Johan
Sangat disayangkan kenapa Johan sampai berkeringat dingin seperti ini, apa yang membuatnya sangat gugup hingga wajah tampannya itu tampak terlihat beberapa butiran keringat yang besar-besar jatuh di pelipisnya bak seperti butiran kelereng yang menggelinding dari tempat tinggi ke terrendah. Nafasnya tak beraturan bahkan terkesan terengah-engah. Mulutnya ia katup dengan rapat, alis mengerinyit. Mata hitamnya yang menawan terlihat membulat bak seperi bola pingpong atau bulan purnama yang berada di langit sana. Jakunnya naik turun bersamaan dengan dada yang terlihat bergerak secara beringas.
Perasaannya semakin berkecamuk dengan kaki jenjang yang memakai sepatu kets dengan tali sebelah kanan terlepas, ia melangkah dengan perlahan namun pasti, serta rahang yang mengeras. Tangan kirinya mengusap keringat itu, sedang tangan kanan mengenggam ranselnya kuat. Johan tidak yakin akan lolos dari amukan badai Bu Jihan kali ini. Ia khawatir dan sangat tidak berani bertatap wajah dengan perempuan buntal memakai kacamata tebal serta konde yang sangat besar terpampang nyata di belakang kepalanya yang bulat itu. Johan yakin dan percaya ada sebuah kehidupan yang bersembunyi di balik konde besarnya Bu Jihan itu.
“Ah, benar-benar sial hidup gue pagi ini, terlebih lagi gue nggak sanggup menerima muka ganteng gue basah karena air liur Bu Jihan yang banyak itu.’’ Pikir Johan dengan napas yang masih kejar-kejaran.
‘’Tenang, Han, tenang. Lu bisa, lu pasti bisa,’’ kata Johan dengan suara gemetar nan pelan. Membayangkan wajah Bu Jihan saja ia tak sanggup apalagi berbicara dan menatap kedua bola mata itu. Oh sungguh nyalinya ciut sebagai seorang laki-laki dewasa berumur 23 tahun.
Johan masih melangkah menyusuri koridor, pikirannya melayang kemana-mana, segala prasangka buruk mulai memenuhi otak piktor-nya itu tentang Bu Jihan. Sungguh hal yang menegangkan— bahkan film horor pun kalah jauh— namun, harus ia lewati dengan berani jika masih menganggap dirinya sebagai laki-laki.
Segalah bentuk doa-doa terlantur keluar dari mulutnya yang tipis itu sebagai bentuk harapan agar ia bisa mendapatkan suatu keajaiban jika sudah berada di ruangan monster itu. Hingga beberapa saat Johan pun sampai dan berdiri tepat di depan pintu ruangan itu setelah melewati perjuangan serta berdebatan hebat antara mental dengan dirinya untuk sampai di ruangan tersebut. Sekali lagi Johan menelan ludahnya dengan paksa, menghirup udara dengan pelan kemudian menghembuskanya kembali.
‘’Ayo, Johan, ketuk pintunya sekarang,’’ batin Johan, kemudian menutup matanya rapat-rapat dengan tangan kanan ia arahkan dan bersiap untuk mengetuk pintu itu.
Johan mengayunkan tangan kananya perlahan mendekat ke pintu itu dengan maksud agar bisa mengeluarkan suara. Hingga ... terdengar satu suara ketukan yang sangat pelan bahkan semut pun tak mampu mendegarnya. Johan mencoba lagi untuk kedua kalinya namun tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari arah belakang. Johan tersentak lalu diam terpaku tak tahu harus melakukan apa. Kakinya gemetaran ada rasa khawatir jika si pemilik tangan itu adalah Bu Jihan.
‘’Mam-pus gu-e,’’ batin Johan. Kali ini keringatnya makin banyak mengalir membasahi kaos omblong yang dibalut kemeja kotak-kotak berwarna coklat.
Johan dengan tenaga yang ia coba kumpulkan melihat ke arah si pemilik tangan yang masih menepel di pundaknya. Ia membalik dengan alis yang terangkat satu, hidung kembang-kempis dan juga dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.
Dan betapa kagetnya Johan, dengan wajah yang seketika berubah yang tadinya pucat menjadi memerah mendapati sosok yang ia belakangi. Matanya yang bulat seketika menyipit serta kedua tangannya mengepal seiring seseorang itu membuka suara. ‘’Ngapain lu, Han? Keringetan amat lu, habis lari. Oh iya, maaf tadi gue lupa ngabarin lu kalau Bu Jihan sedang ada urusan dan nggak ada di ruanganya,’’ kata seseorang itu yang memiliki postur tubuh sama seperti Johan tapi agak sedikit gendut dengan rambut gonrong yang bertebaran kemana-mana. Arya nama dari laki-laki gendut itu menatap Johan yang masih terdiam dengan raut wajah masam.
‘’Han, lu kenapa? Lihatin gue segitunya, lu masih normal kan, Han?’’ Tanya Arya, telingah Johan terasa panas hingga mungkin darahnya mendidih sampai ke ubun-ubun.
