Twenty Four
F E L I C I T Y
Semenjak mengetahui tentang kehamilannya dan mempublikasikan berita bahagia ini, [Name] mendapatkan banyak ucapan selamat juga seruan iri—baik karena berhasil memiliki Todoroki Shouto yang diminati oleh para wanita se-Jepang, juga iri karena perubahan sikap Todoroki setelah berita ini diumumkan. Sudah menjadi rahasia umum kalau Todoroki adalah pria yang protektif, selalu ingin memastikan [Name] tetap bernapas setelah misi berakhir. Namun, setelah kehamilannya? Sikap protektif pria itu melonjak drastis hingga ia tak bisa pergi atau melakukan apapun tanpa ditemani sang suami.
Di awal kehamilan, Todoroki bersikukuh untuk terus mengabarinya—meski hanya sesepele menu makan siang atau yang penting seperti misi berbahaya. Todoroki mengungkapkan kekhawatirannya, mengingat pada trimester pertama situasinya masih terlalu rentan untuknya dan calon bayi mereka. Wanita lain mungkin akan gerah dengan sikap Todoroki yang terkesan berlebihan, tapi [Name] menanggapinya dengan tawa dan membawa suaminya dalam pelukan.
Memasuki trimester kedua, Todoroki mulai membujuknya untuk mengambil cuti dari agensi. Cemas akan terjadi sesuatu saat bertugas, berkata bahwa jantungnya sudah cukup mendapatkan tekanan hebat tiap kali [Name] menerima misi besar yang sanggup merenggut dua orang paling penting dalam hidupnya. Selain itu, Todoroki tak ingin [Name] terlalu lelah atau stress dengan dokumen yang menumpuk. Bayangan [Name] yang menjadi target villain dengan tubuhnya yang sekarang terus menghantuinya hingga [Name] sendiri yang harus meredakan kegelisahan suaminya.
"Shouto, Sayang." [Name] menjulurkan tangan untuk menangkup pipi Todoroki. "Aku memang sedang mengandung, tapi aku masih bisa bertarung. Aku bisa bertarung jarak jauh dan mengulur waktu hingga kau datang jika memang diperlukan."
Todoroki menangkup punggung tangan [Name] di pipinya, memandang istrinya dengan tatapan kesungguhan dengan sirat memohon. "Aku tidak mau mengambil risiko sebesar itu. Bayarannya kalian berdua, [Name]. Aku tidak ingin kehilangan kalian."
"Kau takkan kehilangan kami, Shouto."
"Kalau begitu ambil cuti. Hanya sampai ia lahir," pinta Todoroki. "Setelah itu kau bisa kembali menjadi hero yang kubanggakan, tapi sampai ia datang aku ingin kau menjadi seorang ibu."
[Name] hanya bisa menurut. Ia yang paling tahu bahwa Todoroki mendambakan sebuah keluarga dan [Name] tidak akan merampas kesempatan bahagia itu dari suaminya.
Kemudian, ia langsung mengabari pihak agensi. Kabar cutinya disambut baik oleh pihak agensi—Shinsou menepuk bahunya sambil berkata bahwa ia akan rindu beraksi bersama. Sejak saat itu, Todoroki memang tidak seprotektif dulu, tapi suaminya masih enggan membiarkannya seorang diri terlalu lama.
"Salahkah jika aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya dan dirimu?" Todoroki mencebik, pipinya menggembung kesal. "Aku ... hanya ingin berada di sampingmu kalau kau membutuhkanku. Tidak ingin seperti dirinya."
[Name] menarik tangan Todoroki lembut, membawa sang pria agar bersandar di dadanya. "Kau berbeda dengan ayahmu, Shouto. Sangat berbeda. Kau akan menjadi ayah yang luar biasa untuknya."
"Berarti kuanggap kau setuju jika aku tidak mengambil lembur hingga persalinanmu," tukas Todoroki mengulas senyum.
"Aku tidak bisa mendebatmu lagi, kan?"
Todoroki membubuhi seluruh wajahnya dengan kecupan kecil sebagai respons.
Dihadapkan dengan tatapan memohon Todoroki, argumen yang berada di ujung lidah terpaksa ditelan kembali. [Name] tak sanggup menolak keinginan suaminya. Meski berat mengakui—karena keberadaan Shouto amat diharapkan oleh banyak warga, juga bahagia yang membuncah dalam dada, [Name] mengiyakan permintaan Todoroki.
Selain dari nasihat 'Kuharap performamu tidak menurun karena terlalu mengkhawatirkan [Name]-kun, Todoroki-kun' dan 'Memang sebaiknya kau berada di sisi [Name]-san sebagai antisipasi jika sesuatu yang buruk terjadi' agensi Todoroki sempat kecewa, tapi tak mendebat keputusan si pro-hero.
"Jepang masih punya pro hero lain untuk menyelamatkan mereka, tapi aku hanya punya kalian untuk bahagia," bisik Todoroki setelah menolak telepon dari agensi setelah shiftnya berakhir.
