Fatamorgana: Gloomy Huges
Hembusan angin menerbangkan surai hitam sebahuku yang mulai memanjang. Tungkai kakiku bergerak, mengambil selangkah lebih maju dari apa yang otakku perintahkan. Tegukan salivaku melambat. Kedua tanganku meraih pagar pembatas jalanan, satu kakiku yang bebas memijak di atas dinginnya besi pembatas. Satu kaki yang lain menyusul, hingga keduanya imbang. Sementara tanganku menggengam ujung pagar pembatas dengan sedikit enggan.
Angin malam sedikit mendorongku, beberapa kali bahkan beberapa bagian dari diriku serasa ikut terbang bersamanya. Kepalaku tertunduk dan irisku menemui permukaan air. Melihat pantulan sang purnama yang begitu menenangkan serta keadaanku yang begitu menyedihkan. Memandangnya dalam kemelut yang mengobrak-abrik isi kepalaku. Dengan pandanganku yang terasa kosong dan hanya beberapa fantasi liar yang memenuhi otak.
Jauh di bawah aku mulai menerka-nerka. Mengira-ngira bagaimana rasanya tenggelam tanpa upaya untuk selamat. Bagaimana rasanya ketika air masuk memenuhi saluran pernafasanku hingga jalur respirasiku terhenti. Bagaimana seluruh ruang dari paru-paruku terisi air, hingga bagaimana telapak tangan, kaki bahkan sekujur tubuhku mulai mengeriput di dalam sana. Mengapung bersama aliran air sungai yang begitu tenang.
Kepalaku masih terisi penuh oleh jutaan fantasi yang mencoba menguasai kesadaranku. Juga beberapa bisikan yang mendorongku untuk melakukan keinginan konyol itu. Hingga satu helaan nafas lolos dari mulutku dengan nada sumbang.
“Aku lelah.”
Sekali lagi aku berpikir, apakah aliran air di bawah sana mampu menghapus segala sesuatu di dalam diriku? Mampukah mengapus begitu banyak luka yang terus menginvasi seluruh pertahanku?
Tanganku menggengam besi pembatas semakin erat, hingga buku-buku jariku kian memutih. Menghantarkan begitu banyak hawa dingin yang semakin menusuk. Ketika aku mulai tenggelam dalam duniaku sendiri, samar-samar kudengar suara langkah kaki yang bergerak dengan cepat itu mendekat.
“Jangan berpikir yang tidak masuk akal. Cepat turun.”
Secara kebetulan aku terkejut, mendapati sosok Jean yang muncul entah dari mana. Berada di belakangku. Mencoba membantuku untuk turun.
“Jean, apa yang kau lakukan?”
Tak ada jawaban sedikitpun darinya sampai kurasa tangannya meraih tanganku, membuatku turun dalam satu kali angkat. Hingga entah bagaimana ceritanya, kini tubuhku bersandar pada punggungnya. Menghantarkan hawa panas yang selalu membuat musim dinginku terasa begitu hangat. Juna adalah musim panas di tengah musim dingin yang kurasakan.
“Kau terasa seringan bulu, Rei.”
Jean mengangkat sedikit tubuhku untuk membenarkan posisinya dengan tanganku yang memeluk lehernya dari belakang. Daguku bersandar pada ceruk lehernya hingga aku dapat menghirup aroma maskulin pemuda ini yang begitu seduktif. Wangi citrus dan wangi khas pria yang berbaur di sana.
“Sesuatu terjadi lagi, bukan?”
Kepalaku menggeleng pelan, “Bukan apa-apa.”
“Berhenti mengatakan kebohongan. Lantas apa yang membuatmu berjalan tengah malam hanya untuk berdiri di besi pembatas jalanan dan memandangi riak sungai, hm?”
Hening sesaat. Aku lebih memilih bungkam ketika pemuda ini mencoba melayangkan beberapa pertanyaan memojokkan dan mencoba menekanku sesuka hatinya. Hanya saja aku benar-benar tak ingin melakukan perdebatan sengit yang biasa kami lakukan tempo hari. Lelah, dan aku tak ingin membuang semakin banyak tenaga hanya untuk melakukan hal yang tidak penting.
Lelah mendengarku bungkam, Jean tiba-tiba menurunkanku. Dia menghela nafas dan berbalik ke arahku dengan netra sendu. Irisnya menatap milikku begitu dalam, kedua tangannya memegang bahuku erat.
“Aku tahu segala sesuatu begitu berat bagimu, tetapi tolong.. Jangan lakukan hal bodoh lagi.”
Kualihkan pandangaku. Tersenyum kecut dan mencoba melepas genggamannya pada bahuku, “Jangan selalu mengurusi segala sesuatu yang tak berhubungan denganmu, Je. Terima kasih. Tapi aku bukan gadis yang ingin mendapat begitu banyak belas kasih.”
Satu dengusan kasar berasal darinya. Ia memilih kepala frustasi dan berakhir mengumpat dengan setengah suara, “Gadis bodoh.”