‘’Ya, lu masih tanya gue kenapa? Gue dah hampir mati karena ngebayangin bertemu dengan Bu Jihan. Lu tahu betapa sengsaranya gue saat mendengar ia adalah dosen pembimbing gue semester ini yang bringasnya minta ampun?’’ kata Johan dengan nada kesal, kemudian melanjutkan lagi omongannya pada Arya. ‘’Dan gue prustasi sekarang karena tugas-tugas gue selalu ada celah dari dia. Ah, Tuhan gue mau mati saja, Ya. Dan lu dateng-dateng ngagetin gue dari belakang! Bunuh gue sekarang. Ya, bunuh!’’ Arya yang mendengar perkataan Johan yang lebay itu tertawa lepas hingga mata sipitnya menghilang. Tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Johan yang seberantakan dan setegang ini.
‘’Aduh Han, lu tuh nggak usah setegang itu, gue tahu lu nggak berani menghadap sama Bu Jihan. Gue tahu kok, tapi lu nggak usah segundah ini, gue yakin tugas ke lima lu bakalan di terima oleh Bu Jihan dan akan lolos dari corat-coretnya dia, jadi lu tenang aja Han, jangan jadi cowok cemen,’’ kata Arya menepuk pundak Johan sekali lagi. Johan masih kesal dengan Arya hanya bisa pasrah dan menerima bahwa ia memang adalah seorang laki-laki cemen dan tidak berani apalagi mengingat bagaimana tugas-tugasnya kena coret sana-sini, bahkan perna di lempar oleh Bu Jihan tanpa mengatakan apapun dan berlalu pergi. Sungguh kejam, yah sangat kejam! dan bagaimana Johan tidak seprustasi itu.
‘’Gini Han, dari pada lu tegang atau nantinya depresi, mending lu ikut gue, kita makan-makan gue yang teraktir mumpung Bu Jihan nggak ada dan dosen gue nggak masuk hari ini, oh iya satu lagi, Han. Tali sepatu lu lepas. Iket gih biar jalanya nggak gemetaran lagi,’’ kata Arya sambil menahan tawa. Johan hanya menurut dan mencoba meredam kekesalanya walau mukanya masih menekuk.
Mereka berdua pun berlalu dari depan ruangan Bu Jihan. Berjalan menjauh hingga pada akhirnya terhenti bertepatan dudukya Arya pada kursi kantin Bu Tini yang baik hati tempat ngutangnya anak-anak kampus yang kurang kerjaan seperti Johan dan Arya yang jadi bagian kecil dari mereka.
‘’Bu Tin, seperti biasa dua porsi lengkap dengan minumnya, hari ini saya bayar semua kok bu, termasuk bayarin tuan masam ini juga,’’ kata Arya. Bu Tini mengangguk tanda mengerti dan mulai menyiapkan apa yang sudah dipesan kedua anak muda yang salah satunya terlihat suntuk.
‘’Han, lu masih manyun aja, udah baik gue nraktir lu biar nggak kesel lagi,’’ kata Arya. Johan hanya diam.
‘’Ya elah Han, lu tuh nggak usah pusing santai aja, kalau nggak lulus dari Bu Jihan yah ngulang aja tahun depan, gitu aja repot lu,’’ kata Arya lagi, mengaduk minuman kemudian menyedotnya naik. Johan meraih minumanya itu lalu meneguknya dengan perlahan.
‘’Pala lu botak, suruh gue ngulang tahun depan, ini tahun gue harus lulus nggak mau tahu caranya, pokoknya harus wisuda titik dan nggak pakai koma, dan besok gue harus konsul lagi serta harus lebih yakin,’’ kata Johan, Arya menjawab, ‘’Nah, gitu dong lu semangat, intinya berani. Lu jadikan kesalahan-kesalahan dulu sebagai bahan pelajaran biar nggak jatuh di lubang yang sama. Biar Bu Jihan ngak marah-marah mulu, lu nggak mau kan wajah lu basah terus-terusan kena semprot mulut dia? Lu harus yakin sama kemampuan lu, lu bisa lulus tahun ini, gue yakin itu.” Arya memberi semangat. Senyum sedikit tampak kembali di raut wajah tampannya Johan. Hingga tak terasa semua makanan dan minumam telah habis dan hanya tinggal piring-piring kotornya. Arya berdiri, Johan pun begitu kemudian berlalu dari kantin Bu Tini dengan satu kalimat menggelegar terlontar dari mulut Johan. ‘’Bu, Kami ngutan dulu, kalau sudah lulus dan dapat pekerjaan baru kami bayar.’’ Bu Tini hanya tersenyum mendengar itu. Dan tidak salah Bu Tini dijuluki ibu yang memiliki hati yang baik dan bersih. Dan hanya bisa tersenyum jika ada kalimat itu terlontar dari mulut mahasiswa kurang kerjaan di kampus ini.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top