Five
C L U E L E S S
Yang benar saja.
[Name] terbiasa menjemput kekasihnya sebelum matahari terbenam, membangun rutinitas untuk makan malam bersama sebelum melanjutkan sesi belajar. Kurikulum yang mereka jalani setiap hari sudah cukup berat, mengingat Aizawa-sensei mempersiapkan para siswanya untuk menghadapi kemungkinan paling buruk. Ia tidak ingin Todoroki memaksakan tubuhnya hingga ambang batas.
Alih-alih senyuman tipis Todoroki dan waktu berdua, [Name] disapa dengan kerumunan siswi yang terang-terangan menonton kekasihnya. Ada yang memuji Todoroki diam-diam, ada yang mengangkat ponsel dan mengambil foto kekasihnya, ada yang bersikap sok tidak peduli tapi [Name] mendapati mereka berjalan mengitari gimnasium berulang kali.
"Itu Todoroki-san, kan? Putra bungsu Endeavor?"
"Ternyata benar, Todoroki-kun sehebat itu. Menonton tayangan ulang festival olahraga saja tidak cukup."
"Pergerakan yang luwes. Aku tidak heran saat menjadi pro-hero nanti akan ada banyak orang yang menjadi penggemarnya. Ia tampan dan hebat."
"Pasti menyenangkan punya pacar setampan Todoroki."
"Aku rela menukar apapun demi bisa kencan dengan Todoroki-kun."
Sudah cukup. Hatinya memanas mendengar khayalan para siswi itu terhadap kekasihnya. Darahnya seolah mendidih mendapati beberapa orang mengambil foto Todoroki tanpa izin, bahkan tanpa sepengetahuan pemuda itu. Tinjunya mengepal, napasnya memburu menahan amarah. [Name] berusaha mengatur emosi, bukan tindakan yang bijak untuk lepas kontrol di sekolah.
Ia tahu. Kekasihnya diberkahi dengan rupa tampan dan bakat yang hebat. Bekas luka yang membekas tidak mengurangi nilai ketampanannya, bahkan memberitahu pada dunia bahwa pemuda itu berhasil melewati masa sulit dan masih berdiri tegak setelahnya. Sikapnya yang tenang juga pendiam menjadi salah satu nilai plus. Tidak hanya tampan, Todoroki juga memiliki karismanya sendiri. Pemuda itu memiliki aura yang membuat orang lain tidak bisa mengabaikan kehadirannya.
Ia tahu semua itu. [Name] juga sudah mempersiapkan diri jika Todoroki memiliki banyak penggemar. Lalu... kenapa ia tidak menerima fakta bahwa banyak gadis yang menyukai kekasihnya? Kenapa suara dalam kepalanya berteriak bahwa ia tidak ingin siapapun mendekati kekasihnya?
Cemburu? Itukah yang ia rasakan atau hanya perasaan kekanakkan yang tidak terima jika yang ia sayangi direbut orang lain? Bagaimanapun juga, amarah dalam benaknya tidak langsung mereda. Namun, [Name] tidak tahu harus ditujukan pada siapa amarah yang berkobar dalam hatinya.
"Shouto," panggil [Name]. Todoroki menonaktifkan quirknya lalu menoleh padanya. "Sudah waktunya."
"Tunggu sebentar, [Name]," tanpa mengancing kemeja, Todoroki langsung mengambil tas dan berlari ke arahnya.
Sepercik kepuasan terbit ketika Todoroki menyambar tangannya halus tepat di depan kerumunan. Todoroki tampak linglung dengan banyaknya siswi yang hadir di depan gimnasium, tidak menyadari bahwa ialah yang menjadi pusat perhatian. Bahkan Todoroki tidak memberikan reaksi yang berarti ketika ada seorang siswi yang memuji.
"Kau hebat sekali, Todoroki-san."
Dahi Todoroki mengerut, mencoba mengenali siswi di hadapannya tapi sia-sia. "Ah... terima kasih. Aku permisi dulu."
[Name] mengulum senyum. Pemuda itu tidak menyadari kelebihannya, tampak canggung saat dipuji dan memilih untuk melarikan diri karena tidak nyaman didekati dengan begitu banyak perempuan. Sisi polos kekasihnya berhasil mengikis sebagian perasaan tidak senangnya.
