Apologizing
============
Apologizing
============
Pada pagi berikutnya, Zac mendengar suara mamanya berteriak dari bawah ketika dia lagi sibuk memakai baju. Kalau mamanya sudah berteriak seperti itu, itu berarti Fred sudah datang menjemput.
Zac buru-buru menyelesaikan persiapannya, lalu menyelempangkan tasnya ke bahu, setelah itu turun ke bawah. Mamanya tidak ada di bawah anak tangga, jadi dia memutuskan untuk langsung beranjak ke ruang tamu. Dan di sana, duduk di atas sofa sambil mengobrol bersama mamanya, Dave yang tampan dengan mata hijau zamrudnya yang menawan.
"Dave?" tanya Zac keheranan. Kenapa Dave yang menjemput?, tanyanya dalam hati.
"Selamat pagi Zac," sapa Dave dengan manis, lalu berdiri untuk menjabat tangan Zac.
Zac membalas jabatan tangan Dave dengan kikuk. Dia tidak membalas sapaan cowok itu yang membuat mamanya menegurnya.
"Zac, ada apa denganmu? Dave menyapamu, tapi kau malah diam saja!"
"Oh, ya, selamat pagi," balas Zac dengan canggung. Entah kenapa, bertemu dengan Dave membuat hatinya berdesir lega sekaligus kaget.
"Dave datang untuk menjemputmu," kata mamanya.
"Tidak, aku tak mau dijemput olehnya," jawab Zac dengan ketus sambil melipat tangan di depan dadanya. Dave sudah menyakiti hatinya, jadi Zac tidak mau lagi berad terlalu dekat dengan cowok itu. Walaupun cintanya masih untuk Dave, tapi hatinya masih belum siap untuk memaafkan dan menerima cowok itu lagi. Lagipula, Dave kan masih jadi milik Shaina. Iya, kan?
"Zac, kau tidak boleh bersikap seperti itu," kata mamanya dengan lembut. "Kau harus menghargai usahanya yang sudah mau menungguimu dari setengah jam yang lalu."
"Aku tidak peduli," kata Zac, masih dengan nada ketus. "Mom, apa kau mau mengantarku berangkat ke sekolah? Kalau kau tidak mau mengantarku ke sekolah, maka aku akan berangkat sendiri ke sana. Yang jelas aku tidak mau berangkat sekolah bareng dia."
"Zac! Kau tidak sop―"
Zac buru-buru keluar dari rumah sebelum mamanya menyelesaikan kalimatnya. Dia membanting pintu depan rumah dengan kasar, lalu berlari di sepanjang trotoar jalan berniat untuk menjauhi Dave dan juga mamanya yang bersekongkol dengan cowok itu. Apakah mamanya tidak bisa menangkap maksud dari nada ketus yang diucapkannya? Apakah mamanya tidak tahu kalau Zac sangat sakit hati dengan cowok itu? Oh, tentu saja mamanya tidak tahu. Zac memang tidak pernah menceritakan apa pun kepada mamanya.
Tiga menit dia berjalan dari rumah, Mustang Dave yang berwarna hitam mengkilat itu menyusul di sampingnya. Zac berusaha untuk tidak peduli dan memilih mengabaikan panggilan Dave yang menyuruhnya agar berhenti.
"Pergilah, Dave!" teriak Zac dengan kesal karena mobil Dave masih saja membuntutinya. "Aku tak mau menumpang denganmu!"
"Kau mau naik apa ke sekolah? Kau kan tidak tahu caranya naik bus." Kata Dave dari balik jendela mobil yang terbuka. "Dan kalau kau berjalan kaki, maka itu bisa memakan lebih banyak waktu dan kau bisa terlambat masuk kelas."
Dave ada benarnya juga. Tapi saat ini Zac memang sedang tidak ingin naik ke dalam mobilnya. Mobil itu terlalu mengingatkannya pada rasa sakit yang Dave goreskan di dalam hatinya. "Itu urusanku, bukan urusanmu!"
Dave masih belum menyerah. Dia membawa mobilnya dengan pelan-pelan, berusaha menyamai langkah kaki Zac yang pendek. "Ayolah, kumohon, izinkan aku mengantarmu ke sekolah. Aku hanya tidak mau kakimu terluka kalau kau nekat jalan kaki ke sana."
"Apa pedulimu padaku? Pergi sana! Dan urus saja pacarmu itu!"
"Aku tidak punya pacar!" Dave berteriak.
Tapi Zac tidak percaya dengan kata-katanya dan berkata dengan lantang, "Oh, jadi sekarang kau berbohong dan mendekatiku lagi untuk menyakitiku?"
"Tidak!" Dave terdengar frustrasi. "Please, masuklah ke mobilku, biarkan aku mengantarmu ke sekolah. Kumohon dengan sangat." Dave mulai memasang ekspresi memohon lengkap dengan mata hijaunya yang berbinar-binar.
Oh, Zac tidak kuat melihat mata hijau yang berbinar itu. Apalagi wajah Dave terlihat memelas dan sangat unyu, membuat Zac gemas, tapi juga senang karena cowok itu masih mau memohon-mohon padanya.
Zac berpura-pura kesal ketika memutar mata, lalu masuk ke dalam mobil Dave. "Sudah, kan?" kata Zac, masih pura-pura kesal. Padahal, semenjak melihat puppy eyes Dave tadi hatinya sudah tidak terlalu kesal lagi.
"Belum," kata Dave menggeleng. Dia bergerak menarik seat belt, lalu memasangkannya ke tubuh Zac. "Kau harus pakai benda ini supaya kau aman."
"Terima kasih," ucap Zac, merona. Pipinya panas karena tubuh Dave yang memasangkan seat belt tadi jaraknya sangat dekat dengan tubuhnya.
"Sama-sama," Dave tersenyum. "Aku hanya tidak ingin kau terluka."
Zac diam, tidak menjawab kata-kata Dave itu. Biar bagaimana pun, Dave sudah membuatnya terluka, dan itu terlalu sakit untuk bisa dilupakan begitu saja. "Kau sudah melukaiku, jadi untuk apa kau bersikap peduli padaku lagi?"
"Karena aku ingin menebus rasa bersalahku, Zac. Aku ingin menyembuhkan luka yang sudah aku goreskan di hatimu itu."
"Tidak semudah itu!" pekik Zac, kesal.
"Aku tahu. Tapi, kumohon, berikan aku kesempatan kedua." Dave memohon lagi dengan memasang puppy eyes yang seperti tadi. Mata hijaunya terang sekali ketika berbinar seperti itu.
