Twenty Two

D I S C O N T E N T

Todoroki tahu tatapan itu.

Cermin menangkap sorot mata itu ketika ia memandang [Name]. Kamera memotret binar itu ketika seluruh atensinya tertuang pada sang istri. Bahkan beberapa akun gosip pun sering menggunggah fotonya bersama [Name] dan ia menemukan sirat itu di sana.

Sayangnya, tatapan yang ia maksud bukan berasal dari mata heterokromnya, tetapi dari sidekick yang baru-baru ini bergabung dengan agensi [Name]. Istrinya sering bercerita mengenai junior barunya, berkata bahwa ia yang bertanggung jawab untuk memandu si junior di awal karirnya sebagai sidekick.

Selama ini Todoroki tidak keberatan. Ia mengagumi totalitas [Name] ketika bekerja, apalagi sifat mengayominya pada calon pahlawan atau pro hero muda yang baru terjun dalam pekerjaan ini—[Name] bersikeras untuk membimbing para juniornya agar tak terlalu memusingkan pandangan publik. Namun, sudut hatinya terusik kala bertemu langsung dengan junior yang [Name] maksud.

Shiftnya baru saja selesai ketika [Name] memberi kabar bahwa ia akan berangkat lebih awal. Melihat kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama dengan istrinya, Todoroki mengusulkan agar ia mengantar [Name] sampai agensi. Di sanalah ia bertemu dengan junior yang [Name] bicarakan beberapa hari terakhir.

"[Name]-senpai." Todoroki mengernyit tidak suka saat si junior memanggil [Name] dengan nama asli. "Kau datang lebih cepat hari ini."

[Name] tertawa. "Ada laporan yang belum rampung dan kau yang perlu diurus."

"Kau tidak perlu mengurusku, [Name]-senpai," gurau si junior. "Nyatanya aku baik-baik saja meski kau tidak mengawasiku. Yah ... setidaknya aku tidak berakhir di rumah sakit."

"Tetap saja, dasar ceroboh." [Name] memukul lengan si junior pelan, tampak sudah terbiasa melakukannya walaupun mereka baru kenal kurang dari sebulan. "Sekarang katakan padaku, apa laporan yang kuminta sudah selesai?"

Si junior tertawa renyah sembari menggaruk belakang kepala. "Aku sibuk seharian ini, senpai. Jadi..."

"Jadi?" alis [Name] terangkat tinggi. "Karena kau sibuk seharian ini, makanya laporan untuk penangkapan perampok dua malam lalu belum selesai, begitu?"

"Tepat sekali." Si junior menjentikkan jarinya. "Senpai memang hebat. Bagaimana bisa tahu isi pikiranku semudah itu?"

"Itu sih kepalamu yang transparan."

Todoroki mengamati keduanya dengan kening berkerut dalam. Jangan salah sangka, ia tidak keberatan [Name] akrab dengan semua rekan kerjanya, si junior ini bukan pengecualian. Namun ada yang mengusiknya. Gestur ramah si junior pada [Name] dan sebaliknya terlalu ... dekat? Entahlah, ia bingung bagaimana menjelaskannya. Yang ia tahu, ia melihat tatapan itu dalam mata si junior ketika mengobrol dengan [Name].

Apa ia tidak melihat cincin di jari manis [Name]? gerutu Todoroki jengkel pada dirinya sendiri.

Ia menjaga ekspresinya ketika mata si junior beralih padanya seakan-akan baru sadar kalau [Name] tidak datang seorang diri.

"Ah, senpai datang bersama Shouto-san?" si junior mengambil langkah panjang ke arahnya, mengulurkan tangan. "Salam kenal Shouto-san. Sebuah kehormatan bisa berbicara dengan salah satu pro hero ternama di Jepang."

Tangannya terjulur membalas sapaan sidekick junior itu. "Salam kenal juga untukmu. [Name] banyak bercerita tentangmu."

"Kuharap senpai menceritakan hal-hal yang baik," kekeh si junior. "Omong-omong selamat untuk pernikahan kalian, Shouto-san."

Ah, jadi dia sadar [Name] sudah menikah, batin Todoroki. Tapi tetap jatuh hati pada [Name]?

"Terima kasih banyak." Matanya beralih pada [Name] yang berdiri di sampingnya. "Aku tidak akan mengganggu waktumu lebih lama lagi. Berhati-hatilah."

[Name] terkekeh lalu berjinjit untuk melayangkan kecupan singkat di pipi Todoroki. "Kau tahu aku selalu berhati-hati."

"Katakan itu pada seseorang yang koma selama seminggu karena kehabisan darah," balasnya datar. Bibirnya turut tertarik ketika [Name] tertawa lebih lepas. "Aku bersungguh-sungguh, [Name]. Jangan teledor di luar sana. Kembalilah padaku dalam keadaan utuh."

"Baiklah, baiklah."

Dalam hati Todoroki bertanya-tanya bagaimana caranya agar si junior menyadari posisinya. Jika sebuah cincin dan status pernikahan tak mampu membuat si junior mengubur perasaannya, lantas apalagi yang mampu menjauhkan pria itu? Mungkin ia butuh sesuatu yang lebih ... blak-blakan?

Bertindak tanpa pikir panjang, Todoroki melepaskan jaket birunya. Mengabaikan tatapan penuh tanda tanya dari kedua orang yang berdiri di dekatnya, ia menyampirkan jaket itu di bahu [Name]. Memastikan bahwa jaketnya telah menyelimuti tubuh [Name], ia mencondongkan tubuh untuk menyematkan kecupan lamat pada pelipis [Name].

"Jangan sampai sakit," gumamnya rendah. "Udara musim dingin bisa menurunkan imunitasmu."