"Kenapa diam saja?" tanya Todoroki. "Sesuatu terjadi padamu?"
"Tidak ada," dengus [Name].
Netra kecokelatannya memandang tangan mereka yang terjalin. Ia teringat ketika pertama kali mencoba menggandeng tangan kekasihnya. Saat itu umur hubungan mereka belum menginjak satu bulan, baik dirinya maupun Todoroki tidak memiliki pengalaman dalam hal romansa.
Kencan mereka berjalan baik. Mengunjungi kedai ramen langganannya merupakan langkah yang tepat. Tidak elit atau elegan, tapi suasana yang familiar membantu mencairkan suasana. Ia mulai nyaman dengan status barunya sebagai kekasih Todoroki—walau masih terhitung singkat.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Jika pasangan lain—atau setidaknya yang ia baca dari manga, telah bergandengan, saling memeluk atau bahkan berciuman setelah kencan pertama. Todoroki belum melakukan ketiganya. Mungkinkah Todoroki merasa malu memulainya lebih dulu?
"Todoroki ..."
"Shouto," ucap Todoroki. Pria itu menoleh dengan pandangan menuntut. "Panggil aku Shouto."
Senyum kecil terukir di wajah [Name]. "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan."
Todoroki menghentikan langkah. Keduanya berdiri berhadapan di sisi trotoar. Cahaya senja memberi siluet pada sosok kekasihnya, mempertegas garis wajah pemuda itu. Iris heterokromnya bagai bersinar, mencurahkan seluruh perhatian padanya.
"Boleh..." [Name] membasahi bibirnya gugup. "Boleh aku menggenggam tanganmu?"
Matanya menyimpan kebingungan. Todoroki mengeluarkan tangan kanannya dari saku celana, meraih tangannya tanpa ragu lalu membungkus jemari kecil [Name] dengan tangannya yang lebih besar.
"Seperti ini?" tanya Todoroki. Nada heran terdengar dalam pertanyaannya. "Ada apa? Kau sakit perut atau sulit berjalan? Perlu kugendong?"
"Tidak. Aku tidak sakit," [Name] tertawa kecil. "Hanya ingin saja."
"Kenapa ingin menggenggam tanganku?" Todoroki mengikuti [Name] yang telah melangkahkan kaki.
Ia menoleh, menatap Todoroki dengan senyum sumringah. "Bukankah menyenangkan berdekatan dengan orang yang kausayangi?"
Sudut mata [Name] menangkap bibir kekasihnya yang tertarik membentuk seulas senyum. Todoroki meremas tangannya pelan, menyamakan langkah. Saat berjalan bahu Todoroki bersinggungan dengan bahunya, genggaman tangan menggantung di antara keduanya. Sederhana. Namun gestur ringan mampu menimbulkan kehangatan di antara hembusan angin musim gugur.
"Ini... menyenangkan."
Jika Todoroki bisa dengan polosnya bertanya 'mengapa ia ingin bergandengan?', tidak heran pemuda itu juga tidak mengetahui alasan para siswi mengerubungi gimnasium. Menyadari fakta ini, seharusnya perasaan dongkol [Name] mereda. Seharusnya.
Sibuk dengan pikirannya sendiri, ia tidak menyadari lirikan khawatir yang dilemparkan Todoroki. Ia tidak merespon ketika pemuda itu bertanya apakah ia baik-baik saja untuk yang kedua kalinya. Memutuskan bahwa bungkam lebih baik daripada meneriakkan hal yang tidak ia niatkan.
Asrama sudah di depan mata. Hanya beberapa langkah sebelum ia bisa menenangkan diri sejenak, menjauh dari Todoroki. [Name] berusaha meloloskan jemarinya dari pegangan Todoroki. Namun, sepertinya pemuda itu telah membaca pikirannya. Sesaat setelah mereka memasuki asrama, tanpa aba-aba Todoroki langsung menariknya. Keduanya tidak mengindahkan sapaan Midoriya dan Kirishima juga tidak membalas senyum yang dilempar Jirou dan Sato.
