Jeritan Penyesalan


Mega mengelus-elus perut buncitnya dengan tangis yang terus membanjiri pipinya. Matanya membengkak dan bedaknya pun telah luntur sejak tadi. Ia menjerit-jerit bak orang kesurupan. Penyesalan tiada tara telah menghampirinya dalam luka yang sangat dalam.

"Aaaaa," teriak Mega semakin histeris. Tidak ada orang di rumah itu selain dia, hingga perempuan itu memuaskan dirinya dengan berteriak. Berharap rasa sakit yang kini menjalar dalam tubuhnya bisa pergi. Ia tak sanggup menampung bebannya seorang diri, rasanya ia ingin berbagi pada seseorang. Tapi aib ini seakan mengunci mulutnya termasuk menceritakan semuanya ke orang tuanya. Mega takut papanya akan mengetahui. Sangat dipastikan nyawanya terancam.

Mega memain-mainkan pita panjang di tangannya dengan pandangan nanar. Otaknya mengansumsi cara bagaimana dia bisa terbujur kaku di sana. Sedetik kemudian ia mampu mengenyah semua pikiran bodoh itu. Ia tidak mau mati sia-sia dan membiarkan tiga pria yang telah menghancurkan hidupnya bersenang-senang di dunia ini.

Ingatan-ingatan tentang kejadian malam itu terus terbayang dalam benaknya. Di mana ia menghabiskan tahun baru bersama sang pacar dan kedua teman pacarnya. Ia menghiraukan nasehat mama dan papanya yang meminta dirinya cepat pulang.

Jika saja malam itu dia mendengarkan larangan sang mama, semua tidak akan terjadi semenyakitkan ini. Kini dia hamil entah anak siapa, pacarnya atau diantara dua lelaki teman pacarnya itu. Mega menanamkan pada dirinya saat itu juga, ia akan membalas perbuatan ketiga pria itu terutama Luki-pacar biadabnya. Sebegitu teganya lelaki itu membiarkan dirinya menjadi wanita giliran untuk memuaskan asrat mereka.

Masih sangat teringat di benak Mega, bagaimana bahagianya dia di ajak Luki ke puncak pada malam tahun baru. Mega mengira mereka hanya berdua saja menyaksikan kembang api di sana. Ternyata salah.

Luki mengajak dua temannya. Awalnya Mega tak setuju, ia juga akhirnya mengajak Resa-temannya. Tapi Resa tidak bisa memenuhi permintaan Mega pergi ke puncak. Resa di larang oleh keluarganya, tentu saja Resa yang polos akan menuruti perintah orang tuanya.

"Bagaimana dong, masa iya aku perempuan sendiri," sebal  Mega, perempuan itu melipat tangannya dan tak mau memandang pacarnya itu. Seharusnya mereka hanya berdua. Teman pacarnya itu sungguh pengganggu.

"Yaelah sayang, gitu aja kok ngambek sih," ucap Luki menenangkan. Sedangkan kedua temannya hanya tertawa mengejak. "Sok romantis Lo," kata salah satu pria berjaket biru.

"Kami nggak bakal ganggu kamu sama Luki berduaan kok, tenang aja Meg. Kami mah cuma nebeng. Ahaha." tawa itu membuat mega memutar kepala malas ke pria di belakangnya lalu ia mengangguk setuju. Ia akan membiarkan kedua pria itu ikut asal jangan mengganggu dia saat bersama Luki nanti di sana.

"Nah gitu dong." Luki menyuil dagu Mega dengan senyum sumringah.

Malam itu perjalanan ke puncak cukup menyenangkan. Banyolan-banyolan ketiga pria itu terasa hidup meski candaan itu sebenarnya garing.

Suara ponsel Mega menghentikan obrolan mereka. Perempuan itu segera mengangkat telepan dari mamanya.

"Ma, Mega baru pertama kali ini loh kepuncak, masa iya di larang!" Mega mendengus kasar setelah telepon itu dimatikannya sepihak. Walau ia tahu mamanya begitu kawatir padanya, tapi ini kesempatan emas yang tidak bisa ia lewatkan.

"Kenapa?" tanya Luki.

Mega memandang pria di sebelahnya. "Mama suruh aku pulang," lirihnya.

"Kamu mau pulang," tanya Luki memastikan. Mega menggeleng. Perempuan itu tidak mau pulang setelah berada di setengah perjalanan ia akan tetap melanjutkan perjalannya ke puncak untuk menyaksikan kembang api.

Tidak di sangka oleh Mega mereka akan bermalam di vila milik ayah Luki yang berada di puncak. Ia mengira akan pulang setelah menyaksikan kembang api itu. Karena tidak memungkin jika mereka pulang dengan keadaan ketiga pria itu mabuk. Walau mereka masih dalam kesadaran tapi tetap saja membahayakan. Ponsel sengaja Mega matikan, pasti orang tuanya kini tengah menelponnya meminta dirinya pulang segera.