Bukan hanya kebutuhan untuk mengetahui keadaan [Name] hampir tiap menitnya, Todoroki membangun kebiasaan baru setelah kehamilannya. Pria yang biasanya lebih suka mengungkapkan sayang dalam ruang yang lebiih privasi dan intim itu semakin sering menyentuhnya. Pria yang biasanya dianggap 'berekspresi datar' oleh kebanyakan orang itu akan melayangkan protes dengan bibir mencebik jika [Name] tak membiarkan sang suami memeluk pinggangnya dengan sebelah lengan.
Bahkan Todoroki meminta [Name] untuk duduk manis dan memberi instruksi, mengusulkan agar ia saja yang masak. Tatkala potongan sayurannya tidak memiliki ukuran yang sama, Todoroki akan memberengut dan menyerahkan pisau dalam genggaman pada [Name]. Dengan berat hati mengisyaratkan [Name] untuk melanjutkan masakannya.
Kencan di luar rumah pun menjadi kesempatan lain bagi Todoroki untuk menunjukkan afeksinya di ruang publik. Mereka akan berjalan bersisian dengan lengan Todoroki merangkul pinggulnya, menyuarakan kekhawatiran bahwa ia akan kedinginan meski telah mengenakan mantel paling tebal, syal panjang yang melilit leher juga sepatu bot hangat.
Tidak ada komplen yang terucap ketika ia membangunkan Todoroki di tengah malam karena desakan untuk makan sesuatu yang manis atau asin. Pria itu akan menyuruhnya untuk berpakaian lebih hangat kemudian menggandeng tangannya menuju pasar swalayan terdekat—Todoroki beralasan bahwa ia tidak ingin [Name] kesepian selagi menunggunya. Pria bernetra heterokrom itu bahkan bersikeras untuk mendorong troli dan menggenggam tangannya secara bersamaan.
Saat Midoriya menyebutnya sebagai pria yang romantis, Todoroki memiringkan kepala bingung. "Bukankah tugasku sebagai seorang suami dan calon ayah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan istriku?"
[Name] harus menahan diri agar tidak tersipu.
[Name] mendesis kaget saat tendangan kecil menghantam perutnya. Matanya perlahan mengerjap, membiasakan diri dengan cahaya dari arah jendela. Ia berusaha mengingat apa yang ia lakukan sebelum tidur.
"Sayang, jangan ganggu istirahat Ibumu, ya?" bisik Todoroki lembut. Suaranya terdengar agak jauh dari telinga. "Semalam Ibumu tidak tidur nyenyak karena kau terlalu antusias. Jadi, biarkan ia tidur, oke?"
[Name] tersenyum simpul. Kelembutan juga kehangatan dan suara Todoroki menunjukkan seberapa besar kasih sayangnya untuk bayi mereka. Tangan besar yang berada di betis juga ciuman lamat di perut berhasil menyadarkan [Name] dari kantuknya.
Ia ingat beberapa jam lalu baru saja kembali dari pasar swalayan terdekat untuk membeli bahan makan malam ketika hujan deras membasahi tanah. Berjalan cepat dengan keadaannya sekarang, menumpukan seluruh berat badannya pada kaki membuat kaki [Name] membengkak. Todoroki berbaik hati menawarkan diri untuk memjiat kakinya selama beberapa menit.
Kini, hujan mulai mereda. Langit sudah lebih cerah dibandingkan beberapa jam lalu. Namun, ia masih enggan beranjak dari sofa, menikmati atensi yang diberikan oleh suaminya. [Name] terkesiap ketika kaki kecil menendang perutnya lagi. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam saat telapak tangan Todoroki mengusap perutnya seraya membisikkan sesuatu yang ditujukan pada anak mereka.
"Shouto ...," erangnya. Ia menggeliat, berusaha duduk dibantu oleh Todoroki.
"Aku di sini." Todoroki mencium keningnya sambil menyisir rambut istrinya dengan jari. Pria itu memangku kaki [Name] di atas pahanya. "Istirahat saja. Makan malam masih dua jam lagi."
[Name] menggeleng pelan. Ia merentangkan tangan, meminta Todoroki untuk mendekapnya,
Kekehan rendah mengudara bersamaan dengan Todoroki yang meletakkan kakinya di atas sofa dengan hati-hati lalu memosisikan diri duduk di belakang [Name]. Ia menyembunyikan wajah di kaus Todoroki, membiarkan indra penciumannya menghirup dalam aroma maskulin dari sang pria. [Name] mendesah puas.
Tidak ada tempat yang lebih nyaman daripada pelukan Todoroki. Kukungan lengan yang hangat, aroma menenangkan, sentuhan ringan dan bisikan lembut suaminya. Semuanya sempurna.
"Apa ia menyakitimu?" Todoroki menyandarkan kepalanya pada puncak kepala [Name].
