PENYESALAN


ADA satu hal yang aku suka dari dirinya;
kesederhanaan.

*

Namanya Meysha Rahani Putri. Gadis berambut panjang yang selalu tergerai bebas. Anak 11 IPA dengan satu kebiasaan unik; mengulas senyum ramah pada teman-temannya. Senyum itu merupakan satu-satunya perhiasan yang melekat padanya, tanpa ada polesan bedak dan zat kimia lain pada wajah. Meysha tak mencolok seperti Gea, si kapten tim basket. Ia juga tak sepopuler Diana, ketua club Renang. Dia sederhana, sama sepertiku.
Dan dalam kesederhanaan itulah ...

Aku memilih untuk menyimpan rasa padanya.

Tentu saja dalam diam. Walau aku tahu, aku tak ‘kan pernah mendapat balasan darinya. Jangankan balasan, kami saja bahkan jarang berbicara satu sama lain.

Aku sering mengamatinya, menatapnya dari kejauhan, melihat tingkah lakunya. Kemudian aku terpana padanya. Terpana akan pesona alami miliknya, terpana akan kesederhanaan gadis itu, dan terpana akan sikap lembutnya. Aku jatuh cinta pada Meysha. Sesederhana itu.

“Kapan lo mau nembak dia, Rob?” Alvin menghela napas lelah. “Udah 3 tahun lho. Bentar lagi kita lulus. Lo mau perasaan lo ke dia cuman sebagai kenangan?”

Aku menelan saliva, menghela napas lelah. Sahabatku ini ternyata bisa menjadi sangat kepo bila sudah menyangkut urusan gadis. “Ya, udah. Biarin aja. Niat awal gue bukan nembak dia, tapi suka sama dia. Dalam diam.”

Alvin menghela napas. Lelaki jakung yang dikenal tampan dan populer itu bergumam pelan sebelum kemudian mengambil tas ranselnya yang tergeletak di bawah meja lalu berbalik. “Udah, ah. Capek ngomong sama lo. Gue mau pulang, udah ditungguin Jeje.”

Diam-diam aku mengulum senyum kecil, sedang Alvin berjalan ke luar kelas. Sekarang ruangan 5x6 meter ini benar-benar sepi. Hanya aku satu-satunya siswa yang tersisa. Setelah mengerjakan soal pada buku latihan UN bersama Alvin sampai sore, aku merasa harus mengemasi barang untuk pulang.

Lagipula, aku sudah berjam-jam berada dalam ruangan ber-AC yang penuh dengan bangku-bangku ini. Perutku lapar, dan aku butuh makan. Mungkin jajanan di luar bisa membantu mengisi perutku.

Baru saja kuraih tas ranselku, hendak merangkulnya, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan seorang gadis. Aku terpaku melihat siapa yang datang. Jantungku memompa dua kali lebih cepat. Itu ... Meysha. Ia datang dengan napas terengah-engah. Seragam sekolah masih melekat pada tubuhnya, beserta tas ransel merah muda yang ia bawa sehari-hari. Mendadak, kecanggungan menyelimuti kami. Meysha tersenyum padaku, lalu masuk ke kelas, berjalan menuju bangkunya.

Aku diam seribu bahasa. Rasa lapar mendadak hilang. Tubuhku gemetar kecil, jantungku berdetak hebat. Selama 3 tahun menyukainya, baru kali ini aku berada langsung berdua dengannya di kelas.

“Tumben belum pulang, Rob.” Suara lembut Meysha memecah keheningan. Pasti ia tak ingin ada kecanggungan di antara kami.
Aku menurunkan tas ransel yang sempat—hampir—kurangkul. Dengan bodohnya kembali duduk di bangku tadi. Niat awal pulang hilang sudah. Setelah dengan susah payah membangkitkan cengiran, aku menjawab canggung, “Belum. Habis belajar bareng Alvin.”

Meysha mengangkat kedua alis, tersenyum. “Wah ... rajin banget, ya. Pantes nilai kamu selalu bagus.”

Aku tersenyum. Perlahan, debaran ini bisa dikendalikan. Rasa canggung bisa berubah dengan mudahnya menjadi nyaman.

“Kamu sendiri ngapain? Kok belum pulang”

Meysha mengangkat buku yang tadi ia dapatkan dari laci bangkunya. “Ngambil buku, ketinggalan.” Gadis itu melebarkan senyumnya lagi.

Aku kehilangan kata-kata. Perlu dipertanyakan seperti apakah kondisi jantungku yang sekarang, setelah diperhadapkan dengan senyum itu.