"Aku tidur di mana," tanya Mega. Luki menunjukan kamar itu. Mega langsung berpamitan. Ternyata pintu kamar itu kuncinya rusak. Mega yang sudah mengantuk tak lagi memikirkan hal itu, ia menutup pintu lalu segera merebahkan tubuhnya ke atas kasur.

Saat Mega mulai memejamkan matanya terdengar suara pintu dibuka, Mega membuka matanya kembali.

"Kalian kenapa kesini, kamar kalian di sana," teriak Mega dengan menunjuk arah kamar yang seharusnya dua pria itu tempati.

Kedua pria itu nyengir lalu salah satu dari mereka menutup pintu itu, menggalangnya dengan kursi kayu.

"Mau ngapain kalian?" tanya Mega nyaris ingin menangis.

Kedua pria itu mengelus dagunya dan satu lagi menghusap kepalanya dengan lembut, ia memberontak. Tapi kekuatannya tak akan bisa mengalahkan dua pria itu. Hingga kini ia tak berselelai pakaian pun. Sungguh ia sangat malu melihat dirinya.

Tak lama terdengar gebrakan pintu. Luki datang, setidaknya mampu membuat Mega sedikit lega. Luki pasti akan menolongnya.

"Harusnya aku dulu, kenapa kalian berdua mendahului aku! Dasar teman tak sabaran!" ucap Luki dengan nada menyesal, lelaki itu mendekati Mega, meminta dirinya yang lebih dulu.

Mendengar kalimat itu, Mega menangis sejadi-jadinya. Sekeras apapun Mega berteriak minta tolong. Semua akan menjadi sia-sia

Mega membanting lampu neon di atas nakas sekeras mungkin hingga memekakkan telinga. Ingatan pristiwa malam itu sangat menyayat jiwanya. Hingga tiba-tiba pandangannya buram. Dinding yang tadinya putih menjadi abu-abu lalu menghitam. Semua menjadi gelap.

Mega mengerjapkan matanya berkali-kali berusaha menormalkan matanya. Bau obat-obatan menguar kesela-sela penciumannya.

"Pa, Mega di mana ini?" tanya Mega dengan nada parau, suaranya memang sudah serak dari semalam karena menangis tak henti mengingat kejadian empat bualan yang lalu. Mega memandang aneh sikap papanya.

"Pa?" ulang Mega.

Prang ....

Guci di atas nakas di lemparkan pria itu hingga pecah tak lagi berbentuk. Mega kaget atas sikap papanya. Kini pria setengah baya itu sedang naik pitam.

"Pa," ulang Mega.

Plakk ....

Telapak tangan yang selalu Mega cium setiap pagi itu melayang ke pipinya. Mega setengah tak percaya.

"Siapa yang menghamili kamu! Siapa?" Mega tercekat. Ia bingung harus memulai semua dari mana. Papanya sudah mengetahui semuanya, dan itu berarti hidupnya akan tak lama lagi.

Semua dugaan Mega ternyata salah besar. Nyawanya tak terenggut. Semenjak ia menceritakan semua kepada ayahnya. Ayahnya tak melakukan apapun padanya hanya saja pria setengah baya itu terpukul dengan cerita Mega.

Papa Mega datang kerumah satu persatu tiga lelaki itu. Memukulnya, menamparnya dan tak lupa tonjokan di mata mereka. Sedang sekarang mereka telah membekam di dalam penjara.

Orang tua Luki, Dan kedua temannya datang ke rumah Mega terus menerus. Memohon agar anaknya di bebaskan dan menjanjikan akan bertanggung jawab dan memberikan uang dengan jumlah besar.

Mega tertawa miris mendengar ajuan demi ajuan penanggung jawaban atas kehamilannya. Tidak semudah itu. Mega tidak ingin penanggung jawaban. Lagi pula ia tidak mengetahui siapa ayah dari anaknya. Mega telah berjanji akan membesarkan anaknya tanpa pria di sampingnya. Anak dalam perutnya adalah anugrah, jadi dia akan merawat sebaik-baiknya tanpa menaruh benci. Lagi pula ada mamanya yang selalu menguatkannya agar tetap berada di jalur wajar. Ia tak boleh menumpahkan rasa bencinya pada anaknya. Cukup ia membenci ketiga lelaki itu.

Kini Mega sedang membuat cerpen. Membuat kisahnya pada dunia agar remaja di sekitarnya bisa lebih berhati-hati lagi dalam menjalin hubungan terhadap pria. Apalagi banyak remaja yang berpacaran. Mega berharap pristiwa ini hanya dia yang mengalami dan tidak akan ada remaja lainnya yang bernasip sama.

Dunia memang bara

Yang membakar dengan kenikmatan

Hingga lupa dengan nasehat

Dan berakhir sayatan

Sesali buang dendam setelah terjadi

Semua memang terkadang kita sendiri

Yang telah membentunya menjadi duri.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top