"Tidak. Ia hanya senang bisa bicara dengan ayahnya," tawa [Name] pelan. Ia mendongak, beradu tatap dengan Todoroki yang sudah lebih dulu mengamatinya. "Bagaimana kalau anak kita akan mirip denganmu?"
Alis Todoroki terangkat. "Tapi aku lebih suka ia mirip denganmu."
[Name] mendengkut. "Kenapa begitu?"
Todoroki mengangkat bahunya. "Tidak ada alasan khusus. Hanya membayangkan kalau anak kita akan secantik ibunya dengan mata gelap yang bersinar polos. Sikapnya yang pantang menyerah dan keras kepala. Membayangkan kalau anak kita punya tawa yang sama denganmu saja sudah membuatku bahagia."
"Oh, Shouto..."
"Tapi aku hanya ingin ia sehat dan bahagia," imbuh Todoroki sembari mengetukkan jarinya di perut [Name]. "Aku ingin ia menjadi dirinya sendiri, mewujudkan mimpinya sendiri."
"Kalau begitu, ia akan mirip dengan ayahnya, kan?" tanya [Name] geli.
"Kurasa pada akhirnya, ia akan menjadi perpaduan kita berdua," sahut Todoroki seraya mengulas senyum.
"Menurutmu ia laki-laki atau perempuan?"
Todoroki termenung sejenak. "Aku tidak keberatan yang mana saja."
"Begitukah?" [Name] menautkan jemarinya dalam kepalan tangan Todoroki.
"Kalau ia laki-laki, hal pertama yang kuajarkan padanya adalah menyayangi dan menjaga ibunya," renung Todoroki. Terbesit kepingan memori penyesalan di masa lalu yang timbul kala tak bisa menjaga ibunya dari kekerasan sang ayah. "Ia harus bisa memperlakukan ibunya dengan penuh kasih sayang. Tidak boleh mengulang sejarah."
[Name] terdiam. Ia mengangkat jalinan tangan mereka hingga batas bibir lalu mencium punggung tangan Todoroki. "Bagaimana kalau ternyata ia adalah seorang perempuan?"
"Maka ia akan tumbuh menjadi gadis yang luar biasa seperti ibunya. Ia memiliki contoh yang menakjubkan untuk ditiru," cetus Todoroki mengulum senyum. "Tapi ada satu hal yang kutakutkan kalau ia adalah perempuan?"
Kening [Name] berkerut samar. "Apa itu?"
Todoroki menunduk. Netra heterkromnya berbinar cemas. "Aku takut masuk penjara karena menyakiti orang-orang yang melukainya. Anehnya, aku tak peduli dengan reputasiku sebagai pahlawan selama ia baik-baik saja."
[Name] tertawa lepas. Bagaimanapun manisnya Todoroki, ia sedikit terkejut menyadari ada sisi beringas yang muncul karena sikap protektif untuk keluarganya. Jika anak mereka benar-benar perempuan, [Name] harus ekstra sabar meyakinkan suaminya bahwa kekerasan adalah solusi paling akhir yang akan mereka ambil.
"Aku tidak bercanda, [Name]," tegur Todoroki serius. Ia mendorong [Name] menjauh untuk menegaskan perkataanya."Aku mungkin akan mencekik lalu membekukan orang-orang yang melukai gadisku."
"Aku tahu, aku tahu," kekeh [Name] masih belum bisa meredakan tawanya. "Aku tertawa karena kelihatannya kau benar-benar serius."
"Tidak pernah bercanda kalau bersangkutan denganmu atau anak kita."
"Karena itulah kau akan jadi ayah paling hebat untuk anak kita, Shouto," tukas [Name] cepat. Ia mencuri ciuman singkat di pipi suaminya. "Sekarang, bisakah kau memelukku lagi? Aku kedinginan."
Todoroki langsung mengaitkan kedua lengannya di tubuh [Name]. Kali ini Todoroki menuntun [Name] untuk berbaring menyamping agar kepala mereka bisa bersandar dengan nyaman di bantal. Kantuk mulai menyambut [Name] saat telapak hangat Todoroki mengusap perut dan membelai helaian rambutnya. Keningnya berkerut samar saat mendengar bisikan Todoroki.
"Kau mengatakan apa?"
"Bukan padamu," sahut Todoroki. "Aku sedang memberitahu anak kita betapa menakjubkan ibunya."
[Name] tidak menahan semburat tersipu yang menjalar di pipi dan lehernya. "Aku menyayangimu, Shouto."
Shouto berdehem pelan. Sapuan bibir pada kening [Name] dan remasan singkat di bahunya mengatakan isi hatinya. Lebih banyak aku, [Name].
"Seperti yang kukatakan, ibumu melakukan tugas yang luar biasa dan menjadi sangat kuat. Aku tak bisa menjabarkan bagaimana cantiknya ibumu. Mungkin bisa, tapi aku butuh selamanya untuk menyebutkan seberapa indah dan memesonanya Ibumu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top