Fourteen

R O U T I N E

"Selamat pagi."

Pesan itu sampai bersamaan dengan Todoroki yang mematikan alarm. Bibirnya mengulas senyum tipis kemudian balas mengirim ucapan selamat pagi pada gadisnya.

Todoroki meregangkan tubuh sebentar lalu beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Hampir tidak ada yang berbeda dengan rutinitasnya sehari-hari, bahkan selama magang pun Todoroki masih menyempatkan diri untuk berolahraga sejenak sebelum waktu berkumpul dengan Endeavor dan yang lainnya.

Semasa tinggal di asrama, Todoroki memiliki kebiasaan untuk bangun sedikit lebih awal lalu berolahraga sampai waktu sarapan. Ia menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sekitar asrama, menghirup udara pagi yang belum terkena polusi sekaligus memandangi pepohonan yang masih asri. Setelah itu, ia akan mandi lalu membangunkan [Name] yang lebih suka menghabiskan pagi dengan tenggelam lebih lama di alam mimpi. Barulah ia menggandeng [Name] yang masih mengantuk ke lantai satu untuk sarapan.

Sudut bibir Todoroki tertarik lebih dalam tatkala mengingat bagaimana menggemaskannya rupa sang kekasih yang menggerutu tentang pagi yang datang sangat cepat padahal ia masih mengantuk. Butuh kendali yang hebat agar tidak mencubit pipi [Name] yang mengucek matanya lucu.

Sayangnya selama magang, pemandangan pagi itu tak bisa ia saksikan. Alih-alih wajah [Name] yang menggemaskan, ia langsung bertemu dengan dua teman sekelasnya. Salah satunya bahkan sudah berteriak bagai tak kenal waktu, sementara yang lainnya berusaha menenangkan tapi malah diabaikan.

Saat sarapan pun, ia bukannya mengamati perubahan mimik wajah [Name] yang menjelaskan tentang tugas mereka hari ini atau menggerutu tentang salah satu pelajaran yang sulit—pelajaran Ectoplasm selalu disebut, tapi malah keributan yang awam terjadi oleh Bakugou dan Midoriya.

"Todoroki-kun sudah selesai?" tanya Midoriya saat ia keluar dari kamar. "Kalau sudah ayo ke lantai atas."

Todoroki mengangguk kecil. "Baiklah."

Sambil berjalan, Todoroki meraih ponsel. Ibu jarinya bergerak cepat mengetikkan kalimat pada layar. "Kami harus berkumpul. Nanti kukabari lagi. Jaga dirimu, love."

Balasan dari [Name] datang tak sampai satu menit. "Hati-hati saat magang. Jaga dirimu juga."

Ia mengulum senyum saat elevator sampai di lantai agensi Endeavor, tidak ingin teman sekelasnya atau yang lebih buruk lagi Endeavor sendiri yang bertanya mengenai alasannya tersenyum. Meski kecewa tidak dapat bertatap muka dengan kekasihnya pagi ini, Todoroki berjanji dalam hati akan meluangkan waktu untuk melakukan panggilan video dengan [Name] malam ini.

***

Todoroki menghela napas panjang sekembalinya ia ke kamar. Bukan, bukan kamar di asrama, tapi kamar yang berada di agensi sang ayah. Menanggalkan kostum pahlawannya, Todoroki menyisir rambut dengan jari saat merasakan betapa lelah dirinya.

Seharian ini ia merasa ada yang aneh pada dirinya. Seolah-olah ada sesuatu yang tertinggal atau ada bagian dirinya yang... hilang. Todoroki yakin performanya hari ini sama baiknya dengan kemarin, kondisi tubuhnya pun prima. Meski ada sindiran dari Bakugou, tapi Midoriya menenangkannya dengan berkata bahwa tidak ada yang berbeda darinya, malah lebih baik. Pujian dari sang ayah pun tercetus hari ini. Jadi, seharusnya tidak ada masalah dengan kekuatannya atau kemampuannya. Lalu apa?