"[Name], kenapa kau marah?" Todoroki bertanya segera setelah pintu kamarnya tertutup. "Aku tidak bisa memperbaiki kesalahanku jika kau tidak memberitahu."
Setengah malu karena Todoroki berhasil membaca suasana hatinya, setengah kesal karena pria itu tidak menyadari alasan kemarahannya, [Name] tersenyum masam. "Kalau harus diberitahu, kau tidak bisa memperbaikinya."
Todoroki memberengut. Tidak mengerti mengapa suasana hati [Name] berubah drastis, padahal sebelum berpisah jalan gadis itu masih menyemangatinya dengan ceria. Ia mencoba meraih tangan gadisnya, tapi ditepis kasar.
"Jangan menyentuhku, Shouto."
Pemuda itu cemberut mendengar nada [Name] saat menyebut namanya. Tegas dan dingin. Tidak seperti biasanya. Todoroki mendapati dirinya membenci cara [Name] menyebut namanya dengan nada demikian.
"Kenapa... kenapa memanggil namaku seperti itu?" Todoroki berusaha menggapai [Name], tapi gadis itu beringsut menjauh.
"Karena aku sedang kesal padamu, Shouto," [Name] berusaha menahan tawa ketika wajah Todoroki mengerut setelah mendengar namanya. "Lagipula, aku memanggilmu seperti biasanya kok."
"Tidak. Kau tidak biasanya memanggilku seperti itu," Todoroki menggeleng. Ia merubah posisi duduk, melipat kedua lututnya di atas lantai. Posisi seiza. "Love, aku yakin bisa memperbaiki kesalahanku. Apapun itu. tapi, ucapkan namaku seperti biasanya."
"Seperti biasa bagaimana, Shouto?"
"Seperti itu, tapi lebih halus lagi. Biasanya kau menyebut namaku seperti kau menyayangiku. Lembut sekali," bibirnya mencebik lebih dalam, masih belum mengerti letak kesalahannya hingga ia berulang kali menerima sikap dingin gadisnya.
Tidak tahan. [Name] tidak tahan dengan tingkah menggemaskan Todoroki. Ia menyerah, memilih mengalah berhadapan dengan cebikan dan ekspresi cemberut pemuda minim ekspresi itu. Tawa kecil melesak darinya. [Name] menjulurkan tangan, mengisyaratkan pada Todoroki untuk mendekat.
"Kau lucu sekali, Shouto," gumam [Name], membenamkan wajah di kerah kekasihnya.
Todoroki menatap gadis dalam pelukannya sangsi. "Kau mengucapkan namaku seperti biasa lagi. Apa artinya kau sudah tidak marah?"
"Iya. Marahku sudah hilang," ujar [Name] sudah tidak tersisa kejengkelan dalam suaranya. Ia merasakan tubuh Todoroki melemas lalu menjatuhkan kepala di lekuk lehernya. Tidak melawan saat Todoroki meremas tubuhnya seolah mengkonfirmasi bahwa ia memang tidak marah lagi.
"Kalau begitu bisa katakan padaku, kenapa tadi kau marah?" bibirnya menjejaki sepanjang bahu [Name], meninggalkan kecupan kecil. Ia tidak ingin emosi gadisnya kembali membara kala diingatkan tentang kekesalannya.
[Name] menghela napas, nyaman berada dalam rengkuhan kekasihnya. "... cemburu pada perempuan yang mengerubungimu di gimnasium."
"Kenapa cemburu?" Todoroki menarik diri. "Kau tidak punya alasan cemburu pada mereka."
[Name] mengangkat bahu, menghindari tatapan menuntut kekasihnya. "Tidak ingin kau didekati perempuan lain. Aku tidak mau kalau mereka menarik perhatianmu."
"Bagaimana bisa?" Todoroki mendekatkan wajah. Napas hangat mereka bersatu, membiarkan ujung hidung saling bersentuhan. Dalam iris heterokromnya tersimpan sirat emosi lebih daripada yang ditunjukkan. "Bagaimana bisa gadis lain menarik perhatianku saat kau berada dalam rengkuhanku, love?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top