I Wish By God You'd Stay

Theme song:
The second you sleep - Saybia

Jarum jam masih terus berdetak. Tanpa pernah menyadari bahwa sebuah detakan telah terhenti, untuk selamanya. Aku melihat jernih fajar di atas kepalaku, langit itu masih sama. Dan tak ada yang menyadari bahwa sesuatu telah mendingin di antara hangat fajar itu. Semesta tak memiliki ruang untuk mengasihani hilangnya sebuah nyawa.

Semalam tadi, adalah yang terakhir kali aku melihat matanya bersinar. Hingga kini, ia begitu nyata termaya di balik mataku. Regan, telah sepenuhnya hilang setelah selama ini kukira hanya sebatas bayangan.

“Aku bosen sama kamu, Je. Aku nggak bisa selalu ngabarin kamu 24 jam. Kita punya dunia masing-masing yang harus kita urus,” malam itu sebuah kalimat telah memicu pertengkaran di antara kami, yang kesekian kali selama kami bersama.

Kadangkala aku benar-benar ingin menyerah menjalani hubungan dengannya. Aku tak tahu apakah aku yang egois, atau dia yang tak bisa memahamiku. Aku tahu dia bukan tipe lelaki perhatian yang selalu menghubungiku duluan atau setia mengucapkan selamat pagi atau selamat malam di akhir perbincangan. Dan aku juga bukan tipe wanita yang selalu sabar menjadi satu-satunya orang yang menanti kabar.

“Aku capek jadi satu-satunya orang yang berjuang untuk hubungan ini, Re. Kalo emang kamu udah bosen sama aku, kamu tinggal ngomong. Kita akhiri ini semua.” entah sudah berapa kali aku mengatakan ini padanya.

Dan aku selalu mendengar jawaban yang sama, “Je, nggak nelpon bukan berarti aku nggak sayang. Nggak ngechat bukan berarti aku mau putus. Aku sayang kamu, tolong jangan buat aku jadi bosen.”

Aku tak pernah bisa melihat rasa sayang yang selalu ia ucapkan padaku. Aku muak. Setiap kali, aku selalu mendapatkan hasil yang sama.

“Aku pulang dulu,” ujarku akhirnya.

Kalimat itu benar-benar akhir dari segalanya.

Pendulum dari jam tua di ruang tamu berbunyi nyaring dua belas kali. Tepat tengah malam, aku terbangun dan menyadari ada sesuatu yang salah.

Regan sama sekali tak terlihat beraktivitas di media sosialnya setelah pertengkaran tadi. Regan tak berusaha menghubungiku, tak berusaha memarahiku karena aku tak memberi kabar, tak ada usaha.

Dan barusan aku bermimpi tentangnya, bagaimana aku bisa memimpikan ia pergi? Bagaimana? Untuk kali pertama aku melihatnya dengan sinar mata yang teduh, tanpa emosi, menyejukkan. Aku tersenyum, meski kelak aku tahu bahwa itu hanya mimpi. Aku ingin memeluknya, namun perlahan-lahan ia memudar tersapu angin.

Saat itu juga aku terbangun, rasa sesak menghantamku, mendesakku untuk mencari tahu keberadaannya sesegera mungkin. Namun suara hangatnya tak menjawab telponku. Meski aku telah menghubunginya belasan kali.

Pendulum jam tua di sudut ruang tamu masih melayang-layang, dan bunyi nada sambung pada ponselku belum juga mendapatkan hasil. Sedikit lagi, sedikit lagi usaha, “Halo?”
“Halo! Regannnn, kenapa baru angkat sekarang?! Kamu udah tidur? Kamu nggak kenapa-napa ‘kan? Aku mimpi buruk, aku mau nangiiiis,” dan saat itu aku sudah menangis.

Biasanya Regan akan mengatakan, “Kenapa mau nangis? Jangan nangis Jean, sini peluk abang.”

Kemudian aku benar-benar akan menangis, tersiksa karena tak bisa memeluknya sama sekali.

“Regannya lagi sakit, Je. Dia nggak bangun-bangun sejak sore.” sahut suara di seberang sana. Mengejutkanku.

Air mataku yang sejak tadi memang menuntut untuk tumpah, kini menderas tanpa terkendali, “Kak, aku mau kesana, jenguk Regan...” ujarku setengah merengek, setengah putus asa.

“Besok aja kamu jenguk ya, ini udah malem.”

