Twenty Five
T H R O U G H O U T T H E Y E A R S
Hari itu adalah pertama kalinya [Name] menyaksikan Todoroki tersenyum lebar dengan bahagia. Netra heterokrom itu berkilau oleh air mata, tak menyangka bahwa akan datang harinya sebagai seorang ayah. Senyumnya tidak meluntur meski sudah lima jam setelah persalinannya selesai. Kedua lengan Todoroki menimang lembut bayi mereka. Untuk pertama kalinya, Todoroki benar-benar tersenyum bahagia. Hari kelahiran putra mereka.
Putra mereka lahir dengan rambut putih dan mata biru yang berbinar cerah. Ia diam-diam mengamati Todoroki yang terkekeh mendapati bahwa putra mereka serupa dengan sisi kanannya—minus mata biru yang mengingatkannya pada mata sang kakak.
"Kaito," putus Todoroki tanpa mengangkat kepala.
"Kau bilang apa?" [Name] mendongak, menatap Todoroki.
"Namanya Todoroki Kaito. Matanya mengingatkanku pada laut. Aku berharap ia memiliki sifat yang sama dengan namanya," cetus Todoroki penuh harap.
Ia tertawa kecil. "Maksudmu di hari yang baik, ia akan tenang. Saat suasana hatinya memburuk, ia akan menerjang seperti tsunami?"
Todoroki mencebik, menggelengkan kepala. "Bukan itu. Maksudku, aku ingin memiliki kasih sayang seluas lautan untuk orang-orang yang ia sayangi. Kuharap ia mampu menyapu habis siapapun yang melukai orang-orang yang ia sayangi."
Ia tersenyum lembut. "Aku suka namanya. Selamat datang ke dunia, Todoroki Kaito."
Hari itu, ia tidak banyak mendapat istirahat. Pasalnya, teman-teman mereka bergantian menengok anggota baru keluarga Todoroki. Ia tergelak setiap kali teman-teman mereka terkejut kala berjumpa dengan Todoroki yang tidak mengenakan atasan—suster dan dokter berkata bahwa kontak fisik secara langsung pada jam-jam pertama membantu bayi meregulasi temperatur, detak jantung, dan pernapasan. Fakta bahwa kontak fisik juga mengurangi intensitas bayi menangis benar-benar membantu.
Ia teringat dengan komentar Uraraka dan Iida saat melihat Todoroki yang tanpa atasan tengah menggendong bayi mereka di kamar rawatnya. "Astaga, Todoroki-kun! Kenapa tidak memakai baju di tempat seperti ini! Apa kata teman-teman lain ketika mereka berkunjung nanti?"
Todoroki sempat terhenyak mendengar komentar Iida hanya memiringkan kepala. "Di buku yang pernah kubaca, memeluk dan melakukan kontak kulit dengan bayi bisa membantu bayinya."
Sungguh. Melihat ekspresi teman-teman mereka yang terkejut dengan keadaan Todoroki yang bertelanjang dada sangatlah menghibur.
Nama Kaito juga harapan Todoroki pada putra mereka ternyata menjadi kenyataan. Semakin hari putra kecil mereka semakin mirip dengan ayahnya dalam hal protektif. Kaito hampir tak pernah absen menuntut cerita tentang apa saja yang dilakukan oleh sang ayah selama menjadi seorang pahlawan. Ia mendesak Kaito agar mengizinkannya untuk mendongeng menggantikan Todoroki jika suaminya pulang terlambat, tapi Kaito dengan keras kepala menolak.
Ia tidak tahu apa saja yang diceritakan oleh Todoroki pada putra mereka, tetapi [Name] tertegun saat suatu hari Kaito memeluk lehernya dan tersenyum lebar dengan empat gigi depan yang baru tumbuh.
"Au cayang ma!" seru Kaito sambil tertawa senang.
Aku sayang mama.
[Name] langsung memeluk putranya sambil menganggukkkan kepala. "Mama juga sayang Kaito."
"Cayang pa!" seru Kaito lagi menunjuk ayahnya yang tampil di berita sore ini.
"Sayang papa juga?" tanyanya memastikan.
Kaito mengangguk antusias. "Cayang ma! Cayang pa!"
[Name] memangku putranya, menatap iris biru yang familiar dengan pandangan mengabur oleh air mata. Dadanya sesak oleh afeksi dan kasih sayang yang ditujukan pada manusia kecil dalam dekapannya.
Malam itu, ketika ia menceritakan kejadian tadi sore, Todoroki tersenyum tipis. Suaminya mengangguk bangga lalu mengukung tubuhnya dalam dekapan hangat. Kecupan lamat disematkan pada keningnya.
"Sudah sewajarnya," ujar Todoroki. "Sejak kecil aku memastikan kalau Kaito paham bahwa ia harus menyayangi dan melindungi mamanya, sama seperti yang kulakukan."