"Just shut up and drive, Dave!" Zac memekik lagi. "Semua obrolan ini buang-buang waktu. Cepat jalankan mobil ini dan bawa aku ke sekolah!"
Dave menghela napas dengan berat, lalu memegang setir. "Mulai sekarang aku akan menutup mulutku dan menunjukkan kepadamu bahwa di sini aku ingin menunjukkan rasa sayangku padamu."
Zac tidak menanggapi kata-kata Dave. Dia sudah terlanjur kecewa. Sakit hatinya masih cukup baru dan lukanya masih belum sembuh atas semua harapan palsu yang Dave berikan kepadanya. Dan sekarang, Dave ingin kembali menunjukkan rasa sayangnya? Rubbish! Percuma saja! Semua pasti akan berujung pada rasa sakit lagi!
Di dalam mobil, Zac tidak pernah mau menatap Dave sama sekali. Dia memandang ke luar, ke jalanan kota yang mulai ramai disesaki mobil dan pejalan kaki sambil berpikir apakah Dave serius ketika dia mengatakan kalau dia sudah tidak punya pacar?
"Kau masih marah?" tanya Dave memecah keheningan.
"Menurutmu aku masih marah atau tidak?" Zac malah balik bertanya dengan nada bosan.
"Maafkan aku," kata Dave.
Zac mengabaikan kata maaf Dave dan memilih untuk tetap melihat ke luar jendela mobil. Saat ini hati Zac dipenuhi dengan berbagai macam perasaan dan juga pertanyaan. Dia senang sekali akhirnya bisa berada satu mobil lagi dengan Dave, tapi rasanya semua ini harus dipertanyakan. Zac masih belum tahu alasan kenapa Dave tiba-tiba datang menjemputnya dan bersikap manis kepadanya setelah beberapa hari belakangan ini mereka saling bersitegang atas perasaan mereka yang tidak pernah bisa bersatu.
"Kau tidak mau bicara denganku lagi, ya?" tanya Dave lagi, membuyarkan lamunan Zac.
"Aku sedang malas bicara."
Dave tampak menghela napas dengan penuh kesabaran. "Zac, aku tahu aku sudah berbuat kesalahan. Tapi, apakah kau tidak mau memberikanku kesempatan kedua?"
"Kesempatan kedua?" Zac berkata dengan sinis. "Maksudmu kau ingin menjadikan aku yang kedua?"
"Tidak, bukan itu maksudku. Aku justru ingin menjadikanmu satu dan untuk selamanya dalam hidupku."
Zac tiba-tiba merasakan pipinya semakin panas mendengar kata-kata Dave yang manis itu. "Jangan menggodaku! Ingat, kau sudah punya pacar!"
"Aku tidak punya pacar!" Dave agak berteriak, maksudnya supaya Zac mengerti kalau saat ini dia memang sudah tidak punya pacar lagi.
"Berbohong saja terus! Aku tidak akan pernah percaya!" kata Zac dengan kesal. Kenapa Dave terus saja berbohong kalau dia tidak punya pacar? Ke mana si Shaina yang kemarin dia pilih untuk menjadi kekasihnya?
Zac bisa mendengar Dave menghembuskan napasnya dengan pelan, seperti berusaha untuk sabar menghadapi sikap Zac yang menolaknya berkali-kali. Zac memang menolaknya. Bukan menolak kata maafnya, tapi menolak untuk mempercayai semua yang dikatakannya.
Mereka sampai di parkiran sekolah setengah jam kemudian. Begitu Dave mematikan mesin mobilnya, Zac buru-buru melepaskan seat belt, lalu bergerak untuk membuka pintu. Tapi, tangan Dave menyentuh tangan kirinya, yang membuatnya berhenti dan tidak jadi keluar dari mobil.
"Apa lagi?" tanya Zac dengan kasar. "Kau bilang hanya ingin mengantarku ke sekolah, dan sekarang kita sudah sampai di sini. Jadi, tolong lepaskan tanganmu dari tanganku."
Dave melepaskan tangannya dari tangan Zac, lalu bergerak mengambil sebuah buket bunga mawar merah yang tercium sangat harum dari jok belakang. Kemudian, Dave menyerahkan bunga mawar itu kepada Zac sambil mengatakan, "Aku hanya ingin memberikanmu bunga ini―sebagai permohonan maafku."
Pipi Zac panas. Dia merona karena malu, senang, kesal sekaligus marah. Bunga mawar itu indah sekali. Kelopak-kelopaknya terlihat sangat rapuh, tapi berwarna merah pekat yang mengagumkan. Dan ditambah dengan wanginya yang sangat khas, membuat Zac tambah suka dengan bunga itu.
Tapi, begitu melihat muka Dave yang tersenyum dengan sangat manis, membuat Zac buru-buru menggeleng. Ini semua terlalu cepat. Zac tidak mau langsung percaya begitu saja. Dia tidak mau Dave memberikannya harapan palsu lagi. Bisa saja bunga ini hanya main-main.
"Tidak," jawab Zac sambil membuka pintu mobil. "Aku tidak mau menerima bunga pemberianmu!" Sambil berkata begini, dia keluar dari mobil dan membanting pintunya dengan keras.
Zac bergegas lari ke dalam gedung sekolah. Hatinya tiba-tiba terasa sesak karena apa yang dilakukan Dave tadi. Rasanya dia ingin menangis. Kenapa Dave tiba-tiba bersikap manis lagi? Apakah cowok itu ingin mempermainkannya lagi? Apakah Dave ingin mematahkan hatinya lagi? Apakah cowok itu belum puas melihatnya menderita?
Zac duduk di salah satu kursi tribun yang ada di gedung olahraga yang masih sepi. Dia ingin menghindari Dave. Dia tidak mau cowok itu bersikap manis kepadanya hanya karena ingin menyakitinya lagi. Dan selain itu, Zac masih butuh waktu untuk menenangkan hatinya yang tidak keruan.
"Wow, apa yang kau lakukan di sini?" tanya sebuah suara yang datang dari arah belakang.
Zac membalikkan badan dan melihat Gary yang tampan datang menghampirinya. Uh. Zac sedang malas bertemu dengan cowok itu. Bukannya dia benci, hanya saja, dia malas kalau harus menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama orang yang pernah sangat dibencinya.
"Jangan ganggu aku," kata Zac, mengalihkan pandangannya dari Gary.
"Aku tidak mengganggumu," Gary meloncat duduk di sebelah Zac. "Kenapa kau sendirian di sini?"
"Bukan urusanmu," jawab Zac.
"Memang bukan. Tapi aku penasaran. Apa Dave berengsek itu menyakitimu lagi?"
