Twenty

P I E C E S  O F  M E M O R Y

Putih.

Todoroki mengerjapkan mata beberapa kali, tapi putih masih mendominasi. Telinganya menangkap suara konstan dari elektrokardiograf yang memantau ritme jantungnya. Ia mengerang ketika gelombang ngilu mendera kala mencoba menggerakkan tubuh. Namun yang paling menarik atensi adalah keberadaan seorang gadis di sisi ranjang. Gadis itu tengah menggenggam tangannya erat.

Dahinya mengernyit, menggali ingatan tentang identitas gadis di sampingnya tapi nihil. Memorinya tak mampu mengenali siapa wanita yang tertidur di ranjangnya ini.

Ia menahan napas ketika gadis itu menggumamkan sesuatu dalam tidur. Netra heterokromnya menyusuri rupa gadis itu dalam diam, mengamati bagaimana dahi gadis itu mengerut seolah mimpi mengusiknya. Senyum terulas tanpa bisa ditahan ketika helaian jelaga gadis itu turun menutupi pandangan. Mengikuti dorongan dalam diri, Todoroki menyibak rambut gadis itu dengan hati-hati.

Cantik. Hanya itu kata yang terlintas di benaknya ketika berusaha mendeskripsikan rupa gadis di sisinya. Diam-diam Todoroki penasaran dengan warna iris yang disembunyikan oleh kelopak mata itu.

Cokelat. Cokelat gelap.

Alisnya mengerut ketika jawaban itu terbesit dalam benak. Ia tidak mengenal gadis di sampingnya, lalu bagaimana bisa ia menerka warna mata gadis itu bahkan sebelum melihatnya? Aneh.

"Shouto ..."

Namaku? Ia memanggil namaku? Berarti gadis ini mengenalku?

Napasnya tercekat ketika gadis itu mengerang dan mengerjapkan mata. Beberapa detik kemudian netra heterokromnya bersirobok dengan iris cokelat gelap. Ah ... benar cokelat gelap ternyata.

Gadis itu terbelalak, tercengang melihatnya. Hal yang selanjutnya terjadi, Todoroki berada dalam pelukan hangat gadis itu.

"Shouto, syukurlah. Syukurlah kau tidak apa-apa."

Todoroki terdiam. Canggung dengan posisinya saat ini. Dipeluk oleh gadis asing yang tidak ia kenali, tapi sesuatu dalam dirinya turut menghangat menyadari betapa khawatirnya si gadis asing terhadap dirinya.

"Ada yang sakit?" tanya gadis itu. "Dokter bilang ada kemungkinan kepalamu sakit karena membentur beton."

Todoroki menggeleng pelan. "Sudah tidak terlalu sakit."

Gadis itu menghela napas lega, menarik diri darinya lalu duduk di kursi. Besar hasratnya untuk segera menarik tangannya dari genggaman sang gadis, tapi di sudut hatinya yang lain enggan menjauh dari rasa hangat yang ditawarkan.

"Bagaimana keadaanmu, Shouto?" tanya gadis itu lembut. "Mau kupanggilkan dokter?"

Sekali lagi Todoroki menggeleng. "Ada yang ingin kutanyakan padamu."

"Iya?"

"Siapa kau?"

Mata cokelat itu membulat, tampak tak percaya dengan pertanyaannya. Sedetik kemudian, gadis itu mengangguk paham lalu melepas genggaman tangan mereka. Todoroki mendapati dirinya ingin meraih jemari si gadis lagi, tapi ia menekan kuat desakan aneh itu.

"Aku [Name]," jawab gadis itu lemah. Ia bangkit dari kursi dengan gerakan kikuk. "Biar kupanggil dokter dulu, Todoroki-san."

Ia memandangi punggung gadis itu yang perlahan menjauh, merasakan dirinya kecewa ketika gadis itu memanggilnya dengan nama keluarga alih-alih nama kecilnya. Todoroki memandangi telapak tangannya. Masih tersisa kehangatan dari tautan jemari mereka dan ia tak sabar untuk mengecap kehangatan itu lagi.

***

Kepala yang membentur beton dalam misi terakhir juga akibat quirk salah satu villain yang mampu menghapus ingatanlah yang menjadi penyebab Todoroki kehilangan memorinya.

Ia tidak terlalu terpengaruh dari diagnosa ini—mereka sudah mendapatkan informasi dari kepolisian bahwa pengaruh quirk ini hanya akan bertahan satu minggu, tapi [Name]—gadis yang ternyata adalah tunangannya, jauh lebih terpukul mendengar berita ini.

