RERE

Angin berembus kencang, sukses membuat pusaran pasir. Langit bergemuruh, hujan pun datang. Aaaaahh, hujan ini tidak membuat sejuk! Rasa dingin, panas, menjadi satu! Aaaaarrghhhhh kepala ini berat! Macam batu! Batu berapi yang dilemparkan es! Argghhhhh kepala ini seperti mau pecah! Rasanya aku ingin mengambil batu, lalu melemparkan kekepala aku sendiri. Oke, gak akan berhasil kepala aku saja batu? Apakah bisa? Atau dengan api? Oke, ini gak waras! Kepalaku saja batu api, mana mungkin bisa? Tolong siapapun lelehkan kepala ini! Argghhhhh! Aku akhirnya memilih pergi, bukan bukan! Bukan mengakhiri hidup, bukan! Aku pergi ke sebuah tempat dimana ketenangan berada. Bukan, bukan! Bukan alam sana bukan! Aku masih waras! Aku pergi kesebuah tempat, dimana pohon bambu berjejer disana, bukan bukan! Aku bukan ingin menghimpit leher ditengah jejeran bambu itu agar mati! Aku kesana, karena disana aku merasa lebih tenang. Mengapa? Bukan, bukan! Bukan karena ada makhluk astral yang menemaniku hingga aku sangat nyaman! Macam tak laku saja, CUIH! Disana, bambu berjejer rapi, jika angin bertiup lembut, maka bambu-bambu itu akan menghasilkan suara semacam seruling yang membuatku tenang, jika angin bertiup ribut, maka bambu-bambu itu akan ribut pula! Oke, ini setengah waras!

Aku berteriak sekencang-kencangnya disana, sepi! Hanya aku, angin, batu, tanah, rumput bergoyang, dan Tuhan yang tahu aku berteriak apa. Aku berteriak sekencang-kencangnya hingga tenagaku terkuras kira-kira seperempat persen. Aku lelah, wajar! Aku habis berteriak. Aku duduk dibawah pohon bambu yang berjejer, dengan kursi batu halus, keras, namun nyaman. Siulan bambu membuatku sangat nyaman. Hingga aku ... aku, memejamkan mataku disana dengan posisi duduk. Hingga saatnya aku terbangun, aku berada disebuah rumah, hmmphh layakkah disebut rumah? Ini semacam bilik, namun rapi! Cantik sekali. Aku mencoba bangun dari tidurku, ah badanku sakit sekali. Aku, aku merasa terbang! Terbang sangat tinggi! Tiba-tiba tubuhku menggigil, kutarik kembali selimut hangat yang tadi aku kenakan. Aku tak tahu ini dimana, apakah aku di surga? Waaaahhh a, aku di surga?

Tak mungkin, surga mana mungkin seburuk ini? Atau, di neraka? Ah, itu juga tak mungkin, ini masih terlalu baik kalau masuk dalam zona neraka. Lantas, aku dimana?
Tiba-tiba, aku mendengar suara laki-laki, ah bukan laki-laki! Ini sedikit melengking khas suara perempuan.

"Ceyaaaa!!! Cepat bawa obatnya!!! Dasar lamban!" kata perempuan itu pada seorang yang disebut 'Ceya'

" Iya! Aku sedang memanaskan air untuk obatnya ce, sebentar lagi!" sahut Ceya.

"Heeyy, daritadi masih masak air juga?" kata perempuan itu dengan terheran-heran lalu menghampiri Ceya.

"Dasar bodoh! Kau mau ia mati!? Tak perlu sampai mendidih seperti ini! Dasar gadis bodoh! Dungu! Bertahun-tahun masih belum ngerti juga! Matikan apinya!" kata perempuan itu. Ceya pun menuruti perintah perempuan itu.

Aku masih terheran-heran aku ini dimana? Aaahhh, janganlah kalian pikir aku lupa aku siapa. Sungguh! AKU BENAR-BENAR LUPA AKU BERASAL DARIMANA? AKU SIAPA? Aku hanya ingat kejadian beberapa menit yang lalu.