[Name] menatap suaminya seolah pria itu memiliki tiga kepala. "Shouto, kau tahu aku akan menghabiskan sebagian besar waktuku di dalam agensi, kan? Kalaupun di luar, aku akan memakai kostum pahlawanku."

Todoroki mengangguk paham. "Tidak ada salahnya berjaga-jaga."

[Name] menggelengkan kepala pasrah, mengulas senyum terima kasih pada suaminya. Ia sadar dengan gerak-gerik Todoroki yang tampak aneh, tapi mengurungkan niat untuk bertanya. Setidaknya tidak di lobi agensinya.

"Kalau begitu aku masuk dulu," [Name] menyesuaikan posisi jaket Todoroki di bahunya. "Hati-hati di jalan pulang."

"Kau juga." Sekali lagi Todoroki mencuri kecupan di kening [Name]. "Selamat bekerja, love."

Ia sadar. Sadar bahwa gestur afeksi yang baru saja ia lakukan benar-benar di luar karakternya. Biasanya ia tidak akan sesering ini mencium [Name] di depan umum, lebih suka menyimpan pernyataan kasih sayangnya di ruang intim dan privasi.

Ia juga sadar dengan banyaknya pasang mata yang mengawasi mereka, terlebih si junior yang tidak mengalihkan pandangan dari mereka sejak Todoroki menyampirkan jaketnya. Namun, Todoroki tidak merasa malu. Sebaliknya, ia pergi meninggalkan agensi [Name] dengan perasaan puas dan penuh kemenangan selayaknya berhasil melumpuhkan villain yang mengusik ketenangan warga.

Sekarang, bagaimana caranya ia mengatakan pada [Name] apa yang baru saja dirasakan? Ia tidak pandai mengungkapkan rasa dalam kata, tapi ia bisa berharap [Name] mengerti maksudnya.

***

"Coba katakan lagi."

Todoroki mencebik. "Aku tidak suka kau terlalu akrab dengan juniormu. Maksudku, aku tahu kau adalah senior yang harus membimbingnya untuk saat ini, tapi aku tidak suka tatapannya saat menatapmu."

Mungkin waktunya tidak tepat. [Name] baru saja pulang ketika Todoroki mengajaknya untuk bicara. Wanita itu bahkan baru melepas jaketnya ketika ia menyuarakan ketidak nyamanannya. Todoroki sudah bersiap dengan reaksi [Name] yang meledak-ledak—mungkin marah atau jengkel, tapi reaksi ini di luar dugaannya.

[Name] tertawa.

"Jangan tertawa," Todoroki memberengut. "Aku bingung kenapa aku hanya tidak suka padanya padahal kau sudah memiliki beberapa junior di bawah bimbinganmu."

"Maaf," [Name] mencoba mengendalikan tawanya. "Tapi kau menggemaskan sekali, Shouto."

Todoroki memiringkan kepalanya bingung. "Aku tidak mengerti."

"Biar kuperjelas." [Name] meraih tangan Todoroki, mengusap punggung tangan sang pria dengan ibu jari. "Kau tidak suka padanya karena cara dia menatapku, begitu?"

"Kurang lebih begitu."

"Kau tahu apa maksud dari tatapannya padaku?" tanya [Name] lagi.

Todoroki termenung sejenak. "Aku tidak tahu pasti, tapi sirat tatapannya mirip dengan caraku menatapmu. Aku tahu karena sering melihatnya di foto yang diunggah teman-teman kita maupun media."

[Name] tergelak. Semua ini amat menghibur baginya. Lebih dari empat tahun mereka menjalin kasih dan Todoroki tidak pernah memperlihatkan perasaan semacam ini. Namun kedatangan satu junior naif mampu mengubah perspektif si pengguna dua elemen.

"Kau cemburu, Shouto," papar [Name] sambil tersenyum. "Kau cemburu karena juniorku suka padaku. Iya, aku tahu ia suka padaku. Aku tidak bodoh, Shouto."

"Cemburu?" kata ini adalah hal baru untuknya.

Todoroki hampir tidak pernah merasa cemburu. Ia yakin pada perasaannya dan perasaan [Name]. Hubungan di antara mereka tidak semudah itu dirusak oleh keberadaan orang lain. Ia juga tidak berpikir [Name] akan berpaling darinya. Apa rasa cemburunya datang dari sifat teritorialnya?

"Iya, kau cemburu," [Name] mengulum senyum geli.

Todoroki bungkam, mencari kebenaran di antara netra gelap [Name]. "Lalu bagaimana caraku menghilangkan perasaan cemburu ini?"

[Name] mendongak, merentangkan tangan. "Cara yang sama setiap kali kita menghadapi masalah."

Lantas Todoroki menghambur pada [Name]. Melingkarkan lengannya pada tubuh [Name] dan menyangga belakang kepala istrinya. Ia mendesah nyaman ketika bibir [Name] menjejaki tulang selangkanya. Benar saja, ketidak nyamanan yang ia rasakan beberapa saat lalu kini meluntur. Tak sepenuhnya lenyap tapi tak lagi mendominasi.

"Aku tidak suka merasa cemburu," gumamnya tertahan, menyusupkan wajahnya di bahu [Name].

"Tidak ada yang suka merasa cemburu, Shouto," balas [Name] lembut. "Tapi beberapa orang berkata cemburu tanda sayang. Artinya kau sangat menyayangiku sampai tidak ingin kehilanganku, kan?"

Todoroki berdehem setuju, tak lagi membutuhkan kata agar [Name] tahu kasih sayangnya jauh lebih besar daripada seluruh kosa kata yang ada.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top