Pikirannya melayang penuh pertimbangan sembari menunggu sambungan telepon. Menyamankan diri di kursi dalam kamar, Todoroki bergerak gelisah penuh antisipasi. Senyumnya mengembang tanpa bisa ditahan saat layar ponselnya menampakkan wajah gadisnya.

"Halo, Shouto," sapa [Name] menirukan senyumnya.

"Halo, love."

Batinnya tergelitik ketika [Name] tertawa kecil mendengar nama panggilannya. Ia mengamati [Name] yang memeluk bantal dari seberang telepon. Menopang dagu dengan kepalan tangan, Todoroki akhirnya angkat bicara setelah beberapa menit saling memandang.

"Bagaimana harimu, [Name]?"

"Luar biasa," seru [Name] antusias. "Hari ini mentorku mengajarkan banyak hal dan kami juga menangkap beberapa villain. Bukan penjahat besar sih, tapi aku berhasil menyelamatkan anak kecil yang menjadi sandera. Kau harus melihat ekspresinya, Shouto. Ia menggemaskan sekali."

"Kau juga," cetus Todoroki tanpa pikir panjang.

Sebelah alis [Name] terangkat heran. "Juga apa?"

"Kau juga menggemaskan," Todoroki mengulang ucapannya sekali lagi. "Bercerita dengan mata berbinar dan senyum merekah begitu. Kau juga tidak kalah menggemaskannya."

[Name] tercengang sesaat lalu mengubur wajahnya di bantal dalam pelukan sementara Todoroki menelengkan kepala. Apa yang ia katakan adalah kebenaran, lalu kenapa [Name] berulang kali mengomel bahwa ia adalah perayu?

"Bahkan setelah tidak bertemu pun kau masih tetap menggodaku," cerca [Name] yang kembali mendongak. Gadis itu merengut tapi rona kemerahan terpecik di wajahnya.

"Aku tidak menggodamu, kok," terselip nada bingung dalam kalimatnya barusan. "Aku hanya memujimu, seperti yang seharusnya. Neesan bilang sesekali memuji kekasihku itu bagus."

"Kau tidak melakukannya sesekali, Shouto," [Name] menggigit bibir dengan suara bergetar. "Kau melakukannya terlalu sering."

Dahinya mengernyit dengan bibir mencebik. Todoroki melipat kedua tangan di atas meja lalu menumpukkan dagu di atas lipatan tangannya. Netra heterokromnya berbinar ragu. "Apakah melakukannya terlalu sering adalah hal yang buruk? Aku hanya ingin mengapresiasimu. Rasanya aneh kalau tidak memujimu saat kau tampak menakjubkan."

Todoroki terkekeh saat [Name] menganga untuk yang kedua kalinya dengan raut muka tersipu. Ia yakin jika membandingkannya dengan udang rebus, maka wajah [Name]-lah yang lebih merah. Lucu sekali.

"Lho, kenapa kau menghalangi layarnya?" tanya Todoroki saat layar ponselnya menghitam. "[Name]? love? Halo. Kau masih disana? Layarnya jangan ditutup, aku belum puas melihat wajahmu."

Sejenak terdengar gemerisik dari seberang, memancing rasa penasaran Todoroki. Detik selanjutnya layar kembali menampilkan sosok kekasihnya, kali ini dengan selimut menutupi setengah wajah [Name] sehingga yang tampak hanya mata dan hidung gadisnya.

"Kenapa wajahmu disembunyikan begitu?"

"Biar saja. Jangan merayu lagi atau kututup teleponnya," ancam [Name]. Todoroki mencebik, merajuk pada sang kekasih tapi [Name] tak ambil pusing. "Sekarang gantian. Apa yang kaulakukan selama magang, Shouto?"

Suasana hati Todoroki kembali membaik kala [Name] menyimak cerita dengan seksama. Sesekali menanggapi tentang metode berlatihnya atau melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan hubungannya dan Endeavor. Ekspresi khawatir sempat terlihat saat ia berlomba dengan dua teman sekelasnya dan Endeavor untuk lebih cepat dari kejahatan yang akan terjadi.