Seolah takdir belum puas mempermainkannya, Kaito tumbuh menjadi Todoroki kedua. Hampir seluruh sifatnya merupakan tiruan Todoroki. Bagaimana putranya memiringkan kepala saat bingung, memandangnya dengan penuh harap ketika menginginkan sesuatu, marah ketika ia belum mencium kepala Kaito sebagai ucapan selamat malam dan ... sifat protektifnya.
Pertama kali quirk Kaito muncul, ia dan Kaito sedang berada di luar. Toko buku, lebih tepatnya. Kaito butuh buku mewarnai dan ensiklopedia tentang hewan dan tumbuhan sebagai bahan belajarnya sebelum masuk sekolah—ia ingin mengenalkan Kaito pada hewan dan tumbuhan sejak dini.
Saat itu seorang pria mendekatinya, kelihatannya tidak tahu bahwa ia adalah seorang underground hero dan istri dari Shouto. Pria itu memuji Kaito, berpendapat bahwa Kaito adalah anak yang tampan. Ia meresponsnya dengan ucapan terima kasih. Namun, Kaito tampaknya tak senang dengan perilaku pria asing ini. Alih-alih memeluk kakinya, Kaito berdiri di hadapannya sambil merentangkan tangan.
"Jangan ganggu mama!" kata Kaito tegas. "Mama sudah punya aku dan papa."
Anehnya, pria asing itu malah membeku dan berdiri kaku. Tatapannya menunjukkan kalau ia sama terkejutnya dengan [Name], tapi tak bisa melakukan apapun seolah-oleh tubuhnya tengah dikendalikan oleh seseorang.
"Terima kasih karena menemani mama selagi aku tidak ada, tapi aku minta agar paman segera pergi," ujar Kaito lagi.
Pria itu langsung memutar tubuhnya dan meninggalkan mereka dengan langkah kikuk.
Ketika pria itu sudah menghilang di balik rak buku, [Name] berlutut di depan Kaito seraya menangkup wajah putra mereka. "Kaito, apa yang baru saja kaulakukan?"
"Aku menyuruh orang lain yang menggoda mama untuk pergi," tukas Kaito sambil membusungkan dada. "Aku menuruti suruhan papa, mama!"
Oh astaga ... kini [Name] sepert memiliki dua penjaga. Jika tak ada Todoroki yang mengawasi maka Kaito yang akan berperan menjadi bodyguardnya. Dan ya, [Name] melihat bagaimana Todoroki mengusak puncak kepala Kaito dan mereka melakukan tos sebagai hadiah untuk tingkah 'heroik' Kaito sore ini.
"Pintar sekali. Putra ayah memang hebat," bisik Todoroki, menarik Kaito dalam pelukannya.
***
Kini, [Name] menonton dalam diam bagaimana suaminya berkompetisi dengan putra mereka yang telah menginjak bangku SMA. Kompetisi yang melibatkan dirinya sebagai objek yang harus diperebutkan oleh salah satu pihak. Todoroki merasa bahwa ia terlalu memanjakan Kaito padahal putra mereka bukan lagi anak kecil, sedangkan Kaito merasa bahwa ia masih berhak mendapatkan kasih sayang dari ibunya.
"[Name] adalah istriku, Kaito," tegas Todoroki. "Dan aku tidak akan menoleransi siapapun yang merebutnya dariku."
"Dan mama adalah mamaku, papa!" balas Kaito jengkel. "Apa papa cemburu pada putra papa sendiri?"
"Apa salahnya?" Todoroki mengangkat bahu acuh tak acuh.
"Yang benar saja?" mata biru Kaito beralih [Name]. "Apa mama mendengar papa? Papa cemburu padaku? Aku. Anaknya."
[Name] menyesap tehnya. "Papamu memang begitu sejak dulu. Menurutmu ia akan berhenti sekarang?"
Todoroki mencebik. "Hei, jangan bicara seolah aku tidak ada di depan kalian."
"Lupakan saja," tukas Kaito lelah. Ia mengambil tas dari sofa, menyempatkan diri untuk mengecup singkat pipi [Name]. "Katsumi sudah menungguku. Kami akan latihan, mungkin sampai malam."
"Jangan pulang terlalu larut! Antar Katsumi sampai rumah, kau dengar?"
"Aku tahu, Ma. Aku berangkat dulu!"
Atensi [Name] tertuang sepenuhnya pada sang suami yang masih memberengut kala pintu utama tertutup rapat. Todoroki menghampirinya dengan langkah panjang, mengempaskan tubuh di atas pangkuannya.
"Jangan bicara apapun," sela Todoroki sebelum ia bisa berbicara. "Aku tahu kedengarannya memang kekanakkan dan tidak seharusnya aku cemburu pada putraku sendiri. Ia juga berhak mendapatkan perhatianmu sebagaimana seorang ibu pada anaknya."