***

"Heeyy, kau sudah bangun?" kata perempuan itu.
"Ceya, letakkan obat itu di nakas!" kata perempuan tersebut.
Oh, ternyata mereka toh yang dari tadi ribut.
"Aku, ini dimana? Kalian siapa?" tanyaku.
"Aku Yuri, dan dia Ceya! Kamu sedang berada dirumah kami, tak apa jangan takut! Anggap saja ini rumah sendiri! Kau sudah tertidur selama tiga hari, kami menemukanmu dibelakang perkarangan kebun kami," jelas perempuan itu.

Ah, ternyata aku bukan tertidur selama beberapa menit, tapi beberapa hari. HAH!? BEBERAPA HARI!? SUNGGUH GILA!

Yuri, berpostur montok (tidak gemuk namun berisi) berpipi cabi yang berwarna merah jambu, berkulit putih, dengan rambut dibuntal dengan pita merah. Ceya, berpostur ramping, berpipi tirus yang berwarna merah jambu, dengan rambut dikepang dua. Aaahhh, aku mengerti! Hanya perempuan suku Hagani yang seperti itu, perempuan yang masih gadis dan belum menikah maka rambut mereka dikepang dua. Sedangkan yang mau menikah, dibuntal dua dengan pita merah, sedangkan yang sudah menikah dibuntal satu dengan pita hijau. Suku Hagani berada dibelakang Tembok Besar China. Sedangkan aku? Aku lupa aku berasal darimana. Yang aku ingat, ayahku berdarah Jepang dan ibuku berdarah China. Ah, aku tak peduli!

***

"Bagaimana aku bisa disini?" tanyaku.
"Seseorang, yang membawamu kemari!" jawab Ceya.
"Baiklah, aku masih ada urusan! Ceya, jaga dia baik-baik!" perintah Yuri.
"Baiklah!" sahut Ceya.

Sungguh, aku masih merasa aneh! Aku merasa ada yang disembunyikan dariku. Aaarrghhh lagi-lagi kepala ini mau pecah! Bukan kepala saja, hati ini pun! Hati ini yang amat sangat beku melebihi es, ingin pecah! Duuh, siapapun tolong aku, aku masih ingin hidup.

"Ehkm, apa boleh aku menebak?" Ceya memecahkan
keheningan.

"Tebak saja!" jawabku enteng.

"Nama kau Sheire Hana betul?" tebaknya.

"Eeee, darimana kau tahu?" tanyaku keheranan.

Tapi, ia hanya tersenyum lalu menunjuk dadaku.

"Hatimu yang berkata padaku, tahukah kamu?" ujar Ceya.

"Apa?" tanyaku. Kini, aku sangat tak mengerti. Aku sedang berbicara dengan siapa? Mengapa hati dan kepala ini kian membeku?

"Nanti, ada saatnya. Aku belum bisa memberi tahu hal ini. Dan, ini adalah hal yang sangat ditunggu-tunggu!" bisiknya hangat, mungkin penuh kelicikan. Ah tidak! Perempuan ini berhati lembut tidak seperti aku!

***

Hari ini, aku bangun pagi sekali. Dingin. Itu yang aku rasakan sekarang. Kubuka jendela kamar ini, kuhirup udara segar. Berharap otakku diisi dengan oksigen baru.

Aku terus berpikir keras, aku siapa? Ah, kepala batu ini susah meleleh, hati ini? Sama. Beku.

Sudahlah. Aku memilih keluar kamar. Tak berani keluar rumah, ntar nyasar. Cece, Cece?

Ah, Ceya mana sih? Aku tuh lapar! Oke sip, aku disini cuman numpang makan sama tidur. Kurang ajar emang. Ah sudahlah, lebih baik aku ke dapur saja, siapa tau Ceya ada disana lagi bikinin aku sarapan. Oke, aku adalah orang yang terlalu berharap.