Aku menggeleng, lalu sambungan terputus.

Tidak, tidak bisa besok. Aku melihatnya mati, aku tak bisa menunggu hingga besok! Namun aku tak tahu bagaimana pula caranya aku akan kesana di tengah malam.

Hingga akhirnya aku duduk menunggu fajar dengan putus asa. Memikirkan Regan, sedikitpun tanpa jeda. Namun sebelum fajar, takdir mengetuk pertahananku. Kakak Regan kembali menelponku dengan nomor Regan, “Regan udah nggak ada, Je.”

Regan sudah tidak ada.

Je, Regan sudah pergi.

Pandanganku mengabur, setengah mati ingin menjerit karena putus asa. Dukaku berhamburan dan aku berkeping-keping, hancur menjadi serpih.

Bibirku terus memanggil-manggil Regan, tertawa bodoh karena terakhir kali bertemu dengannya, kami bertengkar.

Aku tak bisa menghadapi kematian Regan, tidak hiperbola, aku memang tak tahu harus apa bila tanpanya. Regan mendominasi seluruh hidupku, Regan telah pergi membawa seluruh hidupku.

***

Fajar masih hangat dan jarum jam terus berdetak.

Aku dan setiap nestapa yang merayap pelan-pelan untuk kemudian bersemayam dalam nadiku, nestapa itu adalah Regan. Aku melihatnya menghilang, tercebur ke dalam sepi di bawah bumi.

“Regan sayang banget sama kamu, Je. Regan sengaja jarang menghubungi kamu biar nanti kamu terbiasa kalo Regan bener-bener nggak bisa lagi ngontak kamu kayak sekarang.” ujar mamanya padaku.

Di atas pusara itu, aku memeluk erat bundanya, “Bilang Regan, ma, Jean nggak bisa hidup tanpa dia walaupun dia sengaja bikin Jean benci. Jean nggak bisa, Ma.”

Aku tak pernah bisa terbiasa hidup tanpanya.

Ia melekat secara permanen dalam kepalaku. Drama apa yang sedang ditertawakan penduduk langit ini? Mengapa aku dan Regan yang menjadi pivotnya?

Regan menutup rapat isi hatinya, sehingga aku tak pernah bisa melihat cinta yang ada di dalamnya, yang ia jaga untukku. Aku tak pernah tahu bahwa sedalam itu ia mencintaiku, aku tak pernah tahu bahwa selama ini aku tidak berjuang sendirian.

Dan Regan, aku hanya antagonis yang berdiri di sini, menyaksikanmu menghilang, menyaksikanmu pergi. Jangan pernah berpikir bahwa aku tak meminta pada Tuhan agar kamu tetap tinggal, karena aku begitu terluka mengetahui Tuhan tidak mengabulkan pintaku tentang kita. Aku ingin kamu tetap tinggal di sini, menjagaku dari setiap rapuhku akan dunia. Regan, aku tak mau jadi satu-satunya orang yang tertinggal untuk berjuang menjaga semua yang tersisa.

Jika saja aku mampu mencegah semua kehilangan yang terjadi, aku akan dengan senang hati menukar nyawaku untuk membiarkanmu tetap terjaga, Regan. Aku ingin kamu tetap terjaga, dengan segenap keegoisanku, aku lebih memilih membiarkanmu terluka dan kehilangan diriku di banding harus melihatmu mati.

Di atas pusara itu, selamanya, aku berhenti melanjutkan hidup. Karena begitu kamu menutup mata, saat itulah duniaku berakhir. Jika saja aku tahu saat terakhir aku melihatmu, niscaya aku akan terus memelukmu tanpa pernah ingin mendebatmu, tanpa pernah ingin menyerah. Aku ingin terus memelukmu, mencintaimu, mengulur waktu agar sekiranya Tuhan mau memberi lebih banyak waktu untuk membiarkanmu tetap hidup bersamaku.

Dan kini, tak ada Regan yang bisa ku peluk, raga itu sirna, Aku pun turut sirna. Maka biarkanlah aku juga mati, agar aku tak menyaksikan kematiannya setiap hari seperti hari ini, agar aku tak terus menerus menciumi pusaranya, seperti hari ini.

I stay to watch you fade away
I dream of you tonight
Tomorrow you’ll be gone
It gives me time to stay to watch you fade away
I dream of you tonight
Tomorrow you’ll be gone

I wish by God you’d stay—

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top