Twelve
F A M I L Y
Sudah beberapa minggu setelah Todoroki mengabarkan bahwa keadaan ibunya telah membaik, tetapi mereka belum ada waktu untuk menemuinya. Seperti yang sudah [Name] duga, jadwal yang diberikan Aizawa-sensei pada mereka sangat padat dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi pahlawan. Sulit mencari waktu disela kesibukannya untuk pergi ke luar asrama. Ia tidak menyangka di hari minggu memasuki musim dingin, Todoroki kembali menyuarakan ajakannya.
"[Name], mau menjenguk ibuku tidak?"
Pertanyaan itu terlontar mendadak. [Name] yang tengah mencicil pekerjaan rumah yang diberikan oleh Cementoss hampir mencoret bukunya karena terkejut. Bukan tanpa alasan, ia sudah merencanakan hari ini menjadi hari santai yang dihabiskan dengan mencicil tugas dan berlatih. Tentu ia terkejut dengan ajakan kekasihnya.
"Serius?" [Name] beralih fokus pada Todoroki, menutup buku tugasnya. "Apa tidak masalah jika kita datang tanpa memberitahu ibumu?"
Todoroki berdehem pelan seraya menutup pintu kamar [Name]. Pemuda itu mengusap tengkuknya canggung, memalingkan wajahnya yang sedikit memerah. "Sebenarnya Ibu yang segera ingin bertemu denganmu karena aku ...mu ...ponselku."
"Apa?" dahi [Name] mengerut. "Ulangi sekali lagi. Suaramu tidak terdengar."
"Ibu ingin bertemu denganmu karena aku menggunakan fotomu sebagai wallpaper di ponselku," ulang Todoroki setengah kikuk.
[Name] tertawa kecil ketika Todoroki menghambur padanya, menyembunyikan wajah yang menghangat di lekuk lehernya. Pemandangan yang jarang terjadi mengingat Todoroki terkenal dengan ekspresi datar juga pribadi yang kalem. Ia mengusap punggung kekasihnya sebagai upaya untuk mengurangi rasa malu Todoroki.
"Kenapa malu begitu?" tanya [Name], masih belum meredakan tawanya. "Aku juga menggunakan fotomu sebagai lock screenku kok."
Todoroki mengubur wajahnya lebih dalam, mengeratkan rengkuhannya pada pinggul [Name]. "Ibu dan Oneesan sudah menggodaku saat aku terakhir kali berkunjung. Kata mereka aku tersenyum sendiri saat bertukar pesan denganmu. Oneesan bilang tidak salah kalau aku memilihmu, karena kau cantik."
Seharusnya Todoroki yang malu karena digoda oleh kakak dan ibunya. Namun, mendengar cerita kekasihnya juga pujian yang terlontar oleh Fuyumi setelah mengetahui rupanya, [Name] tidak bisa menahan rona merah yang menjalari wajah hingga leher.
"Sudah. Jangan diteruskan," gumam [Name] ketika Todoroki kembali melanjutkan cerita tentang bagaimana sang Ibu mengatakan betapa beruntungnya ia berhasil mendapatkan gadis semanis [Name].
Todoroki mengangkat kepalanya heran. "Kenapa? Ibu benar kok. Kau memang manis."
Kini, giliran [Name] yang menyembunyikan wajah dari pandangan Todoroki. Sudah beberapa bulan sejak hubungan mereka diresmikan, tetapi [Name] masih belum terbiasa dengan sifat Todoroki yang blak-blakan saat memujinya. Pemuda itu bermulut manis tanpa ia sadari, berpikir bahwa ia hanya mengutarakan fakta dan bukannya merayu.
"Kenapa mukamu memerah?" Todoroki menangkup wajahnya, membelai tulang pipinya dengan ibu jari. "Jadi mirip apel. Gemas."
"Bicara apa kau ini!" [Name] menepis tangan Todoroki yang mencubit pipinya. Todoroki terkekeh pelan. "Sudah minta izin pada Aizawa-sensei untuk menemui ibumu, belum?"
Todoroki mengangguk. "Kita diperbolehkan pergi asal pulang sebelum jam malam."
Senyumnya mengembang sumringah. Bayangan tentang bertemu dengan Ibu kekasihnya membuat benaknya diselimuti dengan perasaan gugup, tapi tidak bisa menampik bahwa ia sangat antusias untuk bertatap muka dengan sosok yang melahirkan Todoroki.
"Kalau begitu, aku siap-siap dulu," ucap [Name] seraya menarik diri dari rengkuhan Todoroki. "Kau tunggu di lantai satu. Aku akan selesai dalam lima belas menit."
***
[Name] sudah menduga bahwa Todoroki Rei adalah wanita yang cantik—mengingat bagaimana rupa putranya, tapi pembawaannya yang lembut juga ramah menambah kelegaan dalam hatinya. Apalagi saat Rei tersenyum ketika ia menyerahkan sebuket lili putih. [Name] yakin bahwa ketampanan Todoroki menurun dari Ibunya.
"Terima kasih bunganya [Name]," senyum Rei lembut. Ia menepuk sisi kasur, mengisyaratkan agar [Name] duduk di sebelahnya lalu memandang putra bungsunya. "Shouto, bisa minta tolong carikan vas bunga? Sayang sekali kalau bunga secantik ini segera layu."
Todoroki mengangguk kecil. Ia menyerahkan jaketnya pada [Name] sebelum pergi keluar ruangan untuk meminta vas bunga dari perawat yang menangani ibunya.