“Pulang duluan, ya. Udah dijemput,” pamit Meysha.
Sebersit kecewa timbul, namun langsung kutepis. Aku mengangguk, merelakan dia pergi. Toh, hari ini Tuhan sudah luar biasa baik padaku. Mau mempertemukanku dengan gadis yang—selalu—kupandangi dari jauh, yang hanya bisa kukagumi dalam diam.

***

Sepertinya, kesederhanaan Meysha telah melekat sepenuhnya padaku. Dari dasarnya saja, aku bukan tipikal cowok romantis yang bisa membuat gadis-gadis menjerit karena beberapa kejutan kecil. Aku tipikal orang yang to the point, tak peka dengan kode, dan blak-blakan. Itulah mengapa aku menolah langsung saran Alvin untuk menyatakan perasaan pada Meysha dengan bunga Mawar dan coklat.

Sungguh bukan aku rasanya.

Tiap waktu berjalan, aku selalu didesak oleh perasaan ini. Sudah tertampung penuh, dan perlu dikeluarkan. Tak peduli apa jawabannya nanti, yang penting aku sudah menyatakannya. Toh kalau ditolak, aku punya pengalaman bagaimana menembak seorang gadis.

Alvin adalah orang pertama yang kuberitahu niatku. Dan dengan saran bodohnya, ia sama sekali tak membantu.

“Gue nggak bisa dengan cara romantis gitu. Lo tau sendiri gue nggak kayak elo,” sanggahku.

Alvin memutar bola mata. “Gini, Rob. Cewek itu suka kejutan yang romantis. Apalagi lo udah suka Meysha dari lama. Kasihlah kejutan-kejutan gitu. Nanti siapa tau hatinya leleh, terus nerima lo deh!” Dengan imajinasinya, lelaki itu berhasil menghasutku masuk dalam bayang-bayang yang kuimpikan beberapa hari terakhir.

“Takutnya kalo gue paksain, nanti gue jadi gagap. Gimana dong?”

Alvin mendengus, menatapku datar. “Ya nggak mungkinlah, Rob. Lo itu yang paling lancar presentasi di kelas, nggak mungkin karena cinta bisa gagap.”

“Beda kali. Nyatain cinta sama presentasi depan kelas, lebih mudah presentasi tau.”

Alvin mengibaskan tangan. “Terserahlah.”

“Ikut rencana gue aja, gue yakin dia nerima lo.” Alvin mempertahankan pendapatnya, sedang aku ragu. Aku takut, jika memilih saran Alvin dan memaksakan diri untuk melakukan hal-hal kecil yang ‘romantis’, nantinya aku sendiri yang gagap dan akhirnya semua berantakan.

Tapi waktuku hanya sedikit. Tak berselang lama akan ada ujian, lalu kita akan berpisah, melanjutkan hidup dan pendidikan di tempat yang berbeda.

“Okelah. Sabtu gimana? Lo bantu gue, ya.”

Alvin tersenyum lebar. “Sabtu, deal!”

***
Baru hari Kamis, tapi pikiranku sudah berimajinasi akan jadi apa nantinya Sabtu itu. Karena kesederhanaan Meysha, aku jadi memilih rumah makan sederhana, tempat yang biasa aku buat nongkrong bersama Alvin, kalau kita bosen di rumah.

Rumah makan itu tidak mewah, tapi juga tidak kecil. Ya, sama seperti kami. Sederhana. Namun kualitasnya tinggi. Cocok bukan dengan Meysha?

Dari kemarin, Alvin membantuku terus untuk dapat bertukar pesan dengan Meysha. Singkat saja, tanpa ada gombalan atau kata-kata romantis lainnya. Kami saling memperhatikan satu sama lain, bertukar pendapat tentang berbagai hal. Seperti kekasih rasanya. Walau, kami jarang bertegur sapa di dunia nyata. Kuakui Meysha ramah, tapi ia juga tergolong pendiam. Tak mungkin mendekatiku duluan tanpa ada alasan jelas untuk apa.
Terus seperti itu, sampai hari Sabtu akhirnya tiba.

Aku memberi tahunya untuk datang pukul 4 sore. Tidak mungkin juga kujemput. Aku bahkan tidak punya SIM dan alasan yang kuat untuk berpamitan pada kedua orang tuanya.

Dan detik-detik berikutnya ...

Aku diliputi kegelisahan.

Sudah lima puluh menit lebih sejak Meysha berkata bahwa ia akan datang. Aku sudah beberapa kali menyempatkan diri mengintip pintu depan, bahkan sampai ke luar hanya untuk melihat tanda-tanda bahwa Meysha datang.