Zac menggelengkan kepalanya. "Sudah kubilang itu bukan urusanmu!" Zac kesal kalau Gary selalu bersikap sok peduli terhadapnya.
"Baiklah. Aku hanya ingin tahu saja apakah Dave berengsek itu kembali mengganggumu karena tadi malam, Shaina sudah pergi lagi dari kota ini."
Zac terpancing dengan kalimat terakhir Gary. "Pergi?"
Gary mengangguk. "Shaina tidak mau mengatakan apa pun padaku dan juga ibuku. Dia hanya bilang dia harus pergi dari kota ini dan tidak akan pernah kembali lagi untuk alasan apa pun. Ibuku sedih, tapi juga tidak melarangnya karena biar bagaimana pun, ibuku tidak bisa mencegah keputusannya yang sudah bulat itu."
"Ke mana dia pergi?" tanya Zac penasaran.
Gary mengangkat bahu tidak peduli. "Siapa peduli? Itu kan bukan urusanku."
Zac menyipit heran karena kepergian Shaina sepertinya tidak berpengaruh terhadap perasaan Gary. Tampaknya Gary sangat membenci kakaknya itu sampai-sampai dia pergi pun Gary tidak menunjukkan kesedihannya sama sekali.
"Aku dan Shaina punya hubungan yang buruk," kata Gary menjelaskan, seolah-olah bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Zac. "Kami tak bisa akur lagi semenjak perceraian orang tua kami."
Zac mengangguk, berusaha mengerti. Dia tidak punya saudara kandung yang bisa dibenci atau disayangi, jadi dia tidak tahu apa yang dirasakan Gary saat ini. Tapi dia tetap mengatakan, "Aku turut menyesal."
"Tidak ada yang perlu disesali dari itu semua," kata Gary, tersenyum.
Wah, Zac merinding melihat Gary tersenyum. Itu senyum tulus, bukan seringai jahat yang biasa ditampilkannya. Melihat senyuman Gary yang menawan, mampu membuat Zac tersihir karena senyumannya itu luar biasa indah dan menambah nilai ketampanannya. Namun, seberapa tampannya senyuman Gary, Zac tidak akan pernah jatuh hati kepada cowok ini. Karena.... Gary sudah tercipta untuk Josh. Iya, kan?
"Kalau Shaina pergi lagi, itu berarti dia meninggalkan Dave lagi?" Zac bergumam sendiri.
Gary menanggapi gumaman Zac dengan anggukan. "Itu sebabnya aku bertanya apakah Dave mengganggumu lagi? Karena setelah Shaina pergi, dia pasti akan kembali untuk menggodaimu."
Benar juga, kata Zac dalam hati. Jadi itu alasan kenapa Dave bersikap manis pagi ini? Karena lagi-lagi Shaina pergi meninggalkannya, jadi dia melampiaskannya kepadaku? Oh, Dave sangat jahat kalau dia memang benar melakukan itu padaku! Tidakkah dia mengerti bahwa aku tidak ingin dia menjadikanku yang kedua?
"Aku harus pergi," kata Gary, menghentikan omongan Zac dalam hati.
Zac mengangguk, "Terima kasih untuk informasinya."
Gary mengangguk juga, tersenyum singkat, lalu pergi meninggalkannya sendirian di situ.
Selepas kepergian Gary, Zac menghela napas dan menggosok mukanya dengan kesal. Kenapa Dave selalu saja menjadikannya pelampiasan atas perasaannya yang tidak terbalaskan kepada Shaina? Kenapa Dave baru bersikap manis kepadanya setelah Shaina meninggalkannya? Ini semua membuat Zac sedih dan kecewa. Dave ternyata masih belum berubah.
Bel berbunyi, tanda kelas pertama dimulai. Zac segera keluar dari gedung olahraga berjalan menuju ke kelas pertamanya hari ini: Sejarah. Dia tidak terlalu menyukai kelasnya ini, jadi dia berjalan santai sambil berharap semoga kelas berakhir dengan cepat.
Tapi sayangnya kelas berlangsung sangaaaaaat lama. Dia nyaris tertidur beberapa kali karena Mrs. Thompson yang menjelaskan materi di depan kelas benar-benar menyampaikannya dengan membosankan dan sangat garing. Hampir semua anak yang ada di dalam kelas ini tidak ada yang mendengarkannya, kecuali rombongan anak-anak nerd yang duduk di barisan kursi paling depan. Seperti Todd, misalnya. Anak itu memelototi Mrs. Thompson dengan antusias dan penuh rasa ingin tahu. Oh, betapa Zac sangat bosan berada di dalam kelas ini sampai-sampai dia harus memperhatikan si Todd itu.
Kelas berakhir sekitar satu jam empat puluh lima menit kemudian. Begitu selesai, Zac buru-buru keluar kelas dan berjalan menuju ke kantin, dengan harapan semoga dia bertemu dengan Carrie dan yang lainnya di sana sehingga dia bisa menceritakan sikap Dave yang sok manis pagi ini. Tapi, saat berada di lorong yang menuju ke kantin, langkah Zac terhenti karena sebuah pesawat mainan tiba-tiba melintas di atas kepalanya.
Zac mengerutkan kening melihat pesawat mainan yang dikendalikan remote control itu berputar-putar di atas kepalanya. Dia menolehkan kepalanya ke belakang dan melihat Dave di ujung lorong yang satunya lagi sedang memegang remote control yang mengendalikan pesawat tersebut.
Zac menghembuskan napas, kesal. Apa lagi sekarang? Kenapa Dave bertingkah seperti anak kecil yang memainkan pesawat mainan? Lalu dia tahu pesawat mainan itu bukan digunakan Dave untuk mainan, tapi digunakannya untuk mengirimkan sebuah surat kepada Zac yang terpasang pada badan pesawat yang berwarna putih porselen. Surat itu diikat menggunakan tali pita berwarna hijau terang, seterang mata Dave yang menawan.
"Apa ini?" gumam Zac, mengambil pesawat itu yang melayang di atas kepalanya, kemudian melepas gulungan kertas itu. Dia menatap ke arah Dave dengan tatapan penuh tanda tanya, tapi Dave hanya menggeleng dan memberi isyarat agar dia membuka gulungan itu.
Zac membuka gulungan kertas itu dan melihat isinya.
Ternyata isinya hanyalah sebuah kata-kata permohonan maaf. Tidak ada kata-kata yang manis atau berlebihan yang ditulis di sana. Isinya kurang lebih seperti ini:
Aku tahu sudah aku berbuat salah karena mengabaikanmu. Tapi, maukah kau memberikanku kesempatan kedua agar aku bisa membuktikan bahwa aku sangat menginginkanmu, mengharapkanmu, dan mencintaimu lebih besar dari siapa pun yang ada di dunia ini?
