Nine

N I G H T  T E R R O R

Todoroki terbangun dengan tubuh bagian kiri tertutup oleh es. Napasnya memburu. Detak jantungnya bagai menghantam dada. Kepalanya berdenyut. Telinganya berdenging seolah membawa mimpi dalam realita. Perutnya bergejolak ketika mengingat setiap detil mimpi buruk yang masih menghantui.

Ekspresi sang ibu saat melihatnya. Bisingnya teko yang mengisyaratkan air mendidih. Gelapnya malam ketika ia terbangun. Perasaan bencinya pada sang ayah yang membuat ibunya berada diambang batas. Sial. Semuanya terasa nyata karena ia pernah melaluinya. Tidak salah lagi, telepon ayahnya tadi sore yang memancing kenangan itu muncul ke permukaan.

Todoroki menarik napas panjang, mengatur emosi. Ia menyingkap selimut lalu melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mencairkan es sekaligus berganti pakaian. Kedua tangannya masih gemetar saat ia kembali ke atas futon. Sebelumnya, ia mampu mengatasi malam yang panjang ini seorang diri.

Sebelumnya. Kini, ia mendambakan keberadaan seseorang. Menginginkan keberadaan [Name] lebih tepatnya.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah tiga. Hampir tidak ada yang terjaga di waktu seperti ini. Namun, Todoroki butuh kehadiran [Name]. Setelah mempertimbangkan baik-buruknya keputusan yang ia buat, Todoroki mengambil seragam dan tasnya.

Langkahnya hati-hati, berjaga-jaga agar tidak ada teman sekelas yang memergoki dan melaporkannya pada Aizawa-sensei. Lorong asrama masih gelap. Hanya lampu yang mengarah pada elevator yang masih nyala. Suara lift saat ia sampai di lantai kamar [Name] menggema.

Todoroki mengetuk pintu kamar [Name] perlahan. Ia berusaha menenangkan diri, melepas belenggu mimpi buruk yang masih mencekal tubuh.

"[Name]," Todoroki mengetuk pintu lagi. "Ini aku."

Terdengar suara sibakan samar disusul dengan langkah kaki pelan. Todoroki memaklumi ekspresi tercengang setengah kesal [Name] ketika melihatnya berdiri di depan pintu.

"Maaf mengganggu tengah malam begini, tapi aku tidak bisa tidur," cicit Todoroki lemah.

Mata [Name] memicing lalu menghela napas. "Masuklah. Berdiri di lorong akan membuatmu kedinginan."

Todoroki menaruh tas dan seragamnya di atas meja belajar lalu duduk di tepi kasur gadisnya. [Name] menutup pintu dengan gerakan malas, tetapi pandangannya tidak lepas dari sosok pemuda beriris heterokrom yang menginvasi kamarnya di tengah malam.

"Apa yang terjadi padamu?" kedua tangan [Name] menangkup lembut wajah Todoroki, ibu jarinya mengusap sisa air mata yang membasahi pipi—ia bahkan tidak sadar jika air matanya tumpah.

"Mimpi buruk," sahut Todoroki. Ia menggenggam tangan [Name] yang menangkup wajahnya lalu menarik napas dalam-dalam, membiarkan dirinya kembali diliputi oleh perasaan hangat yang muncul tiap kali [Name] berada dalam jangkauannya.

Todoroki menarik [Name] lebih dekat, membawa telapak tangan mungil [Name] ke tengkuknya. Perasaan lega membanjirinya ketika [Name] tidak memberi perlawanan yang berarti saat Todoroki memeluk perutnya. Indra penciumannya bergerilya, menghirup aroma khas gadisnya.

"Mau menceritakannya padaku?"

Todoroki masih belum mengucapkan apapun. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan [Name]. Berulang kali ia menarik napas panjang, aroma parfum gadis itu seolah melepaskan belenggu yang memakunya. Perlahan tapi pasti, Todoroki merasa ia telah berada dalam realita. Tatapan menerawangnya mulai fokus. [Name] menunggunya dengan sabar tanpa berhenti membisikkan 'kau baik-baik saja, Shouto' atau 'aku bersamamu' sembari membelai rambutnya.