"Akhir-akhir ini Shouto mudah sekali tersenyum," cerita Rei. Senyumnya belum memudar. "Dulu ia adalah pribadi yang tertutup. Aku mendengar cerita dari Fuyumi kalau ia hampir tidak punya teman. Ekspresinya datar dan emosi yang terpendam membuatnya dijauhi oleh sekitar meskipun quirknya kuat. Namun, sejak pertama kali menjengukku hingga saat ini, aku sudah banyak melihat perubahan pada dirinya."
Sudut bibirnya tertarik, teringat bagaimana impresinya pada Todoroki saat pertama kali mereka bertemu.
"Aku yakin perubahannya karena sekarang ia memiliki teman juga dirimu. Terutama dirimu," Rei menangkup wajah [Name] hati-hati. Usapan pelan pada pipinya memberikan sentuhan khas seorang ibu. Sentuhan yang sudah lama tidak ia dapatkan. "Aku gagal menjadi seorang Ibu bagi Shouto saat kecil. Sekarang aku hanya bisa memandang pertumbuhannya dari jauh. Kutitipkan Shouto padamu ya."
[Name] meremas tangan Rei pelan, menggeleng. "Rei-san adalah ibu yang luar biasa untuk Shouto. Dukunganmu dulu yang membentuk Shouto menjadi calon pahlawan hebat hari ini."
"Aku bersyukur Shouto bertemu denganmu, [Name]," Rei terkekeh lalu membelai puncak kepala kekasih putranya. "Kau gadis yang baik."
[Name] menggigit bibir, menahan malu. Pujian atau kritik mengenai quirknya memang bukan hal yang aneh, tetapi pujian tentang kepribadiannya masih asing bagi [Name]. Memori semasa kecilnya yang penuh dengan cemooh perlahan terkikis oleh hangatnya afeksi yang ditawarkan oleh Todoroki Rei.
"Aku yang beruntung karena bisa menarik perhatian Shouto," sanggah [Name] cepat. "Menjadi salah satu gadis yang berhasil berbicara dengannya saja sudah sangat luar biasa."
Sebelah alis Rei terangkat. "Ara... Ia sangat populer di sekolahnya?"
[Name] mengangguk. "Banyak gadis yang menyukainya. Bahkan rela menunggunya di luar gimnasium tempat kami biasa latihan untuk sekedar melihatnya. Walaupun tidak ditanggapi oleh Shouto sih."
Rei terkekeh pelan. "Begitukah? Sepertinya ia masih kesulitan memahami perasaan orang lain. Anak itu cenderung berpikir satu arah dan mengabaikan hal lainnya, tabiatnya sejak kecil."
[Name] menyetujui ucapan Rei. Ia kembali bercerita mengenai keseharian Todoroki di sekolah, termasuk kebiasaannya yang mudah tertidur di berbagai kesempatan baik saat di bus menuju USJ maupun saat menentukan Raja Kamar. Rei tampak bersemangat mendengar ceritanya, berkata bahwa Todoroki hanya menulis tentang kelas tambahan juga perkembangan teman-temannya dalam surat.
"Shouto juga bercerita tentang keadaanmu, [Name]," papar Rei sambil membelai rambut [Name]. "Bagaimana kau diperlakukan di rumah tentu tidak bisa dibenarkan. Mungkin terdengar munafik karena dulu aku yang menyakiti Shouto. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau selalu punya tempat di sini, [Name]."
[Name] terdiam. Pandangannya mengabur sesaat setelah ia meresapi ucapan Rei. Ia yang sejak lama telah diabaikan oleh keluarga karena sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan—bahkan sesuatu yang tidak bisa ia pilih, kini diberitahu bahwa ia diinginkan di suatu tempat.
"Kemari," Rei menarik [Name] dalam pelukannya. "Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja."
Pelukan seorang Ibu. Sesuatu yang sudah lama tidak Ia rasakan.
[Name] menarik diri ketika pintu ruangan dibuka. Todoroki masuk sembari membawa vas bunga bening berukuran sedang yang sudah terisi air setengahnya.
"Maaf lama. Perawatnya sempat lu—[Name], ada apa denganmu?"
Rei tertawa kecil ketika Todoroki menaruh vas terburu-buru dan langsung menghampiri [Name]. Putranya menangkup wajah sang kekasih dengan hati-hati, tatapannya memancarkan kecemasan, butuh penjelasan atas apa yang terjadi selagi ia tidak ada.
"Aku tidak apa-apa. Sungguh."
"Ibu. Kenapa [Name] menangis?" iris heterokromnya beralih pada sang Ibu yang masih belum melunturkan senyum.
"[Name] adalah gadis baik, Shouto. Jaga dia dengan benar," tangan Rei terjulur, mengusak rambut putranya. "Jangan disakiti. Sayangi dia, Shouto. Jangan sampai gadis sehebat ini dibiarkan pergi."
[Name] mengulum senyum saat Todoroki menggamit jemarinya. "Tenang saja, bu. Aku tidak berniat untuk melepaskan [Name]. Ia terlalu berharga bagiku."
Rei terkekeh geli sementara [Name] kembali menutupi wajah dengan sebelah tangannya yang bebas, malu mendengar ungkapan perasaan Todoroki yang gamblang di depan ibunya. Mukanya kian memerah ketika mendengar gumaman Rei.
"Mungkin aku harus menyiapkan tanggal pernikahan lebih cepat."
Finally update setelah sekian lama gak muncul di book ini!!!
Akhirnya kalian udah dikenalin nih ke keluarganya Shouto. Gimana nih menurut kalian?
Happy reading everyone!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top