Zac memutar bola matanya. Yang benar saja! Zac sudah tahu alasan kenapa Dave bersikap manis seperti ini adalah karena dia baru saja ditinggalkan Shaina dan sekarang ingin kembali lagi kepada Zac. Hah! Zac tidak sebodoh itu. Dave tidak akan bisa dengan mudah menaklukkan hatinya!
Zac menatap ke arah Dave di ujung sana yang sedang menunggu responnya dengan harap-harap cemas. Lalu, dengan gaya tidak peduli, Zac membuang kertas itu ke tanah. Kertas melayang sejenak sebelum akhirnya mendarat di lantai dengan lembut. Kemudian, karena sudah tidak nafsu makan lagi, Zac bergerak meninggalkan lorong sambil sebelumnya menginjak surat yang terjatuh di lantai itu.
Zac tidak mau tahu lagi bagaimana ekspresi wajah Dave ketika dia menginjak surat kata maafnya itu. Zac tahu dia sudah bersikap jahat karena hal itu, tapi dia benar-benar harus melakukannya untuk membuat Dave sadar kalau dia tidak butuh surat, tapi sebuah ketulusan. Kalau Dave memang benar-benar menginginkan Zac, kenapa tidak langsung membuktikannya saja? Kenapa harus pakai surat segala?
Karena tidak tahu harus pergi ke mana, Zac melangkahkan kakinya berjalan ke lokernya. Dia harus mengambil beberapa buku untuk kelas selanjutnya. Beberapa orang berkumpul di sekitar loker. Zac mengabaikan mereka dan membuka lokernya sendiri. Begitu lokernya terbuka, Zac terbelalak kaget mendapati dua buah tangkai bunga mawar merah dan putih dan juga sekotak cokelat dengan wadah berbentuk hati―atau love.
Zac melihat ke sekitarnya. Tidak ada yang memperhatikannya dan tidak ada yang melirik ke arahnya. Ini dari siapa?, tanyanya dalam hati.
Karena penasaran, dia mengambil kotak cokelat lengkap dengan pita berwarna biru muda itu, kemudian membukanya. Di dalamnya ada sebuah catatan kecil yang ditaruh di atas cokelat warna-warni berbentuk hati. Zac mengambil catatan kecil itu, lalu membukanya.
Aku tahu kau masih belum percaya padaku, tapi aku sudah berkata pada diriku sendiri bahwa aku menginginkanmu. Aku ingin mencintaimu sekarang, besok dan untuk selamanya. Please, maafkan aku dan terimalah kata maafku.
- D.
Tidak ada nama si pengirim kecuali inisialnya saja. D. Saat itu Zac sudah tahu kalau yang mengirim semua ini adalah Dave. Dia menghembuskan napasnya lagi dengan penuh kekecewaan. Kenapa cowok itu tidak menyerah juga? Kenapa cowok itu bersemangat sekali untuk mematahkan hatinya lagi?
Zac meremas-remas catatan kecil itu hingga menjadi sebuah bola, kemudian melemparnya ke tong sampah yang berada tidak jauh dari lokernya. Dia juga tidak butuh cokelat, tapi kalau cokelatnya dibuang, mubazir. Jadinya dia membiarkan cokelat itu berada di dalam lokernya. Dia mengambil dua tangkai bunga mawar itu, berniat untuk membuangnya, tapi seketika gerakannya terhenti saat melihat sebuah foto yang ada di balik bunga mawar itu.
Itu foto dia bersama Dave yang diambil di Festival Panen. Kenapa foto ini ada di sini? Dia memungut foto itu, memandanginya dengan perasaan campur aduk antara senang dan juga sedih, kemudian tersentak kaget saat mendengar sebuah suara di sampingnya berkata, "Lihat tulisan di baliknya."
Zac memandang ke Dave yang sudah berdiri di sampingnya. Cowok itu tersenyum dengan lembut, membuat mata hijaunya juga terlihat lembut.
Mengabaikan Dave, Zac membalik lembar foto itu dan nyaris terharu saat membaca tulisan yang ada di balik foto itu.
Di tempat ini kita mengucapkan harapan kita.
Dan di tempat ini juga kita mengabadikan momen kita.
Zac nyaris merasakan kebahagiaan di dalam hatinya hanya karena melihat foto yang sudah sering dilihatnya itu, juga tulisan yang ada di baliknya. Dia memandang ke arah Dave yang masih menatapnya dengan tatapan memohon.
"Please," kata Dave, "beri aku kesempatan kedua."
"Untuk apa kau butuh kesempatan kedua? Apa karena Shaina meninggalkanmu lagi makanya sekarang kau ingin mendapatkan kesempatan dariku?"
Dave menggeleng dan mulutnya terbuka untuk mengucapkan sesuatu.
Tapi Zac segera menyambar sebelum Dave sempat mengucapkan kata-kata yang ingin dikatakannya. "Sudahlah, aku tak mau lagi mendengar penjelasanmu. Kau sudah terlanjur membuatku sakit hati, Dave!"
Zac menutup pintu loker dengan kesal, menguncinya dengan kasar, kemudian pergi meninggalkan Dave yang mematung di sana.
Tanpa sadar, rasa sakit dan juga amarah yang menyelimuti hatinya membuat air mata jatuh ke pipinya tanpa bisa dia cegah. Dia buru-buru menghapus air mata itu. Rasanya memang sakit, tapi dia harus bisa bertahan. Dia tidak boleh langsung percaya begitu saja kepada Dave. Dia ingin Dave sadar kalau dia tidak butuh surat, bunga atau pun cokelat. Zac hanya butuh kepastian! Tapi, kenapa Dave sulit sekali memberikan kepastian itu?
Kelas selanjutnya dan selanjutnya lagi masih sama membosankan. Zac berusaha untuk menyimak, tapi tidak bisa karena pikirannya selalu berputar-putar kepada Dave dan juga kejutan-kejutannya yang manis hari ini.
Zac sadar, di dalam hatinya, dia sedikit senang mendapat kejutan seperti itu. Apalagi Dave sudah mau berusaha untuk mendapatkan kata maaf darinya. Tapi, dia tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Terakhir kali dia dicium Dave dan dia langsung jatuh begitu saja, membiarkan dirinya berharap yang terlalu tinggi pada cowok itu, yang pada akhirnya malah menghancurkan perasaannya. Zac tidak mau itu terulang lagi. Dia masih ingin melihat seberapa besar Dave benar-benar serius untuk meminta maaf padanya.
