Ten

H O S T A G E

Jadi, sebelumnya aku sudah sempat singgung kalau [Name] ditahan sama Liga Penjahat bareng Bakugou. Nah ini ya penjelasannya.

Sekujur tubuhnya menjerit ngilu. Kepalanya berdentum. Telinganya menangkap suara asing. [Name] mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk sembari berusaha mengingat apa yang terjadi padanya. Matanya terbelalak begitu menangkap sekitar.

Ruangan dengan cahaya temaram khas bar. Di satu sudut berdiri beberapa orang asing yang menginvasi acara pelatihan mereka, ada juga warp gate yang menyerang USJ beberapa waktu lalu. Di sebelahnya ada Bakugou dengan kedua tangan terbelenggu dan diikat di kursi, sementara dirinya tidak jauh berbeda.

"Akhirnya sadar juga, [Name]. Salah satu murid berpotensi UA," suara serak yang menyapanya datang dari sosok pria dengan wajah tertutup telapak tangan, Shigaraki.

[Name] menarik napas dalam-dalam, mencoba tenang di tengah kepanikan yang mulai merayapi benak. Ia melirik Bakugou, tetapi pemuda itu menggeleng pelan memberi isyarat untuk tidak bersuara dengan tatapan tajamnya.

"Ah, mungkin kau tidak ingat," Shigaraki menoleh ke arahnya, juga gadis dengan seragam sekolah tampak menaruh minat padanya. "Kami menculikmu di tengah hutan. Caranya memang agak kasar, tapi kami tidak bisa membiarkanmu terluka. Quirkmu semakin merepotkan jika tubuhmu tergores sedikit saja."

Tidak ada sahutan. [Name] memilih bungkam. Ia ingin tahu apa tujuan Liga Penjahat menculiknya dan Bakugou. Sesaat, ia teringat pesan Mandalay bahwa Liga Penjahat mengincar siswa, salah satunya Bakugou. [Name] tidak menyangka bahwa ia termasuk dalam daftar incaran kumpulan villain ini.

"Mengapa semua pahlawan dikritik?" Shigaraki kembali berucap setelah menonton konferensi pers UA. "Cara para pahlawan menangani berbagai hal tidak menimbulkan kesan mendalam. Apa karena tugas mereka? Bukankah mereka masih manusia yang melakukan satu atau dua kesalahan."

Matanya memicing, tidak suka arah pembicaraan yang memojokkan para pahlawan. Di sebelahnya, Bakugou bereaksi sama. Meski memiliki cara pandang yang berbeda terhadap sosok pahlawan, [Name] yakin Bakugou membenci ocehan Shigaraki.

"Setelah pahlawan mendapatkan kompensasi untuk melindungi masyarakat, mereka sudah bukan pahlawan lagi. Itulah yang diajarkan oleh Stain," sahut sosok kadal yang mengenakan syal.

"Pertarungan kita ditujukan untuk menjawab pertanyaan. Apa itu pahlawan? Apa itu keadilan? Kita harus memikirkan itu semua," lanjut Shigaraki. Mata merahnya menyalang dari balik rambut dan jemari yang menutupi wajah. "Kita semua berencana untuk menang. Kalian berdua suka dengan kemenangan kan?"

[Name] mendengus kecil. Apa yang dikatakan oleh Shigaraki tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Kemenangan bagi tiap orang memiliki definisinya masing-masing. Walau tidak terlalu dekat dengan Bakugou, ia tahu bahwa kemenangan mutlak bagi pemuda itu adalah menjadi pahlawan nomor satu. Sedangkan bagi dirinya, kemenangan adalah ketika opini tentang dirinya yang menjadi villain sirna karena kepercayaan orang-orang yang diselamatkannya.

"Biar kukatakan sekali lagi. Apakah kalian mau bergabung denganku, Bakugou-kun, [Name]-kun?"

Ajakan bodoh. Mana mungkin ia menerima tawaran seperti itu.

"Sekolah kepahlawanan seperti UA tidak akan bisa mewadahi bakat sehebat dirimu, [Name]," Pria berambut hitam dengan jubah berwarna serupa ikut menimpali. "Quirk berbahaya sepertimu, mereka hanya akan memandangmu rendah lalu membuangmu ketika bakatmu tidak dibutuhkan."

"Quirk darah yang mirip seperti Stain," seru pria kadal antusias. "Kau memang ditakdirkan untuk mengikuti jalan Stain. Jangan sia-siakan bakatmu untuk sesuatu yang sepele seperti menjadi pahlawan. Jika digunakan dengan benar, kemampuanmu bahkan bisa melebihi Stain."