Aku terkekeh dengan semua perkataannya. Ya, aku memang gadis bodoh. Bodoh sebab memilih hidup sedang begitu banyak kematian yang mencoba menjemputku. Bodoh mempercayai bahwa Tuhan telah mengatur hidupku dengan begitu apik. Bahkan sangat bodoh karena gagal untuk mengakhiri segalanya.
“Sekarang.. apa yang membuatmu merasa terganggu?” suaranya sedikit melemah. Ia kembali meraih kedua lenganku, memegangnya dengan begitu lembut.
Sementara tanganku dan seluruh pertahananku bergetar. Kepalaku tertunduk dan aku menggigit bibir bawahku lirih. Menahan jutaan ledakan emosi yang masih senantiasa kusimpan seorang diri. Kesakitan yang terus menerus menghancurkanku.
“Mereka mengataiku. Menghancurkanku dengan kata-kata kasarnya.”
Kini tangannya memegang lenganku semakin erat, ia sedikit menunduk dan mencoba mengirimkan begitu banyak kekuatan padaku, “Tutup telingamu. Aku sudah mengatakannya, bukan? Ketika kau mendengar kata-kata yang membuat pendengaranmu terganggu, segera tutup telingamu dengan kedua tangan. Lalu kau hanya harus menghapusnya, Rei.”
Kedua sudut bibirku tertarik tipis, kepala kudongakkan sedikit ke atas demi menatap kedua netra pekatnya. Hanya sedikit anggukan kecil yang bisa kubalas padanya dan bisikan lembut yang membuat lengkung di bibirnya tertarik begitu indah, “Terima kasih, Je. Tetapi kenyataan tak semudah itu.”
*
Hari berikutnya masih semengerikan malam itu. Sang purnama masih mengantung di atas sana, menjadi penerang yang terbias melalui kaca jendela kamarku yang begitu gelap. Sungguh, aku benci ketika mendapati diriku dalam keadaan yang tak berdaya. Aku benci ketika harus membuka topengku.
Menangis, meraung, menjerit di tengah kemelut gelap, tertawa bersama asaku yang terbang hilang bersama angin malam. Aku benci ketika harus menjadi diriku sendiri.
Selesai menghadapi pem-bully-an di sekolah, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan suasana rumah yang amat mencekam. Tempat yang sering kusebut neraka dunia.
Pipiku lebam membiru, mataku membengkak bahkan sudut bibirku robek dengan rasa besi berkarat yang masih tercecap lidah. Ayah kembali memukulku. Menghujami begitu banyak luka pilu yang membuatku merasakaan kematian kecil dengan memukul serta menendang perutku.
Alasan sepele, hanya karena terlalu pahit saat membuatkan kopi. Emosinya seketika membludak dan berakhir menganiayaku.
Rasa mual mulai menggerayangi tenggorokanku, nyeri yang tak main-main menyeruak hebat dari perutku. Tangisku membeku. Rasa nyeri pada seluruh tubuhku membuat air mataku mengering. Aku benci ketika hanya mampu meringis menahan perih.
Tak ada yang mampu kulakukan. Seperti biasa, aku hanya bisa mengubur semua rasa sakitku dalam diam. Menceritakan pada seseorang hanya akan membuatku semakin membenci diriku sendiri. Membuatku semakin menyadari bahwa hidupku benar-benar menyedihkan. Aku benci berada di situasi seperti itu. Well, hidupku memang menyedihkan tetapi aku masih punya topeng yang mampu menutup semua beban hidup yang melemahkanku.
Tiba-tiba sesuatu terdorong hebat melalui tenggorokanku dan sepersekon kemudian bercak darah mengotori permukaan tangan yang kuletakan tepat di depan mulut dan beberapa tertinggal di sudut bibirku. Aku mendengus kesal.
Aku tahu, Ayah tidak akan melakukan hal ini padaku jika wanita sinting yang sempat kupanggil Ibu itu tidak pergi dengan pria lain hanya karena harta dan membuat kakakku sekarat. Ia tak akan melakukan hal ini, memukul dan menendangku dalam keadaan mabuk jika bukan karena wajah wanita bedebah itu yang tercetak jelas di wajahku.
Hal itu membuatnya menjadikanku sebagai obyek kekesalannya, menumpahkan seluruh amarahnya di atas permukaan tubuhku dengan umpatan hina yang selalu mengaung di telingaku.
Kuusap noda darah itu di atas permukaan seprei sebelum mendengar ketukan lirih dari balik jendela kamar yang menampakkan bayangan Jean, tergambar oleh pantulan sinar rembulan yang biasnya mengenai permukaan kulitnya yang seputih kapas. Jaket hitam serta celana jeans yang terlihat sobek di bagian lututnya.
Setahuku kamarku sangat sulit tergapai walau dengan tangga, tetapi bagi Jean si otot kuli, ia mampu meraih jendela kamarku dengan begitu mudah hanya dengan berpijak pada perpotongan lantai satu dengan lantai dua pada tembok luar.