Di kelas terakhir, Zac nyaris tertidur sepanjang kelas berlangsung. Kalau bukan karena Josh yang membantunya agar tetap sadar, Zac pasti sudah jatuh tertidur sampai kelas berakhir. Walaupun rasa kantuk membuat kelopak matanya terasa sangat berat, tapi akhirnya dia bisa bertahan sampa bel pulang sekolah berbunyi.
Zac memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, setelah itu menelepon Fred. Zac hanya ingin menanyakan apakah cowok itu mau mengantarkan pulang, karena Zac masih belum sanggup kalau harus pulang bersama Dave.
"Halo juga Zac, ada apa?" tanya Fred dari ujung telepon sebelah sana setelah Zac selesai menyapa 'halo'.
"Apa aku boleh pulang bersamamu hari ini?"
"Aduh, maaf," kata Fred, terdengar menyesal, "aku tidak bisa. Aku ada latihan band sampai malam."
Zac menghela napas. Itu berarti, kalau Fred tidak bisa mengantarnya pulang, maka Zac harus mencari orang lain yang mau mengantarkannya. Zac mengucapkan salam penutup kepada Fred, lalu memutuskan panggilan.
Masalahnya, Zac lagi marahan sama mamanya karena tadi pagi mamanya sudah membiarkan Dave masuk ke dalam rumahnya dan malah bersekongkol dengan cowok itu agar Zac ikut berangkat bersamanya. Tidak, Zac tidak mau minta jemput mamanya hari ini.
Kalau dia pulang bersama Carrie, itu mustahil karena Carrie pasti pulang bersama Ben. Kalau dia pulang bersama Sam, Helga, Wendy dan Chloe, itu juga mustahil karena mereka naik bus. Dan jalur bus yang mereka lalui berbeda dengan jalur bus yang menuju ke rumah Zac. Aaaargh, jadi dia harus pulang bersama siapa?
Zac melihat Josh masih beres-beres di sampingnya. Lalu dia tahu kalau Josh adalah satu-satunya harapannya. "Josh, apa aku boleh menumpang pulang bersamamu?" tanya Zac.
Josh menggeleng, "Maaf, Zac, aku tidak bawa mobil."
Zac membuang napas lagi. "Kau pulang naik bus?"
"Tidak," Josh menggeleng lagi. "Aku pulang bersama Gary―eh," Josh tiba-tiba salah tingkah, seperti seseorang yang telah salah bicara. "Tidak, maksudku, aku tidak pulang bersama Gary, aku hanya menumpang mobilnya karena mobilku lagi di bengkel. Bukan berarti aku mau pulang bersamanya!"
Zac paham. Dia mengerti. Entah apa yang terjadi pada Josh dan Gary, tapi Zac tidak mau mengganggu hubungan mereka itu. Kalau dia pulang bersama mereka, maka dia akan jadi perusak suasana mereka. Zac akhirnya pasrah dan membiarkan dirinya keluar dari kelas dengan perasaan bimbang.
Saat keluar dari gedung sekolah, Zac mendapati Dave berdiri di sana dengan pose yang sangat keren. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantung depan celana denimnya yang berwarna hitam legam. Saat itu, Dave memakai henley shirt warna putih yang dibalut dengan jaket parka warna hitam yang kelihatan macho dan keren. Mata hijau zamrudnya berkilauan lagi, membuat Zac terpana lagi. Kalau saja dia tidak kesal pada cowok itu, Zac yakin dirinya pasti sudah berlari menghambur untuk memeluk tubuh Dave yang ideal dan berisi. Uh. Tapi sayangnya suasana hatinya sedang tidak baik hari ini.
"Mau pulang bersamaku?" tanya Dave saat Zac berjalan mendekatinya.
Zac tidak mendekati Dave, dia hanya berjalan lurus untuk bisa mencapai gerbang. Dan untuk sampai ke sana, dia harus melewati tubuh Dave yang berdiri menghadang jalannya. "Tidak, terima kasih," jawab Zac dengan tidak peduli sambil tetap melangkahkan kakinya, melewati Dave begitu saja.
"Ayolah, kumohon, ini permintaan yang sama seperti aku mengantarmu tadi pagi," Dave mengikuti langkahnya sambil mulai memohon dengan puppy eyes-nya yang menggemaskan.
"Pergilah, Dave! Jangan dekat-dekat aku! Aku bukan Shaina!"
"Aku tidak menganggpmu sebagai Shaina. Aku menganggapmu sebagai Zac―orang yang selama ini mencintaiku setulus hati dan juga aku cintai dengan sepenuh hatiku," rayu Dave dengan sangat berlebihan.
"Jangan menggombal!" Zac memekik, masih sambil berjalan. Dan setiap kali dia melangkahkan kaki, Dave akan selalu mengikutinya ke mana pun. "Jangan jadikan aku sebagai pelampiasanmu karena kepergian Shaina!"
"AKU TIDAK MENJADIKANMU PELAMPIASANKU!" teriak Dave dengan suara lantang, membuat Zac seketika menghentikan langkahnya, kemudian berbalik untuk menatap mata Dave yang tampak serius dan penuh keteguhan. Zac diam, membiarkan Dave menyelesaikan kata-katanya. "Aku tidak pernah berniat menjadikanmu pelampiasanku, Zac. Aku serius ingin memperbaiki hubungan kita. Aku serius ketika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu. Dan sekarang, please, naiklah ke mobilku, biarkan aku menjelaskan semuanya kepadamu."
Ok, Zac sekarang benar-benar bingung. Dave benar-benar serius dan setiap kata yang keluar dari mulutnya diucapkan dengan penuh ketulusan. Dia juga bisa menangkap keteguhan yang terukir jelas di dalam mata hijau zamrudnya itu.
"Kumohon dengan sangat, Zac, izinkan aku menjelaskan semuanya padamu. Aku janji, setelah itu kau mau memberikanku kesempatan kedua atau tidak, aku pasti akan menghormati semua keputusanmu dan tidak akan pernah mengganggumu lagi kalau kau memang tidak mau lagi kuganggui."
Itu kalimat paling serius yang pernah Zac dengar selama hidupnya. Betapa Dave sangat menginginkan kesempatan kedua dari Zac, tapi Zac masih ragu untuk memberikannya. Mungkin, mendengarkan penjelasan Dave adalah pilihan yang bagus karena setelah itu dia bisa mengetahui seberapa besar Dave benar-benar menginginkan kesempatan kedua itu.