Tubuhnya gemetar menahan amarah. Ini bukan pertama kalinya seseorang berkomentar mengenai kemampuannya yang cocok untuk menjadi penjahat. Namun, dipuji oleh seorang penjahat bahkan dipercaya mampu mengalahkan salah satu penjahat paling diincar, bukanlah sesuatu yang ingin ia dengar. Lebih dari apapun, ia benci dengan orang-orang yang menilainya hanya dari quirk saja.

[Name] menggigit bibir keras. Ia hanya perlu sedikit darah untuk mengendalikan Shigaraki. Hanya sedikit. Namun, desis tajam dari Bakugou menghentikannya. Ia melirik Bakugou dengan sebelah alis terangkat, tetapi temannya mengerutkan alis.

Belum waktunya. Itu pesan yang ingin disampaikan oleh Bakugou.

Sekali lagi, [Name] mencoba menenangkan diri di tengah badai kecemasan juga takut yang menghantam dirinya. Ia meyakinkan diri bahwa berpikir dengan kepala dingin adalah salah satu cara untuk kabur. Dalam hati batinnya mengulang satu kalimat bagai mantra tanpa memalingkan perhatian dari kerumunan villain di hadapannya.

Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja. Jalan keluar bisa ditemukan jika aku berpikir jernih.

"Dabi lepaskan borgol mereka," suruh Shigaraki.

"Eh, mereka bisa menyerangmu lho," Dabi menatap aneh Shigaraki. [Name] menyeringai, dalam hati membenarkan.

"Tidak masalah," Shigaraki mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kita harus memperlakukan mereka setara mengingat kita sedang mengintai mereka."

Dabi menyuruh pria bertopeng bernama Twice untuk membuka borgol mereka. Satu lirikan. Hanya itu yang dibutuhkan baginya untuk mengerti bahwa ini momen yang tepat untuk menyerang balik. Sesaat setelah Bakugou meledakkan wajah Twice, [Name] menggigit bibir keras sekaligus mencoba menggores lengannya.

"Orang bodoh memang suka bicara melantur. Aku sampai muak mendengarnya," geram Bakugou, bersiap dalam posisi bertarung. "Aku ingin menang seperti All Might."

"Tidak peduli perkataan orang-orang, aku akan menjadi pahlawan dengan caraku sendiri," [Name] mengerutkan dahi, fokus mengendalikan darahnya. "Tawaran remeh darimu tidak akan bisa mengubahnya, dasar sampah."

Ejekan juga ancaman yang dilontarkan dari anggota Liga penjahat lain sempat menggoyahkan hatinya, tetapi [Name] menepis pikiran buruk. Tangannya mengepal kuat, penuh kepercayaan diri ketika Aizawa-sensei yakin dengan tekadnya dan Bakugou, percaya bahwa mereka tidak mudah terpengaruh.

Sebelum [Name] dan Bakugou mampu melancarkan serangan, ada ketukan di pintu masuk. Hal yang terjadi selanjutnya adalah kedatangan All Might juga para pahlawan.

***

Genggaman tangannya tidak mengendur.

Memanfaatkan momen perhatian para villain teralih oleh kedatangan Midoriya, Kirishima dan Iida juga ledakan besar Bakugou, Todoroki memberi sinyal pada [Name] untuk segera mengikutinya. All for One disibukkan dengan All Might hingga tidak berkutik ketika [Name] hilang dari kerumunan.

Sejak saat itu tangan Todoroki membungkus erat jemari [Name]. Setelah beberapa hari dihantui rasa bersalah karena tidak bisa menggapai [Name] yang berada di depan mata, Todoroki butuh merasakan keberadaan gadisnya. Hatinya butuh tahu bahwa [Name] nyata dan sudah kembali di sisinya.

Mereka menyaksikan kemenangan All Might dari layar besar di tengah keramaian. Ketika berkumpul kembali dengan keempat temannya yang lain, baik [Name] maupun dirinya masih belum angkat suara. Bahkan setelah mengantar [Name] dan Bakugou ke kantor polisi, Todoroki masih belum sanggup mengutarakan isi pikirannya.

Polisi melarang tegas Bakugou dan [Name] untuk keluar rumah, takut mereka akan menjadi target lagi. Namun, Todoroki tahu bagaimana keadaan rumah [Name]. Selang sehari setelah penyelamatan [Name], Todoroki memutuskan untuk mampir ke rumah gadisnya.

