Four

P E T N A M E S

Emosi bukan ranah yang ia kuasai. Sebagian besar waktu, ia tidak mengerti bagaimana menyampaikan apa yang dirasakan hingga hanya kejujuran yang terucap. Bentuk kasih sayang juga hal asing baginya, mengingat bagaimana ia dibesarkan. Namun, setelah mengecap kasih yang diberikan [Name] padanya, Todoroki berniat untuk membalasnya.

Pertanyaan dilontarkan pada Yaoyorozu, ibunya dan kakak perempuannya. Apa yang harus ia lakukan untuk menyenangkan hati [Name]? Jawabannya beragam. Yaoyorozu berpendapat bahwa dengan menjadi dirinya sendiri dibarengi dengan perhatian tulus sudah membuat [Name] senang. Ibunya memberi saran untuk tetap menyayangi [Name] lalu mengungkapkan apa yang ia rasakan melalui gestur. Kakak perempuannya berkata bahwa perempuan selalu suka diperhatikan, dimanjakan dan diberi kepastian bahwa kekasihnya menyayanginya.

Sejujurnya, Todoroki merasa saran yang diberikan agak ambigu. Ia bingung harus mulai darimana.

Ia mencoba mencari alternatif lain. Midoriya tidak bisa diandalkan, wajahnya langsung memerah dan menjelaskan dengan gagap bahwa ia belum pernah memiliki kekasih. Cara lain yang bisa Todoroki tempuh adalah dengan menonton film dan membaca manga, dua aktivitas yang sangat disukai oleh [Name]. Mungkin dengan begitu ia bisa mengerti, apa yang bisa ia lakukan untuk membalas kebahagiaan yang [Name] berikan.

Ada banyak jawaban yang ia dapat, tapi beberapa terlalu 'canggung' untuk ia lakukan diumur hubungan mereka yang masih muda. Dari sekian banyak pilihan, Todoroki memutuskan untuk memanggil [Name] dengan panggilan khusus. Dari dorama dan manga, keduanya memberi bukti bahwa dengan panggilan khusus dari pasangan dapat menyenangkan hati seorang wanita.

Masalah baru muncul. Panggilan apa yang cocok untuk [Name]?

Beberapa orang memanggil kekasihnya dengan jenis makanan seperti pumpkin, cupcake atau sweetiepie. Todoroki tidak habis pikir, kenapa harus makanan? Ditetapkan melalui apa, makanan yang disuka? Kalau begitu apa Todoroki harus memanggil [Name] dengan sebutan soba? Tidak, tidak. Tidak romantis. [Name] bisa salah sangka.

Bingung menentukan panggilan yang tepat, Todoroki mengambil langkah untuk melakukan percobaan. Reaksi yang paling menggemaskan akan menentukan panggilan untuk kekasihnya.

Percobaan pertama ia lakukan saat satu kelas menonton film bersama. Ia dan [Name] duduk di sofa yang lebih pendek, selimut tersampir di pangkuan. Di sebelah [Name] ada Bakugou yang enggan duduk di lantai disusul dengan Kirishima. Di sofa panjang ada Yaoyorozu, Uraraka, Tsuyu, Kaminari dan Sero. Sisanya memilih untuk duduk di lantai dengan Mineta yang terikat dengan tape Sero.

Film yang diputar adalah film horor. Sebelah lengannya dipeluk erat oleh [Name]. Tidak jarang [Name] berjengit terkejut mendengar suara pintu terbuka atau latar suara yang tiba-tiba mengeras.

"Kau tahu kalau semua yang ada film ini palsu, kan?" Todoroki berbisik saat [Name] menahan jeritan kaget. "Tidak ada hantu. Hanya aktor yang memerankan karakter menyeramkan."

"Aku tahu, Shou," [Name] menghela napas panjang, berusaha mengatur napas yang memburu. "Tapi karena efek suara dan transisi, jadi menyeramkan."

Todoroki memiringkan kepala, menyandarkan kepalanya pada [Name]. "Aku tidak merasa film ini menyeramkan."

"Hanya kau yang berpendapat begitu," [Name] mengarahkan pandangan pada teman-teman sekelas. Mina berpegangan pada Shoji sesekali menjerit ketakutan, sebelah lengan Kaminari menempel pada Sero dan sebelahnya mencengkeram ekor Ojiro. Sisanya saling mendekat, berusaha meminimalisir rasa takut. "Aku iri dengan keberanianmu."

