Twenty One
F A T E F U L D A Y
Tidak pernah terpikirkan bahwa takdir akan menuntunnya pada hari ini. Ia, yang tidak mempedulikan eksistensi orang lain selain dirinya sendiri maupun ambisinya untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi pahlawan tanpa sisi kirinya. Kini, ia akan mengucap sumpah di depan banyak saksi.
Sejak peristiwa dengan ibunya dulu, Todoroki menutup diri. Ia tidak memiliki kapabilitas untuk membuka hati untuk orang lain, terlalu sibuk dengan balas dendamnya. Lagipula dalam pandangannya, tidak ada yang benar-benar penting hingga ia harus menaruh atensi selain pada ambisinya.
Hingga gadis itu datang.
Todoroki memendam kekagumannya terhadap sang gadis—yang sebentar lagi akan menjadi wanita, dalam hati ia menambahkan. Dalam pikirannya terlantun begitu banyak pujian untuk gadis yang terbalut gaun putih. Dalam tiap langkah gadis itu semakin mendekat, Todoroki berulang kali mengucap syukur atas semua keputusan yang membawanya pada sang gadis.
Berpapasan dengan gadis itu adalah sebuah kebetulan. Menyapa gadis itu lebih dulu adalah keinginan. Mengungkapkan perasaannya untuk menjadikan sang gadis sebagai miliknya adalah harapan. Menyayangi dan disayangi olehnya adalah keberuntungan. Namun menua dengan gadis itu adalah sebuah keputusan.
Sekalipun Todoroki tidak pernah menyesali kedatangan gadis itu dalam hidupnya. Gadis yang bernama [Name], gadis yang menjadi anugerah terbesarnya. [Name] membawa puluhan warna baru dalam hidupnya. Bagaimana ia belajar bersikap ketika gadis itu bersedih atau kecewa, menenangkannya ketika gadis itu tertekan dan berjuang untuk mereka berdua kala [Name] sulit percaya. Tidak mudah mempertahankan hubungan mereka ketika villain tak henti menyulitkan mereka, tapi yakin bahwa [Name] satu-satunya, Todoroki tidak akan mundur untuk melepaskan.
Ia belajar dan bertahan. Ia bersikeras untuk tinggal bersama agar memangkas jarak yang tercipta oleh hilangnya waktu akibat pekerjaan mereka. Ia benci memikirkan gagasan bahwa ia tidak akan melihat [Name] sesering yang ia inginkan jika mereka tinggal terpisah—pengalaman saat magang cukup memberitahunya bahwa ia amat ketergantungan dengan presensi [Name].
Tak sanggup menahan desakan untuk menjadikan [Name] miliknya—sepenuhnya dan seutuhnya, Todoroki bersikap impulsif untuk melamar [Name]. Betapa bersyukurnya ia saat [Name] tidak keberatan dengan lamarannya yang tidak kenal tempat.
Sekarang, hanya tinggal menunggu menit, Todoroki akan memberikan nama belakangnya untuk [Name]. Bibirnya tertarik membentuk senyum saat [Name] menjawab uluran tangannya. Todoroki yakin saat itu juga, [Name] telah menggenggam seluruh hidupnya.
Sumpah untuk saling bersama tak peduli bagaimana masa depan menyiapkan rintangan terucap. Cincin sederhana dengan aksen batu lahir [Name] disematkan di jari manis. Senyum saling bertukar disusul dengan ciuman di depan altar.
Nuansa biru sebagai tema utama pernikahannya seolah mempertegas keindahan [Name]. Gaun pengantin yang telah berganti dengan gaun resepsi dibubuhi semburat biru juga buket bunga berwarna senada ditambah dengan senyum merekah yang menghiasi wajah, Todoroki yakin potret [Name] hari ini selalu membekas dalam memorinya.
"Kau ... cantik," bisik Todoroki, tak memiliki kosa kata lain untuk menggambarkan sosok [Name] di matanya.
Sebelah lengannya merangkul pinggul [Name], sedangkan tangnnya yang lain menggenggam jemari sang istri yang lebih kecil.
"Kalimat itu sudah kau ucapkan setidaknya lima kali, Shouto," [Name] terkekeh, mendongak untuk beradu tatap dengan sang suami. "Apa akhirnya aku bisa menjeratmu dalam pesonaku, hm?"
Todoroki mengulum senyum. "Sudah kaulakukan sejak kita pertama kali bertemu."
Dansa pertama mereka sebagai pasangan suami-istri. Begitu banyak pasang mata yang menonton—sebagian besar adalah teman semasa sekolah dan rekan kerja terdekat, pujian juga riuh ucapan selamat saling bersahutan. Namun, bagi mereka tidak ada yang lebih menyita perhatian daripada satu sama lain.