"Kalau begitu baiklah," kata Zac akhirnya.
Dave terlihat sangat bersemangat, kemudian berkata: "Kau tunggu di sini―jangan pergi ke mana-mana, sementara aku akan mengambil mobilku."
Zac mengangguk, membiarkan Dave pergi ke parkiran sekolah dan mengambil mobil hitamnya yang keren di sana. Selagi menunggu, Zac harap-harap cemas semoga Dave benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya. Semoga kali ini Dave benar-benar serius menginginkan dirinya sebagai bagian dari hidupnya, bukan hanya sebagai pelampiasan semata.
Beberapa menit kemudian, Mustang Dave yang berhiaskan gambar api di bodi hitamnya yang mengkilat, berhenti tepat di depan tubuh Zac. Cowok bermata hijau itu keluar dari dalam mobilnya untuk membukakan pintu sebelah kanan agar Zac masuk. Maka, dengan tersenyum sambil geleng-geleng kepala, Zac pun masuk ke dalam.
Dave masuk lagi ke dalam mobil, lalu bergerak untuk memasangkan seat belt ke tubuh Zac, tapi segera dicegah oleh si yang punya tubuh. "Tidak usah," katanya. "Aku bisa memasangnya sendiri."
Dave tersenyum simpul saat Zac memakai seat belt, kemudian menginjak pedal gas dan mobil pun melaju ke jalanan.
"Aku ingin menunjukkan sebuah tempat padamu," kata Dave.
"Tempat apa?"
"Tempat yang sangat indah. Apalagi kalau dilihat di waktu sore hari begini, aku yakin kau pasti menyukainya."
Zac mengangguk sambil melirik ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul setengah lima sore. Kenapa waktu cepat sekali berjalan, ya? Oh, ya, Zac baru ingat tadi dia mengambil kelas tambahan Bahasa Perancis yang berlangsung sangat membosankan sampai jam empat sore. Itu kelas yang tadi dia duduk bersama Josh.
Dave memutar setir ke arah kanan, masuk ke sebuah jalan tanah yang sisi kanan dan kirinya ditumbuhi tumbuhan semak-semak pagar dan juga pohon-pohon berdaun jarang. Jalanannya jelek, berbatu dan membuat Zac nyaris muntah karena beberapa kali terlonjak dari kursinya.
"Kau mau membunuhku, ya?" tanya Zac sambil menahan perutnya yang bergejolak.
"Maaf," kata Dave, nyengir, tapi sambil tetap fokus ke jalanan berbatu di depannya. "Ini jalan yang harus kita lalui untuk bisa sampai ke bukit."
"Bukit?" tanya Zac.
"Kau akan segera tahu nanti."
Zac tidak bertanya lagi karena sekarang perutnya benar-benar bergejolak. Seperti ada mesin pengocok yang mengocok-ngocok isi dalam perutnya, membuatnya ingin muntah. Tapi, saat semak-semak sudah jarang dan pohon-pohon sudah tidak tumbuh lagi di daerah itu, perut Zac sudah tidak semual tadi dan sekarang dia bersikap dengan normal lagi.
"Kau baik-baik saja?" tanya Dave dengan raut wajah khawatir.
Zac menganggukan kepalanya. Pipinya terasa panas. Bukan karena malu, tapi karena agak pusing. "Aku baik-baik saja. Bisa kita keluar sekarang? Kurasa aku mau muntah."
Dave segera keluar dari mobil, begitu juga dengan Zac.
Dan saat keluar, mata Zac membelalak lebar saat melihat pemandangan yang ada di depannya.
"Wow," dia bergumam dengan takjub. "Ini... indah sekali."
Benar. Apa yang dilihat Zac memang benar-benar indah. Di depannya terhampar pemandangan kota tempat tinggalnya yang sangat luas dan disesaki dengan rumah-rumah dan juga gedung-gedung tinggi pencakar langit. Matahari sore yang berwarna oranye cerah bersinar terang di atas langit biru muda, dibalik awan-awan putih yang cantik. Danau itu sendiri memantulkan cahaya oranye matahari di permukaannya, membuat pemandangan itu jadi lebih menyegarkan matanya.
Zac selalu suka dengan warna oranye karena warna itu lembut, selalu bisa membuatnya tenang. Dan melihat campuran warna yang ada di depannya: warna oranye dari matahari yang bergerak turun ke garis cakrawala, bercampur dengan warna biru kehijauan dari danau yang berkilauan, juga berbagai macam warna lainnya dari atap-atap rumah penduduk yang menambah kaya suasana, membuat hatinya terasa nyaman dan tentram. Seperti lukisan, tapi bedanya warna-warna ini lebih nyata dan lebih menggembirakan lagi.
Angin bersemilir lembut membelai wajahnya. Tanpa sadar, Zac merentangkan kedua tangannya ke samping sambil berdiri di depan pemandangan itu. Dia ingin menikmati pemandangan itu, merekam semuanya di dalam kepalanya, menikmati sapuan angin yang lembut membelai pipinya, menerbangkan rambutnya, membuatnya merasa bebas dan nyaman.
Kemudian, saat Zac lagi asik merentangkan kedua tangan dan menikmati belaian angin, sebuah tangan melingkar di perutnya, kemudian memeluknya dari belakang sambil berbisik, "I love you."
Zac merinding mendapat pelukan tiba-tiba dari Dave, tapi dia tidak berusaha menghindar dan malah membiarkan dirinya dipeluk di atas bukit itu sambil asik melihati pemandangan di depannya. Kemudian setelah beberapa lama mereka berpelukan, Zac melepaskan diri dan berbalik untuk menatap Dave dengan tatapan yang menuntut.
"Kita ke sini untuk mendengarkan penjelasanmu, bukan untuk mesra-mesraan," kata Zac, menyingkirkan tangan Dave yang masih asik melingkar di perutnya.
"Oke," Dave bergerak mendekat ke arah mobilnya, kemudian mengeluarkan sebuah keranjang piknik dari dalamnya. Zac memandang heran keranjang itu. "Aku sudah mempersiapkan ini."
"Untuk apa?"
"Untuk kita. Ayo," Dave memberi isyarat pada Zac agar mengikutinya, sementara dia naik ke atas kap mobilnya, kemudian duduk bersila di bagian atas mobilnya.
Zac mengerutkan kening melihat tingkah Dave yang konyol seperti itu. "Untuk apa duduk di atas? Kenapa tidak duduk di atas batu datar itu saja? Atau di tanah?"
"Aku tidak bawa selimut sebagai alas. Dan di atas batu itu ada banyak semut. Lagipula, lebih asik duduk di atas mobilku, jadi kita bisa melihat pemandangan kota lebih jelas lagi."