"Bukan berani," Todoroki mengangkat bahu acuh tak acuh, merelakan lengannya menjadi sandera sementara kekasihnya. "Aku tahu kalau mereka aktor dan semuanya palsu. Hanya mengikuti arahan sutradara."

Todoroki mengulum senyum geli ketika sudut matanya menangkap sosok Kirishima yang memajukan badan kemudian teriak saat hantu berwajah rusak muncul memenuhi layar beberapa menit kemudian.

Terbesit dalam benaknya untuk memanggil [Name] saat gadis itu meraih keripik di atas meja. "Baby, bisa tolong ambilkan gelasku? Persis di samping keripik."

Netra heterokromnya mengamati [Name] bagai elang. Gadis itu terkesiap, menoleh ke arahnya dengan ekspresi melongo lalu menyerahkan gelas berisi teh padanya. Todoroki menyesap teh, belum melepas pandangan dari [Name]. Raut kosong [Name] perlahan mengembang menjadi senyum tipis.

"Oi, kalau mau bermesraan cari tempat lain saja idiot!" seru Bakugou seraya menghantamkan bahunya pada bahu [Name]. "Aku tidak sudi menyaksikan kalian berduaan tahu!"

Selain reaksi meledak Bakugou, [Name] tidak memberikan reaksi yang berarti. Todoroki mencoret panggilan baby dalam hati. Percobaan pertama gagal.

Ia melancarkan percobaan kedua ketika mereka mengerjakan tugas bersama di kamar [Name]. Soal-soal yang diberikan Ectoplasm-sensei menguras pikiran dan waktu. Baik ia maupun [Name] berulang kali harus melihat catatan dan menghapus coretan yang salah.

"Terkadang aku tidak mengerti," gerutu [Name] pelan. "Di lihat dari sisi manapun, tidak ada hubungannya antara integral dan kepahlawanan. Aku tidak butuh trigonometri juga untuk mengetahui kapan sebuah bangunan akan runtuh atau jumlah warga yang bisa kuselamatkan."

[Name] menjatuhkan kepala di bahu Todoroki, menghela napas frustasi. Walau memiliki insting bertarung yang hebat dan sanggup mengaplikasikan quirknya dengan luas, [Name] memiliki satu kelemahan. Gadis itu tidak pintar matematika.

"Untuk melatih kita berpikir logis," balas Todoroki. "Menyelesaikan soal matematika yang sistematis membuat kita terbiasa untuk berpikir dengan logika ketika menghadapi masalah. Mengambil keputusan yang tepat di situasi genting adalah tuntutan sebagai pahlawan."

Todoroki mengusap kepala [Name] lembut, menyisipkan jemarinya di antara helaian rambut [Name] yang beraroma lavender. Ia mengulum senyum kala [Name] semakin bersandar padanya, kantuk terlihat jelas dari gadisnya. Latihan kebugaran juga duduk sepanjang pagi dan mendengarkan pelajaran telah menguras habis tenaga kekasihnya.

"Mengantuk?" bisik Todoroki tanpa menghentikan gerakan tangannya.

[Name] mengangguk. "Sangat, tapi tugasku belum selesai."

Ia berdehem pelan. Pikirannya terbagi antara menyelesaikan tugas dan mencari cara agar [Name] tidak ketiduran saat soalnya belum rampung. Todoroki mencubit pipi [Name] ketika gadis itu setengah terpejam.

"Jangan tidur," Todoroki mengingatkan. "Aku tidak masalah tapi kalau kau tertidur sekarang, besok kau akan menyalahkanku karena membiarkanmu."

"Iya. Aku tidak tidur."

Todoroki meraih buku [Name], menyamakan jawabannya dengan milik kekasihnya. Dahinya mengerut mendapati ada beberapa jawaban mereka yang berbeda. Matanya kembali menelisik setiap langkah jawabannya lalu mencocokkan dengan buku referensi. Tidak ada yang keliru.

"Ada jawabanmu yang salah, sweetheart," Todoroki mengusap lengan [Name], menyadarkan gadis itu dari kantuknya. "Nomor tiga, seharusnya kurung kedua disubstitusikan dulu. Untuk nomor lima, kau lupa menyederhanakan pecahannya."

Tubuh [Name] menegang mendengar sebutan untuknya. Heterokrom bertemu cokelat. Pandangan Todoroki tetap melekat pada [Name], menimbang reaksi yang diberikan. Samar tapi pasti, Todoroki melihat sirat gembira dalam iris gelap kesukaannya.