Ia menginterupsi dalam gerakan tubuh agar aku segera membukakan pintu beranda untuknya. Langkah kakiku berpacu. Entah karena apa, melihat wajahnya membuat pertahanan yang susah payah kubangun, pada akhirnya runtuh saat bias purnama menyinasi sekujur wajahku. Memperlihatkan luka membiru di pipiku atau bahkan luka sobek di sudut bibirku.
Iris kelamnya perlahan membola, ia menyentuh perpotongan daguku, mencoba membayangi sesuatu yang membuat keningnya berkerut dalam.
“Pria brengsek itu memukulmu lagi, bukan?”
Aku menggeleng pelan dan kembali memakai topengku dengan rapat demi menutupi rasa sakit yang terus menerus menyerang, membuat Jean mendengus kesal, “Lantas apa? Kau akan berkilah dengan mengatakan bahwa kau tergelincir di kamar mandi hingga membuat wajahmu terbentur di wastafel? Jangan gila, Rei. Ini bukan pertama kalinya.”
Aku tahu ini bukan ide yang bagus untuk dikatakan padanya, Jean itu bukan pemuda bodoh. Ia bahkan mengetahui segala rasa sakit yang terus menyerangku. Hanya saja aku terlampau bosan untuk terus menerus dikasihani. Dan, aku bukan orang selemah itu.
“Reisha, tidak bisakah kau ikut denganku? Tidak bisakah kau berlari saja dari pria gila itu dan menggenggam tanganku? Ia tidak akan mengejarmu hanya untuk memukulmu lagi. Percayalah.”
Kepalaku menggeleng pelan, liquid bening meluncur di atas permukaan rasa sakitku. Kedua tanganku meremat jaketnya begitu kuat ketika iriku terasa semakin memanas hingga tangisan itu semakin menganak sungai, “Kau becanda? Tidak ada gunanya, Je. Membawaku berlari ke ujung dunia atau keluar dari dunia ini pun tak akan merubah segalanya. Matahari akan tetap terbit dan tenggelam. Purnama akan selalu memancarkan setitik sinarnya di kegelapan malam. Tidak ada yang beda. Justru aku akan semakin menghancurkannya dengan kepergianku.”
Tangisku benar-benar pecah, kurasa seluruh pertahanan yang kubangun susah payah runtuh dalam sekali hantam. Aku berbalik membelakangi Jean, terisak begitu hebat. Tak ada pilihan lain selain menenggelamkan wajahku di antara dinginnya permukaan bantal. Kucengkram kuat permukaan bantal itu ketika merasakan sesuatu yang terasa begitu ngilu menyiksa jantungku. Sedetik berikutnya sisi belakangku terasa memberat, tanpa menoleh dan bertanya, aku tahu dari siapa sumber hawa panas yang selalu mampu membuat tubuhku serasa dibakar.
Kali ini Jean tak banyak bicara, ia lebih memilih untuk memeluk tubuhku dari belakang. Aku dapat merasakan dagunya pada ceruk leherku sebelum hawa panas menerpa permukaan leherku, “Maafkan aku.”
Aku terisak dalam pelukannya, mengumpat beberapa kali tentang takdir Tuhan yang selalu membawaku pada mimpi buruk di dunia nyata. Memang seharusnya aku tak menyalahkan Tuhan dalam urusan ini. Harusnya aku bersyukur masih bisa menghirup udara segar. Masih bisa melihat keindahan dunia dengan kedua bola mataku, tetapi kenyataan pahit yang lebih banyak dari bahagiaku membuatku sedikit lelah.
Sangat menjengkelkan ketika hidup di antara cemooh yang selalu setia mengatai keburukanku. Merasakan bagaimana kehilangan seorang ibu yang berakhir menjadi bulan-bulanan ayah. Juga kematian kakak yang selalu menghantuiku setiap malam. Itu tak akan mudah.
“Kau tahu? Aku merasa bersyukur setiap kau mampu menatapku. Aku bersyukur kau bisa melihatku. Aku juga bersyukur masih bisa memelukmu dan menjadi penyemangatmu demi menghilangkan sedikit rasa sesalku.”
Isakanku kembali menggema di setiap sudut kamar, namun terdengar lebih pilu. Menyayat hingga relung yang terdalam. Sampai kurasakan pelukan di sisi belakangku melemah. Dan ada satu hal yang samar tertangkap oleh pendengaranku sebuah ungkapan picisan yang kembali terlontar dari bibir plum pemuda itu. Ungkapan yang pasti tak akan bisa ia wujudkan namun selalu ia ucapkan untuk sedikit menghiburku, “Aku tak akan pernah meninggalkanmu—lagi. Kakak berjanji, Rei.”
Shit. Pada akhirnya aku tahu bahwa yang paling kuat berjanji juga yang paling cepat pergi.
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top