"Tentang luka bakar ini," bisik Todoroki memulai ceritanya. Sebelah tangannya mencengkeram kaus tidur [Name]. "Aku sudah pernah memberitahumu tentang luka di mataku, kan? Saat ini aku masih bisa merasakan panasnya air mendidih itu. Lalu bagaimana menyeramkan raut wajah ibuku setelah tahu bahwa aku mendengar pembicaraannya. Aku tahu bahwa apa yang terjadi bukan salah ibuku, tapi setiap kali mimpi itu kembali aku tidak bisa menghilangkan ketakutan dalam hatiku."

Todoroki mengubur wajahnya lebih dalam pada perut [Name]. Nada bicaranya lirih. "Aku lahir dari pernikahan quirk, [Name]. Aku dilahirkan hanya untuk mengalahkan sosok idolaku karena ayahku tidak cukup kuat untuk melakukannya. Walau serumah, aku hidup terpisah dengan kakak-kakakku. Meski darah yang sama mengalir dalam tubuh kami, aku tidak merasa dekat dengan mereka. Ibuku juga menderita karena aku. Berulang kali mengulang kejadian yang sama dalam tidur, membuatku berpikir... mungkinkah sebenarnya aku tidak diinginkan?"

Benar. [Name] sudah pernah mendengar cerita tentang masa lalu Todoroki, tentang bagaimana Endeavor memperlakukan anak-anaknya dari Todoroki maupun Midoriya. Namun, ini pertama kalinya ia mendengar apa yang dirasakan oleh Todoroki.

"Todoroki Shouto!" hardik [Name]. Ia mendorong tubuh Todoroki kemudian berlutut di hadapan kekasihnya. "Berani sekali kau berkata demikian. Siapa yang bilang kau tidak diinginkan hah? Siapa? Bilang padaku, biar kuhajar mereka satu persatu. Masa lalumu memang tidak menyenangkan, tapi apa kau tidak menikmati masa kini? Teman-temanmu di sini menginginkanmu Shouto."

Todoroki tersentak. Tidak menyangka respon [Name] akan seagresif ini. Iris heterokromnya beradu dengan kilat amarah pada netra kecokelatan [Name].

"Kau berhasil mematahkan keinginan ayahmu. Berteman dengan Midoriya dan lainnya, menggunakan quirk apimu untuk menolong orang lain, bahkan kau berhasil memperbaiki hubungan dengan ibumu. Dengan semua yang telah kaulakukan selama ini, bagaimana bisa kau berpikir bahwa kau tidak diinginkan Shouto? Tidakkah kau tahu keberadaanmu di kelas ini sangat dibutuhkan? Keberadaanmu sangat berharga?"

Kalimat [Name] seolah menyadarkannya akan sesuatu. Amarah yang tersisip dalam rentetan kata gadis itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Membuatnya tersadar akan sesuatu. Entah sejak kapan, ia telah berhasil melepaskan diri dari kukungan ideologi ayahnya.

"Kau menakjubkan Shouto," sirat mata [Name] melembut. Gadis itu menangkup wajahnya, membiarkan dahi mereka bersentuhan. "Berulang kali keberadaanmu menolongku. Saat orang lain, bahkan keluargaku sendiri enggan beinteraksi denganku, sapaanmu pertama kali padaku membuatku yakin bahwa aku tidak sendirian di dunia ini, kau masih ingat?"

Todoroki mengangguk pelan.

"Atau saat kau membalut lukaku dengan wajah menggemaskanmu sambil berkata bahwa kau tidak suka ketika aku terluka?" sebelum Todoroki mampu berkomentar, [Name] kembali melanjutkan. "Saat aku tertekan oleh komentar keluargaku dan pandangan publik tentang aku yang lebih cocok sebagai villain, kau selalu ada untukku Shouto. Kau selalu di sana untuk memelukku. Mungkin saat ini kau merasa tidak diinginkan, tapi harus kuingatkan padamu, apapun yang kaupikirkan dan bagaimana perasaanmu nantinya... aku selalu menginginkanmu Shouto."