"Kenapa memanggilku begitu?" tanya [Name].

"Hanya ingin saja," Todoroki mengangkat bahu dengan sebelah alis terangkat. "Kau tidak suka?"

"Suka," tukas [Name] cepat. "Suka kok."

Todoroki mendengus geli. [Name] menghambur padanya, menyembunyikan wajah di lengan kemejanya. Sebelah lengannya memeluk bahu [Name] saat gadis itu menggesekkan wajahnya.

Ia akan mengingat dalam hati bahwa sebutan yang satu ini pantas dicoba sesekali. Reaksi yang menggemaskan. Percobaan kedua, tidak buruk juga.

Percobaan ketiga terjadi secara tidak sengaja. Setelah dua hari disibukkan dengan persiapan menghadapi ujian lisensi sementara, mereka tidak bisa menghabiskan waktu bersama. Todoroki fokus dengan jurus andalannya untuk menggunakan dua sisinya secara bersamaan sementara [Name] melatih daya tahan tubuhnya di gimnasium sehabis makan malam.

Ia tengah menunggu [Name] di lantai satu, berjanji mereka akan berangkat ke kelas bersama sebagai ganti waktu yang hilang. [Name] muncul tidak lama setelah ia mengancingkan jas dan mengenakan sepatu. Rambut gadisnya digerai melewati bahu sementara jasnya tersampir di lengan.

"Maaf, kau jadi lama menunggu," [Name] mempercepat langkah kakinya.

"Tidak apa-apa," Todoroki mengambil alih jas dan tas [Name], membiarkan gadis itu mengenakan sepatunya. "Aku tidak menunggu lama."

"Malam ini latihan lagi?" [Name] menengadahkan tangan, meminta jas dan tasnya tanpa suara tapi tidak digubris oleh kekasihnya.

Todoroki menggeleng. "Istirahat. Besok pagi baru latihan lagi."

"Kalau begitu... boleh main ke kamarmu?" tanya [Name] setengah memohon.

"Tentu saja," Todoroki mengangguk. Ia membantu [Name] mengenakan jasnya ketika gadis itu menggigil berhadapan dengan hembusan angin pagi.

Sejenak tidak ada yang berbicara. Di perjalanan, mereka berpapasan dengan teman sekelas. [Name] menahan tawa ketika beberapa teman mereka menguap lebar. Yaoyorozu mengingatkan Ashido dan Uraraka untuk tidur sebelum tengah malam agar mendapatkan istirahat yang berkualitas. Todoroki tidak paham antusias Midoriya dan Iida di pagi hari, ia cenderung menyukai waktu tidur yang lebih lama.

Keduanya berjalan bersisian, punggung tangan saling menyentuh. Bagai waktu telah mengikis kepercayaan diri, tidak ada dari mereka yang berani menggenggam lebih dulu. Netranya menangkap sosok [Name], dalam hati memuji penampilan gadisnya yang manis walau kantung mata kian menghitam.

"Ah, aku melupakan sesuatu," [Name] menatap pemuda itu penuh tanda tanya. Todoroki menunduk, tangannya menangkup belakang kepala [Name] untuk mengecup singkat dahi gadisnya. "Selamat pagi, love."

Muka [Name] langsung merah padam. Ia mendorong tubuh Todoroki, menjauh dari pemuda itu. Tatapannya nyalang sirat akan malu dan kaget. Dahinya berkerut, menahan diri untuk tidak meledak dan bertingkah bodoh, sementara Todoroki mengamati reaksi [Name] dengan penuh minat.

"Jangan memanggilku begitu, Shouto," sergah [Name] tegas.

"Kenapa? Kau tidak menyukainya?"

"Mana aku tahu," [Name] memalingkan wajah lalu mempercepat langkah kaki, meninggalkan Todoroki yang termangu heran. "Pokoknya jangan panggil aku begitu."

Belum sampai lima langkah, Todoroki meraih tangan [Name]. Ia mencegah gadis itu untuk pergi lebih jauh. Benaknya penuh dengan emosi yang sulit dijabarkan. Geli, senang juga malu menguasai tubuhnya. Meski begitu, Todoroki tidak membenci apa yang ia rasakan.

"Aku hanya ingin menunjukkan perasaanku padamu," tangan besarnya membingkai wajah [Name], menuntut agar gadis itu beradu tatap dengannya. Binar afeksi memancar jelas melalui mata. "Apakah aku salah menunjukkan betapa berharganya dirimu, love?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top