Namun nihil. Aku tetap tak menemukan apa-apa. Alvin dan Jeje menenangkanku. Aku berkali-kali menghubungi Meysha namun tak direspon. Sama halnya dengan Jeje, gadis yang memiliki status sebagai pacar Alvin itu juga mengirimi spam chat pada Meysha hingga dua puluh, namun tak kunjung dibalas.

Apa yang terjadi?

Rumah makan mulai ramai. Sore hari, apalagi pada weekend, rumah makan ini selalu dipenuhi oleh pasangan-pasangan romantis lainnya. Di tengah ruangan, dipasang televisi yang digantung di atas dinding. Televisi yang tak terlalu mahal, namun cukup sebagai sarana penghibur pembeli.

Aku suka menonton berita di televisi itu sembari makan di sini dulu bersama Robby.

Tapi sekarang, aku benci berita itu sepenuhnya.

Daerah Jakarta Pusat, telah terjadi kecelakaan beruntun antara angkot dengan sopir truk. Diduga, sopir truk mengantuk dan tak sengaja menubruk angkot di depannya, berlanjut hingga beberapa motor di depannya ikut terpental. Tiga orang tewas dalam kecelakaan ini, 14 lainnya luka-luka. Beberapa yang tewas di antaranya, bapak Kiki, Ibu Rosalinda, dan seorang pelajar yang diduga masih SMA, bernama Meysha Rahani Putri.”

DEG!

Aku meneguk saliva berat, menggeleng perlahan, menatap berita di televisi itu lekat.

“Sekarang korban dilarikan ke rumah sakit Sejahterah untuk dievakuasi.”

Katakan bahwa aku salah dengar! Katakan bahwa ini hanya mimpi buruk! Katakan bahwa dia ... Meysha Rahani Putri, yang tewas karena kecelakaan itu bukan Meysha-ku.

KATAKAN!!!

Hatiku terasa mati. Tanganku gemetar. Air mata membendung di kelopak mata. Aku menggelengkan kepala pelan, tak percaya. Sadar bahwa ini kenyataan yang tak bisa dibantah, air mataku berdesak-desakan ke luar. Napasku memburu. Jantungku melemah. Saat-saat paling berat dalam hidupku.

Aku menangis dengan deras di sana. Alvin dan Jeje menatapku prihatin. Mereka membawaku masuk ke mobil untuk menenangkan diri. Tapi aku malah menjadi-jadi, berteriak-teriak meminta Alvin—yang memang sudah memiliki SIM—untuk membawaku ke rumah sakit Sejahterah, melihat langsung apakah itu jasad tubuh Meysha atau tidak.

Alvin tidak berkata apa-apa. Ia menurutiku. Diam-diam, kulihat Jeje meneteskan air mata. Aku tahu, mereka sama shocked-nya denganku.

Tuhan, mengapa secepat ini? Aku bahkan belum menyatakan perasaanku padanya.

***

Batu nisan dengan ukiran nama ‘Meysha Rahani Putri’ itu menusuk hatiku berkali-kali. Aku terlalu bisu untuk mengatakan apa-apa. Air mata sepertinya sudah kukeluarkan habis. Tak ada yang tersisa. Kini penyesalan hadir menguasai hatiku. Semua terasa berat. Bahkan helaan napas terasa seperti mengangkat beban.

Kalau saja aku bisa berani dan menyatakan perasaan padanya lebih cepat ...

Kalau saja Sabtu itu, aku yang menjemputnya ...

Kalau saja, tak akan pernah ada kejadian itu ...

Mungkin Meysha masih ada di sampingku, tersenyum padaku, menyapaku ramah.

Tapi semua sudah terlambat.

Aku menghela napas panjang, menguatkan diri sendiri. Membelai halus batu niasan itu lalu berbisik pelan, “Aku mencintaimu, Meysha. Aku mencintaimu dalam kesederhanaan. Bukan dalam rangkaian kata puitis yang diucapkan, tapi dengan rangkaian rasa yang menggerogoti hatiku dari dalam.”

Serumit inikah cinta?

“I’ll miss you.”

Tak serumit itu kurasa.

Bayang-bayangnya terngiang di kepalaku. Senyum binarnya, tawa manisnya, tatapan matanya. Semuanya. Dia sudah tenang dan bahagia di sana.

Masakah aku harus mendiamkan diri hanya karena masih terpukul dengan kepergian gadis itu?

Aku harus bangkit, maka Meysha juga ikut senang.

Satu hal yang harus dia ketahui, di tengah kesibukanku pun, hanya satu yang terus ada di benakku.

Meysha.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top