Zac mengangkat bahu karena Dave itu tipe cowok pemaksa dan punya seribu satu alasan yang membuat Zac mau tidak mau harus menuruti kemauannya. Maka dengan enggan, Zac naik ke atas penutup kap mesin mobil Dave, kemudian naik ke bagian atas mobilnya dan duduk di sebelah cowok itu.
"Nah, kita sudah seperti piknik sekarang," kata Dave, tersenyum.
Dave mulai mengeluarkan isi keranjang. Ada roti, keju, selai cokelat, strawberry, blueberry, nanas dan kacang. Ada sebotol anggur dan dua gelas kaca bening yang sangat cantik dan berkilauan. Lalu ada timun, tomat, selada, roti bundar, sosis sapi dan ayam, mayonaise, saus cabai dan tomat, juga ada beberapa jenis sayuran dan buah-buahan lainnya. Zac memandangi itu semua dengan dahi berkerut. Sepertinya Dave sudah mempersiapkan semua ini dengan baik.
"Pertama-tama kau mau makan apa? Marshmallow?"
Zac menggeleng, tapi mengambil sebuah apel warna merah yang tampak segar.
"Oh, ya, buah bagus untuk kesehatanmu," kata Dave, nyengir dengan garing.
Zac memutar matanya. Kemudian, sambil menggigit apelnya, Zac berkata, "Jadi, jelaskan."
Dave menghembuskan napas. "Tidak bisakah kau tunggu sebentar? Aku sedang sibuk mengatur semua makanan ini agar tidak jatuh ke bawah."
Zac memutar mata lagi. "Siapa suruh kau bawa makanan sebanyak ini."
"Inisiatifku sendiri. Kupikir kau pasti akan terkesan kalau kita piknik di atas bukit sambil menikmati pemandangan kota yang indah."
Zac memang terkesan. Bukan pada makanannya, tapi pada pemandangan kota yang terlihat indah itu.
Selama beberapa menit kemudian Zac membiarkan Dave sibuk membuatkan burger untuknya. Padahal Zac sudah mengatakan kalau dia tidak mau burger, tapi Dave memaksa dan tetap memaksa walaupun Zac sudah menolaknya berkali-kali. Akhirnya, karena terpaksa, Zac pun memakan burger itu.
Lalu, setelah itu, Dave menuangkan anggur ke dalam dua gelas, kemudian memberikannya kepada Zac dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Sebelum meminum anggur itu, Dave mengajak Zac bersulang yang akhirnya dilakukan Zac dengan malas-malasan.
Saat itu kesabaran Zac sudah habis.
"Sudah, cukup!" pekiknya, kesal. "Aku ke sini ingin mendengar penjelasanmu, bukan bersantai sore denganmu!"
"Oke, oke. Baiklah." Dave berdeham beberapa kali untuk mengulur-ulur waktu, kemudian melanjutkan, "Jadi, entah dapat informasi dari mana, kau pasti sudah tahu kalau Shaina meninggalkanku lagi. Iya, kan?"
Zac mengangguk dengan tidak sabar.
"Shaina pergi bukan tanpa alasan. Dia pergi karena dia harus mengerjar cita-citanya. Dia harus melanjutkan kuliah di London dan tidak akan pernah kembali lagi ke sini untuk alasan apa pun."
"Itu sebabnya kau mendekatiku dan bersikap manis lagi kepadaku?"
"Tidak, bukan itu. Aduh―demi Tuhan, Zac! Jangan memotong pembicaraanku sebelum aku selesai."
Zac mendengus kesal, lalu membiarkan Dave menyelesaikan ceritanya.
"Seperti yang sudah aku katakan kepadamu, Zac," kata Dave, "aku tidak pernah berniat menjadikanmu pelampiasanku. Aku benar-benar ingin menjadikanmu bagian dalam hidupku―untuk sekarang dan selamanya. Aku mendekatimu lagi bukan karena Shaina pergi meninggalkanku, tapi karena sekarang aku sudah sadar bahwa memang kau-lah orang yang selama ini mencintaiku dengan setulus hatimu.
"Carrie dan yang lain sudah bekerjasama untuk membuatku sadar akan perasaanku kepadamu. Dan Shaina juga membantuku menyadari perasaanku itu. Dia bahkan setuju kalau aku jadi milikmu untuk selamanya. Justru dia yang menyemangatiku agar aku memperbaiki hubunganku denganmu yang sempat kuhancurkan."
"Carrie?" tanya Zac, heran. "Kenapa dia dibawa-bawa?"
"Carrie, Fred, Jamie dan juga Shaina bersekongkol untuk sama-sama menguji cinta kita."
Zac mengerutkan kening lebih heran lagi. Ini berita baru baginya. Kemudian dia bertanya, "Apa maksudmu dengan menguji cinta kita?"
Lalu Dave mulai menjelaskan semuanya tentang sandiwara yang dilakukan mereka semua untuk membuat Dave sadar bahwa cintanya selama ini adalah Zac. Dan untuk membuktikan seberapa besar Zac mencintai Dave. Awalnya Zac kaget, marah dan tidak percaya kalau teman-temannya melakukan kebohongan di belakangnya hanya untuk menguji seberapa besar cintanya kepada cowok bermata hijau zamrud yang sekarang ada di depannya ini. Apakah teman-temannya tidak percaya bahwa Zac benar-benar mencintai Dave sangat besar sampai-sampai mereka semua tega melakukan kebohongan itu?
Tapi, di lain sisi, dia juga bersyukur karena kehadiran Fred yang membantunya―yang ternyata semua bantuannya itu hanyalah kebohongan semata―membuatnya jadi sadar bahwa dia memang tidak bisa mencintai orang lain lagi selain Dave. Hatinya sudah tertambat pada Dave. Jadi, ke mana pun Dave melangkah, sesakit apa pun hatinya karena Dave terus-terusan memberikannya harapan palsu, dia tetap akan mencintai cowok itu sampai akhir.
Zac pusing. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Shaina juga ikut ambil bagian dalam sandiwara itu. Selama ini dia membenci Shaina karena perempuan itu selalu saja membuatnya sakit hati tiap kali dia membayangkan tentangnya. Namun, ketika Dave mengatakan kalau Shaina datang ke kota ini untuk alasan mengajari Dave arti dari rasa bersalah dan juga rasa sakit, membuat Zac tidak mampu menahan rasa bersalah yang muncul di dalam hatinya. Selama ini dia telah salah menilai Shaina. Perempuan itu sebenarnya baik, hanya saja cara yang dia lakukan itu salah. Zac menyesal karena bahkan sampai sekarang pun dia tidak pernah bertemu Shaina untuk bisa melihat bagaimana bentuk wajah perempuan itu.
