Tersingkir

Tenang, tenang. Jangan nangis oke? Kau kuat.

Kalimat itu kuucapkan beberapa kali setiap menghadapi kesulitan atau akan menangis.

Memang tidak ada salahnya dengan menangis, namun bagiku hanya akan memperlihatkan sisi rapuh. Aku tidak ingin dianggap lemah oleh orang lain, di beri tatapan kasihan seolah hidupku paling menderita.

Caraku meyakinkan aku kuat, kuat, kuat dan kuat membuatku berhenti ingin menangis. Namun, ketika bel istirahat berbunyi. Kedua temanku pergi tanpa menunggu diriku, bahkan mereka saling merangkul seperti tidak menganggap kehadiranku ada.

Kurasa ini memanglah takdirku, selalu sendiri tanpa seorangpun yang selalu ada untukku.

Berasal dari keluarga broken home membuatku terbiasa dengan yang namanya kepedihan dan tersiksa melihat ketidakharmonisan keluargaku, belum lagi jika ibu dan kakakku berkata aku sangat mirip wataknya dengan ayah, itu benar-benar membuatku sakit hati.

Bukan apa, tetapi ayahku selalu tidak peduli pada keluarganya. Uang jajanku pun di berikan dikit olehnya. Dia selalu tidak terkendali bila marah, namun aku selalu bisa mengendalikan diri dengan memikirkan konsekuensi lawan.

Ayah selalu meletakkan barang seenaknya, aku juga bila sudah terburu-buru dan merapikan setelahnya.

Tetapi, mengapa selalu di bilang mirip?

"Persis seperti ayahmu," kata kakakku.

"Iya, Ryne memang mirip sama tuh orang," timpal ibuku.

Aku menarik napas sebanya mungkin. Entah mengapa, memikirkannya membuat dadaku sesak.

Kalian mungkin akan bilang aku terlalu lebay sampai ingin menangis karena di bilang watak mirip ayah dan di tinggalkan sahabat. Tetapi percayalah, ini benar-benar menyiksa.

Apa kau tidak sakit hati jika di samakan oleh orang yang kau benci? Meski jika dia adalah ayahku, dia sama sekai tidak menanggapku. Aku masih mengingat bagaimana dia mengatakannya dengan lancar bahwa aku bukanlah anaknya saat kelas 2 SD.

Dia tidak ada di sampingku saat aku terpuruk. Dia sama sekali tidak tahu tentang keluarganya.

Bahkan ketika anak gadisnya, nyaris seperti manusia buangan. Sama sekali tidak di anggap, selalu si bedakan dan di tinggalkan.

Aku berdiri, mengukir senyum tipis agar tidak terlihat kepedihanku. Sekaligus tertawa dalam hati, berapa lama aku harus bersandiwara terlihat bahagia?

**

"Assalamualaikum," kataku sambil membawa soto ke meja kedua sahabatku. Mereka berdua berhemti berbincang, melanjutkan makan begitu melihat kehadiranku.

Aku tidak tersenyum kai ini. "Kenapa berhenti?"

"Apanya?" kata salah satu dari mereka.

"Obrolannya."

"Oh."

Aku sadar meski aku bagian dari mereka, tetap saja selalu di tinggalkan. Meski kami membentuk grup mereka selalu berdua, bercanda dan rahasiaan dariku.

Uhh, aku kuat, kuat, kuat. Kumohon jangan menangis.

"Kalian kayak nggak nganggap aku."

Keduanya menoleh ke aku. "Selalu saja di tinggalin," lanjutku.

"Memangnya kenapa?"

DEGH....

Aku diam mendengar jawabannya. Menatap keduanga lama sampai mengangguk sambil tersenyum. "Bukan apa-apa."

Tidak adakah yang benar-benar bersamaku?

**

Aku tahu ada banyak orang yang memiliki penderitaan lebih dariku, namun tetap saja di tinggalkan, di bedakan dan tidak dianggap membuat hatiku sakit.

Selama hidupku, aku berusaha keras untuk tidak seperti ayah. Tetapi, setiap anak memang mewararisi sedikit sifat orang tuanya bukan? Maka seberapa keras aku berjuang untuk tidak mengikutinya, tetap saja ada sifat dari Ayah kepadaku.

"Kamu jangan seperti dia Ryne," kata ibuku.

Kalimat yang selalu diucapkannya, menyulutku untuk tersenyum.

Aku tahu kakak dan ibuku menyayangiku karena tidak ingin aku seperti ayah, lalu bagaimana dengan sahabatku?

Mereka selalu saja berdua. Meninggalkanku. Bahkan saat di tanya mereka menjawab seperti itu, manusia mana yang tidak sakit hati?

Aku mempunyai teman bernama Yafa. Dia mempunyai dua sahabat sama sepertiku. Dia juga selalu di tinggalkan, hanya sama ada Abel yang di sampingnya, seperti ada empat orang yang bersahabat.

Setidaknya dia lebih beruntung daripada aku.

Aku tidak bisa menebak siapa yang memakai topeng sepertiku. Namun, aku tahu mereka sangat tersiksa saat memakainya, karena itu sama saja naif.