***

Aroma vanila, lada, salam, jeruk, teh hijau, kopi, menjadi satu. Benar saja! Ceya disana! Teh hijau, kopi, sudah siap. Lantas? Sedang apa dia? Ah, kutahu! Benar, dia lagi bikin sarapan. Iya, sarapan untukku. Duuhh, seperti inikah rasanya menjadi tuan putri? Apa yang aku inginkan terwujud. Sudahlah, jangan jadi tuan putri dulu, ingat-ingat dulu aku berasal darimana. Huuuhhh....

"Hey! Kau sudah bangun?" tanya Ceya basa-basi.

"Oh, enggak kok aku masih tidur!!"

duh ini orang ngeselin amat yak!? Dikira masih merem apa ini mata? Masih pagi udah ngajak ribut. Ah bodo amat, yang penting sarapan dulu.

"Eh, aduh si Re! Aku hanya bergurau! Yuk sarapan! Kau ini bangun tidur pasti lapar! Udah mateng niihh. Marii makaan" katanya sambil membawa makanan ke meja makan.

Lah, yaiyalah aku ini bangun dari tidur, kau kira aku bangun dari mati? Ah bodo amat lah! Sarapan sarapan yuhuu....

***

Setelah kenyang, aku memilih untuk kembali ke kamar. Re? Tadi Ceya manggil aku Re? Aku tak mengerti.

Cliingg, semacam suara liontin jatuh.

Awwww, liontin itu menggores kakiku. Aku ambil liontin itu, aku perhatikan dengan cara saksama. Liontin dengan bentuk separuh hati, yang bertuliskan 'RE' aku hanya ingat, kata ibuku, nanti saat dewasa aku akan menemukan pasangan liontin ini. Aaahhh, masalahnya aku lupa tempat tinggalku. Setelah puas merhatikan liontin itu, kupakai liontin itu dileher. Ah, aku baru menyadari, sangat manis. Liontinnya, manis sekali. Yang make apalagi manis banget malahan.

***

Setelah sekiranya satu bulan aku tinggal dirumah Ceya, aku berani untuk keluar. Aku berharap ingatanku kembali.

Tiba-tiba...

Ooohhh, sangat tak terduga!

Aku bertemu dengan pria tampan, ia mengenakan baju berwarna merah, aahh sama denganku. Posturnya sukses bikin jantung makin deg-degan. Tinggi, berkulit putih, berambut klimis berwarna putih... laaahh bukan bukan, itu mah sensei nya, rambutnya putih karena uban. Oke, serius. Dia tinggi, berkulit putih, berambut klimis berwarna hitam, hidung mancung bak prosotan taman bermain yang berada dirumah Ceya. Matanya coklat, minimalis. Alisnya tebal bak rumput berbaris rapih. Aaahhh, kenapa aku mematung seperti ini? Oke, lanjutkan jalan-jalan.

Eeehh, tunggu! Dia... Nunjukin roti punya dia, yang kayak suka dibikin Ceya! Bukan, bukan bulet bukan! Kotak-kotak! Arrghh, lebih baik aku pulang saja!

"Hei! Kamu! Gadis yang memakai baju merah!" entah kata siapa, aku menengok kebelakang. Nyari siapa yang berteriak.
Oouuh, Sensei itu... HAH!? SENSEI!? Yasyudahlah, samperin aja, kasian udah tua... bentar lagi mati.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sopan, dengan menundukkan kepala.

"Kau mau kemana Re? Disini saja bersama kami, atau kau ingin ikut latihan juga?" tanya Sensei.

"Waaahh, ter-"

"Oke! Kamu mulai saat ini,  kau ikut latihan kungfu dengan kami!" kata pria tampan itu, ya! Dia memotong pembicaraanku. Gak suka deh....

"E, e, e, Sensei... aku pikirin dulu deh ya, permisi," kataku, lalu pergi.

Mereka latihan tak jauh dari rumah Ceya. Akupun memberanikan diri untuk bertanya dengan Ceya.