Alih-alih mendengar himbauan polisi, Todoroki menemukan [Name] duduk di bangku taman. Dari jauh, ia tidak bisa mengamati ekspresi macam apa yang hadir di wajah kekasihnya. [Name] menatap kedua tangannya. Rambut dan sebagian wajah tertutup oleh tudung hoodie yang dikenakan.

"Bukankah polisi melarangmu untuk keluar rumah?" Todoroki duduk di sisi [Name], sengaja membiarkan sisi lengannya bersentuhan dengan lengan [Name].

[Name] berdehem pelan. Gadis itu mendongak seraya mengulas senyum tipis. "Aku senang kau baik-baik saja, Shouto. Kupikir kau akan terluka karena kau sekelompok dengan Bakugou ketika villain mengincarnya."

"Aku baik-baik saja," cetus Todoroki menenangkan. Ia mendorong tudung yang menutupi wajah [Name]. "Kau menghindari pertanyaanku."

"Tidak ada yang mengkhawatirkanku di sana," [Name] tersenyum getir. "Mungkin mereka lebih senang jika aku memilih bergabung bersama Liga Penjahat daripada kembali. Ditambah lagi, All Might menjadi seperti itu karena menolong kami."

Todoroki menyibak helaian rambut [Name] yang menutupi pandangan. Ia menangkup pipi [Name] lembut. "Kemari."

Ia membiarkan [Name] menghambur padanya. Todoroki tidak keberatan meminjamkan bahu dan dadanya sebagai tempat [Name] bersembunyi dari dunia sejenak. Membayangkan dirinya yang berada di posisi [Name], mungkin saja ia tidak sanggup menahannya seorang diri. Dan ia berniat untuk tidak meninggalkan [Name] di fasa jatuhnya.

"Terima kasih karena telah bertahan di situasi sulit," bisik Todoroki di puncak kepala [Name]. Ia mengusap punggung [Name] perlahan. "Terima kasih karena tidak gentar dengan tawaran mereka. Terima kasih telah kembali padaku."

Entah kenapa, ucapannya malah memancing tangis [Name]. Ia tidak ambil pusing dengan kondisi kaus dan kemejanya. Bukan itu masalahnya. Todoroki hanya tidak suka melihat air mata menghiasi rupa gadis kesayangannya.

"A-aku tidak ingin mereka menculikku," isak [Name]. "Aku tidak ingin menjadi penjahat. Bukan aku yang meminta untuk lahir dengan kemampuan ini. Kalaupun bisa memilih, aku lebih suka quirk yang menyembuhkan, quirk yang terkesan sangat pahlawan. Aku tidak pernah minta untuk dilahirkan seperti ini Shouto!"

Hatinya bagai diremas kuat lalu dihantam oleh gada berduri. Sakit. Teriakan gadisnya dalam isakan dengan nada lirih, mengaburkan pandangannya. Todoroki ikut sakit bersama [Name]. Ia turut bersedih bersama gadisnya.

Todoroki menyisir rambut [Name] dengan jarinya. Gestur yang sering dilakukan [Name] ketika menenangkannya. "Aku tahu, [Name]. Aku tahu."

[Name] mencengkeram kemeja Todoroki. "Harus lebih kuat. Aku harus lebih kuat supaya menang melawan penjahat. Agar tidak ada lagi orang-orang sepertiku yang disalah pahami. Aku akan menyelamatkan diriku dan menolong mereka."

"Pasti akan terwujud," Todoroki mengeratkan rengkuhannya, menawarkan perasaan aman juga kasih sayang pada gadisnya. "Kau kuat [Name]. Tidak hanya menolong dirimu, tapi kau juga sanggup membantu orang lain."

"Kau berpikir begitu?"

"Aku tahu pasti begitu," Todoroki menjauhkan diri, beradu tatap dengan netra [Name] yang berkilau akibat air mata. "Sampai pada titik ini pun, kau sudah membuktikan kalau kau kuat. Aku bangga padamu. Bangga pada gadisku yang hebat."

Ia tidak mengantisipasi tawa renyah [Name]. Bahkan saat jejak air mata masih membasahi pipi, sudut mata yang membengkak juga dengan sisi bibir yang membiru. Senyum [Name] tetap menjerat hatinya.

Todoroki kembali menarik [Name] dalam kukungan lengannya. Ia menyadari betapa ia membenci tangisan sedih [Name], tidak menyukai momen gadis itu terpuruk. Dalam hati berjanji untuk berada di sisi [Name], menjaga gadis itu hingga tidak ada sedih atau lara yang menghampiri gadisnya.

Kehilangan gadisnya, meski sesaat, menyadarkannya akan sesuatu. Kebahagiaanku ada bersamamu, [Name].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top