Jari-jarinya menyisir helaian rambut dwiwarna Todoroki. "Lalu, apa yang membuatmu gelisah, Shouto?"
"Sudah lama sejak terakhir kali kita memiliki waktu bersama," ucap Todoroki, menyembunyikan wajahnya di perut [Name]. "Aku tahu Kaito penting, tapi ... apa kita tidak lagi menjadi prioritas?"
Pertanyaan Todoroki memaksa [Name] untuk menggali ingatannya selama beberapa minggu terakhir. Mereka sibuk mempersiapkan Kaito untuk festival olahraga di sekolah di sela waktu luang. Mereka terlalu lelah untuk menghabiskan waktu berdua, langsung tertidur kala tubuh menyentuh ranjang. Terakhir kali mereka seperti ini adalah ketika Kaito masih berumur di bawah lima tahun.
Todoroki selalu sigap mendengar suara dari kamar Kaito hingga tidurnya tidak nyenyak. Pria itu ingin menjadi yang pertama menenangkan Kaito dari mimpi buruknya. Meluangkan waktu menceritakan kisahnya di masa lalu agar Kaito mengingat dengan baik apa-apa yang harus ia hindari agar tak berakhir sama seperti dirinya. Senyum bangga dan usakan pada puncak kepala yang telah menjadi bahasa 'bangga' Todoroki pada Kaito.
Sifat canggung suaminya tidak serta-merta hilang walau sudah beranak satu, begitu juga dengan karakternya yang kesulitan mengungkapkan rasa dengan kata-kata, tapi Todoroki berusaha. Ia berusaha menjadi sosok ayah yang baik untuk putra mereka. Tidak menghukum Kaito dengan kekerasan ketika putra mereka melakukan kesalahan, tidak membebani Kaito dengan ekspektasi yang terkesan mustahil diraih di usia muda. Todoroki benar-benar bertekad untuk berada sejauh mungkin dari satu-satunya figur ayah yang ia punya di hidupnya.
"[Name]?" suara Todoroki memaksanya kembali pada dunia nyata, melihat prianya telah menunggu jawaban.
"Kau dan Kaito adalah kebahagiaanku, Shouto," bisik [Name]. "Meski Kaito ada, kita tetap menjadi yang utama. Kita tetap prioritasku. Maaf karena aku sempat melupakan kita dan terlalu fokus pada Kaito."
Todoroki bangkit dan duduk di samping [Name], mengangkat tubuh [Name] lalu memosisikan wanita itu di pangkuannya.
"Maaf juga karena aku bersikap kekanakkan," gumam Todoroki membawanya ke dalam pelukan. Bibir sang pria menggapai pelipis [Name]. "Aku rindu menghabiskan waktu berdua."
Tangan besar Todoroki menangkup wajahnya, membiarkan jemari menyisir helaian rambut yang bersentuhan dengan telinga. Todoroki mencondongkan wajahnya hingga ujung hidung mereka bersentuhan. Napas mereka menyatu, saling membelai. [Name] seolah terhipnotis dengan afeksi intens dari suaminya. Netra heterokrom yang menenggelamkannya dalam lautan kasih sayang.
[Name] tidak bisa menahan diri untuk tidak memejamkan mata saat Todoroki membenamkan wajah di lekuk lehernya, membubuhi kulitnya dengan kecupan-kecupan ringan yang memabukkan.
"Shouto."
"Hm?"
"Apa kau bahagia?"
Todoroki menarik diri, namun enggan melepaskan [Name] dari pelukannya. "Tidak ada kata yang bisa menggambarkannya."
Sudut bibir [Name] tertarik lebih dalam, mengukir senyum yang paling dipuja oleh Todoroki. "Aku menyayangimu, Shouto."
Dekapan yang semakin erat juga belain hangat bibir Todoroki memberitahu seluruh hatinya. Dadanya bergemuruh oleh perasaan yang berkecamuk saat Todoroki berbisik.
Aku mencintaimu, [Name]. Aku mencintaimu sebagaimana matahari terbit setiap pagi, dengan pasti, tanpa gentar dan tidak mempedulikan seisi dunia. Aku yakin bahkan setelah ratusan tahun lamanya, bahkan ketika ingatanku direnggut paksa, aku akan tetap mencintaimu dengan cara yang sama, bahkan lebih dalam dari yang seharusnya.
This is it! The last chapter of this book!
Terima kasih banyak untuk kalian yang udah ngikutin buku ini dari awal, bahkan sampai sempet hiatus beberapa bulan dan book ini mengendap di perpustakaan kalian. Komen kalian tuh lucu-lucu banget dan tbh jadi motivasiku buat lanjutin book ini. Terima kasih juga untuk yang udah vote dan nunggu book ini sampai akhir.
See you guys on another book!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top