Di hari ketiga ia bangun, dokter sudah mengizinkannya untuk pulang. [Name] berkata bahwa mereka sudah tinggal bersama setelah memulai karir sebagai pro hero. Gadis itu juga menawarkan diri untuk tinggal di tempat lain selama Todoroki kehilangan ingatannya, tapi ia menolak gagasan itu. Ia mungkin tidak mengenal siapa [Name] sekarang, tapi ia tahu gadis itu penting baginya.

Todoroki menelusuri keadaan apartemen mereka untuk yang kesekian kalinya sejak ia pulang. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam saat retinanya menangkap foto dirinya dan [Name], mungkin dalam photobooth karena ia berpose dengan kikuk—di kolase pertama dan kedua potret dirinya yang memandangi [Name] bingung sedangkan gadis itu tertawa geli, sementara pada kolase ketiga ia tengah merangkul bahu [Name] dan kolase keempat ia mencium pelipis [Name].

Ada papan gabus di ruang tengah dekat televisi yang berisi tentang pencapaian mereka selama menjadi pahlawan. Kebanyakan adalah berita tentang dirinya. Bagaimana ia berhasil meringkus villain setelah seminggu pengejaran atau potongan berita tentang wawanacaranya yang diambil dari koran.

"Astaga, Shouto." Ia menoleh ke arah sumber suara—ia bersikeras agar [Name] memanggilnya seperti biasa, sebelum ia lupa ingatan. "Sudah berapa kali kubilang, keringkan rambutmu dulu. Kau bisa masuk angin."

Todoroki mengulum senyum. Ia membiarkan dirinya diseret oleh [Name] untuk duduk di sofa. [Name] meraih handuk yang terkalung di lehernya, mengusak rambutnya pelan untuk mengeringkan sisa air yang masih membasahi rambutnya.

"Kau baru saja keluar dari rumah sakit, jangan sampai sakit lagi," gerutu [Name]. "Memangnya kau mau agensi melarangmu untuk bekerja lebih lama, hm?"

"Aku baik-baik saja, [Name]," katanya menenangkan. "Tubuhku bisa meregulasi temperatur dengan sendirinya, ingat?"

"Bukan berarti kau bisa ceroboh begini, Shouto." Todoroki terkekeh ketika [Name] mengusak kepalanya dengan sedikit kasar, kesal lantaran ia selalu punya jawaban untuk tiap argumen mereka. "Sudah banyak penggemarmu yang menunggumu kembali, tahu. Setidaknya jaga kesehatanmu untuk mereka."

Todoroki tak lagi mendengarkan nasihat [Name] ketika matanya menangkap kilauan cincin yang melingkar di jari manis sang gadis. Ia meraih tangan [Name] lembut, mengabaikan pandangan penuh tanda tanya dari sang gadis.

"Aku sudah melamarmu, kan?" tanya Todoroki yang dibalas dengan anggukan bingung [Name]. "Boleh aku tahu kapan dan bagaimana aku melamarmu?"

[Name] tercenung sejenak, memandangi cincinnya dengan pandangan menerawang. "Kau melamarku sekitar sepuluh bulan yang lalu. Saat itu kita berada di Okinawa untuk menangkap buronan internasional yang bersembunyi di Jepang. Entah kenapa, kau merasa bahwa malam itu bisa jadi malam terakhir kita dan kau memintaku untuk menikah denganmu saat misi selesai nanti."

"Berada di situasi berbahaya seperti ini mengingatkanku pada fakta bahwa masih ada yang ingin kulakukan sebelum tiada. Aku ingin menikahimu jika diizinkan. Jika kita berdua selamat setelah ini, maukah kau menikah denganku?"

Kalimat-kalimat itu meluncur dari bibirnya dengan mudah seolah ia sudah latihan berulang kali. Ia mendongak ke arah [Name]. "Apakah itu yang kukatakan?"

[Name] mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Kata perkata. Semuanya tepat. Apa ... kau sudah mendapat ingatanmu kembali?"

Todoroki mengulas senyum minta maaf lalu menggeleng. "Belum. Maaf."

[Name] membasahi bibir, menarik napas lalu menganggukkan kepalanya mengerti. Gadis itu berusaha mengulas senyum kecil. "Tidak apa-apa. Jangan terlalu dipaksakan. Kita tidak ingin kepalamu terlalu sakit, kan?"

Ia membencinya. Ia benci ketika mata [Name] berkaca-kaca karena kecewa. Ia benci ketika gadis itu berusaha memamerkan senyum untuk menenangkannya meski batin gadis itu bergemuruh. Ia benci ketika ia tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkan hati sang hawa.