"Aku tidak terlalu pandai memasak," gumam [Name]. Ia memangkas jarak di antara mereka, menyandarkan pipi pada bahu Todoroki. "Seringkali aku bangun lebih siang darimu karena jadwal patroliku di malam hari. Aku ceroboh dan nekat. Mudah kesal dan bersumbu pendek. Jika berhadapan dengan misi atau prinsipku, aku bisa mengabaikanmu. Kalau suasana hatiku memburuk aku akan semakin menggila di lapangan dan bersikap malas saat di rumah. Kalau sedang kesal, makanku jadi banyak."
Kening Todoroki berkerut samar, menyapu kecupan kecil pada pelipis [Name]. "Aku sudah tahu semua itu. Kita sudah tinggal bersama beberapa tahun terakhir, ingat?"
"Aku tahu," respons [Name] mengulum senyum. "Hanya ingin memastikan kalau kau benar-benar siap terikat padaku seumur hidup."
Todoroki menarik diri, menatap [Name] dengan pandangan syok. "Apa ... kau menyesal menikah denganku?"
[Name] mendecak geli. "Tidak, Shouto. Tidak akan pernah menyesal. Aku yang tidak ingin kau menyesal."
"Mana mungkin," Todoroki menggelengkan kepala tak percaya. "Menikah denganmu adalah keputusan paling mudah yang kuambil seumur hidup."
"Kau dan rayuanmu itu," [Name] menyembunyikan kekehan di bahunya. "Tapi aku tidak bercanda Shouto. Bagiku, pernikahan adalah janji seumur hidup. Tidak ada kata mundur atau menyerah mempertahankan hubungan ini."
"Begitu pun aku," sahut Todoroki tegas. "Sumpahku sudah jelas. Aku akan bersamamu baik pada kondisi terbaikmu maupun di situasi terburuk. Tidak peduli bagaimana keadaannya dan siapa yang harus kuhadapi, aku tetap di sisimu."
"Jangan menyesal lho," dengus [Name] mengulum senyum.
"Aku bukan pria yang akan menyesali keputusanku." Todoroki membawa [Name] kembali dalam pelukannya, mengeratkan lengan pada pinggul sang hawa. "Lagipula, aku juga bukan tanpa cela. Kau yang paling sering mengingatkanku untuk jangan terlalu memforsir diri ketika menjalani misi, kan?"
[Name] tertawa kecil. "Dan hingga kemarin kau masih tetap tidak mendengarkanku. Memangkas waktu tidurmu untuk mengerjakan laporan misi terakhirmu di luar kota, dasar burung hantu."
Todoroki termenung sejenak. "Kurasa aku suka panggilan itu. Burung hantu hanya memiliki satu pasangan seumur hidup," ia sedikit menunduk, mencuri ciuman kecil di pipi [Name]. "Kalau dilihat dari situasinya, bukankah kau yang harus bersiap untuk terikat denganku selamanya?"
"Astaga Shouto!" [Name] tertawa lepas, menyembunyikan wajah di dada sang pria. "Kutarik ucapanku. Kau lebih mirip Casanova."
"Casanova itu si pengarang Venesia yang pandai merayu wanita, kan?" bibir Todoroki mencebik ketika [Name] mengangguk. Sejenak ia melepaskan rangkulan untuk memutar sang istri sebelum kembali menarik gadis itu mendekat. "Tapi wanita yang ingin kupuji hanya dirimu, [Name]. Bagaimana bisa aku menjadi Casanova?"
[Name] mendongak, mempertemukan keningnya dengan kening Todoroki. "Kalau begitu, kau hanya Casanovaku. Casanova milikku."
Sudut bibir Todoroki tertarik lebih dalam lalu mengangguk samar. "Milikmu ... aku suka. Aku milikmu."
Mereka berhenti berdansa ketika musik menemui akhir. Namun, sorak sorai para tamu undangan tak membuat mereka sudi melepas dekapan. [Name] meraih tangan Todoroki, mengangkat jemari sang pria hingga sebatas bibir lalu mencium jari manis yang kini dihiasi oleh cincin pernikahan mereka.
"Mulai hari ini, tidak peduli di manapun kau berada, kau akan selalu menjadi milikku, Todoroki Shouto."
Todoroki menarik lembut tangan [Name], balas mengecup punggung tangan istrinya. "Dan kau milikku, Todoroki [Name]. Kekuranganmu tetap bagian dirimu. Tidak ada, sama sekali tidak ada, yang bisa mengubah perasaanku padamu."
Heterokrom mengunci cokelat. Mendapati netra kecokelatan itu bersinar dengan penuh kasih sayang. "Kau akan membuatku menangis Shouto."
Todoroki mengecup kening [Name] lamat, menuang seluruh emosi juga perasaan yang bergolak dalam diri tapi tak mampu terucap dalam kata. "Tidak apa-apa. Menangislah jika memang bahagia. Bahkan saat menangis pun kau tampak memukau seperti biasa."
Kau segalanya bagiku. Pusat dunia. Duniaku. Hatiku. Aku akan apapun untuk menjagamu di sisiku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top