"Ce, lihat deh! Ituloh... yang lagi latihan kungfu itu siapa? Kok mereka tahu namaku?" tanyaku.

Ceya masih menatapku, lalu tersenyum. "Ah, belum saatnya!" kata Ceya sedikit berbisik.
"Hah?" kataku.
"Tidak, mereka tahu karena aku cerita. Itu murid Sensei Suf, bernama Chen! Tampan ya?" katanya.

"Eh? Kau menyukainya?" tanyaku, entah kenapa jantungku ini mau lepas dari tempatnya.

"Tidak, dia tidak menarik bagiku. Tapi, bagimu? Siapa tahu?"  katanya jahil.

***

‌Aku terus merenung dalam kamar. Siapa ia? Aku seperti memiliki hubungan dengannya. Tapi, dia siapaa??? Masa bodoh lah! Aku saja belum ingat tempat tinggalku.
Aku hanya menatap liontin ini, arrghhhhhh kepala ini makin mengeras! Mungkin, aku keluar saja? Melihat pemandangan indah.

***

"Hai Re! Kau sendirian saja?" kata seseorang dibelakangku.
Iya! Itu Chen! Astagaaaaa!!! Jantungku hampir lompat!
"Eh, iya!" jawabku gugup.
"Mau aku temani?" tanyanya.
Aku hanya diam,
"Diam berarti iya! Ayok kita jalan-jalan!" katanya DENGAN MENARIK PERGELANGAN LENGANKU.

Aku dibawa ke suatu tempat dimana disitu ada pohon besar, tempat duduk, danau. Aaahhh... musim gugur, menambah suasana hari ini semakin... pas!

"Boleh aku mengenalmu?" tanyanya.

Lagi-lagi aku terdiam,

"Diam berarti IYA" katanya.

"Oke, cukup sebutkan nama lengkap mu!" katanya lagi.

Aku masih terdiam, aku bingung. Harus jawab apa. Ia pun menatap netra ini dengan lekat, lalu tertawa.

"Kenapa? Namaku Sheire Hana. "

Ia menatap netra ini sangat lekat, lalu tertawa.

"Kamu lucu nih, aku pemilik pasangan liontin milik kamu!" katanya polos, sambil menunjukkan liontin miliknya.

Mataku terbelalak. Kaget. Aku segera lari untuk pulang, eh aku lupa. Aku gak tau jalan, jadi aku balik lagi ke Chen buat minta anterin. Untung dia mau, baik banget ya dia? Bisa dijadiin babu nih, eehh gak gak. Gak boleh gak boleh. Wajah cakep, sayang.

***

"Cece, Cece, Cece!" Chen berteriak sekeras mungkin dirumah Ceya. Fyuh, macam rumah sendiri saja.

"Shut! Jangan teriak-teriak!" larangku.

"Sudah kau diam saja!" katanya tiba-tiba dingin.

Ceya pun datang. Ia kaget. Tentu, aku datang bersama Chen.

"Ah, Chen! Duduklah!" sambutnya ramah.

Tanpa basa-basi, Chen langsung menunjukkan liontin milikku dengan miliknya dihadapan Ceya.

"Ah, selamat ya! Rere! Liontin itu telah bertemu!" kata Ceya. Aku makin tak mengerti.

Kepalaku pening, entah kepalaku ini mau meleleh atau tambah membeku.  Tapi sungguh, kepala ini pusing tujuh keliling, tujuh luas, tujuh tinggi, tujuh sisi, tujuh alas, tujuh juring, tujuh tembereng, tujuh kuadrat,   Hati ini, jelas mencair. Penuh dengan bunga sakura yang aku impikan.

***

Hingga saat ini, aku masih mengerti akan itu semua. Tapi, masa bodoh lah! Yang penting aku sudah tinggal dirumahku, bersama keluargaku.
Keluarga kecilku.  Dan Ceya, Yuri, ternyata ia adalah saudara jauh diriku. Dan Rere... adalah nama liontin ini. Chen... dia adalah pemilik pasangan liontin sebelah kiri.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top