengkan kepala, lalu merebut gelas es krim dari hadapan Zavid yang sudah dimakan isi setengahnya. Zavid merengek minta es krimnya dikembalikan, tapi Zac dengan sadis meletakkan gelas itu ke dalam kulkas. "Tidak ada es krim setelah satu mangkuk, Zav! Kau bisa diabetes karena terlalu banyak makan gula!"

"Aku mau es klim, Papa!" Zavid menangis keras-keras.

"Tidak!" Zac menghardik, tapi masih dalam batas yang sopan. "Satu mangkuk untuk satu hari." Dia menoleh kepada suaminya. "Aku kan sudah bilang padamu, jangan memberi es krim setelah—"

"Ya! Aku tahu!" Dave memotong. "Aku sudah mengatakan padanya tidak boleh ada es krim setelah satu mangkuk penuh. Tapi dia memaksaku, Zac! Dia memunculkan wajah yang begitu mirip denganmu. Tahu, kan? Aku selalu luluh setiap kali teringat pada wajah tampanmu ..."

"Jangan mulai merayu ketika kita sedang bertengkar!" Zac membuang muka, berusaha menahan panas di pipinya yang mulai memerah.

"Aku tidak merayu. Aku hanya mengatakan yang sejujurnya. Lihat itu, sekarang pipi Zavid sama merahnya dengan pipimu."

Zac menatap ke anak sulungnya yang sedang menangis. Dia tersenyum karena pipi anak itu memang sangat merah—mirip seperti pipinya. Tapi Zac tidak mau langsung luluh begitu saja. Dia masih kesal dan jengkel karena Dave tidak mengabulkan keinginannya liburan ke Thailand.

"Aku tetap marah padamu karena memberinya tambahan es krim!"

Dave mengembuskan napas. Dia mendekati Zac, berusaha untuk memeluknya, tapi Zac malah menghindar. Dia memandangi suaminya dengan rasa bersalah. "Kau sebenarnya bukan marah karena hal itu."

"Jangan sok tahu."

"Kau marah karena kita tidak jadi ke Thailand."

Zac mendengus. Matanya beralih ke Dana yang lagi asik mengunyah biskuitnya yang tinggal setengah.

"Maafkan aku, Zac. Tapi aku benar-benar ingin sekali ke Indonesia. Temanku Jer akan berulang tahun—"

"Jadi temanmu itu lebih penting daripada aku yang selama ini selalu ada di sampingmu!" Zac melipat tangan di depan dada, kesal. Pipinya panas karena menahan marah.

"Kau cemburu pada Jer? Kau kan tahu dia temanku—"

"Yeah, dan Tanner juga temanku, tapi kau selalu saja menuduhku ada sesuatu dengannya." Tanner adalah teman Zac di klub pencinta film Thailand. Mereka bertemu di sana dan langsung berteman cukup akrab karena mereka sama-sama mengidolakan artis Thailand yang sama: Sarawat.

"Tanner dan Jer adalah dua orang yang berbeda. Tanner gay, dan kau menghabiskan waktu nyaris seharian bersamanya di klub pencinta film bodoh yang menayangkan sekelompok remaja asia tampan yang saling menggoda satu sama lain."

"Jangan menghina film Thailand-ku!" Panas di pipi Zac rasanya sudah seperti tungku. "Kau selalu saja begitu, Dave. Menghina sesuatu yang tidak kausukai, padahal aku sangat menyukai hal itu. Itu sama saja menyakiti perasaanku." Akhirnya, panas di pipinya itu melelehkan air matanya. Zac menutupi wajahnya dengan kedua tangan, malu karena menangis di hadapan Zavid yang sekarang diam sambil mengetuk-ngetukkan sendok ke meja.

Dave melunak melihat air mata di pipi suaminya. Kelemahan terbesarnya adalah melihat Zac menangis. Dan semua kekesalannya pada Tanner dan film Thailand kesukaan Zac seketika rontok bagaikan digerus air mata itu. Dave perlahan bergerak mendekati Zac, lalu memeluk suaminya dengan sayang.

"Maafkan aku," bisiknya di telinga Zac. "Aku memang berengsek. Aku bahkan tidak tahu dari mana aku tahu film Thailand itu menayangkan remaja asia tampan saling menggoda satu sama lain. Aku hanya ... aku ..." Tiba-tiba dia tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa bodoh. Dan juga bersalah. "Aku hanya tidak suka kau berpikiran bahwa aku lebih mementingkan sahabatku daripada kebahagiaanmu."

Bahu Zac yang bergetar perlahan-lahan tenang kembali setelah tangisnya mereda. Dia mengusap air mata terakhir yang jatuh ke pipinya. "Aku tidak mau ke Indonesia. Aku mau ke Thailand, Dave. Aku sangat ingin sekali berjumpa dengan Sarawat. Atau setidaknya, aku ingin menginjakkan kakiku di negara idolaku."

Dave akhirnya mengembuskan napas. Walaupun usia Zac hampir 30 tahun, tapi sikapnya masih saja seperti anak-anak. Anehnya, Dave masih saja menyukainya. Walaupun terkadang sikap Zac itu membuatnya jengkel, tapi ada lebih banyak lagi yang justru membuatnya geli dan ingin tertawa sekeras-kerasnya.

"Baiklah," kata Dave akhirnya. "Kalau begitu kita akan mampir ke Thailand setelah pulang dari Indonesia. Bagaimana?"

"Kenapa tidak ke Thailand dulu baru ke Indonesia?"

"Kau ini memang suka menawar, ya? Masih untung aku mengabulkan keinginanmu. Kalau tidak mau, ya sudah. Kita ke Indonesia saja, dan ucapkan selamat tinggal pada Sarawat-mu."

Zac cemberut karena tidak bisa membantah keputusan suaminya. "Baiklah, oke. Tidak masalah. Yang penting kita harus ke Thailand."

"Dan aku harus mengatur ulang jadwal cutiku," ujar Dave, mendesah panjang. "Aku benci perubahan rencana mendadak."

Zac mengusap dada Dave, lalu mengecupnya lembut. "Dan aku benci padamu yang selalu membuatku harus menangis terlebih dulu untuk mendapatkan apa yang kuinginkan."

Ketika mereka akan berciuman, Dave menjerit kesakitan karena si sulung Zavid menggigit pahanya kuat-kuat.

"Kenapa kau menggigitku?!" tanya Dave sambil meringis.

"Itu hukuman karena Daddy membuat Papa menangis!" kata Zavid, penuh tekad.

Zac tertawa haru, sementara Dana tertawa sangat keras melihat ekspresi Daddy-nya yang lucu karena kesakitan.



***

Ah aku kangen Dave sama Zac. Cerita ini sudah berusia 5 tahun, dan apakah masih ada yang baca di tahun 2020 ini? Wahahaha. Love you, Guys. Cerita ini saya tulis waktu saya masih belajar menulis, dan sekarang pun masih belajar, tapi sudah agak lebih baik dari sebelumnya. Jadi, selamat menikmati Bonus Story ini yaa hehe.

VOTE DAN KOMENNYA DITUNGGU


Bandar Lampung, 23 Agustus 2020 -- 10.04 am.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top