Ia memandangi [Name] yang menghilang ke dapur. Tangannya mengepal, mengutuk jangka waktu quirk villain yang merenggut ingatannya. Satu minggu terlalu lama. Terlalu menyiksa. Sungguh. Ia tak masalah kehilangan ingatannya saat ini, setelah satu minggu berlalu ia akan mendapat ingatannya kembali. Namun bagaimana dengan [Name]? Gadis itu kerap menatapnya penuh damba seolah-olah berharap ia kembali menjadi Todorokinya yang dulu.

Sial. Sekarang ia cemburu dengan dirinya yang mengenal [Name] lebih dalam. Ia cemburu pada dirinya yang mampu membahagiakan [Name] alih-alih pria yang lupa ingatan dan terus-menerus menyakiti wanitanya.

Todoroki meraih handuknya yang setengah basah, melangkahkan kakinya menuju kamar tidur. Ia melempar asal handuknya lalu duduk di sisi ranjangnya. Bergerak mengandalkan insting, ia menarik laci paling bawah meja nakas.

Matanya membola melihat kotak biru beludru yang ia sembunyikan di antara pernak-pernik lain—yang ia ingat adalah pemberian [Name]. Ia membuka kotak itu dengan hati-hati. Cincin platina dengan butiran batu topaz di sekeliling. Ia ingat berdiri hampir setengah jam untuk memilih batu yang cocok untuk menggmabarkan sosok [Name]. Ia ingat menimbang berbagai macam pilihan desain karena ia ingin cincin pernikahan [Name] hanya satu-satunya di dunia.

Todoroki ingat di hari minggu nanti mereka akan bertemu dengan pihak florist untuk menentukan bunga yang akan mereka gunakan di hari pernikahan. Ia juga ingat [Name] mengomel ketika ia mengusulkan soba untuk dijadikan hidangan di hari besar mereka. Ia ingat ekspresi [Name] yang antusias ketika memilih gaun dan bagaimana ia melontarkan pendapat tentang gaun yang mana saja akan memukau jika dikenakan oleh tunangannya.

"Shouto?" [Name] muncul dari balik pintu. "Makan siang sudah siap. Ayo makan dulu, setelah itu minum obat."

Kening Todoroki berkerut samar. "Kau mau kemana?"

"Ada yang harus kulakukan. Kau tidak apa-apa sendirian di rumah, kan?" tanya [Name] sambil meraih syalnya. "Aku akan kembali sebelum makan malam."

Todoroki mencebik. "Jangan terima usul mereka menggunakan gedung di tengah kota. Aku lebih suka kalau acaranya di pinggiran kota saja."

[Name] menoleh bingung. "Tidak ada yang menyebutkan tentang gedung, Shouto. Lagipula darimana kau tahu aku akan bertemu dengan ..."

"Dengan penyelenggara acara, kan? Kau ada janji untuk menentukan tempat yang akan kita sewa untuk bulan depan?" tanya Todoroki memastikan.

Mata [Name] melebar. Gadis itu tampaknya tak berani untuk berharap banyak. Ia berjalan perlahan mendekati Todoroki dengan tangan terulur, seolah memastikan bahwa yang baru saja Todoroki ucapkan bukanlah mimpi belaka.

"Kenapa kau diam saja?" Todoroki memiringkan kepala bingung. "Aku sudah ingat [Name]. Aku tidak tahu bagaimana, mungkin efek dari quirk villain itu tak bertahan lama padaku atau mungkin karena ia sudah dieksekusi, aku tidak tahu. Tapi, aku sudah ingat..."

Tiba-tiba saja tubuh Todoroki terjungkal ke belakang. Ia menahan diri untuk tidak mengaduh ketika tubuh [Name] menubruknya. [Name] melingkarkan kedua lengan di leher Todoroki dan memeluknya erat.

"Kau sudah kembali," gumam [Name] di bahu Todoroki.

Todoroki menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan perlahan. Ia lega. Ia sangat lega telah menjadi Todoroki yang dikenal gadis itu lagi. "Aku sudah kembali [Name]. Aku kembali."

"Jangan menakutiku seperti itu lagi," isak [Name] tertahan. "Jangan menatapku seakan aku adalah orang asing lagi, Shouto. Jangan lagi."

Todoroki menghirup aroma tubuh [Name] dalam-dalam. Ia akhirnya merasakan damai. Berada dalam pelukan gadis yang paling ia sayangi. "Tidak. Tidak akan lagi. Aku berjanji."

Beberapa hari belakangan sudah cukup menyiksa baginya. Bukan karena ia yang terluka, melainkan karena [Name] yang sengsara. Dan itu sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk lima kali lebih hati-hati ketika menjalankan misi.

Karena ia tidak ingin kehilangan [Name] dan sebaliknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top