Begitu banyak yang ingin ia katakan, namun suaranya tertahan di ujung lidah. "Kenapa?"

"Karena aku menyayangimu, bodoh," suara [Name] mulai parau akibat emosinya yang bergejolak. Hatinya nyeri mendengar pertanyaan Todoroki. "Dan kalau Endeavor berani melakukan sesuatu padamu lagi, biar kucipratkan darah lalu kukendalikan tubuhnya."

Todoroki mendengus geli. Jemarinya menyeka sudut mata [Name] yang memerah. "Memang apa yang ingin kau lakukan padanya?"

"Membuatnya menari balet di depan umum."

Todoroki terkekeh pelan. Ia mengurung [Name] dalam rengkuhannya lalu berbaring di atas ranjang. Sebelah lengannya memeluk pinggul [Name], tidak ingin berjauhan dengan gadisnya. Matanya menyusuri dinding putih [Name], bibirnya mengulas senyum kala mendapati [Name] memajang foto mereka ketika kencan beberapa waktu lalu.

"[Name]."

"Hm?"

"Katakan sekali lagi," pinta Todoroki tanpa menghentikan gerakan jemarinya memainkan ujung rambut [Name].

[Name] mengangkat tubuhnya. "Katakan apa?"

"Katakan kalau kau menyayangiku," pandangannya bersirobok dengan netra [Name] yang masih berkaca-kaca. Benaknya serasa diremas kuat penuh afeksi. Ia perlu mendengarnya sekali lagi, memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.

"Apa-apaan!?" [Name] memalingkan wajahnya yang merona. "Kalimat seperti itu tidak bisa diucapkan sembarangan tahu."

"Ulangi sekali lagi," Todoroki menangkup pipi [Name] dengan kedua tangannya, kedua matanya seolah membesar penuh antisipasi, memasang ekspresi memelas. "Kumohon?"

Tidak bisa. Sampai kapanpun ia tidak akan bisa menang berhadapan dengan mata bulat serta pipi gembul Todoroki yang muncul tiap kali pemuda itu memohon sesuatu darinya. Bagaimana bisa pria yang dianggap dingin dan tampan mengeluarkan ekspresi seimut itu!?

"Aku menyayangimu Shouto," desis [Name] sembari menyembunyikan wajah di lekuk leher Todoroki. "Sejak pertama kali kau mendekatiku, aku menyayangimu."

[Name] tidak bisa melihat ekspresi Todoroki, tetapi ia tahu pemuda itu tengah tersenyum lebar. Todoroki meremas tubuhnya pelan lalu mengambil napas panjang. Kecupan kecil menempel pada dahinya, memberi jawaban atas pernyataan [Name].

"Aku lebih menyayangimu," bisik Todoroki. Napas hangatnya membelai sisi pipi gadis itu. "Selamat tidur, love."

Tidak ada perlawanan atau berontak. Gadis itu menyamankan diri dalam pelukannya. Entah sudah berapa lama keduanya dalam posisi seperti ini, Todoroki mendapati [Name] terlelap lebih dulu. Sudut hatinya bahagia mengetahui bahwa [Name] sangat mempercayainya hingga tidak ragu bersikap lengah di hadapannya.

"Biarkan aku memelukmu untuk sisa malam ini, [Name]."

Pikiran negatif juga perasaannya tidak luntur sepenuhnya. Mimpi buruk mungkin akan menghantui malamnya lagi. Berhubungan dengan sang ayah akan memicu kenangan buruk lagi. Namun, ia tahu bahwa [Name] akan ada untuknya. [Name] akan mengingatkannya lagi dan lagi bahwa ia diinginkan, bahwa gadis itu menyayanginya. Gadis itu akan memulihkan kegetiran dalam dirinya. Menyadari hal ini Todoroki tersenyum kecil dalam mimpinya.

Tidak pernah kusangka, desakan untuk mendekatimu sore itu akan menjadi keputusan terbaik dalam hidupku. Jangan tinggalkan aku. Tetaplah di sisiku, [Name].

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top