"Kalau kau mau menyalahkan, salahkan saja aku, tapi jangan salahkan mereka. Ini semua bukan salah mereka, Zac. Ini semua salahku. Aku yang tidak pernah peka pada perasaanmu, aku juga yang tidak pernah menganggap penting orang yang selalu ada di sampingku, yang itu semua malah membuatku terpuruk dalam rasa bersalah dan juga penyesalan yang luar biasa karena aku sudah menyia-nyiakanmu―orang yang sangat aku cintai."
Zac mau terharu, tapi tidak jadi. Dave memang salah. Cowok itu memang tidak peka, tidak bisa menghargai perasaan seseorang dan yang paling parah, dia itu labil, pemberi harapan palsu dan menyebalkan! Zac sempat membenci Dave gara-gara sifatnya itu. Tapi sekarang, semua sudah selesai. Dave benar-benar tulus melakukan semua ini. Dia sudah mau berusaha untuk mendapatkan kata maaf dari Zac.
Dan apa salahnya kalau memberikan dia kesempatan kedua?
Tiba-tiba, Dave menggenggam tangan Zac dengan kedua tangannya sambil pasang muka memohon dan puppy eyes-nya yang menggemaskan itu lagi. "Zac, kumohon, terima kata maafku dan berikan aku kesempatan kedua. Aku janji tidak akan pernah membuatmu kecewa lagi. Aku janji akan selalu membuatmu bahagia. Aku tak bisa terus-terusan hidup seperti ini: merasa bersalah karena tindakan bodohku sendiri dan menyesal karena cintaku tak pernah bisa terlampiaskan kepadamu. Aku ingin kau menjadi milikku. Karena selama ini, kau yang aku harapkan. Kau yang selalu ada di dalam harapan dan juga doaku."
Hati Zac berbunga-bunga, sungguh. Dia tahu Dave tulus dan semua yang dikatakannya itu berasal dari hatinya. Jadi Zac mengangguk, yang kemudian membuat Dave kegirangan, lalu mencium tangannya dengan sangat lembut.
"Kalau kau memang benar-benar mencintaiku dan mengharapkanku, maka tunjukkan padaku, Dave," kata Zac dan menatap mata hijau Dave dengan tegas. "Aku ingin melihat seberapa besar kau benar-benar mengharapkanku."
Dave yang tadi kegirangan, sekarang berubah murung karena ternyata, walaupun Zac sudah memberikannya kesempatan kedua, masih butuh usaha juga untuk meyakinkannya kalau Dave memang benar-benar serius dengannya dan tidak main-main lagi.
"Kalau begitu, oke," Dave menyetujui. Lalu dia menggeser posisi duduknya jadi lebih dekat dengan Zac, kemudian mengalungkan lengan kanannya ke bahu Zac. "Aku akan menunjukkannya."
"Besok," kata Zac. "Aku ingin kau menunjukkannya kepadaku besok. Kalau besok kau tidak bisa menunjukkan seberapa besar kau benar-benar mengharapkanku, maka aku juga tidak akan pernah bisa kembali lagi kepadamu."
Dave merinding. Kata-kata itu terdengar seperti ancaman, bukan sebuah permintaan. Kalau begitu, ini adalah kesempatan terakhirnya untuk membuat Zac bisa melihat seberapa besar cinta dia kepadanya.
"Tenang saja, Zac," kata Dave, mengelus-elus bahu Zac dengan lembut. "Aku tidak akan membuatmu kecewa."
Zac mengangguk, memegang janji Dave erat-erat di dalam hatinya. Besok, dia akan melihat bagaimana Dave menunjukkan rasa cintanya. Besok, dia akan tahu seberapa besar Dave mengharapkannya. Dan besok, Zac akan melihat seberapa tulus cinta yang diberikan Dave kepadanya.
Tapi itu semua akan terjadi besok. Sekarang, yang terjadi di sini adalah dia dan Dave duduk berangkulan di atap mobil sambil menikmati warna oranye lembut dari matahari yang perlahan-lahan turun ke garis cakrawala. Matahari terbenam itu membuat hati Zac terasa nyaman. Ditambah dengan Dave yang ada di sampingnya, membuat dirinya menjadi lebih aman berada di sampingnya. Tanpa sadar, didorong oleh perasaan nyaman itu, Zac menjatuhkan kepalanya ke bahu Dave yang kuat, kemudian membiarkan tangan Dave mengusap-usap kepalanya dengan lembut.
Semua masalah tentang Shaina sudah selesai. Zac yakin kalau apa yang dikatakan Dave itu benar tentang dia dan Shaina yang sudah putus dan tidak akan pernah bisa bersama lagi. Tentang Shaina yang mendukung hubungannya dengan Dave. Zac sadar, bahwa sekarang tidak ada lagi pengganggu yang menghalangi cintanya kepada Dave. Tapi biarpun sudah tidak ada pengganggu lagi, tapi hatinya masih ragu. Dia masih takut Dave akan khilaf dan kemudian menghancurkan harapannya lagi. Maka dari itu, Zac menyuruh Dave agar dia menunjukkan kesungguhan cintanya kepada Zac besok, untuk memastikan apakah cowok itu benar-benar berusaha atau hanya sekadar main-main saja?
Dan, dalam hati dia berbisik, semoga besok semuanya akan jadi lebih baik.
***
Selamat malam, guys! Hihi.
Saya update lagi nih sesuai janji saya tadi siang, wkwk.
Tadinya saya mau update sore, tapi nggak jadi karena seharian saya habis walking-walking sama Riko, hehe.
Oh, ya, ada kabar gembira untuk kita semua. Bukan kulit manggis kini ada ekstrak-nya, ya! Tapi kabar bahagianya adalah Gary dan Josh sudah punya ceritanya sendiri, loh. Judulnya Shut Up And Dance. Saya udah nulis tiga chapter, tapi masih di draft dan belum saya edit. Rencananya, saya mau publish cerita itu nanti setelah My Evil Prince tamat. Kurang lebih sekitar enam bulanan lagi, lah. Haha.
Sudah, itu saja celotehan saya malam ini. Semoga kalian tetap sayang sama saya dan juga pacar saya. Juga kalian tetap sayang sama Zac dan Dave! Wooohhooo!
Vote, vote, comment, comment yang banyak yaaa!:*
*
Bandar Lampung, Minggu 13 September 2015
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top