"Aku yakin setelah magang selesai kau telah berkembang pesat," gumam [Name] mengulas senyum kecil. "Kau akan menjadi pahlawan yang hebat Shouto."

Todoroki mengangguk kecil. "Begitu juga denganmu, kan? Aku tahu gadisku juga tidak kalah hebatnya. Kau akan menjadi pahlawan yang menakjubkan, [Name]."

Tidak seperti sebelum-sebelumnya, kini [Name] tidak lagi menyembunyikan wajah. Rupa dari gadis yang menguasai hatinya tampak sumringah dengan netra gelap yang berbinar cerah. Todoroki mungkin bodoh dalam membaca gestur, tapi ia tahu ada bahagia yang tersimpan mimik [Name].

Selama beberapa waktu, mereka terdiam. Todoroki sudah berpindah posisi, berbaring menyamping di posisinya. Seiring dengan berjalannya waktu, kantuk mulai menggelayuti kelopak mata mereka. Lelah dengan magang dan tugas pahlawan, mungkin komunikasi mereka terpaksa diputus lebih awal.

"Tidurlah, [Name]," bujuk Todoroki. "Aku akan menelponmu lagi besok."

[Name] menggumam kecil seraya menggeliat dari balik selimutnya. "Kau juga istirahat. Kerja bagus untuk hari ini Shouto."

Tangan Todoroki terjulur, ibu jarinya mengusap layar tepat dibagian pipi sang kekasih. Betapa ia berharap bisa menyentuh [Name] sekarang, merengkuh tubuh yang lebih mungil itu lalu menyusupkan wajah di antara bahu dan leher gadisnya untuk menghirup dalam harum khas [Name]. Betapa ia ingin menenggelamkan diri dalam hangatnya dekapan [Name] yang kerap kali membuainya menuju lelap. Namun, saat ini mereka sedang berada di kota yang berbeda. Hanya lewat layarlah satu-satunya cara untuk bersitatap dengan sang kekasih hati.

"Shouto," Todoroki berdehem pelan, pertanda ia mendengarkan. "Aku menyayangimu."

Ah... jadi ini yang membuat harinya terasa janggal. Fakta bahwa ia tidak bisa mendengar atau menyentuh [Name]lah yang membuat harinya tak lengkap. Todoroki mengakui bahwa ia merindukan [Name], tapi ia tidak sadar seberapa besar kerinduannya terhadap gadis berparas menawan itu hingga mendengar kalimat penuh afeksi gadisnya.

"Aku juga, [Name]," bisik Todoroki mengulum senyum. "Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu."

Karena walaupun harinya berjalan lancar, kekuatannya baik dan performanya luar biasa. Hari Todoroki tidak akan pernah lengkap jika kehadiran [Name] absen dari kehidupannya. Melibatkan [Name] dalam rutinitasnya bagai bernapas sekarang. Semudah dan sesederhana itu.

Todoroki memotong sambungan telepon dengan janji untuk memeluk [Name] erat-erat ketika mereka bertemu lagi setelah magang selesai. Kali ini dengan sumpah tidak akan melepaskan sang gadis untuk kedua kalinya.


FINALLY UPDATE AFTER MONTHS BEING BUSY WITH RL!

Seneng banget rasanya bisa balik walau gak tau untuk berapa lama, tapi baca komentar kalian yang masih nungguin book ini tuh bener-bener bikin aku pengen buru-buru balik. Aku juga udah nyiapin beberapa outline buat chap ke depannya. Also aku juga punya pengumuman nih buat kalian...

Jadi karena satu dan lain hal, aku mulai buka writing commision buat kalian yang punya skenario atau ide tapi sulit untuk ditulis sendiri. Aku terbuka untuk chara x reader, chara x oc dan oc x oc yaaa. Kalau ada dari kalian yang tertarik, boleh banget intip carrd.co-ku, udah kucantumin di bio jugaa. Can't wait to write your brilliant ideas, guys!

See you on the next chap! Happy Reading everyone!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top