Dan aku adalah salah satu dari manusia naif itu.

**

"Hai." Perlahan, aku mengangkat wajahku. Seorang perempuan berambut ikal panjang berwarna caramel, overalls biru dongker dengan t-shirt berwarna hijau di dalamnya. Iris hitamnya berbinar saat melihatku. "Aku Lisa. Kau siapa?"

"Ryne."

"Salam kenal Ryne." Dia duduk di kursi kosong di depanku. "Aku baru pindah kemarin, tepat di samping rumahmu."

"Benarkah?" Alisku terangkat. "Pastas saja ada truk di samping rumahku." Aku tersenyum, tidak jadi menangis di taman.

Lisa juga tersenyum. "Sedang apa kau di sini? Sudah hampir malam loh, nggak takut ada orang jahat?"

Aku punya banyak ketakutan, buat apa takut sama orang jahat? Aku juga terlalu sering di sakiti sama orang terdekatku. Jadi, apalagi yang harus kutakutkan?

Tidak ingin mengatakan itu yang akan menghancurkan topengku. Aku menjawab, "nggak, aku punya suara besar jadi tinggal teriak dan lakukan perlawanan."

Lisa tersenyum semakin lebar. Gadis itu berlari kecil ke ayunan, lalu duduk di sana, membuat jarak lima meter dariku.

"Kau berani ya."

"Kenapa?"

Lisa berayun. "Melawan mereka. Andai dulu aku melakukan hal sama waktu itu."

Keningku berkerut, sama sekali tidak mengerti apa yang di katakannya. Kelihatannya Lisa tahu aku bingung, jadi dia berkata, “dulu aku pernah di rampok sama preman. Mereka meminta apapun yang aku bawa, tetapi aku tidak ingin menyerahkan ponsel, jam tangan dan uangku. Lalu mereka marah dan berniat mengambil paksa, hingga berniat membunuhku.” Iris caramel-nya berubah sendu, ketika mengingat kejadian tak menyenangkan yang di alaminya. “Saat itulah, kakakku datang melawan empat preman itu, sementara aku yang lemah hanya bisa menangis dan mengikuti perintahnya untuk pergi dari sana. Sampai saat ini aku menyesal, karena membuat orang yabg kusayangi meregang nyawa.”

Aku tahu apa yang di rasakannya, saat melihat cairan bening meluncur melewati pipinya. Awalnya keheningan tercipta di antara kami, sampai ponsel Lisa berdering myaring. Terdengar suara berat seorang pria saat ia mengangkatnya.

“Oke, aku akan segera pulang. Jangan khawatir ayah.”

Ayah ya? Aku lupa kapan terakhir kali dia khawatir padaku.

“Pulang bareng yuk!”

Lisa kangsung menarik tanganku, tanpa menunggu jawaban.

**

“Kau beruntung ya,” gumamku, memecahkan keheningan.

Lisa menoleh ke aku dengan tatapan bertanya. “Aku selalu sendiri, seolah tidak pernah di butuhkan,” lanjutku.

“Kenapa kau berpikir begitu?”

“Dua sahabatku sama sekali tidak pernah ada padaku, mereka menjawab perkataanku dengan jawaban yang sama sekali tak kuharapkan, saat tadi di sekolah aku mengatakan apa yang kurasakan kepada mereka ‘kalian kayak nggak nganggap aku, selalu di tinggalin’ lalu mereka menjawab ‘memangnya kenapa?’” Aku tersenyum miring sambil menggeleng. “Konyol, ‘kan?”

Lisa meresponnya dengan menatapku, sangat lama sampai aku berpikir apakah yang kukatakan salah untuk seseorang yang masih baru? Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, terlintas untuk meralat perkataanku dengan berkata, “aku hanya bercanda” namun belum sempat mengatakan itu, Lisa tersenyum tipis, kemudian berdiri dan berjalan ke aku.

“Kau kesepian?”

Jujur saja, aku tidak menyukai nada bicaranya yang seperti mengatakan aku menyedihkan. Aku ingin membalas perkataannya dengan bentakan, tetapi dia menenggelamkan suaraku dengan berkata, “aku ingin menjadi temanmu, bukan di dasari dengan rasa kasihan namun murni dariku sendiri. Ryne, aku pernah merasa kehilangan dan juga kesepian, karena itu aku ingin menjadi temanmu.”

Sejujurnya, aku tidak tahu harus merespon apa. Haruskah aku gembira karena mendapatkan teman baru atau merasa takut kehilangan pada nantinya? Entahlah, yang jelas Lisa memegang tanganku, seperti meyakinkan bahwa aku tidak akan meninggalkannya seperti semua orang yang di sekelilingku. Iris caramel-nya penuh dengan sorot keseriusan, membuat sinar kekhawatiranku menghilang.

Seperti hujan yang nantinya akan melahirkan pelangi. Berwarna-warni bagai watna kehidupan. Aku gembira, mengetahui Lisa memang selalu ada untukku. Dan aku gembira, karena pepatah “seperti hujan yang akan melahirkan pelangi. Seperti air mata yang berubah menjadi senyuman” bukanlah hanya omong kosong belaka.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top